Search This Blog

Thursday, February 13, 2014

Menelusuri Jejak Bung Karno: Rekonstruksi dan Dekonstruksi Falsafat Pancasila dari Perspektif Agama dan Budaya (Philipus Tule, SVD)

Dekonstruksi
 (ilustrasi: http://jonsay.com)
Oleh Dr. Philipus Tule, SVD, 
antropolog, rohaniwan dan pengajar di STFK Ledalero-Flores, 

(Catatan: Makalah ini dipresentasikan dalam seminar nasional bertemakan “Menggali Nilai-Nilai Pancasila, Menegakkan Keadilan, Memperkokoh Kesatuan dan Persatuan Bangsa” yang diselenggarakan di Kupang pada tanggal 28 September – 1 Oktober 2011)

Pendahuluan
Pancasila merupakan falsafah bangsa Indonesia yang mempersatukan keanekaragaman suku, bangsa, bahasa, budaya dan agama serta membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang menjunjung tinggi pluralitas (kemajemukan). Sebagai pemersatu pluralitas, Pancasila telah disepakati sebagai ‘philosofische Grondslag Indonesia’ atau pondamen, filsafat, pikiran dan hasrat jiwa yang sedalam-dalamnya agar di atasnya didirikan gedung NKRI yang sejahtera, kekal dan abadi. 


Sebagai sebuah falsafah dan ideologi bangsa, Pancasila terus mengalami tantangan terhadap nilainya (onslaught of its value) lewat aneka fenomena: ancaman terhadap kelanggengan NKRI, krisis penerapan nilai-nilainya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, radikalisme dan fundamentalisme agama, etnosentrisme sempit, serta amoralitas para anak bangsa, baik rakyat maupun pemerintah. Pelbagai fenomena itu mendorong kita untuk berusaha menelusuri proses refleksi, dialog dan perumusan falsafah Pancasila oleh Bung Karno selama masa pembuangan di Ende, Flores, NTT. Setelah itu, kita coba melakukan rekonstruksi dan dekonstruksi terhadap falsafah Pancasila dari perspektif Budaya dan Agama-. Dkl, kita butuh gerakan besar demi “Revitalisasi dan Reinternalisasi nilai-nilai Pancasila di tengah Masyarakat, Agama dan Budaya Indonesia yang bhineka”. 

Filsafat “dekonstruksi Derrida”[1] akan dipakai dalam usaha melakukan rekonstruksi dan dekonstruksi terhadap Pancasila sebagai konsep dan Pancasila dalam realitas NKRI, sambil merujuk pada pergumulan Bung Karno sebagaimana tersirat dalam “Surat-Surat Islam dari Ende” 

Pancasila: Rekonstruksi Bahasa, Budaya dan Agama Budha 
Pancasila berasal dari Bahasa Sansekerta (bahasa kasta Brahmana di India), yang berbeda dengan bahasa prakerta (bahasa kaum jelata). Menurut Prof. H. Moh. Yamin, Pancasila memiliki dua arti. Pertama, Panca berarti lima; Syila dengan satu i berarti batu sendi, alas atau dasar; sedangkan Syiila dengan dua i berarti peraturan yang penting, baik dan senonoh. Dari kata syiila diturunkan kata susila (Bhs Indonesia) yang berarti ‘hal yang baik’. Dengan demikian kata Pancasyiila berarti batu sendi yang lima, berdasarkan lima aturan yang penting, baik dan senonoh.[2]
Pancasila yang pada mulanya digunakan oleh masyarakat Budha di India itu adalah yang dalam artian lima aturan penting, baik dan senonoh itu (Five moral principles) dan yang harus ditaati dan dilaksanakan. Menurut Ensiklopedia Budhisme kelima aturan penting itu adalah sbb: 
1. Panatipata veramani sikkhapadam samadiyami yang berarti: “Jangan mencabut nyawa orang hidup” (= jagan membunuh). 
2. Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami yang berarti: “Jangan mengambil barang yang tidak diberikan” (= jangan mencuri). 
3. Kameshu micchacara veramani sikkhapadam samadiyami yang berarti “Jangan berhubungan kelamin secara tidak sah dengan perempuan” (= jangan berzina). 
4. Musawada veramani sikkhapadam samadiyami yang berarti “Jangan berkata palsu” (= jangan berdusta). 
5. Sura meraya-majja pamadattha veramani sikkhapadam samadiyami yang berarti “Jangan meminum minuman yang menghilangkan pikiran” (jangan mabuk).
PS dalam Bahasa dan Budaya Jawa
Pancasila selanjutnya masuk dalam khasanah sastra Jawa Kuno pada zaman Majapahit di bawah Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada dan ditemukan dalam buku keropak Negara Kertagama berupa syair pujian karya pujangga istana Mpu Prapanca yang diselesaikan pada tahun 1365. Pada sarga 53 bait 2 tertulis sebagai berikut:
Yatnanggegwani pancasyila kertasangska rabhi sakakakrama yang berarti : Raja menjalankan dengan setia kelima pantangan (pancasila) itu; begitu pula upacara-upacara adat dan penobatan-penobatan.
Selain terdapat dalam buku Negara Kertagama, pada jaman Majapahit istilah pancasila juga terdapat dalam buku Sutasoma karangan Mpu Tantular. Dalam buku Sutasoma ini istilah pancasila di samping berarti berbatu sendi yang lima (bahasa Sansekerta) juga mempunyai arti pelaksanaan kesusilaan yang lima, atau Pancasila Krama, yaitu : 1.Tidak boleh melakukan kekerasan; 2. Tidak boleh mencuri; 3. Tidak boleh berjiwa dengki; 4. Tidak boleh berbohong; 5. Tidak boleh mabuk minuman keras. Demikianlah perkembangan istilah Pancasila dari bahasa Sansekerta menjadi Bahasa Jawa Kuno dalam artian yang sama dengan yang terdapat pada jaman Majapahit.[3] 

Setelah keruntuhan Majapahit dan ketika Islam mulai menyebar ke seluruh Indonesia, sisa pengaruh ajaran moral Budha berupa Pancasila itu masih juga dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai lima larangan (pantangan, wewaler, pamali) dengan isi yang agak lain, yang disebut " Ma Lima" atau lima larangan yakni: 1. Mateni (membunuh); 2. Maleng (mencuri); 3. Madon (berzina); 4. Madat (menghisap candu); dan 5. Maen (berjudi). 
Nilai-Nilai Pancasila Dalam Aneka Agama dan Budaya 

Walaupun secara formal Pancasila baru menjadi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 18 Agustus 1945, namun jauh sebelum itu masyarakat nusantara ini telah memiliki nilai-nilai moralitas (etika) sebagaimana terkristalisasi dalam Pancasila dan telah menjadi asas dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. 
Sederetan panjang bukti berikut dapat dijumpai dalam berbagai adat istiadat, kebudayaan, agama yang hidup di Indonesia. Misalnya: 
  1. Umat dari pelbagai Agama di Indonesia percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa, sebagaimana terungkap dalam pelbagai nama yang diberikan untuk ”Wujud Tertinggi” atau ”Yang Ilahi”; ada tempat korban dan rumah peribadatan, kitab suci; upacara keagamaan dan hari raya agama, pendidikan dan pengajaran agama, serta sejarah / dongeng yang mengandung nilai-nilaiagama. 
  2. Masyarakat dan Umat beragama di Indonesia menjunjung tinggi prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal itu terungkap lewat hukum kasih dan keadilan, larangan membunuh, keramah tamahan, kelemah-lembutan terhadap sesama manusia; lewat budaya material seperti bangunan padepokan, pondok-pondok, pesantren; sekolah, seminari, biara-biara; lewat budaya tulisan (kisah, sejarah, cerita, dongengan) Bharatayudha, Ramayana, Malin Kundang, Batu Pegat, Anting Malela, Bontu Sinaga, Danau Toba, Danau Kelimutu; riwayat pelayaran ke manca negara (Singapura dan Macao) mengungkapkan relasi niaga aneka bangsa demi perkembangan kemanusiaan.
  3. Masyarakat dan umat beragama di Indonesia menjunjung tinggi persatuan lewat paguyuban, kekeluargaan dan kebersamaan dalam membangun pelbagai monumen raksasa seperti candi Borobudur, Prambanan, dan sebagainya; ada sejarah persatuan baik berupa kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit di Jawa maupun kerajaan kecil seperti Kerajaan Keo di Flores dan Kerajaan Amarasi di Timor; ada pelbagai pepatah dalam bahasa setempat seperti: bersatu kita teguh bercerai kita runtuh, bersatu laksana sapu lidi, sadhumuk bathuk sanyari bumi, kaya nini lan mintuna, gotong royong membangun jalan raya kota dan kampung, rumah-rumah ibadah seperti Gereja, Mesjid, Pura, rumah adat, pembukaan ladang baru dll. 
  4. Masyarakat Indonesia menjunjung tinggi prinsip demokratis atau musyawarah sebagaimana tercermin dalam bangunan Balai Agung dan Dewan Orang-orang Tua di Bali, Nagari di Minangkabau, Balai Desa di Jawa, tulisan tentang Musyawarah Para Wali, Puteri Dayang Merindu, Loro Jonggrang, Kisah Negeri Sule, dan sebagainya. 
  5. Masyarakat dan umat semua agama di Indonesia mengenal azas keadilan sosial bagi sesama sebagaimana nampak lewat: bendungan air, tanggul sungai, tanah desa, sumur bersama, lumbung desa, tulisan dan kisah lisan tentang sejarah pelbagai Kerajaan: Kalingga, Raja Erlangga, Sunan Kalijaga, Ratu Adil, Jaka Tarub, Teja Piatu, dan sebagainya.
Dekonstruksi Pancasila Versus Radikalisme Agama dan Globalisasi Budaya 
Kebangkitan aneka agama dan budaya (Resurgence of Religions and Global Cultures) merupakan salah satu fenomen dunia zaman ini. Gerakan itu mewujud dalam pelbagai bentuk, antara lain berupa terorisme dan aksi bom demi Allah. Bahkan, ketika Presiden Amerika memutuskan untuk menyerang Al-Qaeda, Afghanistan dan Iraq, sesungguhnya dia yakin akan suara Allah yang memanggilnya, sebagaimana Adolf Hitler berusaha memusnahkan etnis Yahudi pada zamannya. 

Dalam millenium baru ini kita menyaksikan kebangkitan agama-agama yang dikemas dalam aneka term seperti ‘revivalism’, ataupun ‘rediscovery’. Revivalism mengisyaratkan sejenis titik-balik kolektif, suatu aksi kembali kepada agama. Maka pertanyaan mendasar bagi kita adalah ‘apakah fenomena semakin banyak orang melaksanakan tugas-tugas keagamaan itu merupakan tanda revivalisme keagamaan ataukah suatu ‘penemuan kembali agama’ (religious rediscovery). Sesungguhnya rasa dan kesadaran keagamaan orang modern itu tak pernah hilang (sirna), maka aktus kembalinya mereka kepada agama hanyalah merupakan ‘penemuan kembali iman yang hilang’ (Jamhari, 2003: 5). Menurut Jamhari bahwa trend utama dalam revivalisme keagamaan adalah penguatan gerakan-gerakan yang dinamakan fundamentalis (atau radikalis) dalam hampir semua agama seperti Militan Islam dan Kristen Fundamentalis. 

Di Indonesia, sejarah Muslim garis-keras (hard-line atau radical Muslims) berawal pada saat menjelang kemerdekaan, hingga peristiwa Bom Bali dan tragedi mutakhir lainnya. Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia telah mulai di 3 (tiga) daerah: Jawa Barat, Aceh dan Makasar dengan motivasi perjuangan yang berbeda, meski satu dalam usaha menerapkan syari’ah di Indonesia. Pada awal 1970-an dan 1980-an gerakan Islam garis-keras ini muncul lagi seperti Komando Jihad dan lain-lain yang mendeklarasikan perang melawan komunisme dan sering dimanfaatkan oleh Badan Intelijen Nasional masa itu. Pada era reformasi gerakan Islam garis-keras itupun muncul lagi dalam aneka bentuk seperti Front Pembela Islam (FPI), Lasykar Jihad dan Majlis Mujahidin Indonesia yang terus berjuang untuk menerapkan syariat Islam. Mereka berkeyakinan bahwa Pancasila dan UUD 1945 tak sanggup mengatasi pelbagai krisis social, politik dan ekonomis. Menyaksikan tampilnya aneka kelompok Islam garis-keras dengan dampak sosial-politik dan religius yang negatif dewasa ini dalam rupa konflik dan kekerasan, maka wajah Islam di Indonesia sering diidentikkan dengan ‘violence and terrorism’; bahkan Indonesia sering dicap sebagai ‘nest of terrorism’ (Jamhari, 2003: 24-25). 

Di Amerika Serikat dilaporkan bahwa lebih dari 40 warga AS dan 20 warga Kanada direkrut oleh jaringan Tanzim al-Qaeda di Somalia dan telah ada dan beraksi di sana. Peter King (anggota Kongres Partai Republik dari wilayah New York) menyatakan bahwa keberhasilan merekrut dan meradikalisasi puluhan warga Muslim AS merupakan ancaman langsung terhadap AS. Gerakan Al-Shabab Mujahidin adalah ancaman yang terus meningkat terhadap AS dan pada tahun 2010 mendeklarasikan diri berafiliasi pada Tanzim al-Qaeda serta mengklaim bertanggung-jawab atas dua serangan bom bunuh diri di Uganda tahun 2010 dan serangan atas beberapa sasaran Barat (Kompas, 28 Juli 2011, hal. 9; mengutip Kantor Berita AP, 27/7/2011). 

Menurut data yang ada bahwa sejak 2006 sudah ada 4.000 warga Somalia masuk AS. Sejak 1990-an sudah ada 200.000 warga Somalia yang mendapat suaka politik di AS. Pada tahun 2009, sejumlah besar warga Somalia di AS tiba-tiba menghilang. Ternyata mereka kembali ke Somalia dan bergabung dengan milisi radikal Al-Shabab yang menganut paham Jihad Salafi, yang melancarkan serangan terhadap kepentingan AS di Somalia dan Afrika Timur. Alasan ekonomis pula mendorong kaum muda Somalia menjadi radikalis. Data statistik menunjukkan bahwa 51 % pemuda Somalia di AS dililit kemiskinan dan pengangguran, dengan rata-rata income keluarga Somalia hanya 21.000 dollar AS per tahun; sementara income keluarga AS rata-rata 60.000 dollar per tahun.

Kembali ke konteks Indonesia, kita berhadapan dengan gerakan agama baru Lia Eden, Ahmadiah, Anand Krisna yang mengajarkan moralitas universal; juga beberapa agama popular seperti Trisoka, Subud, Sumarah, Sapto Dharmo, Tri Tunggal dan lain-lain, yang timbul karena dambaan mencari agama dan kepercayaan baru yang tidak saja terikat pada ideologi dan ritus formal. Mereka yakin bahwa agama-agama formal yang ada (seperti Islam, Kristen, Buddha dan Hindu) tak sanggup menjelaskan dan mengatasi pelbgai krisis sosial yang ada (Purwadi: 2007). 

Kita juga tidak luput dari tantangan para fundamentalis atau radikalis Kristen, baik yang menggejala di AS maupun di Eropa. Yang paling mutakhir adalah ‘tragedi 22 Juli 2011 di Oslo, Norwegia yang diaktori oleh pemuda 32 tahun bernama Anders Behring Breivik (Kompas, 28 Juli 2011, hal.8). Breivik mengakui bahwa dia melakukan pengeboman di kota Oslo dan lalu penembakan yang membabi buta di Pulau Utoya dengan korban 76 orang, karena pelbagai alasan yang dijelaskan secara detail dalam Manifesto-nya setebal 1.500 halaman yang telah disusunnya selama 9 tahun dan diunggah di internet beberapa jam sebelum aksinya. Sebagaimana disinyalir banyak media bahwa latarbelakang tindakan Breivik adalah penolakannya atas kebijakan politik pemerintah Norwegia yang terlalu luas dan terbuka memberi peluang bagi Muslim untuk masuk, hidup dan berkembang disana. Suatu survey oleh Francis Fukuyama yang serentak mengutip sosiolog David Martin, menyingkapkan perkembangan dan kelanggengan radikalisme Kristen sbb: 

” di Amerika Serikat ada 3 (tiga) gelombang utama: kelompok puritan klasik selama masa colonial; kebangkitan kelompok Metodis (dan Baptis) abad ke-19; dan gerakan Pentekos dari abad ke-20 hingga dewasa ini. Kaum fundamentalis, karena itu tak pernah akan punah karena sukses dalam melakukan proses indoktrinasi terhadap para pemimpin karismatiknya masing-masing. [4]

Studi tersebut juga mengungkapkan sebuah fenomena global bahwa kita sedang diancam bukan saja oleh teroris global yang terorganisasi dan yang berkaitan dengan Islam Fundamentalis (ekstrim kiri), tapi juga oleh gerakan ultra-kanan dan fundamentalisme Kristen (bdk. Kompas, 28 Juli 2011, hal. 8).

Kedahsyatan Globalisasi dan dampak negatif

Globalisasi adalah sebuah proses yang mencakupi aneka aktivitas dan aspirasi berskala mondial dalam skop ataupun penerapannya. Kendati globalisasi telah berlangsung sangat lama, namun lebih dirasakan intensitasnya dan malahan secara massif dialami pada dekade terakhir ini. Dewasa ini, dengan penemuan teknologi terbaru seperti tilpon, televisi, internet, dll globalisasi menjadi lebih dirasakan sebagai proses yang lebih efektif dalam artian ’kecepatan’-nya. Proses globalisasi itu bukan hal baru, tapi istilahnya yang ’baru’ . Migrasi leluhur bangsa Afrika ke seantero jagat (globe) adalah titik awalnya dan sering disebut sebagai ’proto-globalisasi’. Penemuan teknologi komunikasi termutakhir, juga mendefinisi ulang kecepatan globalisasi dgn pelbagai dampak positif dan negatifnya. 

Informasi dari belahan dunia yang jauh dalam sekejap kita dengar, baca dan lihat tentang: penyakit, bencana alam, terorisme, dll. Sejak abad ke-19, Amerika telah memanfaatkan proses globalisasi sebagai medium untuk tampil sebagai negara adi-kuasa. Jatuhnya tembok Berlin (1980-an) juga menjadi symbol berakhirnya divisi ideologi global dan pengkotak-kotakan berdasarkan Block Timur dan Block Barat. Daya globalisasi menyebabkan kopi Brasil menguasai pasaran dan konsumsi orang Vietnam. Ada dampak keuntungan yang luas tapi juga ada kerugian dan bencana hebat dari arus globalisasi media (electronic media, email, internet, facebook, dll) dalam aneka sektor kehidupan modern, termasuk dalam sektor pendidikan generasi muda.[5] Pelbagai alat komunikasi instan dapat dimanfaatkan secara efektif baik demi pertumbuhan sosial, ekonomi dan budaya maupun demi elemen anti-sosial, terorisme dan pelbagai pola hidup amoral (free-sex, homosexual dan lesbian, pornografi, dll). 

Tak dapat disangkal bahwa kebangkitan agama dan budaya global yang didorong oleh ekstrimisme, terorisme, fundamentalisme religius dan etnosentrisme budaya, sangat dirasakan dewasa ini bersamaan dengan ‘perbenturan peradaban’ (clash of civilizations). Penguatan budaya global dan radikalisme agama ini menantang interpretasi ataupun pemahaman kita sebagai warga bangsa dan umat Katolik minoritas tentang makna ‘modernitas’ (atau kemajuan) bangsa ini. 

Dekonstruksi Pancasila In Actu: Bercermin Pada Soekarno di Ende

Pembicaraan mengenai falsafah Pancasila dari perspektif Agama dan Budaya tidak akan lengkap bila kita lalai melakukan dekonstruksi atau kritik atas realitas Pancasila in actu. Para kritikus sosial, termasuk Marx pernah menekankan pentingnya peranan institusi (agama, politik, ekonomi, sosial, dll) dalam membentuk kesadaran manusia. Kesadaran itu tidak lain daripada eksistensi manusiawi yang sadar dan kritis dalam proses hidup yang aktual ...... Kesadaran dari awal adalah produk sosial dan akan tetap begitu selama manusia masih ada.[6]

Bila Marx pernah menilai agama sebagai proyeksi diri masyarakat dalam kesadaran palsu, yang berusaha melindungi ketidakadilan sosial, maka demikian pun kita hendaknya secara sadar dan kritis bisa men-DEKONSTRUKSI, mengeritik ideologi dan falsafah ataupun ’slogan-slogan Pancasila’ yang terus menina-bobokan masyarakat dalam ketidak-adilan sosial, politis, ekonomis, religius dan budaya. Toynbee dalam sebuah dialog kritis dengan Ikeda pernah menyimpulkan bahwa 

”bangsa manusia memang telah disatukan secara sosial, untuk pertama kalinya dalam sejarah oleh penyebaran secara mondial peradaban modern. Masalah masa depan muncul, karena semua institusi (politik, agama dan budaya) yang ada sekarang terbukti tidak memuaskan. Oleh sebab itu, falsafah, agama dan budaya masa depan tidak harus merupakan sesuatu yang sama sekali baru, tapi cukuplah merupakan versi baru dari yang lama. Segala institusi lama harus dihidupkan dalam suatu bentuk dan cara baru yang mampu menjawabi kebutuhan bangsa manusia, yang ditransformasikan sedemikian radikal sehingga hampir tak dikenal lagi.[7]

Bila kritik Toynbee itupun mau dibaca dalam konteks Indonesia, Pancasila pun harus dipahami dan dihayati dengan spirit yang baru, yang memungkinkan bangsa Indonesia mengatasi kejahatan paling mengerikan dan yang mengancam kelestarian bangsa seperti keserakahan, korupsi, kolusi dan nepotisme, konflik dan ketidakadilan sosial, lingkungan artifisial yang diciptakan lewat pemahaman dan penghayatan agama, budaya dan ideologi yang serakah dan hanya memuaskan pribadi dan kelompok sendiri. 

Dalam kajian terhdap proses perumusan teks Pancasila oleh para founding-fathers, khusus-nya Soekarno, filsafat dekonstruksi dari Derrida tentu bermanfaat dalam membaca ulang (de-readere) teks Surat-Surat Islam dari Ende.[8] Dalam terang filsafat dekonstruksi Derrida, makna yang tertera dalam teks-teks tulisan Soekarno itu, kini tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang benar mutlak, universal, dan stabil. Sebaliknya, makna bisa bertambah, diperkaya dan diperbarui. 

Saya berharap bahwa berkat filsafat DEKONSTRUKSI, kekuatan-kekuatan baru yang tersembunyi di pinggiran (Ende dan Bengkulu) bisa diangkat dan dihidupkan untuk memperkaya nuansa yang dikonstruksi atau ditafsir oleh orang-orang kuat (pusat di Jakarta) dalam proses perumusan dan penafsiran Pancasila. Baik teks maupun nilai-nilai religius dan budaya yang terkristalisasi dalam Pancasila, baik teks maupun nilai-nilai yang tersirat dalam Surat-Surat Islam dari Ende, tidak lagi dipandang sebagai dokumen dengan makna tertutup, melainkan sebagai arena terbuka untuk pertarungan dan penafsiran baru. 

Dekonstruksi, seperti juga pendekatan posmodernisme lainnya, dengan demikian cocok dengan konsep pluralitas budaya, pluralitas permainan bahasa, banyaknya wacana, penghargaan terhadap perbedaan, dan membuka diri terhadap yang lain (the other).[9] Penghargaan terhadap perbedaan, dan pada “yang lain” ini membuka jalan bagi penghargaan juga akan pendekatan lokal, regional, etnik, baik tentang masalah sejarah, seni, politik, masyarakat, maupun tentang agama dan kebudayaan. Mungkin, inilah salah satu sumbangan penting dekonstruksi Derrida terhadap kajian “Soekarno dan permenungan Pancasila Yang Asali di Ende dari perspektif Agama dan Budaya”

Beberapa butir pemikiran penting berikut bisa disimak dari Surat-Surat Islam dari Ende. 

a). Refleksi di pembuangan bersama orang-orang yang terbuang. 

Kita telah melakukan rekonstruksi historis terhadap teks dan nilai-nilai Pancasila dalam aneka zaman. Tapi sebelum memuncak pada kesepakatan tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Philosophische Grondlag NKRI, nilai-nilai etika, budaya dan religius sebagaimana terkandung dalam Pancasila telah ada di pelbagai sudut persada Nusantara. Founding – Father Soekarno telah mengalaminya sendiri sewaktu dia melewati saat-saat sulit dalam hidupnya sebagai seorang pahlawan bangsa dalam berhadapan dengan kolonial Belanda. Sejak dari balik jeruji besi penjara Sukamiskin, dan keterasingan kota Ende (Flores, NTT) dan Bengkulu (Sumatera Utara), Soekarno telah bergumul dalam ‘proses kristalisasi nilai-nilai Pancasila’ dalam perjumpaannya dengan orang-orang pinggiran, orang-orang terbuang. 

Setibanya mereka di Ende, isterinya Inggit bertanya: “Kenapa, ya? Kenapa di sini? Kenapa dipilih Flores ?” Soekarno dengan kesatria menjawab: 

“Dalam segala hal maka Ende, di Pulau Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia. Pulau Muting, Banda atau tempat yang jelek seperti itu, ke tempat-tempat mana rakyat kita diasingkan, tidak akan lebih baik daripada ini” (Adams, 1966: 171). 

Selanjutnya Soekarno melukiskan tentang Ende sbb: 

”ENDEH, sebuah kampung nelayan telah dipilih sebagai penjara terbuka untukku yang ditentukan oleh Gubernur Jenderal sebagai tempat di mana aku akan menghabiskan sisa umurku. Kampung ini mempunyai penduduk sebanyak 5000 kepala. Keadaan masih terbelakang. Mereka jadi nelayan, petani kelapa, petani biasa. Hingga sekarang pun kota itu masih ketinggalan. Ia baru dapat dicapai dengan jip selama delapan jam perjalanan dari kota yang terdekat. Jalan rayanya adalah sebuah jalanan yang tidak diaspal, ditebas melalui hutan. Di musim hujan lumpurnya menjadi bungkah-bungkah....... Ia tidak mempunyai tilpon, tidak punya telegrap, tidak ada listrik, tidak ada air-leding. Kalau hendak mandi kau membawa sabun ke Wolo Wona, sebuah sungai dengan airnya yang dingin dan di tengah-tengahnya berbingkah-bingkah baru” (Adams, 1966: 170). 

Di Ende inilah Soekarno pun mulai berefleksi dan bekerja dengan orang-orang pinggiran, karena sejak di Jawa dia sudah diasingkan dari orang-orang terpelajar yang juga sering berkolusi dengan penjajah. Kalau begitu keadaannya, keluh Soekarno: 

”Baiklah kini aku akan bekerja tanpa bantuan orang-orang terpelajar yang tolol itu. Aku akan mendekati rakyat jelata yang paling rendah. Rakyat-rakyat yang terlalu sederhana untuk bisa memikirkan soal politik. Rakyat yang tak dapat menulis dan yang merasa dirinya tidak kehilangan apa-apa. Maka aku bersahabat dengan KOTA, seorang nelayan dan DARHAM si penjahit” (Adams, 1966: 174). 

b). Refleksi bersama misionaris Katolik: Ketuhanan Yang Paling Utama 

Dalam suasana keterasingan, Soekarno memang berusaha mencari sahabat. Pertama, dia bersahabat dengan orang kecil. Kedua, dia juga bersahabat dengan para misionaris Katolik. Sudah sejak di penjara Sukamiskin, Soekarno telah bersahabat dan mempelajari agama Kristen dari Pastor Van Lith, S.J. Soekarno menulis: 

”Aku terutama menaruh perhatian pada Kotbah diatas Bukit. Inspirasi Yesus menyemangati orang-orang syahid yang mula-mula, karena itu mereka berjalan menuju kematiannya sambil menyanyikan Zabur pujian untukNya, karena mereka tahu bahwa kami meninggalkan kerajaan ini, akan tetapi kami akan memasuki Kerajaan Tuhan. Aku berpegang teguh pada itu. Aku membaca dan membaca kembali Injil. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak asing lagi bagiku” (Adams, 1966: 152).

Selama berada di Ende, Soekarno banyak berkomunikasi dan bertukar-pikiran dengan para pastor Societas Verbi Divini (SVD) tentang banyak hal, khususnya tentang keutamaan azas Ketuhanan Yang Maha Esa.[10] Mengenai persahabatannya dengan para pastor di Ende masa itu, Soekarno menulis kepada sahabatnya di Jawa pada tanggal 15 September 1935, sbb: 

”Brochure almarhum H.Fachroeddin akan berfaedah pula bagi saya karena saya sendiri pun banyak bertukar pikiran dengan para pastor di Ende. Tuan tahu, bahwa pulau Flores itu adalah pulau misi yang mereka sangat banggakan. Dan memang pantas mereka membanggakan pekerjaan mereka di Flores itu. Saya sendiri melihat, bagaimana mereka bekerja mati-matian buat mengembangkan mereka punya agama di Flores. Saya ada respek buat mereka punya kesukaan bekerja itu. Kita banyak mencela misi – tapi apa yang kita kerjakan bagi menyebarkan agama Islam dan memperkokoh agama Islam? .............. Kenapa kita malas, teledor, tak mau bekerja, tak mau giat? ............ Misi di dalam beberapa tahun saja bisa mengkristenkan 250.000 orang kafir di Flores, - tapi berapa orang kafir yang bisa dihela oleh Islam di Flores itu? Kalau dipikirkan, memang semua itu salah kita sendiri, bukan salah orang lain” (Soekarno, 1963: 330). 

c). Gema Pembaruan Islam dari Ende: Meragukan Ide Revitalisasi Kekalifatan Islam.

Berhadapan dengan fenomena radikalisme atau fundamentalisme agama, ide pembaruan Islam yang dicetuskan Soekarno dari Ende sungguh menantang dan memberikan kita inspirasi (bdk. Surat tanggal 14 Desember 1935 dan 22 Pebruari 1936). Dengan sangat tajam Soekarno mengeritik para kiyai dan ulama yang hanya tertarik pada prinsip ’taqlid’ dan menerima saja bahwa ’pintu ijtihad’ telah ditutup. Soekarno menulis: 

”Bahwa dunia Islam adalah laksana bangkai yang hidup, semenjak ada anggapan bahwa pintu-ijtihad sekarang termasuk tanah yang sangar. Bahwa dunia Islam adalah mati-geniusnya, semenjak ada anggapan bahwa mustahil ada mujtahid yang bisa melebihi imam yang empat, jadi harus mentaqlid saja kepada tiap-tiap kiyai-kiyai atau ulama dari sesuatu mazhab imam yang empat itu” (Soekarno, 1963: 333). 

Menyangkut konsep kenegaraan, Soekarno mengeritik pandangan seorang guru pesantren dari Jakarta yang berpandangan ’kolot’, yang selalu mencari siasat agar zaman kemegahan Islam yang dulu-dulu bisa kembali dalam bentuk pemerintahan Islam, termasuk bentuk pemerintahan ‘kekhalifatan Islam’ ataupun pemerintahan sebuah negara/bangsa berdasarkan ‘syari’ah’ atau hukum Islam. Soekarno menegaskan bahwa 

”Islam harus berani mengejar zaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat mengejar seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali kepada Islam-glory yang dulu, bukan kembali kepada zaman chalifah, tetapi lari ke muka, lari mengejar zaman, - itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang gemilang kembali. ............ Kalau Islam sudah bisa berjuang mengalahkan kekolotan itu, barulah ia bisa lari secepat kilat mengejar zaman yang seribu tahun jaraknya ke muka itu. Perjuangan menghantam orthodoxie ke belakang, mengejar zaman ke muka, - perjuangan inilah yang Kemal Ataturk[11] maksudkan, tatkala ia berkata bahwa Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari di dalam mesjid memutarkan tashbih, tetapi Islam ialah perjuangan. Islam is progress: Islam itu kemajuan” (Soekarno, 1963: 334).

d). Mayoritas Kristen (Katolik) di Ende/Flores/Timor/NTT tetap bertekad menegakkan NKRI berdasarkan Pancasila. 

Tak dapat disangkal bahwa di tengah fenomena radikalisme agama mayoritas di NKRI (mis. Perda Syariah yang melecehkan Pancasila; perusakan Gereja-Gereja) dan ketidak-adilan sosial dalam pembangunan di kawasan timur perbatasan dgn Timor Leste dan PNG (bdk. Berita nasional mutakhir tentang kelaparan dan kehausan, korupsi dan ketak-adilan hukum) bisa muncul gerakan separatisme, pemberontakan dan revolusi. Namun, di tengah kemiskinan, kelaparan dan kehausan masyarakat mayoritas Kristen (di FLORES, TIMOR, SUMBA) dan Hindu (di BALI) masih setia menegakkan NKRI berdasarkan Pancasila, menjunjung tinggi pluralitas dengan ciri multi-religi dan multi-kultural. 

Masih dalam bingkai filsafat dekonstruksi, Pancasila yang direnungkan Soekarno di Ende, Bengkulu dan Jakarta sesungguhnya telah menyiratkan konsep ‘pengakuan akan perbedaan dan kesederadatan’ yang akhirnya juga diramu Derrida dalam terminologi “DIFFERANCE”. Pancasila dalam teori dan praksis seharusnya senantiasa menjunjung-tinggi pluralitas, baik dalam rupa multikulturalisme dan multireligiositas. Dalam terang falsafah DIFFERANCE, multikulturalisme dan multireligiositas Indonesia harus dipahami sebagai suatu konsep keanekaragaman budaya dan kompleksitas kehidupan yang di dalamnya ada pelbagai etnis, agama, sosial, ekonomi, dll. 

Kesaksian hidup Soekarno selama di Ende membuktikan bahwa dia menjalani hidup dalam pembuangan sambil berkomunikasi dengan orang dari pelbagai agama dan latar budaya: dengan Kota si nelayan, Darham si petani, Bouma dan Huytink para misionaris, sang Kiyai dari Hadramaut, para pedagang Tionghoa serta rakyat jelata di pinggiran kali Wolowona. Semua komponen masyarakat kota yang terpencil dan tertinggal itu dipandangnya sebagai yang sederajat. Oleh karena itu, konsep multikulturalime dan multireligiositas yang dikembangkan Soekarno di Ende adalah sebuah pengakuan akan politik universalisme yang menjunjung tinggi harga diri semua manusia, serta hak dan kewajiban yang sederajat sebagai manusia, tanpa memandang mayoritas ataupun minoritas, lelaki atau wanita, warga kelas satu (the first class) atau kelas dua (the second class), Kristen atau Islam, Flores atau Jawa. Bagi Soekarno, penghargaan akan perbedaan dan keanekaragaman dalam kesederajatan adalah nilai humanisme universal, yang sekaligus mampu mempersatukan dan menjamin kelanggengan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila (Bdk. Mutis, dkk., 2005: 228 – 229).

Kesimpulan

Usaha rekonstruksi dan dekonstruksi tekstual dan konseptual terhadap Pancasila sebagai philosofische Grondslag dari Indonesia merdeka telah menyingkapkan suatu kenyataan bahwa nilai-nilai luhur yang terkandung dalamnya merupakan kristalisasi dari pelbagai nilai yang dijunjung-tinggi oleh pelbagai agama (Budha, Hindu, Kristen dan Islam) dan kebudayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia. Bahkan pengalaman hidup dan refleksi Soekarno selama di pembuangan di Ende, sebagaimana tersirat dalam Surat-Surat Islam dari Ende, senantiasa mengungkapkan cita-cita luhurnya sebagai salah seorang founding-fathers dari NKRI, yang menjunjung-tinggi asas kesatuan dan persatuan bangsa berdasarkan Pancasila, kebhinekaan (pluralitas) berasas kesederajatan dalam suku, agama, ras, dan antargolongan.

Pelbagai fenomena mutakhir yang jelas menggugat keluhuran dan kemapanan Pancasila (mis. konflik bernuansa penindasan kelompok minoritas, produk hukum yang bertentangan dengan Pancasila, korupsi dan ketidak-adilan yang kian menggurita dari centrum/ pusat Jakarta) tentu saja menggugah kita untuk melakukan dekonstruksi atau mengangkat kembali pelbagai nilai luhur Pancasila dari pinggiran (periphery) kehidupan berbangsa.

Banyak kisah tentang Soekarno di kota Ende sebagai simbolisasi pengalaman dari pelbagai situs pinggiran lain seperti Bengkulu, Boven Digul, dan lain-lain yang senantiasa diremehkan dalam pembangunan kesejahteraan dan diskursus filosofis yang refleksif. Warga Ende dan Flores / Timor khususnya, seperti kawasan pinggiran nusantara umumnya pernah merupakan penggalan sejarah dalam proses pergumulan dan perumusan Pancasila sebagai falsafah negara dalam pergerakan dan perjuangan menuju kemerdekaan RI. Namun, hampir 70 tahun kemerdekaan itu berlalu, Ende dan kota-kota pinggiran tempat sang proklamator itu dipinggirkan dan disisihkan, tetaplah terabaikan dan tersisihkan. Namun dari sanalah, kita harus menghembuskan lagi semangat Pancasila sejati ke Jakarta dan ke pusat-pusat kekuasaan 

Kepustakaan: 

Adams Cindy, 1966. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: 

Gunung Agung. (Edisi Bahasa Inggeris berjudul: Sukarno, An Auto-biography as Told to Cindy Adams. 1965. New York: The Bobbs-Merrill Company Inc.).

Baghi Felix, Drs. Lic., 2004. Audieu A Derrida (Mengenang Kematian Pendiri Ajaran Dekonstruksi), dalam Akademika STFK Ledalero (vol. 1, No, 1), hal. 98 – 103. 

Derrida Jacques. 1973. Speech and Phenomena: and Other Essays on Husserl’s 

Theory of Signs (Terjemahan David B. Allison. Northwestern Univ. Press, Evanston.

Fukuyama, Francis. 1995. Trust. The Social Virtues and the Creation of 

Prosperity London : Penguin books.

Giddens Anthony. 1993. Sociology. Cambridge: Polity Press.

Jamhari M., 2003. “Mapping Radical Islam in Indonesia”, in Studia Islamika Indonesia, vol. 10, Nr 3, pp 1 – 28. 

Marx K. dan F. Engels, 1947. The German Ideology. New York: International Publisher,

Muskens Pr., Dr. M.P.M., 1973. Sejarah Gereja Katolik Indonesia: Pengintegrasian di Alam Indonesia (Jld.4). Jakarta: Penerbit Bag Dokpen Kantor Wali Gereja Indonesia.

Mutis, Thoby Prof. Dkk., 2005. Perdamaian dan Anti Kekerasan: Merajut Mozaik

Budaya Bangsa. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti.

Purwadi Dr. 2007. “Religion and Culture,” dibawakan dalam talk-show yang diprakarsai oleh Center of Religion and Cultural Studies, Gadjah Mada University of Indonesia pada tanggal 12 April 2007.

Sukarno, Ir., 1963. Dibawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi.

Tule Philipus. 2008. Mengenal dan Mencintai Muslim dan Muslimat. Maumere: Penerbit Ledalero.

Toynbee A.J., dan Daisaku Ikeda, 1976. The Toynbee – Ikeda Dialogue. Man Himself Must Choose. Tokyo, Kondansha Internasional. 

Wahyu Triono KS., 2011. Memaknai Kembali Pancasila. Dalam Http://politik.kompasiana.com/2011/06/01. Diakses tanggal 01 September 2011.

CATATAN KAKI:
[1] Jacques Derrida (1930–2004) adalah seorang filsuf Prancis, yang dianggap sebagai tokoh penting post-strukturalis-posmodernis. Derrida lahir dalam lingkungan keluarga Yahudi pada 15 Juli 1930 di Aljazair. Pada tahun 1949 ia pindah ke Paris (Prancis), di mana ia tinggal, mengikuti kuliah dan mengajar di École Normale Supérieure hingga akhir hayatnya karena menderita kanker pada 2004. Derrida pernah mendapat gelar doctor honoris causa di Universitas Cambridge. Dia dikenal sebagai pencetus ide ‘dekonstruksi’ sebagai metode analisis untuk membongkar struktur-struktur dan kode-kode bahasa demi terciptanya satu permainan tanda tanpa makna akhir. Metode dekonstruksi inipun bertujuan menentang sistem pengetahuan Barat yang menyusun hirarki makna yang memuncak pada satu kebenaran universal – logos, yang akhirnya menguburkan keaneka-ragaman budaya dan agama, dan sekaligus mengokohkan struktur kekuasaan yang menjaga kekokohan hirarki (Baghi, 2004: 98 – 99). 

[2] Wahyu Triono KS, Memaknai Kembali Pancasila. Dalam http://politik.kompasiana.com/2011/06. Diakses tanggal 01 September 2011. 

[3] Pada jaman Majapahit telah hidup berdampingan secara damai kepercayaan tradisi Agama Hindu Syiwa dengan Agama Budha Mahayana dan campurannya yakni Tantrayana. Sedangkan Mpu Prapanca sendiri kemudian menjabat dharmadyaksa ring kasogatan yaitu penghulu (kepala urusan) Agama Budha.

[4] Francis Fukuyama, Trust. The Social Virtues and the Creation of Prosperity (London: Penguin books, 1995), hal. 421 

[5] Anthony Giddens, (1993), Sociology. Cambridge: Polity Press. Hal. 556 – 561. 

[6] K. Marx dan F. Engels, The German Ideology (New York: International Publisher, 1947) hal. 14, 15. 19. 

[7] A.J. Toynbee dan Daisaku Ikeda, The Toynbee – Ikeda Dialogue. Man Himself Must Choose, (Tokyo, Kondansha Internasional: 1976), hal. 295-296. 

[8] Surat itu ditulis Soekarno pada tahun 1934/1935 ketika berada dalam pembuangan di Ende. Semua surat itu berjumlah 13 (tigabelas) yang ditujukan kepada sahabat seperjuangannya: T.A. Hassan, guru Persatuan Islam di Bandung. Surat pertama ditulis tanggal 01 Desember 1934 dan surat terakhir ditulis pada tgl 25 Nopember 1936. Surat-Surat Islam dari Ende itu selengkapnya diterbitkan dalam Ir. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, 1963 (Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi), hal. 325 – 347. 

[9] Sasaran utama dari kritik dekonstruktif oleh Derrida terhadap segala sesuatu adalah diakuinya ‘perbedaaan’, kemajemukan, pluralitas sebagaimana terungkap dalam konsep dasarnya tentang ‘DIFFERANCE’ Baca konsepnya ttg “DIFFERANCE” dalam Jacques Derrida, Speech and Phenomena: and Other Essays on Husserl’s Theory of Signs (Terjemahan David B. Allison. Northwestern Univ. Press, Evanston, 1973), hal. 129 – 160. 

[10] Dari kisah lisan di antara para misionaris SVD Belanda yang berkarya di Flores masa itu dan juga dari catatan sejarah Gereja Katolik di Flores, didapat informasi bahwa Soekarno sangat akrab dengan Pastor Dr. Y. Bouma, SVD ( 1885 – 1970) sebagai pemimpin misionaris SVD (Regional) Flores dan Timor masa itu. Bouma adalah seorang ahli teologi (Kitab Suci) yang menterjemahkan Kitab Suci Perjanjian Baru kedalam bahasa Indonesia, dan lalu mendirikan Seminari Tinggi St Paulus Ledalero (1937). Pastor Bouma selalu bersedia memberikan kesempatan bagi Soekarno membaca di perpustakaannya dan berdiskusi dengannya tentang banyak hal termasuk tentang kemerdekaan Indonesia dan prinsip Ketuhanan sebagai dasar negara. Soekarno juga berteman dengan Pastor Gerhard Huytink, SVD (1902 – 1953), pastor di Gereja Kristus Raja (Christo Regi) Endeh, yang selalu menjadi tuan rumah yang baik. Pastor Huytink juga dengan ikhlas meminjamkan Aula Paroki yang masa itu dijadikan tempat berkumpul para pemuda bersama Soekarno untuk berlatih dan mementaskan sandiwara yang ditulis sendiri oleh Soekarno (Muskens, 1973, jld 4: 270-289).. 




[11] Ketika Mustafa Kemal Pasha Ataturk tampil dengan ide revolusionernya pada tahun 1922 untuk membangun Turki modern, bentuk pemerintahan kesultanan runtuh dan digantikan dengan kekalifatan bayangan. Tapi pada tahun 1924 kekalifatan bayangan itupun diruntuhkannya lagi. Sementara itu, raja Fuad di Kairo (Mesir) berikhtiar memindahkan kekalifatan dari Istambul ke Cairo dibawah pimpinannya sendiri. Tapi ide itu ditantang oleh Ali Abd al-Raziq (Profesor Universitas Al-Azhar) yang menulis buku kecil berjudul “Islam Wa Usul al-Hukm” atau Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan (1925), yang di dalamnya ada satu bab berjudul “Islam Din La Dawla” (Islam: Agama dan Bukan Pemerintahan) untuk menggagalkan kongres kekalifatan yang diprakarsai oleh Raja Fuad di Al-Azhar pada bulan Mei 1926 (Baca Philipus Tule, 2008. Mengenal dan Mencintai Muslim dan Muslimat. (Maumere: Penerbit Ledalero) hal. 100.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *