Search This Blog

Monday, April 24, 2006

“ROH” PERATURAN BERSAMA MENAG DAN MENDAGRI 2006

“ROH” PERATURAN BERSAMA MENAG DAN MENDAGRI 2006
Oleh Pormadi Simbolon

Peraturan Bersama Menteri (PBM) oleh Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat sudah ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2006. Salah satu “roh” atau semangat mendasar yang penting dipegang oleh semua pihak, menurut hemat penulis adalah poin “h” pada bagian Menimbang, yaitu bahwa kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional.

PBM tersebut dalam seluruh prosesnya (10 putaran), materi rumusan bab dan pasal digarap langsung oleh semua unsur majelis agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha dari draf awal sampai rumusan akhir. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator.

Kita patut menyambut baik produk PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 ini dengan sikap mengedepankan “roh” kerukunan umat beragama menuju kerukunan nasional dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bermasyarakat.

Kerukunan Umat Beragama
Definisi kerukunan umat beragama didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006, Bab I, Pasal 1, poin 1).

Defini tersebut mengingatkan kita pada apa yang pernah diucapkan mantan Presiden Soeharto berkaitan dengan makna kerukunan umat beragama dalam salah satu sambutannya. “Usaha membina kerukunan hidup umat beragama, saya rasa perlu beroleh perhatian yang lebih besar. Kerukunan mengandung makna hidup dalam kebersamaan. Oleh karena itu, dalam usaha membina kerukunan hidup bangsa kita yang menganut berbagai agama dan kepercayaan itu, kita harus berusaha membangun semangat dan sikap kebersamaan di antara penganut berbagai agama dan kepercayaan di kalangan bangsa kita”. (Sambutan Presiden Soeharto pada waktu menerima peserta Rapat Kerja Departemen Agama, 12 Maret 1991 di Bina Graha, Jakarta).

Pencapaian kerukunan umat beragama tersebut adalah imperatif dan menjadi tugas bagi setiap pemeluk dan penganut agama dan kepercayaan, pemerintah daerah dan pemerintah. Artinya semua komponen bangsa bekerja bersama-sama dan berkomitmen memelihara kerukunan umat beragama baik secara internal maupun eksternal berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Semangat membangun kerukunan umat beragama menjadi “roh” kebersamaan dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa. Pandangan sempit, eksklusif dan menganggap pihak lain sebagai ancaman kiranya hilang dengan sendirinya. Sikap saling mencurigai dan merendahkan serta membenci antar umat beragama harus dihilangkan. Stigmatisasi agama lain sebagai kafir, warisan penjajah atau pendorong terorisme seyogiyanya sudah lenyap dari benak kita. Tidak ada lagi sikap formalisme yang membuat Pancasila hanya sebagai retorika, dimana nilai-nilainya tidak dilaksanakan. Semuanya harus mengedepankan roh kerukunan dalam kebersamaan.

Demikian pula sebagai fasilitator, pemerintah mulai dari kepala pemerintahan, gubernur, bupati/ walikota, camat, hingga pada lurah/ kepala desa wajib menciptakan dan menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati dan saling percaya di antara umat beragama. Dengan demikian suasana aman dan kondusif dalam menggapai Indonesia yang aman, damai, adil, demokratis dan sejahtera dapat berlangsung.

Sekali lagi peran pemerintah tersebut hanyalah sebagai fasilitator, dan pemeran utama adalah setiap umat beragama. Hal ini pernah diutarakan mantan Presiden Soeharto dalam salah satu sambutannya semasa memerintah. “Adalah tidak benar dan tidak pada tempatnya apabila pejabat pemerintah mempersukar atau menghalang-halangi kegiatan keagamaan. Hal ini tidak boleh terjadi dalam negara kita yang berdasarkan Pancasila. Tetapi sebaliknya alat-alat negara memang tidak dapat berdiam diri apabila ada unsur-unsur yang menyalahgunakan keleluasaan ibadah agama itu dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan keonaran dalam masyarakat (sambutan Presiden Soeharto pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, 29 Januari 1980 di Istana Negara).

Kerukunan Nasional
Kita patut mensyukuri kemajemukan bangsa kita. Teristimewa kemajemukan agama. Itulah sebabnya roh kerukunan yang terdapat pada PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 itu menjadi bagian penting dari kerukunan antar umat beragama menuju keadaan kerukunan nasional.

Kemajemukan bangsa kita dapat menjadi aset pembangunan bangsa sekaligus ancaman kehancuran bangsa yang mengarah pada fragmentasi. Semua komponen bangsa (aparatur negara dan masyarakat) wajib memelihara dan membangun kerukunan nasional agar tidak terjadi keterpecahbelahan bangsa dan macetnya pembangunan nasional.

Kerukunan nasional memang tidak didefinisikan dalam PBM Menag dan Mendagri No 9/8 Tahun 2006 tersebut. Namun pengertian dan maknanya tentu mencakup kerukunan segenap warga negara dan masyarakat Indonesia. Boleh dikatakan kerukunan nasional adalah keadaan hubungan sesama warga negara Indonesia yang hidup bersama dan dilandasi visi kebangsaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pemeliharaan kerukunan nasional adalah imperatif bagi semua umat beragama, masyarakat keseluruhannya, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Roh PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 tersebut menandaskan bahwa kerukunan nasional merupakan bahagian penting dari perwujudan kerukunan hidup antar umat beragama. Dengan perkataan lain, kerukunan nasional dapat tergapai bila kerukunan umat beragama sudah diupayakan dan dipelihara bersama. Dalam arti ini kehadiran PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 tahun 2006 patut disambut dengan lapang dada. Sebab ada roh kerukunan sebagai penggerak bersama dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bermasyarakat. Beberapa pihak memang masih merasa tidak puas. Tetapi kalau semua pihak berpegang pada roh kerukunan yaitu bahwa kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional maka Indonesia yang aman, damai, adil, demokratis dan sejahtera pelan-pelan bisa dituju.

Kita semua berharap, sosialisasi PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 nantinya seyogiyanya mengedepankan roh kerukunan yang berangkat dari kerukunan umat beragama sebagai bahagian dari perwujudan kerukunan nasional dan juga perwujudan perbaikan keadaan bangsa dan negara di masa yang akan datang menuju Indonesia baru dengan keadaban baru. Dengan demikian kita tidak lagi disebut sebagai bangsa Indonesia yang pura-pura Pancasilais dan bangsa yang seolah-olah beragama, tetapi memang sungguh-sungguh bangsa Indonesia yang sejatinya melaksanakan seratus persen nilai-nilai Pancasila dan seratus persen pula ajaran agamanya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan perkataan lain, setiap warga Indonesia bisa seratus persen Indonesia dan seratus persen pula menjadi pemeluk agamanya yang dilandasi nilai Pancasila dan nilai-nilai hak asasi manusia seperti yang dideklarasikan semua anggota Perserikatan Bangsa-bangsa, termasuk Indonesia.


Penulis adalah pemerhati masalah hidup keagamaan,
Alumnus STFT Widya Sasana Malang.

Wednesday, April 19, 2006

MERDEKA BERIBADAH

MERDEKA BERIBADAH
Oleh Pormadi Simbolon

Jelas sekali, pasal 28 UUD 45, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan kemerdekaan tiap warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah menurut keyakinan masing-masing.

Namun sebutan kemerdekaan atau kebebasanmenjalankan ibadah masih belum mendarat di tempat-tempat dimana pembangunan gedung ibadah dipersulit, dan baru-baru ini di Ciledug, ketika sekelompok masyarakat menutup pagar lokasi Sekolah Sang Timur, 3 Oktober 2004 yang lalu. Alasannya, penyalahgunaan izin bangunan sekolah sebagai tempat ibadah. Kemerdekaan masih dihambat oleh kepentingan sekelompok masyarakat.

Merdeka berarti bebas tanpa mengganggu hak orang lain. Merdeka berarti ada ruang untuk mengekspresikan kehidupan biologis, psikologis, sosial dan spiritual secara bertanggung jawab. Yang disebut terakhir, yaitu pelangsungan kehidupan spiritual dalam hal ini, ketidakmerdekaan menjalankan ibadah masih tetap menjadi persoalan bangsa ini.

Kemerdekaan warga negara menjalankan ibadahnya belum sungguh-sungguh bisa dinikmati semua umat beragama terlihat sejak terjadi aksi pengrusakan dan pembakaran gedung ibadah sepanjang sejarah pasca kemerdekaan Republik Indonesia, akibat ketakutan sekelompok masyarakat yang tidak berdasar, yaitu ketakutan membengkaknya jumlah bangunan ibadah (gereja) di Indonesia.

Beberapa minggu terakhir, beberapa koran nasional dan koran lokar Jakarta memuat berita aksi penutupan Sekolah Sang Timur, 3 Oktober, sekelompok masyarakat melakukan demonstrasi. Mereka berorasi, merobohkan papan nama sekolah, membakar ban dan berakhir dengan pemancangan portal dan menembok pagar sekolah. Berbagai kata-kata tertulis pada spanduk demo berbunyi seperti” usir agama penjajah” dan protes penggunaan bangunan yang tidak sesuai dengan tujuannya.

Apa yang terlihat pada tindakan sekelompok masyarakat tersebut, sungguh mematikan kemerdekaan orang lain. Lebih dari itu, tindakan tersebut mulai mengarah kepada keadaan the state of nature istilah Thomas Hobbes, yaitu suatu keadaan tidak/belum ada hukum dan cenderung ke aksi anarkhisme.

Bila para pendiri bangsa ini seperti Soekarno, M. Yamin dan Soepomo, dan tokoh lainnya, melihat kenyataan demikian, betapa masygul dan terharu melihat pelaksanaan Pancasila yang mereka sepakati sebagai falsafah dasar pendirian bangsa ini.

Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah merdeka dari penjajah sejak tahun 1945. Kita merdeka dari penjajah tetapi belum merdeka dari sesama saudara sebangsa dan setanah air.

Kita ini bukan lagi bangsa yang buta. Mata dan telinga kita dapat melihat realitas kemajemukan penduduk Indonesia. Demikian pula kita sudah sering kali mendengar pembacaan pembukaan UUD 45 ketika Upacara Bendera, pelajaran Pendidikan Moral Pancasila dan penataran P4, yang akhir-akhir ini sudah mulai dihilang. Negara wajib melindungi segenap penduduk Indonesia tanpa ada diskriminasi, sebab bangsa ini bukan milik sekelompok masyarakat saja.

Dari kasus Penutupan Sekolah Sang Timur Ciledug, beberapa hal dapat menjadi perhatian dan perenungan kita bersama seperti berikut ini: pertama, merdeka berarti bebas berbuat dari paksaan dan bebas untuk berbuat, dengan memperhatikan kepentingan orang lain. Kedua, merdeka menyiratkan bahwa kita dapat merasakan kehidupan yang damai dan tenang. Ketiga, para tokoh/pemuka agama masih harus eksra keras “mewartakan” kemerdekaan setiap individu seperti digagas perwakilan bangsa-bangsa pada teks Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dan keempat, massyarakat sesungguhnya sudah cerdas dan tahu bahwa sudah tidak saatnya lagi agama menggunakan paradigma ketakutan terhadap agama lain.

Betapa indahnya ketika bulan Ramadhan dapat dilaksanakan secara merdeka, demikian pula betapa indahnya bila Perayaan Hari Raya Natal dapat dilakukan secara merdeka. Semoga pemerintahan yang terpilih secara demokratis dan yang berjanji memelihara seluruh kepentingan setiap warga negara Indonesia untuk merdeka beribadah.

Oleh: Pormadi Simbolon,
Bekerja di Departemen Agama RI, pusat.

SKB YANG TERKENAL ITU

SKB YANG TERKENAL ITU

Oleh Pormadi Simbolon

Perdebatan tentang perlu tidaknya mencabut SKB No. 01/Ber/Mdn-Mag/1969 sudah menjadi isu nasional. Oleh karenanya SKB tersebut menjadi sangat terkenal ketika beredar melalui internet, surat kabar, berita di televisi dan radio. Sebagian orang berusaha mempertahankannya, karena ia sudah ideal dan sebagian lainnya mengusulkan untuk mencabut dan menggantinya dengan yang baru.

Soal ideal atau relevan perlu dicari titik tolak atau sudut pemikirannya. Di sinilah sebenarnya letak jalan dialog menjadi sangat penting. Pertanyaan awalnya, sudah adil dan bijaksanakah SKB yang terkenal itu?

SKB Menag – Mendagri
Dalam SKB Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No. 01/BER/Mdn-Mag/ 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pengembangan dan ibadat agama oleh pemeluk-pemeluknya ditemukan satu pasal yang berbunyi: Kepala Daerah atau pejabat yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberikan ijin yang dimaksud setelah mempertimbangkan: (a) pendapat kepala perwakilan Departemen Agama setempat, (b) planologi, (c) kondisi dan keadaan setempat (Pasal 4 (2)).

Selanjutnya pasal 4 (3) berbunyi apabila dianggap perlu, kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk itu dapat meminta pendapat dari organisasi-organisasi keagamaan/ rokhaniawan setempat.

Sekilas kutipan satu pasal dari SKB tersebut tampak bernada biasa-biasa, netral, dan prosedural seperti surat keputusan umum lainnya. Namun bila dikritisi lebih dalam, kutipan pasal SKB tersebut kususnya tentang pertimbangan-pertimbangan guna memberikan ijin pendirian rumah ibadat yaitu butir (a), (b), dan (c). Ketiga butir pertimbangan itu dan berdasarkan realitas di lapangan ternyata memicu dan mencondongkan orang berpolapikir binary opposition.

Binary opposition (pertentangan berpasangan) adalah kerangka berpikir yang melihat realitas sebagai pasangan yang bertentangan atau memperlawankan satu realitas dengan realitas lainnya. Contoh kerangka berpikir binary opposition tersebut adalah mayoritas ><><><><>Prinsip Hukum
Pada hakekatnya pengertian hukum yang esensial dalam tata hidup bersama adalah bahwa ia adil dan bijaksana. Prinsip keadilan dan kebijaksanaan melekat dalam cara ada manusia yang bertindak menurut akal budinya. Hukum sebagai cetusan dari akal budi manusia harus adil dan bijaksana, sebab jika tidak, ia menyalahi prinsip kodrati (natura) akal budi manusia sebagai kelebihan yang dianugerahkan Penciptanya. Jika suatu hukum yang tidak adil toh tetap diberlakukan maka ia menjadi kesalahan moral dan dan merupakan kesewenang-wenangan pembuat hukum. Sebab hukum yang adil dan bijaksana memperhatikan aspirasi semua komponen bangsa yang ada.

Contoh paling jelas dari hukum tidak adil itu adalah perintah membunuh orang yang tidak bersalah. Perintah Hitler untuk menghabisi semua orang Yahudi secara tersirat juga termasuk perintah membunuh orang (Yahudi) yang tidak bersalah. Juga keputusan dan tindakan pemerintah tertentu untuk menghabisi suku Kurdi, atau penguasa Tutsi yang berusaha menghabisi kelompok suku Hutu di Rwanda, dan sebaliknya upaya suku Serbia membabat habis kelompok Muslim Bosnia jelas merupakan contoh-contoh ketentuan-ketentuan mengikat yang tidak bisa dibenarkan dari segi prinsip-prinsip kodrati keadilan akal budi.

Hukum adalah produk akal budi manusia yang sejatinya berangkat dari cara ada manusia. Itu berarti hukum merupakan hasil kesepakatan (konsensus) bersama sedangkan manusia dari kacamata orang beriman adalah ciptaan Allah. Oleh sebab itu jika hukum tidak memperhatikan cara ada manusia maka hukum itu tidak memenuhi prinsip keadilan dan kebijaksanaan. Dengan demikian hukum itu melawan kodrat manusia sebagai ciptaan Allah.

SKB No. 01 Tahun 1969 tidak relevan?
Kembali kepada perdebatan soal SKB Menag dan Mendagri No. 01 Tahun 1969, apakah ia sudah adil dan bijaksana? Kelompok yang disebut mayoritas berusaha mempertahankannya. Namun kelompok yang disebut minoritas mengusulkan suatu revisi atau bahkan lebih baik jika ia dicabut lalu diganti dengan peraturan yang baru karena ia sudah tidak relevan dengan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat sekarang.

Kelompok yang disebut mayoritas umumnya berpendapat bahwa SKB tersebut sudah ideal karena memang realitas menunjukkan bahwa mayoritas penduduk bangsa ini kelompok mereka. Sedangkan kelompok yang disebut minoritas berpendapat SKB tersebut tidak relevan lagi dengan semangat hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sedang berproses menuju negara yang demokratis, reformatif dan berada dalam satu kesatuan dengan komunitas global.

Menurut pendapat penulis, ketidakrelevanan SKB tersebut terletak pada akibat yang ditimbulkan oleh penafsiran pasal 4 tadi yang cenderung menciptakan pola pikir binary opposition. Hal ini terbukti di lapangan. Orang yang disebut minoritas tidak pernah dengan mudah mendapat ijin untuk membangun rumah ibadatnya. Sebab pertimbangan-pertimbangan yang terdapat pada pasal tersebut menjadi alasan yang mempersulit keluarnya ijin.

Sulitnya mendapat ijin mendorong mereka yang minoritas untuk beribadat di rumah penduduk tempat tinggal mereka. Sekali lagi, mereka yang mayoritas akan memprotes kegiatan beribadah tersebut karena merupakan penyalahgunaan rumah tempat tinggal sebagai rumah ibadah. Kenyataan ini menjadi suatu dilema bagi mereka yang minoritas dan serba salah.
Berangkat dari kenyataan di lapangan, SKB tersebut menjadi tidak relevan ketika ia dijadikan sebagai “senjata” mempersulit guna mendapatkan ijin mendirikan rumah ibadah dan lalu tidak memperhatikan hak asasi manusia yaitu hak untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercyaannya (pasal 29, UUD 1945). Disebut sebagai “senjata” mempersulit karena pola pikir binary opposition disadari atau tidak menjadi kerangka pola pikir bagi mereka yang mayoritas.

Menurut berita di media massa, SKB tersebut akan direvisi oleh Menag dan Mendagri. Kabar tersebut cukup melegakan bagi mereka yang minoritas. Namun mereka belum bisa berhenti pada kelegaan demikian. Mereka harus tetap secara bijak dan adil menyuarakan agar peraturan baru tentang pengeluaran ijin pendirian rumah ibadah tidak mencondongkan kebanyakan orang berpolapikir binary opposition, tetapi merangkul baik yang mayoritas maupun minoritas, artinya win-win solution.

Yang lebih mendasar lagi, revisi SKB tersebut seyogiyanya mengacu pada hak asasi manusia sebagai ciptaan Allah dan prinsip hukum yaitu keadilan dan kebijaksanaan. Artinya pengeluaran perijinan pendirian rumah ibadat bukan sebagai pemberian karena belas kasihan dari kelompok mayoritas kepada minoritas.

Akhirnya, peraturan atau SKB baru nantinya diharapkan semakin relevan bila ia mengacu kepada semangat hidup kebangsaan dan keutuhan NKRI.

*Penulis adalah Staf Penyusun Bahan Bimbingan Lembaga Agama
Ditjen Bimas Katolik, Depag RI Pusat

Contact Form

Name

Email *

Message *