Search This Blog

Thursday, February 06, 2014

Mewujudkan Masyarakat Pancasila Menuntut Mensuskseskan Demokrasi (Franz Magnis-Suseno)

Oleh Franz Magnis-Suseno, Dosen STF Driyarkara Jakarta
(Artikel ini dipresentasikan pada Pertemuan Dialog Kerukunan Umat Beragama TIngkat Nasional di Kupang, tanggal 29 September 2011)

Pengantar

Sila Pancasila (Foto: harakahdaily.net)
13 tahun sesudah apa yang disebut reformasi segala semangat gembira sudah menguap. Betul, kita berhasil mewujudkan demokrasi serta memasukkan hak-hak asasi manusia ke dalam undang-undang dasar - suatu prestasi besar yang membanggakan, - tetapi program para reformator: berantas KKN - korupsi, kolusi dan nepotisme - gagal total. Malah korupsi lebih merajalela daripada di zaman Suharto. Dan meskipun belum pernah begitu banyak mantan gubernur, mantan bupati, mantan menteri dll. masuk (dan ke luar ) penjara, rupa-rupanya orang tidak kapok juga korupsi. Benarkah sudah ada konspirasi kelas politik yang saling melindungi dan saling mengamankan sehingga para wakil rakyat, pejabat, dan siapa tahu ke atas ke mana, tetap saja berani melakukan korupsi? Tak ada proyek di mana para pejabat, wakil rakyat dll. yang ada kaitannya tidak mencuri sebagian bagi dirinya sendiri. Gawat sekali situasi ini.

Pada saat yang sama kita melihat radikalisme dan eksklusivisme agama merangkak maju, intoleransi bertambah dan kekerasan atas nama agama dibiarkan oleh alat-alat negara, sedangkan pada saat yang sama para pimpinan nasional sibuk dengan pencitraan diri sendiri. Kalau orang yang terlibat dalam pembunuhan brutal terhadap beberapa orang yang dinilai berajaran "sesat" bahkan tidak dikenai dakwaan "penewasan" dan sesudah tiga bulan ke luar penjara, muncul pertanyaan: kita hidup dalam negara macam apa? Kita punya pimpinan macam apa? Sehingga hal seperti itu dibiarkan saja.

Pada saat yang sama lebih dari 30 juta orang betul-betul miskin dan 100 juta orang lagi hanya bisa hidup pas-pasan. Itu pun dalam negara yang sebenarnya kaya, kaya bukan hanya hal sumber daya alam, melainkan sumber daya manusia. Jelas, kita punya masalah. 

Pada latar belakang yang cukup suram itulah kita mencari orientasi. Orientasi supaya kita dapat mewujudkan hidup bersama yang positif, saling menerima dan tidak saling mengancam, di mana orang kecil pun sejahtera, di mana keadilan berlaku dan kita membawa diri secara beradab. Bagaimana kita dapat melakukannya? 

Saya ingin mencoba masuk ke dalam pertanyaan itu dengan dua langkah. Yang pertama adalah mengangkat kembali Pancasila. Tidak benar bahwa Pancasila sudah kuno dan aus. Sebaliknya, dalam Pancasila bangsa Indonesia bisa menemukan cita-citanya. Tetapi, dan itu langkah kedua, Pancasila sekarang berarti: kita harus mensukseskan demokrasi kita.


Pancasila, etika bangsa Indonesia dan bobotnya

Pancasila merupakan cita-cita bangsa Indonesia tentang masyarakat yang baik karena mengungkapkan nilai-nilai yang ingin direalisasikan dalam kehidupan bersama oleh bangsa Indonesia dan karena itu merupakan keharusan-keharusan bagi segala kebijakan politik Indonesia: Politik Indonesia wajib dalam segala seluk-beluk permasalahannya mau mewujudkan Pancasila. Dalam arti ini Pancasila adalah etika politik bangsa Indonesia. Etika politik dalam arti norma-norma kebijaksanaan politik Indonesia yang baik dan etis. Dengan lain kata: sebuah kebijaksaan politik adalah etis sejauh tidak bertentangan dengan, dan sedapat-dapatnya mewujudkan, apa yang dirumuskan pada akhir Pembukaan Undang-undang dasar 1945:

· Ketuhanan Yang Maha Esa

· Kemanusiaan yang adil dan beradab

· Persatuan Indonesia

· Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

· Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Inilah Pancasila dan Pancasila harus menjadi operasional dalam good governance. Tetapi, begitu perlu kita tanya, di mana letak bobot Pancasila?

Bobot Pancasila menjadi jelas apabila kita perhatian alasan Pancasila dirumuskan. Pancasila dirumuskan bukan sekedar sebagai etika bangsa melainkan sebagai pemecahan sebuah masalah yang serius. Yaitu masalah tentang dasar Republik yang mau didirikan. Konflik dalam BPUPKI apakah Republik Indonesia yang mau diproklamasikan akan didasarkan pada nasionalisme atau pada agama Islam itulah yang mendorong Ir. Soekarno untuk mencetuskan Pancasila!

Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa Pancasila adalah tak lain kesepakatan rakyat Indonesia untuk membangun sebuah negara, di mana semua warga masyarakat sama kedudukannya, sama kewajiban dan sama haknya, jadi di mana semua warga bangsa, tanpa membedakan antara agama mayoritas dan agama-agama lain merupakan warga negara dalam arti sepenuhnya. Konsensus maha penting itu kelihatan dengan paling jelas pada tanggal 18 Agustus 1945 di mana kelompok "Islamis" dalam PPKI bersedia untuk mencoret tujuh kata sesudah "Ketuhanan", yaitu "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Dalam ini termuat kesediaan golongan agama yang terbesar untuk, demi persatuan bangsa, tidak diberi kedudukan khusus apa pun dalam undang-undang dasar negara baru Republik Indonesia ini, suatu sikap yang merupakan tanda kebesaran komitmen pada persatuan bangsa. Dengan lain kata: Pancasila adalah syarat dan dasar persatuan bangsa Indonesia yang majemuk. Dengan kita sepakat mendasarkan kenegaraan kita di atas Pancasila, kita membuat nyata Sumpah Pemuda akan satu Indonesia dari kemajemukan etnik, budaya dan agama Nusantara. 

Dan yang langsung jelas juga: melepaskan, mengebiri, mengubah, mencairkan Pancasila adalah sama dengan pembatalan kesepakatan bangsa Nusantara untuk bersama-sama mendirikan Republik ini. Sentuhlah Pancasila dan Anda menyentuh eksistensi negara dan bangsa Indonesia. Seluruh pluralitas di antara Sabang dan Merauke hanya bersedia masuk ke dalam Republik dengan ibu kota Jakarta atas dasar persetujuan Pancasila karena Pancasilalah yang menjamin agar identitas semua komponen bangsa dalam kekhasan mereka dihormati. Mencabut Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah sama dengan mencabut Declaration of Independence bagi bangsa Amerika Serikat. 

Dengan demikian bobot Pancasila sebagai etika bangsa juga menjadi jelas. Pancasila adalah kontrak bersama bangsa bahwa semua bangsa, dengan tidak membedakan agama, suku, etnik, budaya dll. sama-sama bangsa dan warga negara Indonesia. Dan itu menjadi mungkin karena seluruh bangsa majemuk itu menghendaki sebuah Indonesia yang mewujud-nyatakan sila-sila Pancasila. Lima sila itu sendiri tidak kontrovers. Melalui nilai-nilai yang dianut oleh seluruh bangsa dalam kemajemukannya persatuan bangsa yang majemuk itu tanpa diskriminasi, jadi persatuaan yang sungguh-sungguh, menjadi mungkin. 

Mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila tak bukan tak lain adalah kesediaan untuk saling menerima dalam kekhasan masing-masing, jadi kesediaan untuk menghormati dan mendukung kemajemukan bangsa dan untuk senantiasa menata kehidupan bangsa Indonesia secara inklusif.

Sekarang kita harus bertanya: Bagaimana Pancasila dapat menjadi operasional dalam mewujudkan good governance, pemerintahan yang mutu?


Operasionalisasi lima sila 

Dalam pandangan saya jawaban harus berbunyi: dengan menerjemahkan sila-sila Pancasila ke dalam dalil-dalil etika politik pasca-tradisional. Dengan demikian Pancasila menjadi nyata, bangsa Indonesia akan berdiri di tengah-tengah bangsa-bangsa yang ingin mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan martabat manusia dan keadilan, dan sekaligus menjaga identitasnya sebagai bangsa Indonesia. 

(1) Ketuhanan Yang Maha Esa yang khususnya dirumuskan untuk menjamin agar tak ada diskriminasi atas dasar agama, harus tegas-tegas menjamin kebebasan beragama dan pluralisme ekspresi keagamaan. Mewajibkan masyarakat untuk beragama menurut dalil-dalil tertentu – biarpun dianggap ortodoksi suatu agama – bertentangan dengan sila pertama itu. Orang di negara Pancasila tidak boleh dipaksa untuk beragama atau beribadat menurut model apa pun. Paham “ajaran sesat” bisa tepat dalam sikap suatu agama, tetapi bagi negara Pancasila tak ada itu ajaran yang oleh mayoritas dianggap sesat lalu orang-orangnya tidak dilindungi dalam hak asasi mereka untuk percaya serta beribadat menurut apa yang mereka yakini sebagai jalan Tuhan. 

(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi operasional dalam jaminan tanpa kecuali terhadap hak-hak asasi manusia. Bahwa dalam amendemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 hak-hak asasi manusia diberi kedudukan kuat merupakan suatu kemajuan luar biasa dalam pemanusiaan masyarakat Indonesia serta dalam mewujudkan kehidupan bersamanya yang beradab.

(3) Persatuan Indonesia sudah jelas menegaskan cinta pada bangsa Indonesia. Di abad ke-21 nasionalisme harus cerah dan tidak picik, tidak dengan menutup diri dan melawan mereka yang di luar, melainkan dengan membangun hubungan timbal balik atas dasar kesamaan kedudukan. Perlu diperhatikan bahwa kebangsaan Indonesia adalah kebangsaan dalam pengertian bhinneka tunggal ika.

(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan di abad ke-21 berarti komitmen tanpa ragu-ragu terhadap demokrasi, demokrasi tanpa embel-embel. Secara konkret komitmen itu berarti bahwa demokrasi yang kita miliki sekarang – yang kita ketahui masih mempunyai banyak kelemahan – wajib kita sukseskan. Menggerogoti demokrasi Indonesia sama dengan menggerogoti Pancasila.

(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak dipersoalkan dalam diskursus politik Indonesia, jadi semua setuju, tetapi dalam kenyataan masih jauh dari terlaksana. Sila itu berarti bahwa pengentasan kemiskinan serta pengentasan segenap diskriminasi terhadap minoritas dan kelompok-kelompok lemah perlu dihapus dari bumi Indonesia. Perpecahan vertikal bangsa: 40% bangsa maju terus, sedangkan 40% tetap miskin atau, sekurang-kurangnya tidak sejahtera (20% berada di tengah-tengah), tidak boleh kita biarkan sama sekali. Lebih daripada sampai sekarang pembangunan harus diarahkan pada pemberdayaan mereka yang sampai sekarang ketinggalan.


Kekhasan Indonesia

Apakah ada bahaya bahwa dengan tegas-tegas menerjemahkan sila-sila Pancasila ke dalam prinsip-prinsip dasar etika politik pasca-tradisional kekhasan Pancasila sebagai ekspresi cita-cita bangsa Indonesia menjadi buram?

Tentu tidak. Prinsip-prinsip etika politik pasca-tradisional - kebebasan beragama, demokrasi, hak-hak asasi manusia, keadilan sosial - justru mau menjamin kekhasan masing-masing komponen umat manusia dalam kekhasannya, dalam hak-hak dan kewajiban-kewajibannya berhadapan dengan kekuatan-kekuatan raksasa modern: negara modern, kekuatan-kekuatan sosial modern serta kekuatan-kekuatan global. Hanya dengan menjamin kebebasan beragama, menghormati hak-hak asasi manusia, menjunjung tinggi bangsa secara positif, dengan berdemokrasi dan dengan mengentaskan kemiskinan dan diskriminasi ekonomis bangsa Indonesia dapat mempertahankan kehormatan di kalangan bangsa-bangsa serta membuat Pancasila menjadi nyata.

Kekhasan Indonesia tetap terjaga dalam kesatuan unsur-unsur ini dalam satu Pancasila sebagai dasar persatuan bangsa. Semua unsur itu akan kita lakukan sepenuhnya, tetapi menurut kekhasan budaya dan masyarakat Indonesia. Tak akan ada bahaya bahwa bangsa Indonesia akan kehilangan karakternya (bahaya itu hanya ada apabila sebuah ideologi dari luar mencoba menyeragamkan bangsa, entah ideologi sosial entah ideologis religius).


Mensukseskan demokrasi

Jadi sebenarnya tak ada alasan mengapa Indonesia seakan-akan jalan di tempat, bahkan terancam tidak berhasil dalam membangun diri menjadi bangsa yang besar, yang bebas, adil, terbuka, sejahtera dan maju. Asal kita mau.

Maka tentu yang pertama-tama harus jelas: kita harus mensukseskan satu-satunya hasil “reformasi” yang nyata, yaitu demokrasi kita. Betul, demokrasi kita masih banyak sekali kekurangan dan kelemahan dan kiranya satu amendemen lagi terhadap undang-undang dasar kita tidak dapat dihindari. Kekuasaan presiden harus diperkuat berhadapan dengan DPR, undang-undang pemilihan umum harus diperbaiki lagi (a. l. dengan menaikkan „parliamentary threshhold“, misalnya menjadi 5 % untuk memastikan bahwa partai-partai kecil – kebanyakan hanyalah hasil sakit hati beberapa orang yang tidak kebagian – tidak bisa masuk DPR; sebagainya sistim pemilihan proporsional dikawinkan dengan sistem distrik, dlsb.). Perlu masalah paling gawat ditangani, yaitu bahwa masuk politik sedemikian mahal (itulah sebab struktural korupsi kelas politik yang sekarang mengancam demokrasi kita).

Tetapi demokrasi sendiri harus kita bela. Kita bela juga terhadap suara-suara sumbang yang kedengaran, terutama dari mantan golongan penguasa di bawah Suharto yang kembali dengan lagu lama „ancaman liberalisme“ untuk menjelek-jelekkan demokrasi. Militer kita selalu akan, dan harus, menjadi penjaga akhir agar negara kita tidak jatuh ke dalam tangan orang-orang yang mau mengubah negara NKRI berdasarkan Pancasila ini. Tetapi bahwa militer sekarang menerima bahwa mereka tidak lagi dapat campur dalam pemerintahan negara pantas kita syukuri. 


Menolak kembalinya neo-feodalisme

Maka suara-suara yang mau membatalkan demokratisasi republik kita ini, tepatnya yang tidak bersedia mengakui amendemen-amendemen yang secara demokratis diadakan oleh MPR pilihan rakyat sepuluh tahun lalu, harus ditolak dengan tegas. Itu suara-suara masa lampau yang di masa lampau sudah tidak berhasil membuat bangsa ini bangsa yang maju dan percaya diri. Sakralisasi UUD 1945 yang mulai disuarakan lagi oleh musuh-musuh demokrasi, harus kita tolak dengan tegas. Sakralisasi itu jelas bertentangan dengan para pembuat UUD 1945 itu sendiri. Kita hendaknya tidak kembali ke neo-feodalisme demokrasi terpimpin dan sistem Orde Baru yang buah-buahnya adalah korupsi yang kita lihat sekarang. Bahwa kita sekarang memilih presiden, bahwa partai bisa dibentuk dengan bebas dan pemilihan umum adalah bebas adalah kemajuan yang jangan kita izinkan digerogoti lagi.

Terpenting: sepuluh tahun lalu MPR berhasil membuat yang sudah dicoba sejak konstituante 1955 (yang tidak dapat menyelesaikan karyanya karena dibubarkan oleh Presiden Sukarno 1959), yaitu memasukkan hak-hak asasi manusia ke dalam undang-undang dasar kita. Meskipun sekarang masih terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia, terutama jauh di Papua oleh aparat kita (yang tetap tidak belajar kemanusiaan dan tetap melakukan hal-hal yang mempermalukan bangsa), akan tetap sejak Presiden Habibie dengan tegas dan cepat membuka keran demokrasi, pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia sangat berkurang. Kita jangan mengizinkan hak-hak asasi manusia kita digerogoti, apalagi suara-suara itu ke luar dari mantan-mantan yang dulu bertanggungjawab atas penggerogotan ini.

Jadi hak-hak asasi manusia dan demokrasi kita harus kita bela, harus kita sukseskan, untuk itu demokrasi kita masih harus disempurnakan, kekurangan-kekurangan demokrasi kita harus diamendemen, tetapi segala serangan kaum neo-feodal terhadap demokrasi harus ditolak. 


Penegakan hukum

Namun kalau kita mau mensukseskan demokrasi kita harus menjamin apa yang menjadi unsur hakiki dalam demokrasi, yaitu ketaatan terhadap hukum yang berlaku. Tetapi yang kita lihat adalah bahwa negara kita tidak tegas dalam menjamin hukum, hak-hak dan hak-hak asasi manusia setiap warga dan setiap kelompok warga.

Terutama itu kelihatan dalam pembiaran kekerasan atas nama agama yang kita lihat dari bawah – polisi setempat – sampai ke puncak negara kita. Setiap ancaman, intimidasi, kekerasan terhadap barang, kekerasan terhadap orang harus ditindak tegas oleh aparat. Padahal di Cikeusik aparat nonton pada waktu massa brutal membunuh tiga orang. Negara nonton saja kalau seorang walikota terang-terangan membangkang terhadap keputusan Mahkamah Agung untuk membuka kembali sebuah gereja. Kapan kita mendengar dari pimpinan negara suatu pernyataan tegas, pernyataan bahwa minoritas-minoritas wajib kita lindungi, hak-hak mereka dihormati dan hidup serta ibadat mereka kita jamin – pun pula kalau kita tidak menyetujuinya?

Kalau negara sendiri tidak mempertahankan monopoli pemakaian kekerasan yang menjadi hak dasar negara beradab, jangan kita heran kalau republik kita akan merosot menjadi republik para preman, laskar dan bajingan dan akhirnya situasi kita akan sama dengan yang di Pakistan atau Somalia.


Memberantas korupsi

Ancaman terbesar yang kita hadapi sekarang adalah korupsi. Korupsi, apalagi korupsi/money politics dalam kelas politik, merupakan ancaman terbesar terhadap integritas, kemampuan dan kompetensi bangsa Indonesia. Bagaimana suatu bangsa bisa maju yang tidak dapat membedakan antara jujur dan tidak jujur? 

Yang kita alami dalam dua tahun terakhir itu dalam hal korupsi betul-betul di luar imajinasi: Kasus Bank Century yang tidak selesai-selesai, kasus cek pelawat, usaha untuk mengebiri KPU (cicak – buaya) dst. Waktu kasus Gayus muncul banyak dari kita mengira bahwa itulah puncak korupsi di negara kita. Tetapi tidak demikian. Muncul kasus Nazaruddin di mana apa yang sudah lama dikhawatirkan semakin tercium: bahwa bangsa kita disandera oleh sebuah konspirasi yang telah mencakup seluruh kelas kita: legislatif, ekskutif, yudikatif. Tak ada proyek di mana kelas politik tidak langsung berusaha mencuri. Masyarakat sudah mencium bahwa kasus buruk korupsi di Kemennakertrans yang sekarang baru diramaikan, akan dapat ditemukan dalam pelbagai kementerian dan jawatan lain juga. 

Benarkah mereka yang mengatakan bahwa kita bangsa Indonesia sudah disandera dalam sebuah konspirasi yang membuat kelas politik dari atas ke bawah, dari pusat ke daerah, berkongkalikong dengan kepentingan-kepentingan modal besar dengan tujuan untuk menghisap habis kekayaan dan hasil kerja rakyat? Konspirasi itu akan berarti bahwa memang selalu ada orang yang ditangkap dan dihukum, tetapi rekan-rekan mereka dalam konspirasi menjamin agar hal itu tidak terlalu gawat dan perampokan bangsa oleh para wakil, pemimpin dan hakimnya berlangsung terus.

Sudah jelas bahwa di situlah letak tantangan kita paling besar. Tantangan itu tidak kita hadapi dengan mencari seorang strongman lagi, seorang Suharto baru, atau dengan mengajak militer kembali memegang kekuasaan, melainkan dengan melakukan dua hal:

· Pertama kita masing-masing melawan, tidak ikut, tetap menjaga cita-cita kita. Kita mau memajukan bangsa, kita bersedia hidup sederhana asal terjamin, kita tidak korup.

· Kedua, kita memanfaatkan hasil satu-satunya jatuhnya pemerintahan Suharto, yaitu kebebasan-kebebasan demokratis untuk tetap menantang dan menentang konspirasi itu. 



Masih ada harapan!

***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *