Oleh A. Setyo Wibowo
Munculnya demokrasi di Yunani
ditengarai bersamaan dengan munculnya polis,
kira-kira pada abad ke-8 SM.
Rekonstruksi yang dibuat juga tidak bisa begitu persis karena diperkirakan ada
semacam evolusi peradaban yang pelan-pelan beranjak dari sistem tiranik ke
demokratis
Andai dituntut suatu teori yang
mungkin dapat menggambarkannya, barangkali “revolusi politik” bisa menjadi
hipotesis yang menggambarkannya munculnya kesadaran yang demokratis di antara
warga negara yang setara. Itu pun bukan demokrasi dalam arti moderen yang
didasarkan pada ide tentang kesamaan kodrat manusia. Demokrasi Athena bersifat
ekslusif, hanya untuk mereka yang menjadi warga negara, sementara mayoritas
populasi yang bukan warga negara harus
tunduk pada demos. Sisa-sisa tradisi
aristokratis dan oligarkis pun tidak pernah hilang begitu saja dalam praktek
demokrasi di Athena.
Setiap warga negara Athena adalah
sekaligus idiotes (individu) dan polites (warga polis). Ia memeiliki urusan polis
yang cukup menyita waktunya. Ia harus mengikuti pertemuan di Ekklesia secara reguler dan kalau
terpilih menjadi anggota DewanLimaratus, ia juga harus sepanjang hari bekerja
di Dewan yang siang malam memikirkan masalah-malasalah polis. Warga negara tidak hanya menjalankan kekuasaan legislatif
dan eksekutif, terkadang mereka juga
harus menjadi juri dalam sidang-sidang pengadilan yang digelar. Demikian pula
untuk urusan agama, para warga, para warga negara juga bisa terpilih untuk melalui
undian untuk memimpin upacara-upacara keagamaan polis. Agama bukanlah urusan privat. Agama adalah urusan polis. Belum lagi kewajiban
mempertahankan kota, yang menuntut mereka ikut bertempur dengan biaya sendiri.
Sekali lagi, yang dinamakan demos hanyalah sebagian kecil dari
populasi polis Athena. Lagi pula, di
antara para warga negara setara itu praktis yang bisa sungguh-sungguh berpolitik
adalah mereka-mereka yang secara ekonomis cukup mapan sehingga mampu meluangkan
waktu untuk ke Agora. Orang bisa berpolitik sepenuhnya karena urusan perut
sudah tertangani dengan baik. Namun di Athena agak rumit, karena banyak orang
miskin di polis ini. Akibatnya, kesediaan hadir para warga di Ekklesia tidak selalu murni karena mau
berpolitik, melainkan sekadar mencari biaya tambahan, misthos.
Jadi, kalau kita mau
berandai-andai dengan teori modern yang membedakan ruang privat dan publik, kita
bisa belajar bahwa aktivitas politik yang ditandai oleh isogonia, isonomia, isokratia dan isegoria di mana warga setara berdiskusi secara bebas
memutuskan kepentingan bersama hanya dimungkinkan apabila urusan ekonomis yaitu
kebutuhan niscaya pangan, sandang, dan papan telah tercukupi.
Di soal ini kita berhadapan
dengan dua ironi. Di satu sisi, kemapanan ekonomis para warga negara kaya di polis umumnya adalah berkat pekerjaan
mayoritas penduduk yang tidak dianggap warga negara, yaitu wanita dan para
budak. Beresnya urusan ekonomi dan kebutuhan sehari-hari kaum “equals” adalah berkat hadirnya kaum “unequals”. Kesadaran modern kita dengan
ironis melihat bahwa kebebasan politik sebagian kecil manusia yang hidup di polis, yang disebut warga negara
mensyaratkan adanya wanita, budak, orang asing, dan anak-anak yang jumlahnya
justru mayoritas dalam polis.
Di sisi lain, dalam soal
kemapanan ekonomi ini, ternyata di Athena pun tidak banyak warga negara yang
sungguh-sungguh bisa berpolitik. Bagi warga negara yang miskin misalnya kaum zeguites dan thetes, aktivitas politik justru dijadikan ladang mata pencaharian untuk
hidup. Agora yang semula diidealkan sebagai pasar sirkulasi bebas ide-ide
berubah menjadi pasar tempat mencari uang. Rasanya problem ini juga aktual di negeri kita. Pada mulanya
orang berpolitik mungkin karena butuh “second
life”. Setelah tentara pensiun dari dinas militer atau seorang artis tidak
laku lagi di layar kaca, mereka terjun ke dunia politik. Lama-kelamaan
keserakahan akan harta membuat orang menikmati hidup berpolitik. Berkaca pada
pengalaman Yunani, ada bahaya bahwa bila demokrasi menjadi sekedar mencari uang
tanpa peduli hukum dan etika, kita sedang membunuh demokrasi kita sendiri (bdk. Suara Pembaruan, 17 Mei 2013,
hlm.5, “Demokrasi Menuju Bunuh Diri: Perilaku Politik Jauh dari Etika
Politik”).
Kritik atas demokrasi
Dalam sejarah demokrasi ide
tentang otonomi pemerintahan oleh rakyat serta supremasi politik – dengan kuasa
kata-katanya di Agora – menjadikan demokrasi Athena selalu dikenang. Salah satu
ciri demokrasi di Athena adalah kedaulatan mutlak warga negara sebagaimana
tampak dalam pertemuan di Majelis Umum atau Ekklesia.
Keputusan-keputusan penting mengenai polis
Athena dalam relasinya dengan polis
lain, keuangan dan keagamaan yang menjadi bagian sangat penting dalam politik diambil
secara langsung di Ekklesia. Kata demos yang awalnya berarti rakyat,
berubah menjadi Majelis, dan akhirnya menjadi rejim pemerintahan. Meskipun
begitu, kekuasaan warga negara yang berkumpul di Ekklesia juga terbatas! Batasnya adalah konstitusi yang disepakati
bersama sebagai landasan keberadaan polis.
Konstitusi ini muncul dari perkembangan sejarah politik Athena sehingga
dianggap sangat penting.
Dalam demokrasi yang makin
radikal, kekuasaan warga negara di Ekklesia
akan kebablasan sehingga produk undang-undang yang di-voting justrumelawan konstitusi. Platon menunjukkan kritik tajamnya
atas demagogi rakyat yang
menjungkirbalikkan tatanan dengan munculnya dekrit-dekrit yangmelawan konstitusi.
Inilah penyakit politik. Politik selalu cenderung memperbesar kekuasaannya
sendiri melampauai apa yang semula menjadi batas arena permainannya. Kekuasaan politis
rakyat berubah menjadi merajanya massa rakyat, otonomi warga negara
menggelembung menjadikan mereka tiran-tiran kecil. Demokrasi mengandung
paradoks. Sistem ini bila diradikalkan justru akan membawa masyarakat mundur ke
jaman pra-demokrasi yaitu zaman ketika yang berkuasa bukuan hukum tetapi
kekuatan otot khas hukum rimba.
Kemungkinan munculnya anarkisme
disebabkan oleh ciri lain dari demokrasi yaitu kebebasan dan kesetaraan.
Kebebasan berarti kemerdekaan warga negara secara yuridis dan politis.
Dibandingkan dengan nasib para budak yang tergantung pada pemiliknya atau
wanita dan anak-anak yang dianggap harta milik, warga negara yang bebas adalah
manusia yang membuat hukum bagi dirinya sendiri sehingga bisa memilih jenis
hidup yang ia kehendaki. Pada tingkat privat, ia bisa melakukan apapun yang
dikehendaki. Namun pada tingkat di luar rumah, kebebasan ini menjadi bersifat
politis, yaitu bebas untuk ikut memerintah dan bebas untuk diperintah. Mampu
menunjukkan sebagai diri sebagai anggota warga yang baik maupun berpartisipasi
aktif sebagai bagian pemerintahanadalah ciri seorang warga negara yang bebas.
Beberapa pemikirklasik mengkritik
dengan keras premis utama demokrasi yang berbunyi, “kebebasan akan melahirkan
anarki pada giilirannya menghancurkan komunitas politis”. Platon mengembangkan
secara sistematis kritiknya terhadap demokrasi di The Republic. Demokrasi senyatanya hanya menjadi ajang kekuasaan
para sofis (The Republic, VI 492b) yang
tidak bertanggung jawab dan hanya
menyetir massa rakyat dengan “senang atau tidak senang”. Demokrasi adalah
sistem pemerintahan yang karut-marut, bebas kebablasan, di mana kelas-kelas
sosial saling bertempur tanpa henti (bdk. The
Republic, VIII 555b-558c). Saat tidak mau lagi menerima aturan atau paksaan
apa pun dalam hidupnya (The Republic VIII
561d), manusia demokratis yang hanya mencari apa yang menyenangkan bagi
dirinya sendiri akan jatuh ke dalam kebebasan yang kebablasan yang tidak lain
adalah perbudakan tanpa batas (The
Republic 564a; Letter VIII 354d; The Laws III 699e).
Prinsip kebebasan berarti ketika
setiap warga bebas dan tidak tunduk pada kesewenang-wenangan warga lain. Supaya
hidup bersama dimungkinkan, hukum menjadi jaminan untuk kebebasan setiap warga;
di satu sisi kebebasannya dijaga, di sisi lain ia dilindungi dari kesewenangan
orang lain. Masalahnya, karena terbiasa dilindungi dari kekerasan warga lain,
seseorang yang bebas lalu terbiasa untuk hidup semaunya. Hukum yang pada
prinsipnya menjaga kebebasan tidak bisa berbuat banyak terhadap orang seperti
itu. Bila semua bertingkah seperti itu, akan ada krisis moral secara umum.
Mungkin seseorang yang dipilih secara legal sebagai penguasa bisa menekan
kebablasan warganya. Namun di Athena, saat penguasa hanya dipilih secara acak
lewat undian dan menjabat untuk setahun dapatkah ia menangani kebebasan yang
kebablasan? Palton memiliki penilaian keras. Manusia demokratis adalah orang
yang hidupnya nyantai dan immoral. Ia
bisa omong apa saja seolah-olah tanpa konsekuensi apapun (The Republic 558c-562a).
Sedangkan bagi Aristoteles,
demokrasi adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan dibagi-bagi di antara
kelas-kelas yang ada di masyarakat. Akibatnya, sistem ini tidak pernah bisa
berjalan, karena tiap kepentingan kelas yang berbeda akan saling menyandera
keputusan apa pun yang hendak ditelurkan (bdk.
Politics, III, 11-13 dan IV, 4). Berkenan dengan kesetaraan, kritikan yang
diberikan adalah bahwa warga negara yang setara dalam satu bidang, lalu
menganggap dirinya memiliki kemampuan yang sama dalam segala hal lainnya (Politic V 13). Karena menganggap diri
semua warga adalah setara, mereka membutakan diri tidak mau memilih
individu-individu yang sebenarnya memiliki kemampuan dan jasa yang lebih bagi
tugas-tugas tertentu yang cocok bagi mereka. Kita semua menjadi sedikit
platonisian dan aristotelesian ketika meyakini bahwa urusan politik seharusnya
dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi dan tidak dipilih secara acak
model undian seperti di Athena.
Prinsip kesetaraan tentu cocok
dengan prinsip supremasi hukum dan persis hukum memang fungsinya untuk menjamin
bahwa semua warga setara di hadapannya. Namun, prinsip kesetaraan ini secara
alamiah bertentangan dengan kehidupan sosial yang pasti berjenjang dan
hirarkis. Hormat kepada orang tua adalah prinsip umum di mana-mana yang bisa dimentahkan
begitu saja oleh kesetaraan. Buat apa hormat pada orang tua kalau secara hukum kita
semua dijamin setara? Lebih luas lagi, buat pa menghormati penegak hukum
apabila, seperti di Athena, ia hanya dipilih setahun sekali secara undian? Kalau semua warga negara setara,
baik warga yang saleh maupun warga yang nyeleneh,
mengapa harus sok suci menggabungkan diri dalam kelompok warga setara yang
saleh? Prinsip kesetaraan memang mempersulit orang untuk mudah taat. Kehadiran
kaum sofis di Athena hanya memperparah krisis moral dan membuat orang cenderung
meremehkan hukum.
Prinsip utama demokrasi yang adalah
kebebasan dan kesetaraan memang secara alamiah dengan mengandungi penyakit
bernama anarkisme (Jacqueline de Romilly, 149). Namun lebih dari itu, inti kritikan
Platon dan Aristoteles sebenarnya dilandaskan
pada sebuah cara pandang tertentu. Platon dan Aristoteles yakin bahwa
tatanan sosial harus dibentuk sesuai prioritas. Ada tingkat kehidupan yang
berorientasi pada kesenangan, yaitu sebuah hidup yang inferior; ada tingkat
kehidupan praktis di mana politik mendapatkan tempat yang lebih tinggi; dan
akhirnya ada tingkat hidup teoritis atau filosofis, yang merupakan bentuk
kehidupan tertinggi (bdk. The Republic VI
496b-d dan VII 519d-521b; Ethica
Nikomaxeia X7 dan Politics VII 2).
Bukan maksud para pemikir itu
untuk mengatakan bahwa vita contemplativa
tidak cocok dengan vita activa!
Platon sendiri berbicara tentang keharusan
para filsuf untuk “turun kembali ke goa”, artinya, para filsuf pun harus
terlibat dalam kehidupan politik masyarakatnya (The Republic VII). Baginya, seni berpolitik adalah seni merajut
secara tepat antara benang yang tipis halus dengan benang yang kasar (Politique, 311-e). Aristoteles juga
mengidealkan sebuah cara hidup yang “campuran” (Politics VII, 2-3). Setia dengan prinsip jalan tengah, Aristoteles
mengidealkan sebuah komunitas politik yang merupakan campuran antara demokrasi dan oligarki. Di
balik itu semua, mereka hendak menggarisbawahi bahwa sebuah rezim politik
hendaknya mengakui supremasi hukum intrinsik ilmu filsafat. Ini tuntutan yang
tidak mudah karena kita tahu bahwa rezim demokrasi Athenalah yang menghukum
mati Sokrates, guru Platon. Aristoteles pun terpaksa lari dari Athena saat
merasakan bahwa rezim demokratis Athena sedang mencurigainya sebagai
kolaborator Makedonia. Konon alasan Aristoteles demikian, “supaya warta Athena
tidak jatuh dalam kesalahan yang sama untuk kedua kalinya”.
Dr. A. Setyo Wibowo,
Pengajar STF Driyarkara, Jakarta
Daftar Pustaka
Sebagian
besar bahan sudah pernah terbit dalam A. Setyo Wibowo, “Kepublikan
danKeprivatan di dalam Polis Yunani Kuno”, Ruang
Publik: Melacak ‘Partisipasi Demokratis’ dari Polis sampai Cyberspace (Ed.
F. Budi Hardiman), Penerbit Kanisius: 2010, hlm. 23-61. Artikel ini menggunakan
sumber utama buku karya Claude Orrieux dan Pauline Schmitt Pantel, Histoire
grecque, Paris: PUF. 2002, hlm. 46-174
Jean-Francois
Kervegan, “Democratie” dalam Dictionnaire
de philosophie politique (sous la direction de Philippe Raynaud et Stephane
Rials), Paris: PUF, 1996, hlm.127-133
Jacqueline
de Romily, Problemes de la democratie
grecque, Paris: Herman-Agora, 1975.
Ivan
Gobry, Le vocabulaire grec de la philosophie, Paris: Ellipses, 2000
Sumber:
Mahalnya Biara Demokrasi: MajalahTempo,
29 April-5 Mei 2013, hlm.48-49, dan Majalah
Tempo, 6-12 Mei 2013, hlm.34-35. Suara
Pembaruan, Jumat 17 Mei 2013, hlm.5, “Demokrasi Menuju Bunuh Diri: Perilaku
Politisi Jauh dari Etika Politik”
Sumber:
Majalah Basis Nomor 03-14 Tahun ke-63, 2014, hlm. 36-39