Search This Blog

Thursday, February 20, 2014

Katekese Politik: Realistiskah? (Rm. YR Edy Purwanto Pr)

oleh: YR. Edy Purwanto Pr
Sekretaris Komisi Kerawam KWI

Katekese (dari ‘katekeo’: mengajar secara lisan, memberitahu; Yunani) dianggap oleh Gereja sebagai salah satu tugasnya yang terpenting (Yohanes Paulus II) dan berdasarkan penugasan Kristus kepada para Rasul dan pengganti-pengganti mereka “mengajar segala bangsa melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Matius 28:20). Gereja menjalankan tugas ini dalam pewartaan umum dan dalam katekese (A. Heuken SJ, dalam Ensiklopedi Gereja, jilid 4, hlm. 46, CLC Jakarta 2005).



Dalam Nomor 13 “Catechesi Tradendae” (Paus Paulus VI, 1977) dikatakan: “Katekese erat hubungannya dengan seluruh hidup Gereja. Bukan hanya penyebarluasan Gereja secara geografis dan pertumbuhannya, melainkan juga dan bahkan terutama perkembangan rohani umat sesuai dengan rencana ilahi, sangat tergantung dari katekese”.
Pernyataan Bapa Suci tersebut dapat dijadikan titik tolak memahami katekese dalam artinya yang sempit, luas dan sangat luas. Dalam arti sempit, tugas katekese adalah mengupayakan perkembangan rohani umat khususnya anggota baru Gereja. Usaha penerusan iman kepada anggota baru Gereja ini merupakan tugas paling lazim dari katekese itu.
Dalam arti luas dan sangat luas, katekese dapat digambarkan sebagai kegiatan berikut: 
membuat orang memahami sabda Allah, yaitu Kitab Suci, dan mengikuti Yesus Kristus, yang adalah Sabda Allah yang hidup di dalam Gereja dan memimpinnya. 
membuat orang sanggup ikut merayakan ibadat Gereja, khususnya Ekaristi dan Sakramen-sakramen lain. 
membantu orang mengamalkan iman dalam kehidupan pribadi dan kemasyarakatan. 


Pada pokok ketiga dari tujuan kegiatan katekese inilah katekese politik mendapatkan tempat untuk berpijak bahwa cita-cita itu mungkin dan bukan merupakan ide liar yang “ngoyo-woro” (mengada-ada atau diada-adakan). Hal itu menjadi kian mendesak dan relevan di tengah hingar-bingarnya masalah perpolitikan di Negara Indonesia ini.

I. PANGGILAN AWAM UNTUK MERASUL 
Dasar Panggilan Untuk Merasul
Semua awam, yang terhimpun sebagai umat Allah dan berada dalam satu Tubuh Kristus di bawah satu kepala, tanpa kecuali dipanggil untuk menyumbangkan senegap tenaga, yang mereka terima berkat kebaikan Sang Pencipta dan rahmat Sang Penebus demi perkembangan Gereja serta pengudusannya terus-menerus. Dengan baptis dan krisma (penguatan) semua ditugaskan oleh Tuhan sendiri untuk kerasulan itu. Kaum awam dipanggil untuk menghadirkan dan mengaktifkan Gereja di tempat dimana mereka berada (bdk. LG 33).
Secara lebih terinci, dekrit tentang Kerasulan Awam (Apostolicam Actuositatem) nomor 6 menguraikan tentang panggilan kerasulan yang harus diemban oleh kaum awam sebagai memiliki tujuan berikut:
a. Mewartakan Injil
Memaparkan warta tentang Kristus kepada dunia dengan kata-kata (verbal) maupun dengan perbuatan (non-verbal), dan untuk menyalurkan rahmat-Nya. Pewartaan dengan kata-kata menjadi penting. Bagi yang tidak/belum beriman pewartaan itu berperan mengantar mereka kepada iman; sedang bagi mereka yang sudah beriman pewartaan itu berfungsi mengajar dan meneguhkan serta mengajak dan menyemangati mereka untuk hidup dengan semangat yang lebih besar.
b. Menyucikan Umat Manusia
Penyucian umat manusia ini lebih berhubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia zaman ini: kesesatan-kesesatan yang menghancurkan agama, yang mengacaukan tata kesusilaan, dan yang memporak-porandakan bangunan/tata susunan masyarakat.
c. Pembaruan Tata Dunia
Kaum awam wajib menerima pembaruan tata dunia sebagai tugasnya yang khusus, dan dibimbing oleh cahaya Injil dan maksud-maksud Gereja serta didorong oleh kasih kristiani bertindak langsung dan mengupayakan agar tata dunia ini diperbarui terus-menerus.
d. Menjalankan Amal Kasih
Amal kasih yang merupakan bukti nyata dari karya menyucikan dunia harus ditingkatkan guna menjawab kebutuhan manusia yang paling elementer atau dasariah: makanan, minuman, pakaian, perumahan, obat-obatan, pekerjaan, pendidikan, sarana ibadah, dll.
Karena kaum awam mengemban tugas perutusan Gereja dengan cara mereka sendiri, dengan ciri istimewa dari sifat sekuler (keduniaan) serta corak hidup rohani yang khas bagi status awam, maka pembinaan kerasulan awam dititik-beratkan pada hal-hal sebagai berikut (bdk. AA 29):
a) Pembinaan manusiawi yang utuh. Pembinaan ini harus disesuaikan dengan watak-perangai serta situasi-situasi masing-masing. Sebab seorang awam, yang mengenal dunia zaman sekarang dengan baik, harus menjadi anggota yang sungguh berintegrasi dalam masyarakat serta kebudayaan sendiri.
b) Pembinaan rohani yang mendalam. Hal ini menjadi penting karena seorang awam hendaknya pertama-tama belajar menjalankan perutusan Kristus dan Gereja, dengan hidup dari iman akan misteri ilahi penciptaan dan penebusan, lagi pula digerakkan oleh Roh Kudus yang menghidupkan Umat Allah, dan yang mendorong semua orang untuk mencintai Allah Bapa dan dunia serta orang-orang dalam Dia. Pembinaan itu harus dipandang sebagai dasar dan syarat setiap kerasulan yang subur.
c) Pendidikan pengetahuan yang tangguh. Pembinaan di bidang ini meliputi bidang teologi, etika dan filsafat, sesuai dengan usia, situasi hidup dan bakat-kemampuan yang bermacam-macam. Lagi pula janganlah diabaikan pentingnya tingkat hidup budaya yang umum beserta pendidikan praktis dan teknis.
d) Pembinaan berkomunikasi yang baik. Untuk memelihara hubungan-hubungan antar-manusia yang baik perlulah nilai-nilai sungguh manusiawi dikembangkan, terutama seni bergaul dan bekerja sama secara persaudaraan, dan mengadakan dialog.
e) Pembinaan iman yang mendalam. Pembinaan untuk kerasulan tidak dapat hanya terdiri dari pengajaran teoritis melulu. Hendaknya awam setapak demi setapak dan dengan bijaksana, belajar memandang, menilai serta menjalankan segalanya dalam cahaya iman, melalui kegiatannya membina serta menyempurnakan diri bersama orang-orang lain, dan dengan demikian secara aktif memulai pengabdiannya kepada Gereja. Pembinaan itu selalu disempurnakan, karena pribadi manusia semakin menjadi dewasa dan karena perkembangan masalah-persoalan, dan menuntut mutu pengetahuan yang semakin tinggi serta kegiatan tang menanggapi situasi 
Dasar Panggilan Untuk Merasul di Bidang Politik
Kutipan dari dekrit tentang Kerasulan Awam nomor 14 ini menjadi salah satu dasar utama bagi umat Katolik (khususnya kaum awam) untuk memberikan perhatian besar pada kerasulan politik di masyarakat. “Terdorong oleh cinta akan bangsanya dan oleh rasa tanggungjawab akan tugas-tugas sebagai warga negara, orang Katolik harus merasa dirinya bertanggungjawab untuk memajukan kesejahteraan bersama dalam arti kata yang sebenarnya. Mereka berusaha memperbesar pengaruh mereka, supaya perundang-undangan sejalan dengan hukum-hukum kesusilaan dan dengan kesejahteraan bersama”.
Dasar tersebut masih bisa dilengkapi dengan seruan sebagaimana disampaikan oleh para Bapa Konsili Vatikan II melalui Konstitusi Pastoral tentang Gereja Dalam Dunia Dewasa Ini (Gaudium et Spes) nomor 75 berikut ini: ”Hendaknya diselenggarakan secara intensif pembinaan kewarganegaraan dan politik, yang sekarang ini perlu sekali bagi masyarakat dan terutama bagi generasi muda, supaya semua warganegara mampu memainkan peranannya dalam hidup bernegara. Mereka yang cakap atau berbakat hendaknya menyiapkan diri untuk mencapai keahlian politik, yang sukar sekaligus amat luhur, dan berusaha mengamalkannya, tanpa memperhitungkan kepentingan pribadi atau keuntungan materiil”.
Dari dua kutipan di atas menjadi jelas bahwa panggilan awam Katolik untuk terlibat di dalam bidang politik memiliki dasarnya yang kuat. Keterlibatan itu hendaknya dilaksanakan karena dua alasan pokok: pertama, terdorong oleh cinta akan bangsanya dan oleh rasa tanggungjawab akan tugas-tugas sebagai warga negara untuk memajukan kesejahteraan bersama (bonum publicum). Kedua, mengabdikan kecakapan dan bakatnya untuk berpolitik tanpa memperhitungkan kepentingan pribadi atau keuntungan materiil bagi terwujudnya kesejahteraan umum (bonum commune).
Kutipan ini pantas direnungkan secara lebih mendalam oleh kaum awam Katolik: ”Hendaknya orang-orang Katolik, yang mahir di bidang politik, dan sebagaimana wajarnya berdiri teguh dalam iman serta ajaran kristiani, jangan menolak untuk menjalankan urusan-urusan umum” (AA 14). Awam Katolik yang memiliki keahlian khusus di bidang politik didorong untuk ikut aktif dalam pergulatan politik praktis, sehingga mereka dapat menjadi garam dan terang bagi bidang kehidupan tersebut. 

Mengapa Keterlibatan di Bidang Politik Menjadi Kian Penting?
Keterlibatan Gereja (khususnya awam Katolik) dalam bidang politik menjadi kian penting karena adanya masalah serius yang kita hadapi bersama sebagai bangsa, yaitu persoalan rusaknya keadaban publik (public civility). Salah satu kunci yang bisa digunakan untuk membuka pintu keruwetan bangsa sekarang ini adalah perbaikan di bidang politik.
Hanya kemauan politik yang baik (political will), khususnya yang dijalankan secara konsekuen oleh pemerintah, maka masalah-masalah bangsa yang dipotret oleh KWI melalui Nota Pastoral 2004 ”Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa – Keadilan Sosial bagi Semua, Pendekatan Sosio-Budaya” akan dapat diatasi/dipecahkan.
Problematik bangsa itu dideskripsikan dengan sangat bagus sebagai berikut: ”hidup kita sekarang ini telah menjadi begitu lemah, karena tidak ditata berdasarkan iman dan ajaran agama. Hidup tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai budaya dan cita-cita mulia kehidupan berbangsa. Hati nurani tidak dipergunakan, perilaku tidak dipertanggungjawabkan kepada Allah dan sesama. Perilaku lebih dikendalikan oleh perkara-perkara yang menarik indera dan menguntungkan sejauh perhitungan materi, uang dan kedudukan di tengah masyarakat. Dalam kehidupan bersama, terutama kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara manusia menjadi egoistik, konsumeristik dan materialistik. Untuk memperoleh harta dan jabatan, orang sampai hati mengorbankan kepentingan orang lain, sehingga martabat manusia diabaikan. Uang menjadi terlalu menentukan jalannya kehidupan. Karena itu Indonesia hampir selalu gagal untuk memiliki pemerintahan yang bersih dan baik. Keadilan dan hukum tidak dapat ditegakkan, korupsi merajalela, penyelenggara negara memboroskan uang rakyat. Semua itu membuat orang menjadi rakus dan kerakusan itu merusak lingkungan hidup dan dengan demikian orang tidak memikirkan masa depan” (NP KWI 2004, hlm 2-3).
Keterlibatan orang Katolik dalam dunia politik bangsa ini dilaksanakan bukan sekedar dipacu oleh fenomena politik yang kini sedang dijadikan primadona dalam hidup berbangsa dan bernegara, tetapi hendaknya didorong oleh kerinduan untuk ambil bagian dalam menciptakan tata hidup politik yang dijiwai oleh semangat serta nilai-nilai Injil demi terwujudnya kesejahteraan bersama. Keterlibatan dilakukan karena ingin menghadirkan habitus baru di bidang politik. Dan pilihan itu diambil berdasarkan kesadaran sendiri akan tanggungjawab sebagai warga negara dan kesadaran itu tumbuh karena penghayatan iman Katolik yang kian mendalam. 


II. POLITIK INDONESIA TERKINI 
Fenomena yang Mendominasi Perpolitikan Indonesia Saat Ini
a. Korporatokrasi. Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang rakyatnya telah dibodohi dan dipaksa untuk menerima pasar dan persaingan bebas. Hal ini dilakukan oleh para penguasa ekonomi politik dunia. Menjamurnya mal-mal dan pusat-pusat bisnis dengan alasan bagi kemajuan masyarakat atau penyesuaian dengan gerak dunia modern telah menjebloskan rakyat kepada pola hidup konsumeristis dan hedonistas. Sementara akibat lain dari korporatokrasi itu adalah semakin tidak dihargainya pola-pola ekonomi tradisional yang di Indonesia berbasis pada pertanian dan maritim.
b. Partitokrasi. Pengendalian perjalanan roda perpolitikan di Indonesia masih akan sangat kuat dilakukan oleh partai-partai politik. Banyak kebijakan akan tetap berada di bawah bayang-bayang hegemoni partai-partai politik, khususnya partai politik besar (PDI-P, Golkar, PKB, PAN, PKS, PPP, Demokrat).
c. Gelora Syariah. Aksi penegakan syariat Islam kini memasuki babak baru. Upaya itu tidak hanya bergerak dari tingkat provinsi dan kabupaten/kota, tetapi sudah merambah di tingkat nasional baik di kalangan legislatif melalui upaya-upaya perumusan regulasi (UU dan PP) maupun eksekutif melalui proses-proses penetapan pejabat publik dan penentuan kebijakan departeman-departemen. Namur juga sebaliknya, bahwa gerakan itu kini bergerilya di basis-basis desa. Pendek kata, tantangan dari upaya-upaya menghadirkan kembali gagasan pembentukan negara Islam menguat kembali.
Peta terapan syariat Islam itu ada pada: (1) fikih ibadah, baik yang bersifat wajib seperti zakat dan haji, maupun yang sunah seperti infak, sedekah, baca Alquran dan wakaf; (2) ahwal syahshiyah, yang meliputi hukum keluarga atau perdata tertentu seperti perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah; (3) fikih muamalat, yaitu aturan ekonomi-bisnis, transaksi jual/beli, persewaan, yang didasarkan pada prinsip Islam seperti anti riba; (4) pidana hudud, yang jenis dan sanksinya telah ditentukan Quran dan hadits, seperti zina, khamar, mencuri, membunuh, dll; (5) pidana qishash, yang sanksinya berupa balasan setimpal dengan perbuatan; dan (6) ta’zir, yang jenis kejahatan dan sanksinya ditentukan oleh penguasa dan bertujuan untuk pendidikan dan pembinaan, mislanya zina yang tak memenuhi bukti empat saksi, pornografi, dll.
d. Kompleksitas Transisi. Reformasi yang sudah berjalan 10 tahun lebih ini masih tetap akan menghadapkan bangsa Indonesia kepada kompleksitas transisi yang antara lain nyata dalam hal-hal berikut ini: prinsip-prinsip demokrasi kalah dari pragmatisme (oportunisme) politik, kesejahteraan umum kalah dari kesejahteraan pribadi, solidaritas kebangsaan kalah dari etno/religio-sentrisme, integritas sosial terganggu, integritas teritorial terancam, masyarakat terabaikan, dan otonomi masyarakat tidak terberdayakan bahkan cenderung kehilangan peluang untuk menjadi kuat dan cerdas. 
Proyeksi Perpolitikan Indonesia ke Depan
a. Kekerasan terbuka. Sampai dengan akhir tahun 2009 yang merupakan salah satu fase penentu berhasil tidaknya reformasi yang sudah berjalan lebih dari 10 tahun ini, kekerasan terbuka akan menjadi warna perpolitikan di Indonesia. Kasus-kasus demonstrasi yang berakhir dengan bentrok antara aparat keamanan dengan demostran (kasus Unas Jakarta), maupun kekerasan horizontal (kasus FPI di Monas, 1 Juni) dan masih akan disusul kekerasan lain yang akan dilakukan oleh laxar-laskar jalanan. Di samping kekerasan terbuka juga terdapat kekerasan terselubung seperti kasus Lapindo dan juga penguasaan beberapa daerah tambang oleh asing yang sangat potensial meledakkan kekerasan terbuka.
b. Krisis hidup berbangsa dan bernegara. Perpolitikan masih tetap akan diwarnai oleh krisis hidup berbangsa dan bernegara yang disebabkan oleh beberapa hal berikut ini: (1) Hilangnya kepercayaan bangsa terhadap pemimpinnya. Pemimpin seharusnya merupakan cerminan dedikasi akan rasa kebangsaan yang tinggi. Pemimpin musti menjadi contoh bagi rakyatnya. Kita sudah kehilangan figur yang betul-betul punya nilai kebangsaan yang tinggi. Dulu masyarakat punya banyak pilihan figur panutan, baik itu negarawan (Soekarno dll), teknokrat (Habibie dll), budayawan (Nurcholis Madjid dll), ulama (Aa Gym dll) bahkan olahragawan (atlet berprestasi). Semua itu menjadi panutan untuk maju. Namun saat ini, semua nampak gamang dan palsu. Semua itu nampak cuma advertisement partai dan masyarakat mulai pandai membaca hal tersebut hingga akhirnya hilang rasa hormatnya. (2) Hilangnya rasa memiliki bangsa ini karena pemerintahnya. Ada yang salah kaprah dari penilaian rakyat Indonesia terhadap negara ini, yaitu menyamakan pemerintah dengan negara. Kekecewaan akan pemerintah seharusnya jangan menjadi rasa benci terhadap negara ini. Negara ini sangat indah dan bagus, sayangnya pemerintah yang menjalankannya tidak indah dan bagus. Hal ini menyebabkan rasa ingin bebas dari kungkungan aturan dan kekuasaan pemerintah. Kompensasinya adalah ketidakpedulian. (3) Ada jarak kepedulian yang sangat lebar antara generasi tua dan generasi muda. Generasi muda kita saat ini adalah generasi yang lahir jaman kejayaan Soeharto. Generasi manis dan funky yang seru dan asik sama kegiatannya masing-masing. Keasikan ini makin menjadi mapan hingga di saat masa krisis pun mereka tidak mau ambil pusing, bahkan menyalahkan generasi tua sebagai ulahnya. Akibatnya, mereka merasa bahwa kerusakan dan keterpurukan bangsa ini akibat ulah para pelaku politik yang super bobrok. Bagi generasi muda (anak nongkrong MTV), mereka lebih suka asik dalam berkegiatan yang seru-seru, misalnya ikutan lomba jadi bintang, main sinetron, fashion, internet, game, hingga drugs. Sifat egois yang muncul beriringan dengan karakter pemberontak dari anak muda. (4) Lupa sejarah, egois dan pendendam. Bangsa ini seharusnya sudah menjadi bangsa yang besar. Bangsa yang punya rasa hormat yang tinggi. Namun sejak diberlakukan sistem pemilu terbuka dengan banyak partai, semua orang merasa dirinya adalah yang paling benar. Sifat curiga dan tidak percaya justru menjadi menjamur di antara para pemimpin dan negarawan. Saling sikut dan saling menjegal dengan mengatasnamakan "peduli bangsa". Rasa dendam pun makin mendarak. Kemajuan pembangunnan jaman Soeharto, Habibie, Gus Dur, atau Megawati seakan-akan tidak ada arti. Rasa ke-SAYA-an seakan menjadi TUHAN bagi bangsa ini. 

III. MENUJU PEMILU 2009


Hal-hal Baru Dalam Paket Undang-Undang Politik 2008
Proses legislasi yang dilakukan oleh para wakil rakyat telah melahirkan Undang-undang Politik 2008, yaitu UU No. 2 / 2008 tentang Partai Politik, UU No. 10 / 2008 tentang Pemilu Legislatif, dan UU No. 18 / 2008 tentang Calon Perorangan sebagai revisi terbatas terhadap UU No. 32 / 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dua undang-undang yang masih ditunggu kehadirannya adalah UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR/DPD RI dan UU tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang hingga kini masih berupa RUU dan sedang berada pada tahapan pembahasan di DPR RI.
Paket UU Politik itu menawarkan statu pembaruan secara subtansial, namun sekaligus menghadapkan kita pada tantangan-tantangan yang harus ditanggapi melalui pilihan tindakan yang harus kita lakukan. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Substansi
o Pembaruan sistem pemilu dimaksudkan untuk penguatan sistem pemerintahan Presidensiil yang didukung Sistem Multi Partai Sederhana à bisa terwujud bila ada koalisi partai besar dan mengarah ke koalisi permanen.
o Banyak Partai yang terkerucut pada Perwakilan Politik berbasis Partai Besar à dengan parliamentary threshold (PT) 2.5%.
o Membuka peluang bagi penguatan embrio Parpol Lokal à yaitu Parpol Nasional yang kuat di Daerah.
o Memberikan legitimasi perorangan sebagai wakil rakyat à dengan mempersyaratkan keterwakilan 30% calon perempuan dan ketentuan 30% BPP calon terpilih.
o Cara Pemberian Suara mengandaikan pengenalan calon-calon legislatif secara lebih mendalam.
o Terbuka peluang bagi tokoh alternatif Parpol à calon perorangan (DPD dan Pilkada)
b. Tantangan
o Parpol lama akan tetap mendominasi Pemilu 2009.
o Parpol baru belum terlihat ber-performa sbg alternatif Parpol lama (baik dalam pengorganisasian maupun program-programnya).
o Perpecahan PKB membuka kemungkinan eksodus pemilih ke Parpol Islam lainnya.
o PKS menjadi pilihan utama pemilih muslim karena memberikan image yang baik terhadap umat Islam sebagai parpol yang tidak dipenuhi intrik politik.
o Parpol lama dan PKS yang makin besar akan menguasai Parlemen (nasional maupun lokal)
c. Apa yang harus dikerjakan?
o Mendukung pencalonan tokoh-tokoh masyarakat dan perempuan di Parpol-Parpol yang baik (yang potensiil lolos parliamentary threshold di tingkat nasional).
o Memastikan pilihan bahwa Parpol yang dipilih akan mampu memenuhi parliamentary threshold.
o Memilih calon-calon yang baik dari Parpol yang baik (relatif).
o Mendorong pemilih menentukan pilihan atas pertimbangan kualitas calon daripada “nama besar” Parpol.
d. Apa makna pendidikan politik dalam konteks ini?
o Membuka kesadaran umat dan masyarakat untuk terlibat dalam mengatasi tantangan Pemilu 2009.
o Melihat dan memanfaatkan peluang untuk terlibat aktif dalam (mengatasi tantangan) Pemilu 2009.
o Mengajak umat sebagai warga negara untuk menjadi pemilih yang aktif dan cerdas.
o Mendorong umat menjadi “prime mover” (penggerak pertama dan utama) perubahan pola memilih masyarakat dari orientasi parpol ke orientasi kualitas tokoh/calon. 
Beberapa implikasi menyertai penjadualan proses Pemilu : pertama, masa kampanye akan berjalan sangat panjang. Artinya, terbuka peluang untuk benar-benar mengenali calon secara lebih dekat dan lebih mendalam. Tetapi semua itu tergantung mekanisme kampanye yang dipilih oleh calon yang bersangkutan. Kedua, pelaksanaan pemungutan suara pada hari Minggu hanya akan menganggu kekhusukan umat Kristiani beribadah dan bisa berakibat tidak optimalnya proses pelibatan warga masyarakat dalam memberikan suaranya. Maka harus ditempatkan pada hari di luar Jumat dan Minggu bila ingin lebih optimal dan menjadikan hari pemungutan suara sebagai hari libur nasional. Ketiga, para tokoh umat dan masyarakat Katolik harus semakin rajin mencari info dan data mengenai calon-calon yang ikut dalam pemilihan dan menyediakan ruang bersama untuk bertemu antara para calon-calon tersebut agar bisa mengatur strategi bersama agar suara tidak mubazir mengingat waktu yang tersedia relatif panjang. 

IV. IMPLIKASI BAGI PENGEMBANGAN KATEKESE POLITIK 
Pembelajaran Politik Umat Katolik
Gereja Katolik senantiasa menyebutkan bahwa dirinya bukan suatu institusi atau lembaga politik, walaupun peran dan kehadirannya memiliki muatan politis. Oleh karena itu Gereja tidak pernah memiliki suatu program politik tertentu. Tataran hidup Gereja ada di bidang moral dan iman. Kedua bidang itu memiliki dimensi dan konsekuensi politis. Namun demikian, politik yang dimaksud bukan politik kekuasaan, sebagaimana digeluti oleh para politisi Katolik. Kalau toh suatu ketika Gereja memberikan pernyataan yang memiliki dimensi politis, lingkupnya tetap ada dalam bidang moral.
Pembelajaran politik umat Katolik mempunyai beberapa tujuan lebih praktis:
Pertama, bagi mereka yang berminat terjun dalam politik praktis dan memiliki kemampuan untuk berpolitik praktis; pembelajaran ini dimaksudkan agar mereka semakin menyadari bahwa menjadi politisi adalah suatu panggilan, yaitu panggilan untuk melayani sesama. Melalui pembelajaran bersama sangat diharapkan lahir politisi-politisi yang memiliki integritas pribadi, yang tercermin dalam kompetensi dalam keterlibatan dan moralitas diri yang solid, serta penggunaan kekuasaan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, bagi umat pada umumnya, pempelajaran politik dimaksudkan untuk semakin membangun dan menumbuhkan kesadaran atas tugas dan panggilannya mencintai bangsa dan negaranya. Demikian juga agar umat semakin menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang baik. Umat diharapkan semakin melek politik supaya bisa ikut serta mengawal terwujudnya prinsip-prinsip politik berikut ini: (1) kebijakan dan kegiatan politik harus menunjang kesejahteraan bersama seluruh rakyat, maka yang bertentangan dengannya adalah jahat; (2) politik harus dijalankan sebagai penghormatan terhadap martabat setiap manusia dari rakyat yang membentuk negara itu, orang tidak boleh dikorbankan demi kepentingan politik apa pun; (3) politik harus dijauhkan dari praktek yang diskriminatif baik atas dasar keyakinan agama dan kepercayaan, ras dan keturunan, jenis kelamin dan status sosial, maupun keyakinan politik dan ideologi, setiap warga bangsa berhak ambil bagian dalam perencanaan dan penentuan kebijakan publik; (4) politik harus semakin menyadarkan bahwa negara bukan tujuan an sich melainkan hanyalah sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat, maka masyarakat bersifat primer dan negara bersifat sekunder; oleh karena itu kegiatan politik tidak boleh memperbudak lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berifat primer, seperti keluarga, organisasi kebudayaan dan keagamaan, dll. 
Pembelajaran Politik Mulai Usia Dini
Pembelajaran politik sejak usia dini bisa dilakukan dengan beberapa cara: (a) memperkenalkan kepada anak-anak tokoh-tokoh dan pahlawan-pahlawan bangsa yang memiliki dedikasi dan komitmen kuat dalam membela dan mengembangkan bangsanya; (b) memperkenalkan pola-pola berpolitik yang sehat dengan melakukan simulasi-simulasi kecil dan sederhana mengenai hidup berbangsa dan bernegara serta pola-pola pelaksanaan politik praktis; (c) membentuk kelompok basis di kalangan kaum muda untuk mendiskusikan hal-hal yang menyangkut perkembangan problematik sosial kemasyarakatan sehingga kaum muda kita tidak tertinggal dari kaum muda komunitas agama lain; (d) menerbitkan buku-buku komik pendidikan nilai yang arahnya kepada pendidikan politik bagi anak-anak. 
Redefinisi Wawasan Kebangsaan
Semakin mendesak untuk dilakukan perumusan ulang tentang konsep wawasan kebangsaan dan pendidikan mengenai hal tersebut. Hal itu sangat penting karena krisis yang dialami, khsusunya di kalangan kaum muda, sangat kuat. Rasa ke-Indonesia-an perlu digugah atau dibangunkan kembali.
Memudarnya rasa keindonesiaan terjadi karena pendangkalan dalam memaknai Sila "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab". Prof. Dr. M. Sastrapratedja SJ, menyatakan bahwa pendangkalan ini menghambat—dan nyaris menghentikan—proses pemberadaban (civilizing process) dalam diri bangsa kita. Penghambatan proses pemberadaban ini menggerogoti kemampuan kita untuk mengatur perilaku, kemampuan mengendalikan diri, dan kemampuan melawan diri sendiri. Hilangnya kemampuan mengendalikan dan mengatur diri bisa membuat kita membinasakan diri sendiri.
Menyikapi keprihatinan yang sangat mendalam itu maka sangat mendesak proses penyegaran kembali wawasan kebangsaan di kalangan umat Katolik khususnya dan masyarakat pada umumnya 
Keterlibatan Mendesak yang Harus Dilakukan Gereja
Yang mendesak harus dilakukan Gereja Katolik Indonesia menyikapi kondisi bangsa adalah: (a) menguatkan akar ideologi bangsa yaitu Pancasila; (b) ambil bagian untuk membenahi peradaban bangsa dengan mewujudkan habitus baru mulai dari dalam Gereja sendiri. 

Penutup
Demikianlah beberapa catatan seputar perlunya pendidikan politik dalam dan melalui katekese. Semoga catatan ini mengingatkan kita akan ungkapan tersohor dari Presiden Amerika ke-35 yaitu John F. Kennedy pada pidato pelantikannya tanggal 20 Januari 1961: “Ask not what your country can do for you – Ask what you can do for your country” (Jangan bertanya apa yang dapat dikerjakan negaramu untukmu – Bertanyalah apa yang dapat kamu kerjakan untuk negaramu).
Juga semangat Mgr. A. Soegijapranata SJ: menjadi 100% Indonesia, 100% Katolik atau Seratus Persen Warga Negara, Seratus Persen Warga Gereja. Ungkapan tersebut menegaskan bahwa kekatolikan tidak hanya tidak pernah menghambat semangat nasionalisme, melainkan menguatkannya.
Semoga dengan rangsangan itu kita menjadi semakin peduli pada upaya-upaya pencerdasan dan pendewasaan politik umat.


Jakarta, 11 Juni 2008

Sumber: http://pk4as.blogspot.com/2009/02/katakese-politik-realistiskah.html 


No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *