Search This Blog

Wednesday, December 28, 2016

KATOLIK DAN POLITIK (Satu Diskursus)


Armada Riyanto CM, dosen STFT Widya Sasana Malang, Jawa Timur


TERBEBANI SEJARAH?



Gereja Katolik, khususnya Gereja Katolik Indonesia, sering berada dalam disposisi “ragu” melakukan eksplorasi kedalaman sejarah politiknya.

Secara umum disposisi itu disebabkan oleh pemahaman yang kurang menyeluruh atas pengalaman historis relasi Katolik dan politik. Ada semacam rasa “terbebani sejarah”.

Jika sebelum Konstantinus menang perang karena simbol “IHS” (yang merupakan singkatan simbolik dari “In Hoc Signo Vinces” atau “dalam tanda ini engkau akan menang) sejarah kekatolikan dihiasi oleh rupa-rupa pengalaman heroik, indah untuk dikenang dan diteladani, yaitu kemartiran; maka, setelah Konstantinus, orang Katolik kerap lebih suka “melupakan” sejarahnya karena penuh dengan kekacauan peradaban keterpautan antara kekuasaan politis dan kekuasaan rohani. Apalagi, label sejarah kekacauan tumpang tindih kekuasaan rohani dan profan itu disebut Cesaropapisme, yang merupakan terminologi peyoratif dari gandengan Cesar dan Paus.

Pengalaman historis yang kurang menarik untuk diingat (paling sedikit oleh publik pembaca Indonesia) adalah perang salib. Secara sederhana perang salib bukanlah peristiwa yang diterima sebagai sebuah momen kepahlawanan melainkan sebagai sebuah “nasib sejarah” yang hingga sekarang tidak hentinya menjadi keprihatinan. Halnya juga menjadi sebuah keniscayaan, karena kita hidup bersama dengan saudara-saudari umat Muslim yang juga memandang bahwa perang salib merupakan sebuah “nasib sejarah”.

Sejarah Abad Pertengahan Eropa yang dipandang sebagai periode keemasan dari sejarah kekatolikan pun lebih diingat sebagai momen inkuisisi, di mana kekuasaan Gereja tampak banal (jika disimak dari kacamata modern). Inkuisisi merupakan pengadilan Gereja atas heresi atau kesesatan iman yang berujung kepada hukuman (sebagian besar dengan pembakaran) kepada para pelakunya. Diantaranya, yang bisa kita sebut, Bruno, yang dibakar di Campo dei Fiori (lapangan bunga), di Roma.

Jika kita menyimak konteks dekat, sejarah kekristenan Indonesia, di situ pun kita mengalami semacam perasaan “inferior” atau disposisi “penyesalan” historis. Betapa tidak, identifikasi bahwa kekristenan sama dengan “agama penjajah” toh di sana sini tetap kental juga. Sadar atau tidak, stigma bahwa kekatolikan gandeng dengan penjajahan tetap menjadi semacam “luka” yang tak kunjung sembuh dalam disposisi hati kita.

Logika sejarah seperti di atas sesungguhnya merupakan sebuah perspektif logika yang kurang tepat. Letak kekurang-tepatannya pada cara pandang bahwa sejarah pertama-tama adalah sebuah ingatan. Dan, ingatan paling mudah adalah ingatan akan peristiwa yang spektakuler. Betapa pun sebuah peristiwa bukan dominan, logika spektakuler menguasai hampir keseluruhan cara kita mengingat. Misalnya, orang Belanda (Katolik) lebih kita ingat sebagai penjajah. Tetapi, pernahkah kita menyadari bahwa Almarhum Romo van Lith adalah seorang Katolik yang diusulkan oleh K.H. Agoes Salim, seorang tokoh pergerakan nasional Muslim untuk menjadi anggota Volksraad? Atau, siapa yang mengingat bahwa salah satu rapat-rapat penting yang menghasilkan Sumpah Pemuda dijalankan di gedung pemuda Katolik (Katholieke Jongelingen Bond) di Waterlooplein (Jl. Lapangan Banteng) tanggal 27 Oktober 2008? Detil-detil yang mengindikasikan panorama aktivitas masa lampau dari partisipasi orang-orang Katolik dalam politik kerap terkubur, dan yang tampak adalah nisan-nisan emblem kegetiran historis bahwa kekatolikan gandeng dengan penjajahan.

Jarak waktu yang sangat besar dalam sejarah sebenarnya bukan hanya mengatakan “kelampauan” tetapi juga jurang perspektif. Artinya, ingatan kita akan sejarah sesungguhnya juga sekaligus mengatakan “pengadilan historis dengan perspektif sendiri” (historical judgment). Kita tidak pernah bisa mengingat peristiwa masa lampau sebagai sebuah peristiwa otonom, melainkan sebagai sebuah peristiwa yang sudah kita nilai, adili, eksplorasi. Akibatnya, dalam sejarah, peristiwanya sendiri lenyap, yang tinggal adalah penilaian kita. Halnya menjadi kurang adequate ketika penilaian itu diajukan untuk sebuah kepentingan modern, kepentingan kita saat ini.

Ketika Kaisar Konstantinus menjadi kristen dan secara perlahan kemudian juga seluruh Eropa mengimani Kristus perlulah ditempatkan pada keseluruhan sejarah manusia. Sejarah manusia adalah sejarah kekuasaan. Di mana pun di planet ini, ketika hadir kekuasaan di situlah sejarah dipatrikan. Sebuah suku yang sangat kecil dengan tradisi yang sangat kaya, ketika suku itu “menguasai” suku-suku lain, pastilah ditorehkan dalam sejarah. Dan, lupakan suku-suku lain yang tidak berkuasa, meskipun suku itu mungkin sangat besar.

Logika semacam ini juga memungkinkan sebuah panorama sejarah Gereja Katolik di era sesudah Konstantinus, kala Abad Pertengahan, dan periode-periode yang lebih modern.

Cesaropapisme menjadi emblem masa lalu. Tetapi, yang pasti jelas tidak hanya itu. Ketika kekuasaan profan gandeng dengan kekuasaan Gereja, sesungguhnya halnya memiliki pula perspektif yang baru. Gereja sebagai representasi kekuasaan rohani menyucikan kekuasaan dunia. Santo Agustinus, Uskup dari Hipo, menulis buku De Civitate Dei, yang langsung memaksudkan upaya teologi bahwa kekuasaan dunia harus tunduk dalam tata rohani sebagaimana dalam ekonomi keselamatan Tuhan. Jadi keterkaitan kekatolikan dan kekuasaan memang diakarkan juga pada pemahaman bahwa tata dunia ini perlu menghadirkan tata keselamatan.

Perang Salib adalah peristiwa sejarah yang sepenuhnya milik masa lampau. Dalam Perang Salib, yang paling pokok bukanlah perkara menang atau kalah, tetapi “roh” yang menjadi peristiwanya. Judgment kita akan Perang Salib pertama-tama berada dalam koridor bahwa sejarah agama-agama sebenarnya adalah sejarah kekuasaan manusia-manusia. Dan, logika kekuasaan adalah logika dominasi. Klaim-klaim kepemilikan atas Yerusalem tidak semata bertumpu pada doktrin agamis tetapi pada “roh”-nya manusia-manusia yang satu sama lain bertengkar dan saling menguasai. Bagaimana dengan inkuisisi? Inkuisisi tidak lain adalah perkara penting yang berkaitan langsung dengan pembelaan kemurnian iman. Sebuah pembelaan yang memiliki konteks zaman tertentu, di mana peradaban manusia tunduk pada peradaban ortodoksi ajaran agama.

Terbebani oleh sejarah sebagai “agama penjajah?” Sebenarnya, konsep yang tepat tentang agama-agama adalah ketika agama “berdatangan” ke Indonesia, masing-masing memiliki sejarah “hitam”-nya sendiri-sendiri yang khas. Tak terkecualikan agama paling awal datang ke Indonesia, seperti Hindu dan Budha. Apalagi Islam (simak pidato Atmodarminto dalam sidang Konstituante tahun 1957, tatkala pembahasan tentang Dasar Negara “Islam” yang hendak dikenakan oleh para eksponen-eksponen politis Muslim ketika itu). Sejarah kehadiran Islam di Indonesia pun gandeng dengan peristiwa-peristiwa perang dan penaklukan. Lihatlah Majapahit yang dihancurkan oleh Islam Demak (Pajang). Bukan hanya kekuasaan aktual kerajaan Majapahit, melainkan seluruh peradaban Hindu dihancurkan. Naskah-naskah Jawa kuna selamat hanya karena beberapa dari mereka dapat lari ke Bali atau Tengger. Dan, tentu saja juga kekristenan di Indonesia. Konsep historisitas kekatolikan sebagai agama penjajah semata lebih dipondasikan pada sebuah rivalitas ideologis yang terus dikibas-kibaskan. Repotnya, orang Katolik sendiri berada dalam “kurungan inferioritas” semacam ini. Semacam memiliki pengalaman “rendah diri” atau “kurang yakin” bahwa kiprahnya nanti kelak akan diterima masyarakat.

Seyogyanya konsep tentang “agama penjajah” tidak menjadi sebuah keniscayaan, sebab sejarah agama-agama adalah sejarah manusia-manusia yang memiliki konstelasi kekuasaan dengan logika tunggal, ekspansif. Ekspansi senantiasa memiliki indikasi negatif. Sebab, ekspansi merupakan ekspresi dari penolakan eksistensi kelompok lain demi kepentingan eksistensi sendiri. Demikianlah logika semacam ini juga dimiliki oleh semua agama yang ada! Islam pun, yang kerap dideklarasikan sebagai agama damai, memiliki segala peristiwa dan jejak-jejak historis tinta hitam baik dalam sejarah perkembangannya di dunia maupun juga di Indonesia (khususnya di Jawa). Tetapi, lagi-lagi, cara pandang terhadap agama sebagai sebuah peristiwa kekacauan dalam sejarah sering kali hanya untuk memenuhi sedikit kepuasan kita saja. Hal yang jelas tidak fair.

Kekatolikan tidak sama dan tidak gandeng dengan logika kolonialisme di masa lampau. Kekatolikan merupakan sebuah bentuk transendensi diri untuk menghadirkan Kerajaan Allah dalam hidup manusia di dunia sehari-hari kita. Dan, itulah sebabnya, kekatolikan merapatkan diri pada pelabuhan tata hidup bersama. Dengan kata lain, Katolik dan politik tidak saling tabrakan, melainkan justrus konvergen. Kekatolikan menjadi pondasi pembangunan manusia secara menyeluruh dalam martabatnya.

Ketika politik mengejar “kebaikan tertinggi” (kebaikan umum bagi seluruh warganya), menurut Aristoteles, Katolik menghadirkan sang “Kebaikan Tertinggi” dalam hidup persekutuan umatnya, Gereja. Artinya, ketika politik berada dalam ranah tata dunia, Katolik mewartakan tata baru, tata keselamatan. Ekonomi kehidupan dan ekonomi penebusan tidak dipisah-pisahkan. Itulah sebabnya Katolik dan politik tidak bertentangan. Etika politik dan etika Katolik bukan dua hal yang saling bertumbukan, melainkan dua perspektif yang menghadirkan keselarasan. Keselarasan societas.



***



HUKUM



Terminologi hukum. Hukum dalam bahasa Latin, Lex. Refleksi terminologi mengalir dari bahasa Latin ini. Lex berasal dari (1) ligare: mengikat, dan (2) legere: menghimpun, membaca. Mana yang lebih tepat dari keduanya, bukan soal. Hukum adalah itu yang mengikat, namun sekaligus merupakan itu yang kita baca sebagai aneka peraturan yg dihimpun bersama sebagai sebuah kesatuan.

Apakah hukum? Hukum adalah soal perintah dan larangan. Berikut ini adalah pengertian hukum (positif) yang digagas oleh Santo Thomas Aquinas. Hukum positif artinya hukum yang diletakkan/diberlakukan dalam masyarakat. Disebut positif bukan untuk mengatakan lawan negatif. Positif memaksudkan yang diberlakukan / diletakkan (dari ponere-posui-positus: meletakkan). Hukum positif juga disebut hukum sipil. Aquinas menggagas hukum (yang adalah soal perintah dan larangan) sebagai:

1. Ordo rationis atau ordinance of reason (tatanan akal budi). Yang dimaksud dengan akal budi, oleh Aquinas, ialah recta ratio atau right reason. Manusia sejauh manusia memiliki akal budi sehat, artinya memiliki segala apa yang perlu untuk berpikir dan menghendaki yang benar bagi dirinya (kesadaran bahwa dirinya adalah citra Allah) dan bagi sesamanya yang lain (kesadaran akan kodrat sosialitasnya). Dari sebab itu, akal budi yang benar akan selalu mengantar manusia kepada Allahnya. Hukum itu soal akal budi, apa artinya? Artinya, daya ikat/wajib dari hukum didasarkan pada kebenaran sejauh akal budi manusia dapat memikirkannya. Konsekuensinya? Tidak setiap peraturan hukum yang diperintahkan/diberlakukan mengikat/mewajibkan (secara moral); hanya perintah/ larangan yang lolos dari verifikasi akal budi saja yang memiliki daya ikat. Misalnya, perintah untuk membunuh orang Yahudi pada waktu jaman Nazi Hitler, dalam jalan pikiran Aquinas, jelas tidak memiliki daya ikat apa pun (artinya, apabila dilanggar, orang tidak melakukan kesalahan/pelanggaran moral apa pun; bahwa dia akan dihukum oleh pemerintah Nazi Jerman, itu soal lain). Perintah untuk membunuh orang Yahudi itu jelas tidak masuk akal. Dalam hidup sehari-hari ada banyak perkara yang di-hukum-kan, tetapi tidak semua mengatakan kewajiban yang harus ditaati.

2. Tatanan akal budi ini dimaksudkan untuk mengejar bonum commune (atau the common good) – kesejahteraan umum. Aquinas mengatakan elemen kodrat hukum yang lain, yaitu bahwa hukum memiliki target untuk mengejar kesejahteraan umum. Hukum tak pernah untuk kepentingan pribadi atau penguasa atau golongan (beberapa orang), melainkan untuk kesejahteraan umum. Doktor Angelicum, Aquinas ini, menggagas finis operis hukum untuk kesejahteraan seluruh komunitas. Peraturan tidak pernah untuk peraturan. Peraturan itu untuk manusia. Peraturan harus menjadikan manusia baik, damai, sejahtera.

3. Sumber dari tatanan akal budi ini berasal dari instansi/pribadi yang bertindak sebagai penanggung jawab atas kesejahteraan umum. Dari mana hukum diasalkan? Dari sendirinya dari sang penguasa, atau – dalam perumusan Aquinas – dari dia yang bertanggung jawab atas kesejahteraan umum seluruh komunitas. Thomas Aquinas belum mengenal pembagian kekuasaan yang secara praktis membedakan antara pembuat hukum, pelaksana hukum, dan instansi yang mengadili kesalahan hukum. Tetapi, apa pun namanya lembaga suatu pemerintahan, yang membuat undang-undang ialah pihak yang bertanggung jawab atas komunitas. Tidak setiap orang bisa bertindak sebagai pembuat hukum.

4. Sebagai hukum tatanan akal budi ini harus dipromulgasikan/diberlakukan. Bila mana hukum berlaku sebagai hukum? Bila hukum itu dipromulgasikan, diberlakukan oleh dia yang memegang tanggung jawab suatu pemerintahan. Jika belum dipromulgasikan, hukum hanyalah sebuah draft, rancangan, tulisan yang tidak memiliki daya ikat apa pun.

Gagasan Thomas Aquinas berbeda dengan Thomas Hobbes. Jika Aquinas menggagas hukum sebagai produk dari akal budi (hukum: ordinance of reason), bagi Hobbes hukum adalah kehendak sang penguasa (the will of the sovereign). Hobbes mengedepankan will (atau vountas/kehendak). Francesco Suarez juga mengedepankan voluntas dalam pemahaman tentang kodrat hukum[1].

***

RASA KEBANGSAAN 1928[2]



Saat bangsa Indonesia bergulat dengan “rasa kebangsaan”, di sana para Pendiri Bangsa tidak digerakkan oleh mimpi bersama. Mereka tidak lelap oleh ketertindasan. Dan, para pemuda dari segala suku, golongan, agama dan latar belakang pendidikan bahu-membahu mendefinisikan apa artinya “menjadi sebuah bangsa.”

Ketika itu belum ada revolusi fisik. Tetapi, pada tahun 1928 telah secara nyata hadir sebuah kesadaran revolusioner, namanya: “cita rasa sebagai bangsa”. Rasa kebangsaan pertama-tama adalah energi kebersatuan yang memungkinkan ledakan “big bang” yang melahirkan negara baru, Indonesia.

Jauh dari romantisme hingar bingar sebuah ritual upacara, peristiwa “Sumpah Pemuda” 28 Oktober 1928 sesungguhnya merupakan penutupan Konggres Pemuda Indonesia yang kedua.

Dari sudut isi kegemilangan isi “Sumpah Pemuda” juga tidak memaksudkan makna sumpah sebagaimana kita mengerti saat ini. Yang dimaksud “Sumpah Pemuda” adalah tekad hati para pemuda di akhir Konggres. Dalam tekad itu ditegaskan kebersatuan sebagai sebuah bangsa untuk menatap masa depan yang lebih cemerlang.

Sebagai sebuah Konggres, pertemuan itu memiliki acara cukup padat. Konon diantaranya terdapat pula sambutan tertulis dari Soekarno dan Tan Malaka.

Ada tiga kali sidang utama yang dilakukan di gedung yang berbeda-beda. Ketiga gedung itu konon sudah sering dipakai untuk kepentingan pertemuan kaum muda. Sidang pertama (Sabtu malam, 27 Oktober) berlangsung di Gedung Pemuda Katolik (Katholieke Jongelingen Bond) di Waterlooplein (Jl. Lapangan Banteng), sidang kedua (Minggu pagi, 28 Oktober) di gedung bioskop “Oost Java” di Koningsplein Noord (Medan Merdeka Utara), dan sidang ketiga (Minggu malam, 28 Oktober) di Gedung Klub Indonesia (Indonesissche Clubgebouw) di Kramat, jalan Kramat Raya 106 (Lih. Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, Jakarta: Kompas, 2006, 695).

Tetapi, yang sesungguhnya terjadi peristiwa 26-28 Oktober 1928 (Konggres pemuda Indonesia II) bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri seolah-olah tidak mengandaikan konteks dan keterkaitan dengan pergumulan sebelumnya.

Konggres kedua tersebut lahir sebagai kelanjutan dari yang pertama dengan maksud tunggal, yaitu agar organisasi-organisasi kepemudaan dapat berikhtiar untuk menggalang persatuan yang lebih kokoh. Desakan untuk bersatu dipicu oleh keputusan pemerintah kolonial yang membuang dr. Tjipto Mangoenkoesoemo ke Banda Neira. Sebelum berangkat ke pembuangan, dr Tjipto berkirim surat ke Soekarno agar bertekun untuk berkorban, berkorban, dan berkorban bagi kemerdekaan Indonesia.

Soekarno menindaklanjuti pesan dr. Tjipto tersebut dengan melakukan perundingan bersama pimpinan organisasi-organisasi pemuda lain di Bandung Desember 1927. Perundingan dijalankan sedemikian rupa sehingga terbentuk Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang merupakan federasi dari PSI, PNI, BO, Pasoendan, Soematranen Bond, Kaoem Betawi, dll.

Semangat dan kehendak untuk bersatu ini semakin menemukan motivasinya setelah mereka juga mendengar kabar bahwa para pemimpin Indonesia di Nederland telah dibebaskan dari dakwaan di pengadilan.

Tanggal 23 September 1927 empat pemimpin Pemuda Indonesia di Nederland ditangkap dan diajukan ke pengadilan. Mereka adalah Mohammad Hatta, Nazir Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdoel Madjid Djojoadiningrat. Tetapi tanggal 22 Maret 1928 pengadilan di Den Haag membebaskan keempat pemimpin Pemuda Indonesia ini.

Serangkaian peristiwa ini mendorong beberapa pemimpin Pemuda Indonesia mengadakan rapat-rapat di bulan Juni untuk menyelenggarakan Konggres Pemuda Indonesia II dengan maksud tunggal melakukan negosiasi untuk melahirkan persatuan yang lebih solid dari para pejuang muda. Terbentuklah susunan panitia: Soegondo Djojopoespito (ketua), Djoko Marsaid (wakil ketua, Jong-Java), sekretaris M. Yamin (Jong-Sumateranen Bond), bendahara Amir Sjarifuddin (Jong-Batak) dan kelima anggota: Djohan M. Tjai (Jong-Islamieten Bond), Katjasoengkono (Pemuda Indonesia), Senduk (Jong-Celebes), J. Leimena (Jong-Ambon), dan Rohjani (Pemoeda Betawi).

Tanggal 26-28 ternyata menjadi sebuah pertemuan akbar, di mana pada waktu itu hadir sejumlah lebih dari 750 peserta. Uniknya, peserta yang hadir tidak hanya dari putera-putera pribumi melainkan juga dari peranakan Cina dan bahkan dari Belanda.

Sidang pertama di gedung Pemuda Katolik membahas tema seputar persatuan Indonesia. Pada waktu itu, diperdengarkan pidato M. Yamin yang berjudul, “Persatoean dan Kebangsaan Indonesia”. Tema ini diulas cukup panjang sebagai sebuah keniscayaan sejarah yang perlu dihidupkan kembali. Pidato Yamin konon mendapat tanggapan positif dari peserta, di antaranya Kartosuwiryo sangat mendukung pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia.

Sidang kedua mengambil logika kelanjutannya, yaitu bagaimana “kebangsaan” Indonesia diwujudkan secara nyata dalam pendidikan anak bangsa. Ki Hadjar Dewantara tidak bisa hadir. Rekannya, Sarmidi Mangoensarkoro menguraikan tentang visi dan teknik-teknik pendidikan untuk anak-anak bumi-putera.

Sidang ketiga mengurai tentang tema seputar patriotisme yang mengatasi suku, agama dan ras serta ideologi. Susunan pembicara pun beragam: Ramelan yang beragama Islam dari Kepanduan Sarekat Islam, Theo Pangemanan yang beragama Kristen dari Kepanduan Nasional, dan Mr. Sunarjo sebagai ketua Persaudaraan Antarpandoe Indonesia.

Kemudian, Wage Rudolf Supratman, seorang Kristen memperkenalkan lagu ciptaannya tanpa lirik dengan instrumen biola yang disertai pula oleh Dolly Salim (Puteri Haji Agoes Salim) yang memainkan piano. Suasana ketika itu larut dalam alunan lagu indah yang kelak menjadi lagu kebangsaan Indonesia.

Konggres II Pemuda Indonesia Oktober 1928 ini sebenarnya dapat disebut “kurang berhasil” karena tidak mencapai “kesepakatan politik”, mengingat sebelum konggres direncanakan pembentukan sebuah organisasi persatuan pemuda. Yamin, misalnya, tidak pernah setuju peleburan organisasi-organisasi politik. Tetapi, ketika larut malam, Yamin menyodorkan secarik kertas kepada Soegondo, ketua Konggres, yang berisi sebuah “kebersatuan tekad hati” yang dipandang sebagai keputusan Konggres Pemuda II, yang kemudian dikenal dengan “Sumpah Pemuda”.

Kalimat introduktif sebelum rincian “Sumpah” tertulis: “Kerapatan pemoeda-pemoeda Indonesia jang diadakan oleh perkoempoelan perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan, dengan namanja: Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Batakbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan pelajar-pelajar Indonesia …” Introduksi ini mengawali tiga “Sumpah”, yaitu bertanah air satu Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia. Kalimat ini mengatakan sebuah entry point (pintu masuk) peradaban baru, yakni kedalaman rasa sebagai bangsa.

Perlu dicatat bahwa dalam Konggres Pemuda II tersebut hadir sejumlah pemuda keturunan Cina dari Jong-Soematranen Bond, diantaranya Kwee Thiam Hong (Daud Budiman), Ong KaySiang, John Liauw Tjoan, dan Tjio Jin Kwie. Dari Daud Budiman kita bisa menikmati kisahnya sebagaimana dituturkan kepada wartawan Siswadi dalam Kompas, Rabu 28 Oktober 1978.

Bagi seorang Gandhi kesadaran nasionalisme identik dengan humanisme. Ketika kelompok masyarakat menyebut diri sebagai “bangsa”, pada saat itu manusia menyatukan diri satu sama lain dengan sesamanya secara mendalam.

Gandhi menegaskan bahwa kebangsaan mengatakan makna kemanusiaan. Artinya, kebangsaan bukanlah sekedar sebuah perkara identitas kelompok yang didasarkan pada ras, tanah air, tradisi, budaya atau yang semacam itu. Kebangsaan adalah rasa kemanusiaan.

Para eksponen ideologi Nasionalisme Sosialisme Jerman semasa Perang Dunia II merinci pengertian perekat “bangsa” sebagai “Blut und Boden” (darah dan wilayah).

Ernst Renan (1823-1892) mengajukan pemikiran bahwa yang disebut bangsa sesungguhnya adalah sekelompok manusia yang merasa “seperasaan dan sepenanggungan”. Gagasan Renan menggarisbawahi prinsip solidaritas. Menurut Renan, bangsa terbentuk berdasarkan 1) ras atau suku, 2) bahasa, 3) agama, 4) kepentingan bersama, dan 5) wilayah.

Menurut Renan, bangsa adalah suatu jiwa, semangat, suatu kaidah kerohanian (un principe spirituel) yang timbul dari dua hal. Pertama, yang terjadi di masa lalu, berupa serangkaian kenangan bersama baik berupa kemuliaan maupun penderitaan. Kedua, yang timbul di masa kini, berupa kesepakatan, kehendak untuk hidup bersama, kemauan untuk melanjutkan dan memperbarui warisan bersama itu (le consentement actuel, le désir de vivre ensemble, la volonté de continuer a faire valoir l’héritage qu’on a reçu indivis).

Menurut Otto Bauer (1882-1938), bangsa merupakan kesatuan masyarakat yang punya watak sendiri, watak yang timbul dari persamaan nasib (aus Schicksalsgemeinschaft erwahsende Charaktergemeinschaft).

Manusia Indonesia menyadari diri sebagai “bangsa” terbilang masih baru. Aneka kerajaan yang menyebar di seantero Nusantara belum dapat disebut sebagai sebuah peradaban sebagai “bangsa” Indonesia. Ada cukup banyak kerajaan yang mendominasi sebagian besar wilayah Indonesia. Tetapi, sungguh pun demikian, kerajaan itu belum dapat disebut sebagai representasi “bangsa” Indonesia.

Kesadaran sebagai bangsa adalah kesadaran ketika satu sama lain menyatu. Dan, dasar kesatuannya “sudah” melampoi kecenderungan primordial. Aristoteles mengatakan bahwa manusia memiliki kodrat yang membuatnya “bersatu” dengan yang sesamanya. Kodrat itu adalah kecenderungan natural dirinya untuk bersatu dengan lawan jenis yang memungkinkan terbentuknya keluarga. Dari keluarga-keluarga lahirlah komunitas yang lebih besar. Dan, demikian selanjutnya terbentuklah masyarakat politik yang disebut “polis” (negara).

Dari makna Aristotelian kepada kesadaran bahwa negara ada untuk “membela dan melindungi hak-hak warganya” sebagaimana dikemukan oleh Robert Nozick. Identitas negara dengan demikian memiliki epistemologia pragmatis, negara ada untuk menegaskan perlindungan hak-hak. Jika hak-hak warga lenyap, eksistensi negara berakhir.

Indonesia tahun 1928 belumlah sebuah negara. Tetapi, kesadaran sebagai sebuah “bangsa” telah lahir secara sangat menyolok. Sebuah kesadaran yang mengatasi teritorial telah merasuk ke dalam jiwa para eksponen muda putera-puteri Indonesia.



***

EPISTEMOLOGIA UTILITARIANA

The episteme is the ‘apparatus’ which makes possible the separation, not of the true from the false, but of what may from what may not be characterised as scientific. – Michel Foucault

Konteks hidup manusia bukan konteks sempit. Dalam kesehariannya manusia selalu menghayati kebersamaan dengan sesamanya, dunianya, dan bahkan relasi dengan Tuhannya secara kaya.

Aristoteles adalah pioner yang menyebut bahwa manusia memiliki kodrat mengejar kebenaran. Manusia bukan makhluk yang tuntas. Melainkan, menggapai kesejatiannya.

Dalam menggapai pengetahuan, budi berperkara dalam wilayah benar salah. Aristoteles menjelaskan, benar berarti korespondensi dengan realitas; salah memaksudkan diskrepansi terhadap realitas. Ranah perkara ini disebut epistemologia.

Dalam epistemologia, benar salah berbeda dengan perkara etis baik jahat. Artinya, salah tidak identik dengan jahat, begitu juga yang benar tidak dari sendirinya mengatakan yang baik.

Dalam filsafat Michel Foucault, salah benar tidak memiliki jurang separasi seperti dalam hidup sehari-hari. Sebab salah benar memiliki persepsi sudut pandang scientific. Dan, scientific adalah paradigma (bukan ketentuan legal atau etis!), kata Thomas Kuhn.

Salah benar ada dalam wilayah pengetahuan budi, bukan wilayah konkret hidup sehari-hari. Artinya, orang yang mungkin memiliki pengetahuan salah (menurut salah satu persepsi) dapat pula menghadirkan hidup sehari-hari yang baik, ramah, membantu banyak orang yang kesusahan, bahkan menampilkan hidup yang virtuous. Dan kebalikannya, orang yang memeluk pengetahuan benar belum tentu hidupnya baik dan suci.

Demikianlah. Akhir-akhir ini, bangsa kita memeras energi membolak-balik lembaran epistemologis yang kacau berkaitan dengan eksistensi komunitas-komunitas kecil, seperti Ahmadiyah. Disimpulkan oleh Bakor Pakem, Ahmadiyah telah memiliki pengetahuan doktrinal agama yang salah atau sesat.

Walaupun perkara “pengetahuan agamis yang salah atau sesat” ini berada dalam ranah epistemologis, pemerintah telah menerbitkan SKB tiga menteri yang memiliki segala konsekuensi delik-delik sanksi legal konkret yang berakibat pada penahanan penjara, pembubaran rumah ibadat, pelarangan beribadah, dan bahkan pengusiran.

Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI, menulis bahwa bangsa ini memiliki sejarah berkaitan dengan tokoh-tokoh Ahmadiyah yang berperan dalam perjuangan Indonesia sejak sebelum kemerdekaannya. Di antaranya: Raden Ngabehi HM. Djojosoegito (tokoh Muhammadiyah) dan Wahab Chasballah, keduanya saudara sepupu dari Hasyim Asy’ari (pendiri NU), kemudian juga Erfan Dahlan, putera dari H. Achmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang kemudian menyebarkan Ahmadiyah di Thailand (Jawa Pos, 24 April 2008, 4).

Dari perspektif ortodoksi iman, Ahmadiyah mungkin pantas dipersoalkan sebagaimana juga banyak kelompok lain dalam agama apa saja. Tetapi, jika perkara “pengetahuan doktrin yang salah” semacam ini diambil alih oleh penguasa dan dijebloskan dalam ranah hukum, terjadi kerancuan yang sangat berbahaya dan bahkan dapat secara mudah menggiring kehidupan bersama kepada diskriminasi dan ketidakadilan.

Jika disimak dengan teliti, kebebasan agama di Indonesia selalu memiliki sejarah ketidak-konsistenan. Konstitusi 1945 jelas-jelas meratifikasi kebebasan beragama. Tetapi dalam kenyataannya beragama di Indonesia tidak sungguh-sungguh bebas. Indonesia tidak memiliki ruang untuk mereka yang karena kesulitan aktual tidak atau belum memeluk agama. Dan, bahkan ketika beragama pun, orang harus memilih salah satu dari agama yang disediakan (dan karenanya orang tidak bebas lagi). Pada poin ini, terjadi diskrepansi antara apa yang legal tertulis dalam Konstitusi dan apa yang secara konkret dipraktekkan dalam hidup sehari-hari.

Kini, dengan SKB tiga menteri, memeluk agama salah satu pun tidak cukup, melainkan harus memeluknya dalam doktrin agamis yang benar (menurut salah satu persepsi)! Di luar itu, aktivitas beribadahnya dipandang sebagai tindak kriminal melawan hukum. Mengapa terbit SKB? Yang sering dikatakan, ajaran Ahmadiyah meresahkan. Bukankah eksistensi Ahmadiyah sudah hampir satu abad usianya di Indonesia?!

Tetapi, soal yang sangat runyam: siapakah pemerintah? Apakah pemerintah juga dapat memiliki segala kewenangan untuk memvonis mana ajaran, kitab suci, ritus, ritual upacara, cara menyanyi atau beribadat dalam suatu agama yang benar dan salah?

Prinsip utilitarian, yang memproklamasikan greatest happines to the greatest number of people telah diaplikasikan secara banal dalam ranah epistemologia agamis. Demi kenyamanan banyak orang, yang kecil jumlahnya itu (the small) layak dibubarkan. Manusia lantas dihukum, ditindas, dipenjarakan semata-mata karena tidak menjadi bagian dari kebanyakan. Dia divonis salah (baca: guilty) secara legal, bukan karena perbuatan dan hidupnya yang jahat, melainkan karena eksistensinya sebagai demikian!

Utilitarianisme, salah satu musuh hebat prinsip keadilan manusiawi, telah mulai berhembus di rumah kita. Demi kelegaan the greatest number, kita semua telah dan sedang mengingkari hati nurani sendiri dengan bersikap tidak adil kepada the small.

Kebenaran bukanlah hak paten dari satu persepsi. Sebab kebenaran tidak sekedar perumusan teori tentang Allah, Wahyu, manusia, alam, dosa, Kitab Suci, nabi, cara berdoa dan seterusnya. Kebenaran agama menyentuh pula praksis, pengalaman personal, kesaksian hidup, perwujudan cinta. Dengan ini sesungguhnya tidak ada alasan untuk menekankan eksklusivisme kebenaran agama. Apalagi, menggusur the small karena keyakinannya.

The small juga adalah warganegara yang baik yang telah menampilkan partisipasi kreatif perjuangan bangsa ini secara keseluruhan. Di saat-saat untung dan malang. Maka, solidaritas dan keadilan juga untuk the small, mengapa tidak?!

***




[1] Concerning the definition of law Hobbes and Thomas Aquinas differ. Hobbes’s supremacy of “the will of the sovereign” is essentially distinct from Aquinas’s nature of law as an “ordinance of reason”. Aquinas defines law as “an ordinance of reason for the common good, made by him who has care of the community, and promulgated by him who has the care of the community” (ST I-II, 90, 4). He notes that it is by our reason that we grasp the connection between our decisions and the end at which we are aiming. This note is typically Aristotelian. It refers to the beginning of the Nicomachean Ethics. The ordinance of which Aquinas speaks is the establishment of an order. By establishment of an order he means order between the subjects of the law and the ends that are to be achieved. For instance, the law of military service “orders” the citizens in relation to the defence of their country. Such an ordinance is made in view of the common good. Differing from Hobbes, Aquinas contends that the common good distinguishes a law from a particular command that is imposed on an individual. A law, of its very nature, is addressed to the community. But like Hobbes, Aquinas says that the source of this ordinance has to be the person who has charge of the community. The task of planning for the end to be achieved always belongs to the person who is primarily responsible for seeing that this end is achieved. Moreover, someone who is not in authority, since he lacks the power to impose sanctions, is incapable of effectively leading others to attain the common good of the community. Finally, this ordinance has to be promulgated. A rule is ineffective unless applied to what it is intended to regulate. The effects of the law, as St. Thomas Aquinas writes, are “to command, to forbid, to permit, to punish” and, in consequence, to help make people good (ST. I-II, 92, 1). Hobbes, on his part, says that “the end of making laws is no other but such restraint, without which there cannot possibly be any peace. And law was brought into the world for nothing else but to limit the natural liberty of particular men, in such manner as they might not hurt, but assist one another, and join together against a common enemy” (Leviathan, xxvi, 8). The theory of law of Hobbes may be closer to Suarez’s theory than to that of Aquinas. Suarez’s definition of law is often contrasted with the Thomistic notion of law. Suarez defines law as “a just, stable and sufficiently promulgated precept which is binding on all” (Suarez, de legibus, Ic, 14). This definition is similar enough to that of Aquinas with, however, the added condition of stability. But, for Suarez, concerning the source of the law he contends that a law originates in the legislator’s will. For, with his just and upright act of his will, the legislator decides to oblige the subjects to act in this or that particular way. In Suarez’s view, the decision of the legislator is far from being arbitrary and irrational. His decision has to be “just and upright”, that is, regulated by reason. In Suarez, as in Aquinas, a law which is not in conformity with reason is no law. In Christian philosophy, the Thomistic and Suarezian notions represent two different and typical ways of regarding law. According to St. Thomas, the legislator’s intelligence animates and channels the movement of his will towards the end which he intends. According to Suarez, the legislator’s will singles out the different possible ordinances grasped intellectually. In the former approach, greater emphasis is placed on the objective requirements of the situation (i.e., reason) while, in the latter, the emphasis is on the legislator’s preference with regard to these requirements (i.e., will). Whereas the Thomistic approach represents a more rationalistic notion of law, the Suarezian notion offers a more voluntaristic one.


[2] Perluasan beberapa ide dari yang diterbitkan oleh KOMPAS, 27 Oktober 2008.

Sunday, June 08, 2014

Asal-Usul Demokrasi di Yunani


Oleh A. Setyo Wibowo

Munculnya demokrasi di Yunani ditengarai bersamaan dengan munculnya polis,  kira-kira pada abad ke-8 SM. Rekonstruksi yang dibuat juga tidak bisa begitu persis karena diperkirakan ada semacam evolusi peradaban yang pelan-pelan beranjak dari sistem tiranik ke demokratis

Andai dituntut suatu teori yang mungkin dapat menggambarkannya, barangkali “revolusi politik” bisa menjadi hipotesis yang menggambarkannya munculnya kesadaran yang demokratis di antara warga negara yang setara. Itu pun bukan demokrasi dalam arti moderen yang didasarkan pada ide tentang kesamaan kodrat manusia. Demokrasi Athena bersifat ekslusif, hanya untuk mereka yang menjadi warga negara, sementara mayoritas populasi yang bukan warga negara  harus tunduk pada demos. Sisa-sisa tradisi aristokratis dan oligarkis pun tidak pernah hilang begitu saja dalam praktek demokrasi di Athena.

Setiap warga negara Athena adalah sekaligus idiotes (individu) dan polites (warga polis). Ia memeiliki urusan polis yang cukup menyita waktunya. Ia harus mengikuti pertemuan di Ekklesia secara reguler dan kalau terpilih menjadi anggota DewanLimaratus, ia juga harus sepanjang hari bekerja di Dewan yang siang malam memikirkan masalah-malasalah polis. Warga negara tidak hanya menjalankan kekuasaan legislatif dan eksekutif, terkadang  mereka juga harus menjadi juri dalam sidang-sidang pengadilan yang digelar. Demikian pula untuk urusan agama, para warga, para warga negara juga bisa terpilih untuk melalui undian untuk memimpin upacara-upacara keagamaan polis. Agama bukanlah urusan privat. Agama adalah urusan polis. Belum lagi kewajiban mempertahankan kota, yang menuntut mereka ikut bertempur dengan biaya sendiri.

Sekali lagi, yang dinamakan demos hanyalah sebagian kecil dari populasi polis Athena. Lagi pula, di antara para warga negara setara itu praktis yang bisa sungguh-sungguh berpolitik adalah mereka-mereka yang secara ekonomis cukup mapan sehingga mampu meluangkan waktu untuk ke Agora. Orang bisa berpolitik sepenuhnya karena urusan perut sudah tertangani dengan baik. Namun di Athena agak rumit, karena banyak orang miskin di polis  ini. Akibatnya, kesediaan hadir para warga di Ekklesia tidak selalu murni karena mau berpolitik, melainkan sekadar mencari biaya tambahan, misthos.

Jadi, kalau kita mau berandai-andai dengan teori modern yang membedakan ruang privat dan publik, kita bisa belajar bahwa aktivitas politik yang ditandai oleh isogonia, isonomia, isokratia dan isegoria  di mana warga setara berdiskusi secara bebas memutuskan kepentingan bersama hanya dimungkinkan apabila urusan ekonomis yaitu kebutuhan niscaya pangan, sandang, dan papan telah tercukupi.

Di soal ini kita berhadapan dengan dua ironi. Di satu sisi, kemapanan ekonomis para warga negara kaya di polis umumnya adalah berkat pekerjaan mayoritas penduduk yang tidak dianggap warga negara, yaitu wanita dan para budak. Beresnya urusan ekonomi dan kebutuhan sehari-hari kaum “equals” adalah berkat hadirnya kaum “unequals”. Kesadaran modern kita dengan ironis melihat bahwa kebebasan politik sebagian kecil manusia yang hidup di polis, yang disebut warga negara mensyaratkan adanya wanita, budak, orang asing, dan anak-anak yang jumlahnya justru mayoritas dalam polis.

Di sisi lain, dalam soal kemapanan ekonomi ini, ternyata di Athena pun tidak banyak warga negara yang sungguh-sungguh bisa berpolitik. Bagi warga negara yang miskin misalnya kaum zeguites dan thetes, aktivitas politik justru dijadikan ladang mata pencaharian untuk hidup. Agora yang semula diidealkan sebagai pasar sirkulasi bebas ide-ide berubah menjadi pasar tempat mencari uang. Rasanya problem ini  juga aktual di negeri kita. Pada mulanya orang berpolitik mungkin karena butuh “second life”. Setelah tentara pensiun dari dinas militer atau seorang artis tidak laku lagi di layar kaca, mereka terjun ke dunia politik. Lama-kelamaan keserakahan akan harta membuat orang menikmati hidup berpolitik. Berkaca pada pengalaman Yunani, ada bahaya bahwa bila demokrasi menjadi sekedar mencari uang tanpa peduli hukum dan etika, kita sedang membunuh demokrasi kita sendiri (bdk. Suara Pembaruan, 17 Mei 2013, hlm.5, “Demokrasi Menuju Bunuh Diri: Perilaku Politik Jauh dari Etika Politik”).

Kritik atas demokrasi

Dalam sejarah demokrasi ide tentang otonomi pemerintahan oleh rakyat serta supremasi politik – dengan kuasa kata-katanya di Agora – menjadikan demokrasi Athena selalu dikenang. Salah satu ciri demokrasi di Athena adalah kedaulatan mutlak warga negara sebagaimana tampak dalam pertemuan di Majelis Umum atau Ekklesia. Keputusan-keputusan penting mengenai polis Athena dalam relasinya dengan polis lain, keuangan dan keagamaan yang menjadi bagian sangat penting dalam politik diambil secara langsung di Ekklesia. Kata demos yang awalnya berarti rakyat, berubah menjadi Majelis, dan akhirnya menjadi rejim pemerintahan. Meskipun begitu, kekuasaan warga negara yang berkumpul di Ekklesia juga terbatas! Batasnya adalah konstitusi yang disepakati bersama sebagai landasan keberadaan polis. Konstitusi ini muncul dari perkembangan sejarah politik Athena sehingga dianggap sangat penting.

Dalam demokrasi yang makin radikal, kekuasaan warga negara di Ekklesia akan kebablasan sehingga produk undang-undang yang di-voting justrumelawan konstitusi. Platon menunjukkan kritik tajamnya atas demagogi rakyat yang menjungkirbalikkan tatanan dengan munculnya dekrit-dekrit yangmelawan konstitusi. Inilah penyakit politik. Politik selalu cenderung memperbesar kekuasaannya sendiri melampauai apa yang semula menjadi batas arena permainannya. Kekuasaan politis rakyat berubah menjadi merajanya massa rakyat, otonomi warga negara menggelembung menjadikan mereka tiran-tiran kecil. Demokrasi mengandung paradoks. Sistem ini bila diradikalkan justru akan membawa masyarakat mundur ke jaman pra-demokrasi yaitu zaman ketika yang berkuasa bukuan hukum tetapi kekuatan otot khas hukum rimba.

Kemungkinan munculnya anarkisme disebabkan oleh ciri lain dari demokrasi yaitu kebebasan dan kesetaraan. Kebebasan berarti kemerdekaan warga negara secara yuridis dan politis. Dibandingkan dengan nasib para budak yang tergantung pada pemiliknya atau wanita dan anak-anak yang dianggap harta milik, warga negara yang bebas adalah manusia yang membuat hukum bagi dirinya sendiri sehingga bisa memilih jenis hidup yang ia kehendaki. Pada tingkat privat, ia bisa melakukan apapun yang dikehendaki. Namun pada tingkat di luar rumah, kebebasan ini menjadi bersifat politis, yaitu bebas untuk ikut memerintah dan bebas untuk diperintah. Mampu menunjukkan sebagai diri sebagai anggota warga yang baik maupun berpartisipasi aktif sebagai bagian pemerintahanadalah ciri seorang warga negara yang bebas.

Beberapa pemikirklasik mengkritik dengan keras premis utama demokrasi yang berbunyi, “kebebasan akan melahirkan anarki pada giilirannya menghancurkan komunitas politis”. Platon mengembangkan secara sistematis kritiknya terhadap demokrasi di The Republic. Demokrasi senyatanya hanya menjadi ajang kekuasaan para sofis (The Republic, VI 492b) yang  tidak bertanggung jawab dan hanya menyetir massa rakyat dengan “senang atau tidak senang”. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang karut-marut, bebas kebablasan, di mana kelas-kelas sosial saling bertempur tanpa henti (bdk. The Republic, VIII 555b-558c). Saat tidak mau lagi menerima aturan atau paksaan apa pun dalam hidupnya (The Republic VIII 561d), manusia demokratis yang hanya mencari apa yang menyenangkan bagi dirinya sendiri akan jatuh ke dalam kebebasan yang kebablasan yang tidak lain adalah perbudakan tanpa batas (The Republic 564a; Letter VIII 354d; The Laws III 699e).

Prinsip kebebasan berarti ketika setiap warga bebas dan tidak tunduk pada kesewenang-wenangan warga lain. Supaya hidup bersama dimungkinkan, hukum menjadi jaminan untuk kebebasan setiap warga; di satu sisi kebebasannya dijaga, di sisi lain ia dilindungi dari kesewenangan orang lain. Masalahnya, karena terbiasa dilindungi dari kekerasan warga lain, seseorang yang bebas lalu terbiasa untuk hidup semaunya. Hukum yang pada prinsipnya menjaga kebebasan tidak bisa berbuat banyak terhadap orang seperti itu. Bila semua bertingkah seperti itu, akan ada krisis moral secara umum. Mungkin seseorang yang dipilih secara legal sebagai penguasa bisa menekan kebablasan warganya. Namun di Athena, saat penguasa hanya dipilih secara acak lewat undian dan menjabat untuk setahun dapatkah ia menangani kebebasan yang kebablasan? Palton memiliki penilaian keras. Manusia demokratis adalah orang yang hidupnya nyantai dan immoral. Ia bisa omong apa saja seolah-olah tanpa konsekuensi apapun (The Republic 558c-562a).

Sedangkan bagi Aristoteles, demokrasi adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan dibagi-bagi di antara kelas-kelas yang ada di masyarakat. Akibatnya, sistem ini tidak pernah bisa berjalan, karena tiap kepentingan kelas yang berbeda akan saling menyandera keputusan apa pun yang hendak ditelurkan (bdk. Politics, III, 11-13 dan IV, 4). Berkenan dengan kesetaraan, kritikan yang diberikan adalah bahwa warga negara yang setara dalam satu bidang, lalu menganggap dirinya memiliki kemampuan yang sama dalam segala hal lainnya (Politic V 13). Karena menganggap diri semua warga adalah setara, mereka membutakan diri tidak mau memilih individu-individu yang sebenarnya memiliki kemampuan dan jasa yang lebih bagi tugas-tugas tertentu yang cocok bagi mereka. Kita semua menjadi sedikit platonisian dan aristotelesian ketika meyakini bahwa urusan politik seharusnya dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi dan tidak dipilih secara acak model undian seperti di Athena.

Prinsip kesetaraan tentu cocok dengan prinsip supremasi hukum dan persis hukum memang fungsinya untuk menjamin bahwa semua warga setara di hadapannya. Namun, prinsip kesetaraan ini secara alamiah bertentangan dengan kehidupan sosial yang pasti berjenjang dan hirarkis. Hormat kepada orang tua adalah prinsip umum di mana-mana yang bisa dimentahkan begitu saja oleh kesetaraan. Buat apa hormat pada orang tua kalau secara hukum kita semua dijamin setara? Lebih luas lagi, buat pa menghormati penegak hukum apabila, seperti di Athena, ia hanya dipilih setahun sekali  secara undian? Kalau semua warga negara setara, baik warga yang saleh maupun warga yang nyeleneh, mengapa harus sok suci menggabungkan diri dalam kelompok warga setara yang saleh? Prinsip kesetaraan memang mempersulit orang untuk mudah taat. Kehadiran kaum sofis di Athena hanya memperparah krisis moral dan membuat orang cenderung meremehkan hukum.

Prinsip utama demokrasi yang adalah kebebasan dan kesetaraan memang secara alamiah dengan mengandungi penyakit bernama anarkisme (Jacqueline de Romilly, 149). Namun lebih dari itu, inti kritikan Platon dan Aristoteles sebenarnya dilandaskan  pada sebuah cara pandang tertentu. Platon dan Aristoteles yakin bahwa tatanan sosial harus dibentuk sesuai prioritas. Ada tingkat kehidupan yang berorientasi pada kesenangan, yaitu sebuah hidup yang inferior; ada tingkat kehidupan praktis di mana politik mendapatkan tempat yang lebih tinggi; dan akhirnya ada tingkat hidup teoritis atau filosofis, yang merupakan bentuk kehidupan tertinggi (bdk. The Republic VI 496b-d dan VII 519d-521b; Ethica Nikomaxeia X7 dan Politics VII 2).

Bukan maksud para pemikir itu untuk mengatakan bahwa vita contemplativa tidak cocok dengan vita activa! Platon sendiri berbicara tentang keharusan  para filsuf untuk “turun kembali ke goa”, artinya, para filsuf pun harus terlibat dalam kehidupan politik masyarakatnya (The Republic VII). Baginya, seni berpolitik adalah seni merajut secara tepat antara benang yang tipis halus dengan benang yang kasar (Politique, 311-e). Aristoteles juga mengidealkan sebuah cara hidup yang “campuran” (Politics VII, 2-3). Setia dengan prinsip jalan tengah, Aristoteles mengidealkan sebuah komunitas politik yang merupakan  campuran antara demokrasi dan oligarki. Di balik itu semua, mereka hendak menggarisbawahi bahwa sebuah rezim politik hendaknya mengakui supremasi hukum intrinsik ilmu filsafat. Ini tuntutan yang tidak mudah karena kita tahu bahwa rezim demokrasi Athenalah yang menghukum mati Sokrates, guru Platon. Aristoteles pun terpaksa lari dari Athena saat merasakan bahwa rezim demokratis Athena sedang mencurigainya sebagai kolaborator Makedonia. Konon alasan Aristoteles demikian, “supaya warta Athena tidak jatuh dalam kesalahan yang sama untuk kedua kalinya”.
Dr. A. Setyo Wibowo, Pengajar STF Driyarkara, Jakarta

Daftar Pustaka
Sebagian besar bahan sudah pernah terbit dalam A. Setyo Wibowo, “Kepublikan danKeprivatan di dalam Polis Yunani Kuno”, Ruang Publik: Melacak ‘Partisipasi Demokratis’ dari Polis sampai Cyberspace (Ed. F. Budi Hardiman), Penerbit Kanisius: 2010, hlm. 23-61. Artikel ini menggunakan sumber utama buku karya Claude Orrieux dan Pauline Schmitt Pantel, Histoire grecque, Paris: PUF. 2002, hlm. 46-174
Jean-Francois Kervegan, “Democratie” dalam Dictionnaire de philosophie politique (sous la direction de Philippe Raynaud et Stephane Rials), Paris: PUF, 1996, hlm.127-133
Jacqueline de Romily, Problemes de la democratie grecque, Paris: Herman-Agora, 1975.
Ivan Gobry, Le vocabulaire grec de la philosophie, Paris: Ellipses, 2000
Sumber: Mahalnya Biara Demokrasi: MajalahTempo, 29 April-5 Mei 2013, hlm.48-49, dan Majalah Tempo, 6-12 Mei 2013, hlm.34-35. Suara Pembaruan, Jumat 17 Mei 2013, hlm.5, “Demokrasi Menuju Bunuh Diri: Perilaku Politisi Jauh dari Etika Politik”



Sumber: Majalah Basis Nomor 03-14 Tahun ke-63, 2014, hlm. 36-39

Sunday, February 23, 2014

Politik dan Moralitas (T. Krispurwana Cahyadi, SJ)

POLITIK TIDAK BISA DILEPASKAN DARI MORALITAS 
Dokumen Kongregasi Ajaran Iman Vatican, 
"Doctrinal Note on some questions regarding the 
participation of Catholics in political life"

"T. Krispurwana Cahyadi, SJ" di Innsbruck

Pengantar 

Pada tanggal 24 November 2002, Kongregasi Ajaran Iman Vatican mengeluarkan sebuah dokumen tentang keterlibatan umat Katolik dalam kehidupan politik, "Doctrinal Note on some questions regarding the participation of Catholics in political life". Dokumen tersebut mencoba untuk memberikan suatu pegangan bagi umat Katolik yang terlibat dalam kehidupan politik, terlebih dalam menghadapi berbagai persoalan pelik atau tema krusial. Tidak bisa disangkal Vatican cukup sering mengalami kekecewaan karena para politisi Katolik sering tidak malahan membela ajaran Gereja saat ikut menentukan kebijakan publik. Yang sering dikeluhkan adalah soal aborsi, euthanasia, perkawinan homoseksual, dan juga berbagai tema-tema etis lainnya. Tidak sedikit politisi Katolik, terutama anggota parlemen atau pun pejabat pemerintahan, yang mendukung legalisasi kasus-kasus tersebut. 

Mereka mengatakan bahwa harus dibedakan antara kepentingan privat dengan kepentingan publik. Sebagai pribadi Katolik, mereka mengatakan mendengarkan ajaran Gereja. Namun sebagai pejabat publik, mereka terikat pada kepentingan publik, atau suara kehendak massa yang memilihnya, dan karenanya harus lebih 
mendengarkan kepentingan publik tersebut. Kenyataan yang mereka hadapi, kepentingan publik sering berbeda dengan ajaran Gereja. Sebagai pejabat terpilih atau anggota parlemen, maka mereka menempatkan diri mewakili kepentingan mereka yang memilih. Maka kalau suara pemilih menyetujui legalisasi aborsi, mereka pun mengatakan persetujuannya pula. 

Bisa jadi mereka ingat akan ungkapan, "vox populi, vox Dei" (suara rakyat adalah suara Tuhan). Ungkapan ini sebenarnya lebih berupa suatu ajakan agar pemimpin tidak meninggalkan suara dan kepentingan rakyat, karena kepemimpinan politis sering hanya memperhatikan kepentingan sempit golongan, partai atau malahan kelompoknya sendiri saja. Karena kalau mereka mengabaikan suara rakyat, mereka sebenarnya mengabaikan suara Tuhan. Memang tidak disangkal bahwa seringkali kebijaksanaan politis tidak saja mengabaikan kepentingan rakyat, atau kesejahteraan umum, tetapi juga malahan menindas rakyat dan menumbuhkan ketidakadilan. Maka kebijakan yang seperti itu bertentangan dengan kehendak Tuhan, bertentangan dengan kebenaran. 

Namun tentu tidak bisa lalu dikatakan bahwa "vox populi" identik dengan "vox Dei", atau menyamakan begitu saja "vox populi" dengan "vox Dei". Konteks ungkapan "vox populi, vox Dei" lebih pada konteks kesewenangan kekuasaan. Otoritas dan kebijakan politis yang sewenang-wenang tidak sesuai dengan prinsip kebenaran. Namun prinsip kebenaran tidak bisa disamakan begitu saja dengan suara rakyat. Oleh karena itu, alasan demi kepentingan suara pemilih (vox populi), lalu mengabaikan kebenaran, sama saja mengabaikan "vox Dei". 

Vatican sendiri jelas berharap agar para politisi Katolik sungguh tidak mengabaikan kebenaran. Dalam kesempatan Yubileum 2000 bersama para anggota parlemen, pejabat pemerintahan serta politisi Katolik, Paus Yohanes Paulus II menekankan dua aspek panggilan politisi Katolik: mendengarkan kebenaran hukum ilahi dan melayani sesama. Paus mendasarkannya pada Injil Markus ketika berbicara tentang dua hukum dasar: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Mrk 12, 30). Oleh karena itu Paus mencoba meletakkan dua kata "vox 
Dei" dan "vox populi" dalam konteks makna panggilan hidup politisi Katolik. 

Tulisan ini hanya mencoba untuk membahas catatan doktriner dari Kongregasi Ajaran Iman tentang keterlibatan umat Katolik dalam kehidupan politik. Maka bagian pertama, lebih berupa sajian atau paparan isi dari catatan dokumen tersebut. Dan bagian kedua akan lebih berupa beberapa tanggapan kecil dan ringkas atasnya. 




Dokumen 
Di bagian awal dokumen menunjukkan bahwa keterlibatan umat Katolik dalam kehidupan politik sudah berjalan sepanjang kehadiran Gereja. Sejak awal Gereja senantiasa menyatakan agar umat Katolik dapat selalu memainkan perannya sebagai warga negara. Terlebih dalam tata kehidupan demokratis sekarang ini, maka keterlibatan setiap orang dalam kehidupan politik semakin 
menjadi kebutuhan. Maka diingatkan bahwa kehidupan demokrasi tidak akan menghasilkan buah bila tiada keterlibatan serta rasa tanggungjawab aktif dansepenuh hati dari setiap orang di setiap tingkat, bentuk, bidang dan tanggungjawab kehidupan bersama (1).

Tentu keterlibatan tersebut terutama ditujukan kepada kaum awam. Prinsip dasar yang kemudian dikemukakan adalah prinsip kerjasama dengan semua pihak, juga dengan yang beragama lain. Sedangkan prinsip arah perjuangannya adalah prinsip kesejahteraan atau kepentingan umum (common good). Dokumen memang tidak bermaksud untuk memberikan suatu arah untuk memperjuangkan kepentingan Katolik. Gereja sebagai bagian dari masyarakat, sesuai dengan ajaran Konsili Vatican II Gaudium et Spes, mengabdi pada kepentingan bersama. Yang dimaksudkan dengan kepentingan bersama adalah pembelaan dan penegakkan tata politik yang baik, perdamaian, kebebasan dan kesederajatan (equality), penghargaan akan kehidupan manusia dan lingkungan hidup, keadilan dan solidaritas (1). 

Berangkat dari prinsip dasar yang dikemukakan tersebut, Vatican, dalam hal ini Kongregasi Ajaran Iman, melihat semakin maraknya keraguan, atau ambiguitas, atau perdebatan tentang berbagai soal dalam kehidupan bersama dewasa ini, terlebih dalam konteks perdebatan politik. Oleh karena itu Kongregasi Ajaran Iman lewat dokumen tersebut hendak memberikan klarifikasi akan beberapa persoalan. Tentu Klarifikasi dimaksudkan untuk menegaskan kembali ajaran Gereja, agar umat Katolik yang terlibat dalam politik tidak mengabaikan prinsip dasar ajaran Gereja, yang juga berarti mengabaikan prinsip dasar kepentingan umum, kepentingan kebenaran (1). 

Dengan dokumen ini memang Gereja tidak bermaksud memberikan suatu solusi,sebab Gereja mengakui bahwa Tuhan memberikan kebebasan dan tanggungjawab pada masing-masing pribadi untuk membuat keputusan yang dirasa baik baginya. 
Namun Gereja, demikian tulis dokumen ini, memiliki hak dan kewajiban untuk memberikan penilaian moral atas berbagai persoalan sosial (3). Hak dan kewajiban tersebut tentu, sesuai tradisi Gereja, ditempatkan dalam kerangka iman dan moral. 

Dokumen menyebutkan bahwa situasi dewasa ini antara lain ditandai dengan tumbuhnya kultur relativisme. Budaya relativisme tersebut tampak dalam etika pluralisme yang membenarkan dekadensi dan disintegrasi nalar dan prinsip yang berakar pada hukum moral. Memang tidak ada salahnya mendengarkan opini publik, yang menyuarakan paham etika pluralisme tersebut, karena itu merupakan bagian dari demokrasi. Setiap warga memang memiliki otonomi untuk menentukan pilihan moralnya. Namun dokumen menegaskan bahwa mereka yang terlibat dalam kehidupan politik memiliki kewajiban untuk menunjukkan bahaya akan kultur relativisme ini. Lebih lanjut disebutkan bahwa toleransi akan berbagai paham yang ada tidak pernah berarti menganut sikap ketidakjujuran atau malahan juga hipokrit akan panggilan dasar untuk memperjuangkan hak asasi dan kepentingan umum (2). 

Kebebasan politik, dikatakan, tidak dapat berdasar pada gagasan relativistis, sehingga tidak mengakui adanya kebenaran moral yang bersifat mutlak dan mendasar. Maka umat Katolik diharapkan berani menolak pandangan yang mencerminkan paham relativisme. Politik terkait dengan upaya pewujudan nilai kemanusiaan dan kesejahteraan sosial di tengah konteks historis, geografis, ekonomis, teknologis dan kultural tertentu (3). Di satu sisi dokumen mencoba menunjukkan bahwa kebijakan politis selalu bersifat konkret, maka sifat relativisme malahan bisa mengaburkan aktualitas kebutuhan setempat. Aktualitas memang memiliki bersifat segera untuk diputuskan dan mendesak untuk bertindak. 
Di sisi lain, kebijakan politis tidak bisa berdasar pada nilai moral yang relatif, yang mengabaikan tuntutan tak terelakkan akan kebenaran, nilai kemanusiaan dan keadilan, serta kebutuhan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Budaya relatif yang dikatakan dokumen menganggap semuanya punya nilai kebenaran yang sama, cenderung tidak memberi ruang penghargaan akan nilai kebenaran hakiki yang bersifat superlatif. 

Politik semestinya sejalan pada prinsip absolut tersebut, sebab perjuangan politik mengabdi pada penghargaan akan pribadi manusia dan perkembangan kehidupan sejati (5). Dokumen menyebutkan di tahun-tahun terakhir ini beberapa kelompok Katolik malahan mendukung kebijakan atau sikap yang bertentangan dengan ajaran moral Gereja; atau juga politisi Katolik di beberapa negara bersikap berseberangan dengan ajaran Gereja(7). Otonomi berpendapat tidak berarti bisa mengabaikan prinsip moral dasar yang ditanamkan Tuhan dalam hati setiap orang. Oleh karena itu, politisi tetap harus mendengarkan dan peka akan suara hati. 

Memang demokrasi, disebut oleh dokumen, sebagai bentuk terbaik yang menjamin keterlibatan serta pilihan politis warga negara. Namun, demokrasi harus didasarkan pada prinsip etika sosial yang benar dan kokoh. Maka struktur demokratis rapuh jika tidak meletakkan martabat pribadi manusia sebagai dasarnya (3). Oleh karena itu setiap pilihan politis, entah apapun partai atau strategi politik yang dipilih, diharapkan tidak menyimpang dari prinsip dasar ini. Prinsip dasar demokrasi oleh Gereja dipandang tidak bertentangan dengan prinsip moral dasar. Demokrasi justru menjadi pilihan politik yang mampu menjamin penghargaan akan nilai-nilai dasar hidup manusia. 

Kemudian dokumen menyajikan persoalan, bahwa banyak kebijakan politik,terlebih produk legislatif, yang justru mencederai kemurnian hidup manusia. Kebijakan tersebut tidak mempedulikan dampak yang dihasilkannya bagi kehidupan serta masa depan umat manusia, dan tidak ikut membentuk budaya dan perilaku sosial yang sehat (4). Situasi tersebut, menurut dokumen, merupakan situasi yang tidak mudah. Oleh karenanya, dengan catatan doktriner ini, dokumen bermaksud untuk mengajak semua umat Katolik pertama-tama memperdalam pemahamannya akan hakekat martabat pribadi manusia, dan kemudian berupaya untuk memperjuangkannya, juga dalam tata kehidupan politis. Ditegaskannya,mengutip Ensiklik Paus "Evangelium Vitae", adalah sesuatu yang tidak bisa dibenarkan jika umat Katolik memilih atau memperjuangkan nilai-nilai yang bertentangan dengan martabat pribadi manusia (4). 

Konsekuensi tentu tidak memilih program politik atau usulan hukum yang bertentangan dengan dasar iman dan moral. Dikatakannya, keterlibatan politis yang menjauh dari bagian-bagian tertentu ajaran, juga ajaran sosial Gereja,bukanlah suatu keterlibatan yang mengarah pada kepentingan umum atau 
kesejahteraan sosial (4). Ajaran Gereja tentu dipahami sebagai ajaran yang utuh, maka tidak bisa dipisah-pisahkan satu sama lain: membenarkan yang satu, namun menolak yang lain. 

Kemudian dokumen menyebutkan beberapa persoalan yang muncul untuk mendapatkan perhatian dari para politisi Katolik. Dengan menyebutkannya,dokumen mengingatkan lagi bahwa berkaitan dengan prinsip moral tidak ada pengecualian, ataupun kompromi (4). Yang disebutkan dalam dokumen adalah soal aborsi, euthanasia, perkawinan yang monogami dan antar pria-wanita (menolak ikatan perkawinan homoseksual). Namun juga disebutkan soal kebebasan orangtua akan pendidikan anak, yang di dalamnya terkait dengan kewajiban politisi memikirkan soal perlindungan anak dari perbudakan.Dimaksudkannya adalah ancaman dari bahaya narkotika dan prostitusi. 

Persoalan moral sosial yang dimintakan perhatian pada para politisi Katolik adalah soal kebebasan beragama dan perkembangan ekonomi. Tentang persoalan ekonomi, dokumen mengingatkan bahwa kebijakan ekonomi dimaksudkan untuk pertumbuhan kehidupan umat manusia dan kesejahteraan sosial, oleh karenanya harus sesuai dengan prinsip keadilan sosial, solidaritas umat manusia dan juga prinsip subsidiaritas (4). Semua orang memiliki hak yang sama untuk berusaha, demikian dikatakan Konsili Vatican II dalam dokumen Gaudium et Spes, oleh karena itu kehidupan ekonomi yang membatasi atau malahan juga tidak memberi peluang sama bagi setiap orang atau kelompok untuk berusaha bagi Gereja merupakan praktek yang bertentangan dengan prinsip moral dasar.Malahan tradisi moral Gereja yang senantiasa memberikan perhatian serta pembelaan akan mereka yang lemah, kiranya memiliki konsekuensi agar kebijakan politis memberikan peluang lebih bagi usaha-usaha kecil agar mereka dapat juga berkembang, dan tidak dilindas oleh kekuatan ekonomi yang lebih kuat. 

Namun persoalan peka lain yang dimintakan perhatian adalah soal perdamaian.Dokumen mengingatkan agar para politisi memiliki komitmen kuat akan perjuangan kedamaian, yang di dalamnya memuat sikap tegas menolak kekerasan dan terorisme. Dalam hal ini mungkin baik juga mengingat apa yang dikatakandalam Katekismus Gereja Katolik no 2304, yang juga diacu oleh dokumen, "Perdamaian tidak hanya berarti tiadanya perang, dan juga tidak hanya sebatas mempertahankan adanya keseimbangan kekuatan antar mereka yang bertentangan". Perdamaian adalah karya keadilan dan buah dari kasih (4). Tentu diingatkan salah satu kata-kata terkenal dari Paus Paulus VI, yang menyebutkan tak ada perdamaian, jika tiada keadilan. 

Itulah beberapa persoalan yang dimintakan perhatikan oleh dokumen pada para politisi Katolik. Tidak hanya dimintakan supaya mendapatkan prioritas perhatian, namun juga agar semua itu diperjuangkan agar dijamin dalam legislasi negara. Dalam kaitan itu dikatakan juga bahwa semuanya itu sebenarnya bukan sesuatu yang khas Katolik, sebab semua agama mengungkapkan ajaran yang sama: penghargaan akan martabat pribadi manusia (8). Oleh karena itu, catatan doktriner ini, yang menegaskan perjuangan politisi Katolik bagi kesejahteraan umum masyarakat, menyatakan bahwa ini bukanlah suatu "konfesionalisme", perjuangan demi kepentingan agama, namun tidak juga mengarah pada suatu intoleransi agama (6). Memang konfesionalisme, atau keterlibatan politik demi kepentingan agama tertentu, bisa mengarah pada sikap intoleran akan penganut atau ajaran agama lain. Akibatnya, bukan kepentingan umum yang diperjuangkan. 

Dalam kaitan ini, dokumen mengingatkan bahwa Paus Yohanes Paulus II telah berulangkali mengingatkan bahaya jika bidang kepentingan agama dan politik disalahmengerti. Paus menyebutkan bahwa jika norma agama tertentu menjadi norma negara maka bisa muncul soal sensitif jika tidak ada pemilahan jelas antara domain kehidupan agama dan politik, akibatnya bisa membatasi kebebasan beragama, bahkan juga bisa membatasi atau mengingkari nilai-nilai hak-hak asasi manusia yang mendasar(6). Oleh karena itu perlu pula mewaspadai gagasan politis yang bersifat utopis, yang mencoba menawarkan gagasan harapan semu yang semata-mata duniawi, betapapun gagasan utopis tersebut menggunakan ajaran agama (7). Oleh karena itu tentu, menggunakan ajaran agama dalam kehidupan politik, tidak berarti begitu saja bisa diartikan mau membangun tata masyarakat yang sejati. 

Dokumen juga mengingatkan bahwa kegiatan keagamaan berada di luar kewenangan negara, maka pemerintah tidak berhak intervensi ke dalamnya (6). Demikian juga agama pun tidak diharapkan untuk intervensi dalam dunia kehidupan politik, kecuali bila ada aktivitas agama tersebut menimbulkan persoalan publik. Oleh karena itu, dokumen menyebutkan bahwa catatan doktriner ini pun tidak dimaksudkan untuk mencampuri urusan politik kekuasaan atau juga untuk membatasi kebebasan berpendapat umat Katolik. Dokumen menegaskan bahwa tetap masing-masing pribadi memiliki kebebasan berpendapat dan juga otonomi pandangan moral, yang berdasar pada hukum moral dasar. Namun disebutkan catatan doktriner ini dikeluarkan hanya bermaksud untuk memberi penegasan dan penjelasan akan suara hati umat beriman, terlebih mereka yang terlibat dalam kehidupan politik, sehingga keterlibatan mereka sungguh mengabdi pada perjuangan hak asasi manusia dan kepentingan umum. Dengannya, keterlibatan umat Katolik dalam kehidupan politik malahan akan semakin nyata dan tepat (6). 

Keterlibatan umat Katolik dalam kehidupan politik merupakan suatu panggilan.Panggilannya adalah untuk membangun suatu kultur kehidupan yang diinspirasikan oleh Injil, yang didasarkan pada nilai dan inti ajaran Katolik (7). Keterlibatan tersebut merupakan tanda tanggungjawabnya sebagai umat beriman untuk ikut membangun tata dunia yang berkeadilan dan menjunjung 
kebenaran. Partisipasi umat Katolik dalam kehidupan politik, yang memperjuangkan nilai-nilai moral dasar yang terdapat dalam ajaran Gereja,disebutkan tidak lain merupakan upaya untuk mewujudkan kepaduan antara iman dan kehidupan, Injil dan budaya (9). 

Namun tidak disangkal oleh dokumen, jika politisi Katolik memperjuangkan nilai-nilai tersebut, bisa terjadi akan dicurigai atau dipersalahkan, di tengah paham sekularisasi intoleran yang berkembang (6). Memang dalam masyarakat demokratis, segala hal akan diperdebatkan, demikian juga nilai-nilai moral dasar yang diperjuangkan. Dalam kaitan ini Paus, saat pertemuan dengan korps diplomatik di tahun 2002 pernah menyinggung soal sikap moral anarkis, yang kuat menekan dan menindas yang lemah. Yang terjadi kemudian adalah praktek marginalisasi. 

Catatan dan tanggapan 

Betapapun dikeluarkan oleh Kongregasi Ajaran Iman, namun disebutkan bahwa dokumen ini sudah disetujui oleh Paus dan diminta oleh Paus untuk diumumkan.Memang dalam tata hirarki ajaran Gereja, status dokumen ini bukan sebagai suatu ajaran dogmatis, seperti konstitusi dogmatis dalam Konsili, ataupun suatu ensiklik Paus. Namun tidak berarti bahwa catatan doktriner ini bisa diabaikan sebagai salah satu dokumen ajaran Gereja, terlebih bila mengingat aktualitas isi yang dikemukakannya. Tentu pertimbangan ini ikut menjadi alasan mengapa Kongregasi Ajaran Iman mengeluarkan dokumen semacam ini, karena dipandang situasi dewasa ini memang membutuhkan semacam penegasan seperti ini. 

Keprihatinan dasar yang dikemukakan adalah semakin besarnya peluang sikap mengkompromikan nilai-nilai dasar moral, akibatnya keputusan politis yang dihasilkan justru melukai prinsip moral dan prinsip kemanusiaan. Situasi kultural dewasa ini oleh dokumen disebutkan membuahkan kultur baru. Kultur tersebut adalah kultur relativisme. Kultur ini mengabaikan prinsip dasar,atau nilai fundamental, karena menganggap segalanya menjadi relatif. Paham pluralistik ditempatkan begitu saja sebagai merelatifkan segalanya. Di sisi lain praktek demokrasi sering menempatkan para politisi dalam sikap kompromi, membenarkan begitu saja keinginan masyarakat pemilih, tanpa memperdulikan nilai fundamental kehidupan. Padahal sebagai politisi mereka pun memiliki kewajiban untuk mempertahankan nilai-nilai tersebut. 

Konteks keprihatinan tersebut memang lebih menonjol sebagai kasus dalam dunia barat, kawasan yang menyebut diri sebagai kawasan demokrasi. Memang persoalan-persoalan politis yang terjadi di negara-negara dunia ketiga, bahkan juga soal relasi antar negara, yang nyatanya membuahkan ketergantungan pada negara-negara superkaya, tidak begitu disinggung. Kita akan mencoba melihat itu dalam catatan berikut. 

Memang terasa kuat bahwa dokumen ini dikeluarkan terutama menanggapi perkembangan yang terjadi di dunia barat: persoalan aborsi, homoseksual,tetapi juga perdebatan soal ancaman bagi perdamaian di beberapa kawasan negara. Namun dokumen tidak menyinggung kasus akut yang melanda negara-negara yang terjebak dalam persoalan korupsi, penyelewengan dan kesewenangan kekuasaan, kekerasan militeristik, ataupun ketidakdilan dan penindasan. Bahkan ketika berbicara soal perlindungan anak, tidak disebutkan pula soal perdagangan anak dan kasus pekerja anak-anak, yang banyak terjadi di negara-negara dunia ketiga. Dan walaupun lebih tertuju pada kawasan dunia barat, dokumen tidak menyebut pula soal perlombaan senjata, atau kolonialisme baru dalam dunia ekonomi, atau neo-liberalisme yang banyakdikecam pula oleh kalangan Gereja. Memang dokumen mengharapkan para politisi Katolik tidak mengabaikan ajaran Sosial Gereja, namun topik-topik penting dan menonjol dalam berbagai ajaran sosial Gereja, soal keadilan, 
buruh, tata ekonomi dan kemiskinan tidak dikupas mendalam. 

Tidak mengherankanlah kalau Kardinal Joachim Meisner, Uskup Agung Köln (Cologne) Jerman, ketika memberi tanggapan saat peluncuran dokumen ini menyebutkan bahwa dokumen ini lebih berbicara di tengah konteks masyarakat demokratis, dan karenanya tidak membicarakan persoalan dalam negara diktatoris atau anarkisme anti-kristianitas. Oleh karena itu tidak dibicarakan pula persoalan politis yang terjadi di negara-negara yang dalam 
proses demokratisasi. Pernyataan Kardinal Meisner tersebut bisa dimengerti,karena memang persoalan yang diajukan dalam dokumen lebih soal sikap ambigu dan ragu, hipokrit dan tak berprinsip moral mendalam kalangan politisi, yang berakibat pada keputusan politis yang tidak membela keluhuran martabat pribadi manusia dan kepentingan umum. 

Oleh karena itu, dokumen menegaskan bahwa kebebasan berpendapat dan memilih tidak bisa mengabaikan prinsip dasar, ketaatan akan hukum moral. Seakan hendak dikatakan bahwa bahaya bagi demokrasi adalah lemahnya penghargaan akan nilai-nilai moral dasar. Oleh karena itu kecaman diarahkan pada kultur 
relativisme, yang demi paham pluralis dan toleransi, malahan meninggalkan nilai dasar kehidupan yang mutlak. Selain kultur relativis yang dikecam adalah paham sekularisme yang intoleran. Keduanya merupakan ancaman bagi kehidupan demokrasi sejati. Dengan demikian, mengutip kembali Kardinal Meisner, demokrasi secara ideologis netral, namun dari sisi perjuangan akan nilai dasar kehidupan dan kesejahteraan umum tidak netral. 

Demokrasi seakan dibela oleh dokumen ini, sebagai bentuk terbaik yang menjamin partisipasi aktif semua warga negara. Anjuran moral bagi para politisi Katolik dalam memperjuangkan nilai dasar kehidupan pun diletakkan dalam kerangka proses demokrasi, yang berarti siap untuk diperdebatkan dan siap pula untuk mendengarkan argumen lain. Maka bentuk demokrasi tidak dipertanyakan, malahan didukung. Kiranya Kongregasi Ajaran Iman juga memahami bahwa proses demokrasi seperti itu bisa berarti bahwa perjuangan penegakan moral tidak mendapatkan dukungan suara. Namun soal yang dikemukakan dalam dokumen ini bukan soal keputusan dari proses demokratis yang akan dihasilkan, misalnya lewat pemungutan suara, tetapi lebih pada sikap dan pilihan moral umat Katolik yang terlibat dalam kehidupan politik. 

Betapapun tidak menyebut tentang bentuk teokrasi, namun secara sekilas dokumen menunjukkan ungkapan tegas bahwa kawasan (domain) politik berbeda dengan agama. Oleh karenanya keduanya tidak bisa dicampuradukkan. Malahandokumen mengutip ungkapan Paus Yohanes Paulus II tentang bahaya yang bisa terjadi jika kepentingan agama dan politik tidak tegas dipisahkan, atau memanfaatkan ajaran agama untuk membangun gagasan politik utopis. Akan tetapi melepaskan politik dari tanggungjawab moral juga bukan jawaban. Dalam tataran inilah Gereja lalu berbicara. 

Dalam kaitan ini dua hal lalu dikemukakan. Pertama, tentang kekhawatiran bahwa anjuran moral tersebut dipandang para politisi Katolik sebagai wujud 'konfesionalisme'. Dokumen Gereja adalah dokumen moral, bukan dokumen politik. Walau dokumen tersebut mungkin memiliki implikasi politis, tetap tidak bisa dikategorikan sebagai ajaran politik. Memang kewenangan Gereja adalah kewenangan bicara dalam tataran iman dan moral. Oleh karena itu dokumen menyebutkan bahwa bukanlah tugas dan kewenangan Gereja untuk memberikan atau mengajukan suatu solusi politis. Karenanya kecemasan akan anggapan 'konfesionalisme', seakan dokumen ini hendak mendorong para politisi Katolik memperjuangkan kepentingan Katolik ditepis. Kepentingan yang dianjurkan untuk dibela adalah kepentingan nilai-nilai kemanusiaan, dan nilai-nilai tersebut sesuai dengan ajaran Katolik. 

Selanjutnya dikatakan, catatan doktriner ini malahan bermaksud untuk memberi bobot kualitas makna akan keterlibatan umat Katolik dalam kehidupan politik.Dengannya kontribusi mereka malahan akan semakin nyata dan berarti. Memang setiap umat Katolik memiliki panggilan untuk membangun hidup sesuai dengan pesan imannya. Namun panggilan tersebut tidak berarti membangun suatu 'masyarakat Gereja', karena panggilan tersebut ditempatkan dalam konteks membangun tata dunia yang berkeadilan dan berkebenaran. Gereja menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat dunia, dan tidak berhak menentukan langsung proses kehidupan politik. Gereja berada dalam tataran iman dan moral, maka bicara pula secara moral tentang kehidupan politik. 

Kedua, disebutkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan tersebut tidak saja sesuai dengan ajaran Katolik, namun sesuai pula dengan ajaran agama-agama lain. Oleh karena itu anjuran moral dalam dokumen ini tidak punya implikasi pada sikap intoleransi, juga intoleransi agama. Kiranya dua sikap dasar yang melatarbelakangi. Pertama, Gereja tidak pernah memiliki program politik Katolik, atau memperjuangkan kepentingan Katolik, karena memang tidak ada politik Katolik. Yang ada hanyalah keterlibatan umat Katolik dalam politik yang didasarkan pada moralitas Katolik. Kedua, bentuk keterlibatan politik ada dalam tataran demokrasi. Demokrasi senantiasa mengandaikan adanya partisipasi aktif semua warga negara, tanpa pengecualian. Demokrasi memberi 
peluang kebebasan untuk berpendapat dan memilih. Malahan demokrasi memiliki panggilan untuk memberikan perlindungan serta peluang pada kelompok minoritas. Karenanya, sistem demokrasi yang sesungguhnya tidak akan pernah menjadi sistem yang menganut paham intoleransi, atau juga paham tirani mayoritas. 

Sikap dasar yang diharapkan dimiliki oleh para politisi Katolik, selain sikap menghargai proses serta mekanisme demokrasi; dan di sisi lain, tidak meninggalkan kewajiban moralnya untuk mempertahankan nilai moral fundamental, yang sejalan dengan ajaran Gereja, dalam setiap bentuk, wujud, aktivitas serta proses keterlibatan politisnya. Diingatkan bahwa mereka tidak bisa memisahkan diri dari panggilan sebagai umat beriman. Menjadi politisi adalah panggilan, dan panggilan itu dari Tuhan sendiri. Konsekuensinya, politisi Katolik berkewajiban mencegah setiap kemungkinan yang memungkinkan munculnya kebijakan yang berorientasi untuk membangun masyarakat tanpa Tuhan. Manusia tidak bisa dipisahkan dari Tuhan, dan karenanya politik pun tidak bisa dipisahkan dari moralitas. 

Dokumen ini memang adalah dokumen moral. Sifatnya pun lebih berupa himbauan moral. Namun betapapun konteks serta titik tolak pembicaraan lebih terasa muncul dari persoalan di negara barat, tidak berarti tidak memiliki aktualitas untuk negara-negara di kawasan lain. Prinsip dasarnya tetap sama dan berlaku di mana-mana, bahwa politik tanpa moral hanya mendatangkan kehancuran, demokrasi yang tidak menjunjung tinggi nilai fundamental hidup manusia dan memperjuangkan kepentingan umum adalah demokrasi yang rapuh.


Contact Form

Name

Email *

Message *