Search This Blog

Tuesday, February 18, 2014

Pendidikan yang Relevan dan Bermutu bagi Indonesia

Quo vadis Pendidikan?
Ilustrasi dari blogkammiumm.wordpress.com
Oleh Dr. J. Riberu

Artikel ini dipresentasikan pada pertemuan Forum Konsultasi Tokoh-tokoh Agama tingkat Regional Palembang 12-14 September 2008 dan Medan 25-27 September 2008


1. WAJAH BANGSA KITA

Sumatera bagian selatan dan utara merupakan bagian integral Negara RI, dan berbagi suka-dukanya, keunggulan dan kebobrokannya.. Negara kita alamnya kaya-raya; budayanya bervariasi. Tetapi rakyatnya kurang makmur. Dari penduduk 237 juta lebih[1], yang miskin (BPS Maret 07) 37,17 juta (16,8%) (Garis kemiskinan tahun 2007, Rp 166.697/kapita/bulan. Harapan hidup sudah sangat ditingkatkan menjadi 70,4 tahun. Ditambah dengan pertumbuhan penduduk per tahun yang di atas satu prosen, menyebabkan masalah kependudukan dan kemiskinan menjadi tambah kompleks. Persebaran juga tidak menguntungkan, karena sebanyak 62,7% bermukim di Jawa-Madura. Dari angkatan kerja sekitar 108 juta orang, pengangguran terbuka 10,28%, setengah terbuka 29,1% (2006).

2. MUTU BANGSA KITA

Tingkat pendidikan masyarakat tergolong rendah. Tamat SD 70%, tamat PT 1,25% dibandingkan dengan Malaysia yang 2,4%. Penelitian internasional menunjukkan, bangsa Indonesia: kurang percaya diri; tinggi mental feodal dan birokrasi; non selfstarter. Hal-hal ini a.l menyebabkan produktivitas rendah; demikian pula daya saing. Dari 47 negara, RI no 45, Singapura no 2, Malaysia 25, Thailand 33, Filipina 38. Efisiensi pemerintah juga rendah, no 45 dari 49 negara. Efisiensi bisnis merosot: no 48 dari 49 negara.[2]

Beberapa ketidakpastian menghantui para investor dan wisatawan, dan menyebabkan Indonesia kurang menarik, walau alamnya begitu indah dan budayanya begitu mempesona. Ketidakpastian itu menyangkut: ketidakpasstian waktu (jam karet!), ketidakpastian hukum, mulai dari isi dan makna peraturan, sampai dengan implementasinya; ketidakpastian hukum diobrak-abrik lagi oleh kebijaksanaan yang diambil seenaknya oleh penguasa (semua bisa diatur!), berdasarkan pola negara kekuasaan (machtsstaat). yang di dalam mulut selalu ditentang dan dikutuk. Yang membuat daftar di atas ini menjadi lebih panjang, adalah ketidakpastian yang akhir-akhir ini terjadi, yaitu ketidakpastian keselamatan dalam perjalanan, yang disebabkan oleh begitu seringnya terjadi kecelakaan pesawat udara dan kereta api, yang disebabkan juga dan terutama oleh human error. 

Di atas semua itu sekarang dirasakan sekali: kemerosotan moral/etika.Tata paham dan tata nilai bangsa (yang katanya berbudaya dan beragama) hanya menjadi layanan bibir; di dalam praktek terjadi hukum rimba. Paham dan nilai budaya dan keagamaan tidak diperhatikan. Yang dicari dan dikejar adalah manfaat/keuntungan materiil yang diperoleh dari sesuatu. Orang menjadi makin praktis-pragmatis dan sejalan dengan itu makin materialistis.

Persidangan TIPIKOR menunjukkan secara transparan kebobrokan moralitas bangsa ini. KKN telah merasuk seluruh jajaran kepemimpinan Negara. Di dalam daftar yang diduga, dituduh, didakwa dan bahkan diadili dan dijebloskan ke dalam penjara terdapat barisan panjang mulai dari kalangan eksekutif tinggi dan tertinggi, sampai dengan jajaran legislatif dan yudikatif. Kita harus malu karena keadaan ini, akan tetapi itulah fakta nyata!

Berbagai ketidakpastian dan kemerosotan moral menyebabkan kredibilitas bangsa dan negara merosot tajam. Hal ini sangat merugikan iklim investasi dan kerjasama internasional dan global, yang dapat menguntungkan perkembangan bangsa dan negara kita sendiri.

2. KEUNGGULAN YANG DAPAT DIBANGGAKAN

Di balik itu semua tidak boleh dilupakan bahwa kita memiliki keunggulan-keunggulan. Kita penghasil terbesar pertama puli pala dan lada putih. Penghasil terbesar kedua minyak sawit (sesudah Malaysia), karet alam (sesudah Thailand) dan timah (sesudah Cina). Produsen terbesar ketiga lada hitam, coklat dan tembaga. Produsen kopi terbesar no 4 ; no 6 biji-bijan, teh, gas alam dan nikel; no 8 emas dan no 9 batubara.

Kita juga memiliki keunggulan komparatif yang luar biasa, keunggulan-keunggulan itu semuanya ada di Sumatera. Dibandingkan dengan negara maju seperti Jepang kita memiliki jauh lebih banyak peluang. Ada peluang besar di bidang pertanian dan perkebunan (termasuk di sini agrobisnis dan hortikultura); ada kehutanan, kelautan, dan perikanan, pertambangan dan industri, demikian pula pariwisata. Kita dapat maju dengan memanfaatkan berbagai peluang ini. 

Angkatan muda kita mencatat keberhasilan lumayan di dalam olimpiade ilmiah dan lomba dan sayembara lain. Bila ditangani lebih baik dan lebih serius, bibit-bibit unggul semacam ini bisa lebih banyak lagi. 


KUNCI PENYELESAIAN MASALAH 

Masalah yang menghambat kemajuan bangsa yang dikedepankan di atas tadi untuk sebagian dapat diselesaikan dengan menegakkan hukum secara konsekuen dan tanpa pandang bulu. Namun cara ini membutuhkan penegak-penegak hukum yang handal dalam jumlah yang cukup besar, dan terutama yang memiliki moralitas dan hatinurani yang luhur. Akan lebih efisien dan efektif apabila manusia Indonesia dikembangkan, sehingga mempunyai mutu teknik-ilmiah dan terutama mutu watak dan moralitas yang dapat dibanggakan. Jumlah rakyat banyak yang terdidik baik, akan merupakan kekuatan yang bersama-sama dapat memperbaiki keadaan. Kita dapat menempatkan seribu orang polisi yang mengatur tertib lalu lintas, tetapi orang toh melanggar peraturan, apalagi kalau pelanggar dapat lolos secara damai sesudah tawar-menawar. Akan tetapi kalau terdidik baik, dan karena itu memiliki pemahaman dan terutama moralitas yang luhur yang mengendalikan manusia dari dalam, tanpa ada polisi pun orang akan mengikuti peraturan. Semua akan berjalan lebih tertib dan teratur. Bukan karena paksaan, bukan karena tekanan, melainkan karena kesadaran yang ditimbulkan oleh pengetahuan, pemahaman dan budi luhur yang ditanamkan melalui pendidikan. Maka bagaimanapun saya berpendapat, kunci penyelesaian masalah besar bangsa ini adalah: pendidikan. Untuk itu masyarakat harus diberi pendidikan yang memenuhi dua persyaratan: pendidikan itu harus relevan dan bermutu. Pada kesempatan yang singkat ini saya hanya akan membahas masalah relevansi pendidikan.


PENDIDIKAN YANG RELEVAN 

Pendidikan yang relevan adalah pendidikan yang memberikan bekal hidup kepada subyek didik, sehingga ia mampu menata kehidupan dan penghidupannya di dalam situasi konkrit tempat dia ada dan berdiam. Bekal itu terdiri atas: a) pengetahuan, b) keterampilan, c) sikap keprofesian dan d) sikap hidup, (= sikap kemanusiaan atau moralitas), yang berpedoman kepada tata paham dan tata nilai yang dianuti. 

Bekal yang diberikan harus disesuaikan dengan peluang, tuntutan dan tantangan di dalam situasi konkrit subyek didik. Anak-anak di Sumatera, khususnya di Sumatera bagian selatan (atau utara) harus diberi bekal yang sesuai dengan peluang, tuntutan dan tantangan Sumatera, yang pasti tidak seluruhnya sama dengan wilayah-wilayah lain di RI. Sumatera begitu kaya alamnya. Di sini terdapat semua keunggulan komparatif yang dibanggakan Indonesia. Ada potensi pertanian, dengan perkebunan dan argoindustri; ada peluang kemaritiman dengan segala kekayaan laut; ada kawasan pertambangan; ada wilayah industri: rumah, ringan dan berat, ada di mana-mana jaringan transportasi dan komunikasi, sampai dengan sarana teknologi informasi canggih. Pendidikan yang relevan berusaha mempelajari peluang dan tantangan lapangan yang ada, lalu menyusun kurikulum yang menjawab tantangan dan peluang tsb. 

Kecuali itu tidak boleh dilupakan bahwa titik tolak kelompok masyarakat di berbagai daerah Sumatera tidak sama. Ada yang masih sangat tradisional, dan belum banyak bersentuhan dengan dunia modern dengan ekonomi keuangan dan teknologi canggihnya. Akan tetapi ada juga yang sudah berkecimpung di tengah-tengah era pasca industri, dengan teknologi canggih pada umumnya dan teknologi informasi pada khususnya. Untuk memberikan pendidikan yang benar-benr relevan perbedaan-perbedaan dan kekhasan peluang dan tuntutan harus diperhatikan. 


YANG DIUTAMAKAN DALAM PROSES PEMBELAJARAN 

Pendidikan yang ingin relevan tidak mengutamakan alih pengetahuan dan alih keterampilan. Fokus bukannya penyajian bermacam-macam ilmu dengan cabang dan rantingnya, sesuai dengan struktur logis-ilmiahnya. Penumpukan materi ‘ilmiah’ memasukkan kita ke dalam perangkap ‘materialisme pedogogik’, yaitu paham keliru, bahwa dengan memberikan banyak dan bermacam-macam ilmu, subyek didik menjadi lebih berbobot. Orang Perancis mengatakan yang utama bukan otak yang penuh melainkan otak yang dibentuk rapi. Materialisme pedagogik mengakibatkan bahan tidak dicerna dan diolah dengan baik, tetapi ditelan (tanpa dikunya) dan dihapal tanpa pemahaman. Hal ini di Indonesia lebih ditekankan lagi dengan cara-cara menguji dan mengevaluasi, yang pada umumnya menantang bukan nalar, melainkan kemampuan mengingat, bahkan mengingat secara pasif.[3]

Yang paling penting adalah pemekaran potensi-potensi subyek didik sebanyak mungkin ( yg diukur dengan IQ, EQ, SQ, AQ dll). Yang harus dikembangkan adalah apa yang disebut ‘soft competencies’ yang terdiri dari kemampuan bergaul, berinteraksi dan berkomunikasi, bersimpati dan berempati, memimpin dan memotivasi dll. Penilaian murid di Indonesia masih mengutamakan penilaian pengembangan kemampuan berpikir, (yang diukur dengan IQ). Pada hal penelitian ilmiah yang sangat valid, yang dipelopori oleh Howard Gardner dari Harvard, menunjukkan bahwa orang-orang yang berhasil di dalam hidup, bukannya yang memiliki IQ tinggi, melainkan potensi-pontensi yang berkaitan dengan interaksi antarpribadi yang terutama nampak dalam kadar Emotional Quotient (EQ).[4]

Bukan daya serap (UAN sebenarnya berorientasi ke daya serap) yang menentukan bobot seseorang, melainkan kemampuannya untuk berprakarsa, berkarya sendiri (inisiatif dan otoakatifitas); untuk kreatif dan inovatif; untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan ini media, khususnya teknologi informasi dapat membantu.[5]

Berdasarkan paham-paham pedagogis-didaktis baru ini sekarang ditegaskan bahwa mata ajaran utama adalah: mengajar murid belajar sendiri.


PENINGKATAN RELEVANSI PENDIDIKAN 



Untuk meningkatkan relevansi pendidikan, harus diambil langkah-langkah berikut: 
Melacak dengan teliti peluang-peluang usaha/pekerjaan di lingkungan konkrit Sumatera (bagian selatan, bagian utara) Peluang-peluang itu membawa serta serentetan tuntutan berupa kualifikasi yang harus dimiliki untuk dapat menanganinya. Apa saja misalnyan tuntutan untuk dapat bertani, beternak, memelihara atau menangkap ikan dengan lebih berhasil sambil menggunakan berbagai kemungkinan yang tersedia. Demikian pula dengan pekerjaan di pertambangan, di bidang perdagangan dan pemasaran, di bidang transportasi dll. (sambil memperhatikan dampak lingkungan!) Tuntutan-tuntutan itu merupakan hal-hal yang harus dipenuhi agar seseorang memiliki kompetensi di bidang kerja tertentu. Hal-hal itulah yang harus diajarkan, dilatih dan dibiasakan pada subyek didik, sehingga ia benar-benar kompeten melakukan pekerjaan tertentu. 
Berdasarkan tuntutan kualifikasi dan kompetensi disusunlah serangkaian mata ajaran, mata latihan, interaksi dan kerjasama dalam kelompok, yang dapat menjamin terbentuknya pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk satu jenis pekerjaan. Untuk menjadi seorang sekretaris direksi dituntut pengetahuan, keterampilan dan soft competencies mana saja misalnya. Rangkaian mata ajaran dan mata latihan semacam itulah yang disebut kurikulum berbasis kompetensi. Bukan sekedar me’rampingkan’ kurikulum. Saya pernah berkunjung ke pusat kurikulum Jerman di Berlin. Salah satu pekerjaan utama pusat ini adalah mencari tahu dengan teliti, pengetahuan dan keterampilan apa yang dituntut oleh dunia usaha, dunia industri dan perdagangan, Berdasarkan pemahaman mengenai tuntutan dunia usaha disusunlah kurikulum untuk berbagai jenis sekolah kejuruan. Oleh sebab itu sangat disayangkan, bahwa gagasan yang bagus menteri Wardiman waktu itu Link and Match menghilang begitu saja dari kaki langit kebijakan nasional. Pada hal kerja sama (link and match) antara dunia usaha dan dunia pendidikan sangat penting untuk meningkatkan relevansi. Memanng Indonesia mempunyai tradisi jelek: ganti menteri ganti kebijakan! 

Kita membuang banyak waktu, tenaga dan uang untuk hal yang tidak begitu penting seperti: UAN, UAS, USBN, standardisasi dan akreditasi. Yang merepotkan kita adalah pendidikan yang diberikan kurang relevan. Diajarkan di sekolah hal-hal yang tidak dibutuhkan di dalam dunia usaha; sedangkan yang dibutuhkan tidak disentuh sedikit pun. [6] Bekal hidup berupa moralitas luhur di dalam diri subyek didik sama sekali tidak diperhatikan. Di sini terjadi saling melempar tanggungjawab antara orang-tua, sekolah dan lingkungan masyarakat/keagamaan. Maka usaha kita pada tempat pertama adalah untuk meningkatkan relevansi pendidikan kita.

CATATAN KAKI:

[1] Data diambil dari Indonesian Factbooek 2008, dan BPS tahun-tahun terakhir. 

[2] Bdk Nirwan Idrus-CITD, Quality of Indonesian Human Resources, 1999, figure 21. Lihat juga Indonesia’s World Competitiveness IMD’s Version 2000, figure 4. 

[3] Perhatikan bagaimana buku-buku yang memuat soal-soal ujian laris dibeli untuk dihapal! Demikian pula sekolah-sekolah men’dril’ murid sebagai persiapan menghadapi ujian nasional, dengan melatih dan melatih kembali jawaban-jawaban baku! Semua ini merupakan penipuan besar. Kita memperbodoh murid dan memperbodoh bangsa dengan menunjukkan sukses dalam ujian, yang sebenarnya tidak mengukur mutu murid yang sebenarnya. 

[4] Pada umumnya berbagai mata pelajaran diberi nilai dengan teliti. Pada hal ‘kelakuan’, untuk kebanyakan murid diberi catatan tradisional: baik, cukup baik. Hanya yang benar-benar bandel mendapat catatan ‘buruk’.Pada hal dengan istilah ‘kelakuan’ ingin diungkapkan perkembangan berbagai potensi ekstra-intelektual, yang diperlukan subyek didik agar dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik, 

[5] Singapura mempunyai proyek yang sudah terlaksana dengan baik, yaitu memberikan kepada tiap murid sekolah dasar laptop/computer sehingga dapat memperoleh akses ke berbagai sumber informasi dan pengetahuan. 

[6] Dalam rangka globalisasi penguasaan bahasa asing apalagi bahasa dunia menjadi makin penting. Sebaliknya dengan teknologi rekaman modern, pelajaran steno misalnya sudah tidak terlalu dibutuhkan lagi. Di dalam era modern, banyak pekerjaan menuntut jauh lebih banyak daripada sekedar dapat membaca dan menulis. Melek huruf saja tidak cukup. Dewasa ini banyak pekerjaan menuntut calon melek computer!

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *