Search This Blog

Tuesday, February 11, 2014

Pemberdayaan Masyarakat di Papua melalui Pendidikan (Romo Izak Resubun)

Pendidikan untuk masa depan
(ilustrasi:http://stdiis.ac.id) 
Oleh Izak Resubun, MSC, dosen STFT Fajar Timur Papua

(Makalah ini dipresentasikan pada Pertemuan Lintas Komisi (Tokoh Umat) Provinsi Gerejawi Se-Papua yang diselenggarakan pada hari Selasa, 3 Desember 2013, jam 17.00-19.00 di Travellers Hotel, Jl. Kemiri Raya No. 282, Kel. Hinekombe, Distrik Sentani, Jayapura, Papua)

Pendahuluan

Bertolak dari tema Peningkatan Kualitas Pelayanan bagi Masyarakat Katolik di Tanah Papua, dan sub tema Tekad dan Kerjasama Pemerintah dan Gereja Katolik untuk Membangun Masyarakat Cerdas, Sejahtera dan Bermartabat di Tanah Papua , maka dapat dikatakan bahwa Dirjen Bimas Katolik dan Pimpinan Gerejawi Se-Provinsi Papua mempunyai kepedulian dan komitmen untuk memberdayakan masyarakat Papua agar menjadi masyarakat yang cerdas, sejahtera dan bermartabat. Hal ini tampak dari TOR (Term of Reference) yang menyingkapkan latar belakang pertemuan ini. Menjadi masyarakat yang sejahtera merupakan cita-cita hidup dari setiap kelompok manusia, pun masyarakat yang ada di tanah Papua. Perwujudan cita-cita tersebut membutuhkan perjuangan yang tak pernah berakhir dan memerlukan partisipasi semua pihak: Pemerintah, Gereja, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), bahkan saya berpendapat pertama-tama dan terutama setiap individu/masyarakat itu sendiri. Peran serta tersebut mengandaikan adanya kompetensi dari setiap individu yang terlibat di dalamnya. Karena itu pendidikan merupakan conditio sine qua non bagi pemberdayaan pribadi-pribadi yang tangguh dalam mengupayakan kesejahteraan di tanah Papua dan di seluruh Indonesia. Sehubungan dengan pendidikan ini muncul beberapa pertanyaan berikut: “Apa pribadi ideal yang kita butuhkan untuk mensejahterakan masyarakat? Bagaimana seharusnya pendidikan dilaksanakan, agar pribadi ideal tersebut dapat dihasilkan? Siapa yang bertanggungjawab menciptakan pribadi ideal tersebut?”

Tema pendidikan selalu menjadi pokok pembahasan yang menarik dan sering membosankan bagi para pemerhati pendidikan di segala lapisan masyarakat. Para orang tua mengeluh tentang mahalnya pendidikan, para guru merasa tidak nyaman dengan fasilitas pendidikan yang seadanya, pengurus/yayasan lembaga pendidikan merasa pusing dengan tuntutan pendidikan yang terus menerus meningkat, belum lagi perubahan kebijakan (oleh) yang berwewenang untuk memperbaharui sistem pendidikan nasional dengan standar yang semakin tinggi. Dalam situasi demikian muncul pertanyaan: “Apa yang bisa Gereja Katolik (Umat Allah) lakukan untuk memberdayakan manusia Indonesia, khususnya masyarakat di Papua, dalam bidang pendidikan?”

Pertanyaan terakhir ini akan coba dibahas dalam makalah ini, dengan urutan sebagai berikut: Pendahuluan, Pendidikan di tanah Papua, Nilai yang perlu diperjuangkan Gereja Katolik, Sarana-sarana yang bisa dimanfaatkan, Penutup. 

1. Pendidikan di Tanah Papua

Keterlibatan Gereja Katolik dalam dunia pendidikan di tanah Papua telah berlangsung lama sekali, dapat dikatakan sejak kehadirannya di tanah ini dan terus berkembang sampai sekarang dan akan terus berlanjut di masa yang akan datang. Mustahil menyajikan suatu sejarah lengkap tentang pendidikan Katolik di tanah Papua, karena itu saya akan coba merangkumkannya dalam 3 periode sebagai berikut: Periode awal (1902-1980-an), periode 1980-an - 2001 dan periode Otonomi Khusus (2001- sampai sekarang).[2]

Periode awal (1902-1980-an). Dalam periode ini para misionaris yang masuk tanah Papua, termasuk mereka yang masuk sebelumnya seperti pater La Cocq SJ dan van der Heijden SJ, telah mengusahakan pendidikan bagi para putera/i Papua. Sejarah misi Katolik di tanah Papua memperlihatkan bahwa para misionaris mulai dengan pembentukkan desa-desa baru, menempatkan seorang guru katekis di desa-desa tersebut untuk mengajar, kemudian mempermandikan mereka. Pada tahap berikutnya, mereka mendirikan sekolah-sekolah kampung/desa sambil melatih putera/i Papua dengan pelatihan teknis pertukangan dan pendidikan ketrampilan para puteri, yang dikenal dengan sekolah peradaban (beschavingsschool). Beberapa hal menarik dari periode ini adalah: Pertama, para guru katekis (dengan pendidikan yang masih rendah) betah tinggal di kampung sampai meninggal di sana. Mereka berhasil mengajar (memberdayakan) masyarakat kampung dalam hal menulis, membaca dan berhitung. Kedua, peran para pastor amatlah besar. Mereka mengunjungi desa-desa, para guru dan sekolah-sekolah secara teratur. Kehadiran mereka menjadi sumbangan besar bagi pendidikan pada waktu itu. Ketiga, managemen pendidikan berjalan lancar. Gaji guru diatur oleh Gereja, kenaikkan pangkat dan urusan administratif lain serta pendidikan putera/i guru diperhatikan, sehingga para guru melaksanakan tugasnya dengan tenang di tempat. Keempat, pendidikan berpola asrama. Banyak tersebar di tanah Papua ini asrama putera/i yang dikelola oleh Gereja Katolik, agar anak-anak didik mendapat kesempatan untuk belajar dengan baik. Hal yang seringkali dilupakan adalah orang-orang yang mengelola asrama-asrama tersebut, yakni: para biarawan/ti atau pun awam yang mengabdikan diri seutuhnya untuk pembinaan generasi muda.[3] Guru pada jaman itu memiliki kedudukan yang cukup terpandang dalam masyarakat bukan karna hanya menjadi tutor di kelas tetapi juga menjadi guru dan teladan dalam hidup. Mereka membantu dan menjadi tukang dalam membangun rumah, menjadi contoh dalam bidang kesehatan, memberi obat, dll.

Periode 1980-an-2001 ditandai oleh keterlibatan pemerintah yang semakin intensif dalam dunia pendidikan di Papua. Hal ini terlihat dari pendirian sekolah-sekolah INPRES di berbagai tempat, serta penggajian para guru yang ditangani/dibayar langsung oleh pemerintah (Dinas Pendidikan). Dalam periode ini bisa dikatakan bahwa hampir tidak ada lagi para guru katekis. Kalaupun ada, perannya sedikit sekali dan tidak signifikan. Juga tampak bahwa hubungan para guru, yang kebanyakan PNS, sudah menjadi renggang dengan geraja dan masyarakat setempat, sehingga mereka mulai meninggalkan tempat tugasnya untuk pelbagai urusan di atau kota-kota kecamatan, kabupaten atau di provinsi. Akibatnya, pendidikan dan pembinaan putera/i Papua mulai terbengkalai. Seiring dengan hal ini, kehadiran dan peran para pastor juga semakin menghilang dari dunia pendidikan. Selanjutnya, managemen pendidikan mulai terasa tidak memadai. Urusan kenaikan pangkat, misalnya, membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Karena itu para guru menghabiskan banyak energinya untuk urusan lain di luar pendidikan. Akibatnya, mutu pendidikan menurun.[4] Pada periode ini hampir hilang semua asrama yang dulunya dikelola oleh Gereja Katolik.

Periode OTSUS (2001- sampai sekarang, 2013). Sesungguhnya, situasi pendidikan di tanah Papua tidak banyak berubah seperti yang telah disinggung di atas. Pertama, peranan guru dan pastor yang begitu dominan dalam pendidikan semakin menghilang. Bisa ditanya berapa kali setahun pastor paroki mengunjungi sekolah-sekolah yang ada di parokinya? Kedua, manajemen pendidikan saat ini sudah diketahui semua. Kendati demikian, dalam periode ini ada 2 hal yang menonjol yaitu: pendidikan gratis dan pemberian beasiswa yang melimpah serta munculnya kembali asrama-asrama pelajar/mahasiswa. Pertama, pendidikan gratis dan pemberian beasiswa merupakan suatu berkat besar bagi anak-anak yang pintar namun orang tuanya tidak mampu. Banyak sekali dana yang dikucurkan untuk pendidikan di tanah Papua, bahkan telah dicanangkan dan dilaksanakan program 1000 doktor untuk Papua.[5] Tidak usah diragukan lagi kesungguhan Pemprov Papua dalam memberdayakan masyarakat Papua. Aspek pendidikan gratis ini pun ada segi negatifnya, yaitu: tidak memacu orang untuk lebih bekerja keras atau mengkondisikan sehingga orang kehilangan semangat kerja keras yang sejak dahulu telah dihidupi. Kendati demikian peserta didik dan mereka yang tidak tahu membaca dan menulis berjumlah lumayan banyak (bdk. Modouw, 2013: 12). Kenyataan ini cukup memprihatinkan, karena apa yang akan terjadi bila dana Otsus itu habis (program Otsus berakhir). Mungkin kita akan menghasilkan generasi berikut yang instan dalam segala hal.[6] Kedua, menjamurnya asrama-asrama pelajar/mahasiswa baik di tanah Papua sendiri maupun di luar Papua. Pendidikan berpola asrama dulu mau dihidupkan kembali, namun kenyataan sungguh berbeda. Fasilitas yang mewah tidak dengan sendirinya menghasilkan manusia yang berkualitas. Program ini melupakan peran para pembina asrama, yang punya semangat, dedikasi dan komitmen tinggi untuk pemberdayaan masyarakat Papua.

Namun perlu juga diakui bahwa dari situasi demikian lahir pula banyak orang yang baik dan berkualitas, yang antara lain hadir di sini untuk bersama-sama membahas pemberdayaan masyarakat di tanah Papua melalui pendidikan. Saya mengerti pendidikan sebagai proses pendampingan terhadap seseorang atau sekelompok orang, agar bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi dewasa dan otonom dalam pelbagai aspek kehidupan (pengetahuan, ketrampilan dan terutama sikap). Karena itu saya berpendapat pendidikan nilai[7] seharusnya menjadi prioritas utama dalam memberdayakan masyarakat di tanah Papua.

2. Nilai yang Perlu Diperjuangkan Gereja Katolik

Melihat situasi masyarakat Indonesia pada umumnya dan di Papua pada khususnya, di mana terdapat pelbagai sikap dan praktek hidup yang tidak sesuai dengan norma-norma etis-moral yang berlaku, maka saya merasa pendidikan nilai seharusnya mendapat prioritas utama dalam upaya pemberdayaan masyarakat di tanah Papua. Pada bagian ini saya akan mencoba untuk merumuskan beberapa nilai sebagai berikut:

2.1 Nilai Religius

Masyarakat Indonesia pada umumnya adalah masyarakat religius (Alihsyabana, 1982:23). Sifat ini sudah ada sejak dahulu kala, dan sampai kini pun masih tetap hidup. Segala aspek kehidupan masyarakat selalu didahului dan diakhiri dengan ritual-ritual tertentu, mis.: dari kelahiran sampai dengan kematian, juga pengalaman hidup dirayakan dengan rasa syukur atau rasa penyesalan dan tobat atau pun permohonan. Kenyataan ini kita temui baik di daerah pedalaman maupun di daerah perkotaan, baik secara pribadi maupun bersama-sama. Kehadiran dan intervensi yang Ilahi dalam kehidupan masyarakat amat terasa, dan kendati segala keterbatasan yang ada masyarakat berusaha untuk terus mempertahankannya dan diungkapkan dengan pelbagai cara. Suatu kesadaran diri akan pentingnya relasi dengan Allah, karena tanpa campur tanganNya manusia tidak akan berhasil dalam hidup hariannya (bdk. Yoh.15, 1-8).

Keadaan di atas pantas kita syukuri, karena globalisasi dan dampaknya belum banyak mengubah kesadaran religius masyarakat. Gedung-gedung gereja di Jayapura dan sekitarnya selalu dipenuhi oleh umat baik yang tua maupun yang muda. Selain itu kegiatan ibadah komunitas basis pun selalu dihadiri kaum muda yang memberikan harapan bahwa keadaan ini akan terus berlanjut. Kesadaran religius ini pun terungkap melalui calon-calon imam yang lumayan banyak (kl. 204 frater di STFT Fajar Timur), kendati bisa dipersoalkan motivasinya. Katakan saja sense of belonging umat terhadap gereja sebagai institusi masih terlalu kuat (bdk. sumbangan umat untuk pembangunan gedung gereja dan atau yang menyangkut kepentingan gereja amat luar biasa). Tentu menjadi pertanyaan: “Sampai kapan kondisi ini terus bertahan?” 

2.2 Nilai Kejujuran dan Keadilan

Rasanya tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Gereja Katolik perlu memperhatikan kedua nilai ini bagi pemberdayaan masyarakat di Papua. Kejujuran dan keadilan menjadi barang langka dalam kehidupan masyarakat dunia zaman ini. Sulit sekali menemukan orang yang jujur dan adil dalam kehidupan bersama. Selalu saja ada orang yang mengambil lebih banyak daripada haknya, sehingga orang lain terus menerus menderita akibat ulah oknum-oknum demikian. Tanah Papua yang demikian kaya dan dana Otsus yang demikian melimpah tidak mensejahterakan masyarakat Papua. Masih ada begitu banyak orang yang menderita kelaparan. Muncul pertanyaan: “Mengapa terjadi demikian?” Jawabannya sederhana, karena tidak ada kejujuran dan keadilan. Sebagian kecil orang menjadi demikian kaya raya, sedangkan mayoritas penduduk membanting tulang setiap hari tetapi hasilnya tidak memadai untuk membangun suatu kehidupan yang layak.

Kondisi Papua di atas mencerminkan kondisi seluruh masyarakat Indonesia. Korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hampir tidak ada satu aspek lagi dalam kehidupan bersama, di mana orang-orang tidak berlaku curang. Urusan administratif ke kantor-kantor, pemilihan entah pilres, pilgub, pemilukada, membutuhkan uang. Rasanya wajar saja bahwa perlu biaya administrasi, asalkan tertulis, tetapi pada kebanyakan kasus tergantung kebijakan pejabat. Ini menjadi sumber korupsi dan penyelewengan jabatan. Urusan birokratis yang berbelit-belit menjadi lahan subur bagi ketidakjujuran dan ketidakadilan (bdk. urusan perpanjangan izin tinggal di Belanda hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan biaya administrasi yang jelas). Banyak sekali kasus korupsi yang sudah terbongkar dan atau sedang diproses, mis.: kasus Bank Century, kasus Hambalang, kasus Nazarudin, Gayus, Joko Susilo, Fatanah, Ishak, Angie, Akil (Ketua MK). Begitu banyak kasus korupsi di Indonesia mengingatkan saya akan kata-kata David John Beynes[8] bahwa pembusukan dan kerusakan yang terjadi pada suatu masyarakat, organisasi atau suatu lembaga biasanya diawali oleh rusaknya mentalitas dan moral pemimpinnya (Suara Pembaharuan, Minggu 4-7 Juli 2013, hal. 8-9). Karena itu saya percaya pemberdayaan masyarakat harus dimulai dari para calon pemimpinnya yang dididik dan dibina dalam jangkauan Gereja Katolik.

2.3 Nilai Kerja Keras dan Tanggungjawab

Bekerja merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pribadi dan kehidupan manusia, bahkan manusia mendapat amanah/perintah dari Sang Pencipta untuk berkembang biak dan menguasai alam raya (Kej. 1:31). Teologi Salib pun mengajarkan bahwa hanyalah dalam dan melalui kerja keras, penderitaan dan kesusahan, bahkan “kematian”, manusia akan mencapai kebangkitan. Nilai kristiani ini semakin terkikis habis dalam kehidupan manusia sekarang. Kenyataan ini terlihat dalam semangat hidup yang instan dan hedonistis. Orang-orang menghendaki situasi di mana hanya dengan kerja sedikit, mereka akan memperoleh hasil yang banyak dan melimpah. Kondisi tersebut dipermudah dengan pelbagai fasilitas yang diciptakan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Makanan instan menjadi kesukaan banyak orang muda, telekomunikasi yang canggih menghasilkan manusia yang berjam-jam habis di depan komputer atau Ipad atau Hp.

Menghindari kerja keras bukan monopoli kaum muda, melainkan orang tua pun melakukan hal yang sama, padahal kebutuhan manusia modern jauh lebih banyak dan kompleks daripada manusia sebelumnya. Misalnya orang memiliki hp 2-3 buah, tentu kebutuhan akan pulsa setiap saat terus meningkat. Apa yang terjadi bila orang tersebut tidak memiliki pendapatan yang memadai? Ia akan mencari jalan keluar melalui cara yang halal dan tidak halal (korupsi) atau meminta kepada kerabat, sahabat dan kenalan atau sms (bdk. praktek minta-minta via sms). Saya menyebutkan tipe manusia terakhir dengan sebutan manusia “peramu” modern. Manusia zaman kini lebih mementingkan kenikmatan instan daripada kerja keras untuk mendapatkannya. (bdk. pengalaman di PMI di Sydney). Kata enjoy menjadi satu kata kunci dalam menyifatkan manusia zaman ini. Enjoy dalam segala hal, makan-minum, pakai, hiburan, minuman keras dan narkoba. 

Dalam kaitan dengan kerja keras juga tanggungjawab. Begitu mudah orang melupakan tanggungjawab. Tugas yang dipercayakan kepada orang, mudah diabaikan atau ditinggalkan begitu saja, dan lebih parah lagi tanpa pemberitahuan kepada pihak yang memberikan pekerjaan. Pengalaman bersama mahasiswa STFT pun membenarkan kenyataan ini. Hari minggu lalu saya mendengar berita bahwa OMK yang meminta untuk melaksanakan bazaar di salah satu paroki, tidak melakukannya tanpa pemberitahuan kepada pastor dan dewan paroki. Lebih parah lagi orang tidak merasa bersalah terhadap perilaku seperti itu. Saya rasa bahwa Gereja Katolik perlu terus menyuarakan pentingnya kerja keras dan tanggungjawab untuk memperoleh kebahagiaan, tanpa kerja keras dan tanggungjawab manusia akan mudah jatuh dalam pelbagai tindakan yang merugikan dirinya sendiri dan manusia-manusia lain. 

2.4 Nilai Kebebasan dan Kemandirian (Otonomi)

Nilai kebebasan dan kemandirian merupakan trade mark dari pendidikan tradisional di tanah Papua. Manusia Papua sejak kecil telah diarahkan lewat pendidikan tradisional untuk menjadi manusia bebas dan mandiri. Anak-anak sesudah jam pelajaran, misalnya, dibiarkan berjalan, bermain, dan mengadakan aktivitas bersama teman-temannya sampai sore dan malam baru kembali ke rumahnya. Dengan demikian anak-anak diajarkan untuk bebas menentukan apa yang dirasa penting dalam hidup dan dilatih untuk bertanggungjawab terhadap hidup pribadinya. Tanggungjawabnya sebagai makhluk sosial akan ditanamkan selama masa inisiasi (Sillitoe 1998: 63). Uraian lebh lanjut akan diberikan pada sesi berikut (kebijakan lokal). 

Kebebasan dan kemandirian juga dituntut oleh manusia zaman sekarang, anak-anak sudah tidak menerima orang tua atau yang lebih tua campur tangan terlalu banyak dalam kehidupan pribadinya. Saya setuju bahwa setiap orang harus bebas menentukan jalan hidupnya, apa yang hendak dikerjakannya dan dengan siapa ia bergaul, dst.nya, serta bertanggungjawab atas hidup pribadi. Namun nilai hakiki dari kebebasan dan kemandirian bukan terletak pada bebas dari perintah atau nasehat atau aturan. Nilai kebebasan dan kemandirian adalah kemampuan manusia untuk merealisasikan diri sebagai makhluk pribadi dan sosial dengan tidak merugkan dirinya sendiri dan orang lain. 

2.5 Kebersamaan dan Solidaritas

Sutan Takdir Alihsyahbana (1982:23) menyebutkan kebersamaan dan solidaritas sebagai sesuatu yang telah lama dihidupi oleh masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu kala. Nilai kerja sama ada di mana-mana dengan pelbagai nama, mis: gotong royong, mapalus, maren. Masyarakat mengungkapkan kebersamaan dan kesetiakawanannya dalam berbagai bentuk seperti saling menolong, seperti pada saat kegembiraan (pesta), pada saat susah (malapetaka: bencana alam, kematian) atau pun dalam membangun fasilitas umum secara bersama-sama (mendirikan bangunan gereja, masjid, sekolah atau membuat/memperbaiki jalan). Juga terungkap dalam pekerjaan yang dilakukan secara bergiliran, hari ini mengerjakan kebun atau membangun rumah seseorang, kesempatan berikut melakukannya untuk orang lain. Bentuk modernnya terlihat dalam arisan yang nampak dalam kehidupan masyarakat perkotaan.

Nilai yang telah dihidupi turun temurun telah memudar baik di kota maupun di kampung-kampung. Orang-orang mulai menjadi amat individual, terlalu mementingkan kepentingannya sendiri atau kelompoknya, sehingga rasa kebersamaan dan solidaritas ini semakin diabaikan, orang semakin kehilangan sense of belonging baik terhadap sesama maupun wilayahnya (kampung/desa). Meminta bantuan kepada orang-orang selalu disertai dengan pembayaran dalam bentuk uang, tidak hanya menyediakan makanan, rokok, apalagi ucapan terima kasih saja. Situasi masyarakat demikian disebabkan antara lain oleh perkembangan zaman, masuknya arus globalisasi, proyek-proyek pemerintah, masuknya ekonomi uang dalam kehidupan masyarakat lokal. Akibat dari hilangnya nilai hidup ini, warga masyarakat sendiri menjadi korban seperti orang tua (jompo), sikap acuh tak acuh terhadap sesama dan kepentingan bersama. 

Tentu masih banyak nilai lain yang perlu diperjuangkan oleh Gereja Katolik, tetapi saya rasa cukup menyebutkan beberapa nilai di atas.

3. Sarana-sarana yang Bisa Dimanfaatkan

Gereja Katolik sebagai lembaga memiliki beberapa kelebihan yang kiranya bisa dimanfaatkan dalam memberdayakan pendidikan nilai bagi masyarakat di tanah Papua. Saya menyebutkannya sebagai berikut:

3.1 Struktur Gereja Katolik

Struktur Gereja Katolik yang tertata rapih dari pusat sampai ke daerah-daerah merupakan suatu kekuatan yang luar biasa. Misalnya, Gereja partikular, Keuskupan Jayapura terbagi ke dalam beberapa Kevikepan, paroki, kring, komunitas basis dengan garis komando yang amat jelas. Struktur dan kepemimpinan demikian amat membantu upaya memberdayakan masyarakat di tanah Papua, khususnya yang beragama Katolik. Pendidikan dan pembinaan yang dilakukan oleh paroki-paroki, mis.: pembinaan sekolah minggu, pembinaan persiapan penerimaan sakramen-sakramen (permandian, komuni pertama, krisma, perkawinan), OMK, retret, rekoleksi dan kelompok-kelompok kategorial (WKRI, Pria Sejati, Wanita Bijak) serta kegiatan-kegiatan rohani menjelang hari-hari besar gerejani, menjadi sarana menanamkan/ mentransfer nilai-nilai di atas kepada umat.

Tentu banyak tergantung juga dari pimpinan Gereja Lokal seperti Uskup, komisi-komisi keuskupan, Vikep dan pastor paroki serta pelayan umat lainnya. Jika pimpinan punya hati dan prioritas utama pada pengadaan dan penyiapan kader-kader umat, maka Gereja memiliki banyak sekali kemungkinan untuk menjiwai anggota umatnya dengan nilai-nilai di atas. Sebaliknya, jika pimpinan lebih memperhatikan pembangunan fisik, maka sebagian besar waktu, energi dan biaya akan dicurahkan ke arah fisik. Pikiran dan hati akan tercurah untuk mencari, mencari dan terus mencari uang bagi pembangunan fisik, sedangkan pembangunan mental-spiritual kurang mendapat porsi yang layak. Terkait dengan perhatian para pastor terhadap pendidikan, bisa ditanyakan: “Berapa kali setahun pastor mengunjungi lembaga-lembaga pendidikan dan asrama-asrama yang ada di parokinya?” Beberapa asrama katolik di kota Jayapura masih ada pembina (para suster), sedangkan asrama puteranya: hidup enggan, mati tak mau.

Seperti telah disajikan pada pembahasan nomor 1 di atas bahwa keterlibatan dan peran imam dalam pendidikan formal semakin berkurang, karena pemerintah mengambil alih apa yang dulunya menjadi tugas (utama) para misionaris, maka mungkin dipikirkan kemungkinan sekolah keagamaan yang disubsidi permerintah via Kementerian Agama (bdk. PP. Nomor 5 Tahun 2007). Pendidikan ini diselenggarakan pada jalur formal, nonformal dan informal pada tingkat sekolah menengah dan tinggi (ps. 31 ay.1-3). Umat Katolik adalah warga negara yang berhak mendapat pelayanan dalam bidang pendidikan dari negara. Saya dengar sudah mulai disosialisasikan dan sedang dipertimbangkan. 

3.2 Perhatian Gereja terhadap Orang-Orang Terpinggirkan

Gereja Katolik sepanjang masa selalu memberikan perhatian kepada orang-orang yang terlupakan oleh warga masyarakat lainnya. Perhatian tersebut bukan hanya ada pada tingkat pemikiran atau ajaran, tetapi juga tampak dalam aksi nyata berbentuk pemberian material bagi mereka yang berkekurangan dan advokasi bagi yang ditindas, yang hak-haknya kurang/tidak diindahkan, pelayanan kesehatan bagi orang sakit serta pendampingan bagi penderita HIV/AIDS. Sekretariat Keadilan dan Perdamaian bertumbuh subur di keuskupan-keuskupan kita, dan membuat advokasi yang amat dibutuhkan oleh orang-orang yang mengalami pelanggaran hak-hak azazi manusia.

Tindakan Gereja Katolik dalam menangani orang-orang terpinggirkan menjadi wujud nyata perutusannya di tengah dunia dan teladan (pembelajaran) bagi orang-orang lain, khususnya mereka yang terpinggirkan. Tentu diharapkan bahwa tindakan demikian bukan hanya terbatas pada aksi sosial-karitatif, tetapi lebih diarahkan pada pemberdayaan sesungguhnya, agar orang-orang tersebut dapat membantu dirinya sendiri dan orang lain di kemudian hari.

3.3 Komitmen Gereja terhadap Pendidikan (YPPK)

Komitmen Gereja Katolik dalam pendidikan tidak perlu diragukan. Gereja, sejak kehadirannya di tanah Papua, kini dan nanti, akan menjadikan pendidikan sebagai satu pilarnya dalam membawa warta gembira dan pembebasan bagi warga masyarakat. Peran dan keterlibatan Gereja Katolik mendapat pengakuan dari pelbagai pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan sampai saat ini (Modouw, 2013). Banyak warga masyarakat, baik tokoh-tokoh maupun orang-orang kecil, mengakui peran Gereja Katolik tersebut (bdk. kisah pengalaman dari kenalan Islam dan Protestan). Nilai-nilai kristiani telah ditanamkan dalam diri banyak sekali warga masyarakat di tanah Papua. Selain pendidikan formal (pengetahuan) diberikan, juga dibina sikap hidup melalui pengalihan nilai-nilai hidup yang diyakini oleh para pendidik dan pembina di sekolah-sekolah kita.

Memang harus diakui bahwa keterlibatan Gereja Katolik dalam dunia pendidikan formal agak menurun dalam beberapa dekade terakhir, tetapi pelbagai usaha dilakukan untuk mempertahankan eksistensinya dan untuk meningkatkan mutu pendidikan baik di tingkat nasional maupun lokal (bdk. Kesepakatan Timika, 50 Mutiara Pemikiran Pendidikan Kristiani Untuk Bangsa). Hari-hari pertemuan di Sentani pun merupakan upaya pencarian pemberdayaan manusia Papua melalui pendidikan. YPPK di tanah Papua merupakan salah satu yayasan pendidikan yang mendapat cukup minat dari warga masyarakat Papua (bisa saja anak-anak Protestan dan Islam lebih banyak dari pada anak-anak Katolik). Hal ini menunjukkan bahwa mutu atau kualitas pendidikan Katolik masih bagus dan menjadi sekolah favorit bagi kebanyakan orang tua, sehingga bisa dikatakan YPPK dihidupi oleh saudara-saudari yang beragama lain (kom.pribadi dengan pengelola YPPK). 

3.4 Pribadi-pribadi Umat Katolik

Tentu 3 sarana yang telah disebutkan perlu dan penting untuk menanamkan nilai-nilai Katolik dalam diri warga masyarakat Papua, tetapi saya rasa sarana pertama dan terutama adalah pribadi-pribadi umat Katolik sendiri baik mereka yang menjadi pimpinan maupun anggota umat lainnya. Sikap hidup para anggota Gereja sendiri menjadi sarana yang paling ampuh dari pembentukan masyarakat Papua yang integratif. Kunjungan yang teratur ke sekolah-sekolah dan asrama-asrama, sapaan yang menginspirasikan terhadap para guru dan siswa/i, komitmen yang tinggi terhadap pekerjaan yang ditekuni, kerja keras dan tanggungjawab, pengorbanan, merupakan kesaksian yang punya daya pikat dan tularnya luar biasa bagi warga masyarakat. Sampai sekarang, banyak orang masih bertanya tentang pastor (misionaris), bruder atau suster yang telah lama meninggalkan Papua dan juga telah meninggal dunia, karena mereka tersentuh oleh pelayanan yang diberikan.

Sebagai contoh diambil dari asrama-asrama yang diasuh oleh Gereja Katolik. Para bapak/ibu asrama adalah orang-orang yang mengabdikan seluruh hidup bagi perkembangan dan kemajuan anak-anaknya. Dari pagi sampai malam, mereka hanya berputar sekitar kompleks asrama, hidup-mati bersama anak-anak. Pekerjaannya tidak mendapat perhatian, penghargaan dan pujian dari para pemimpin gereja atau pemerintah, tetapi karyanya amat berpengaruh dalam pemberdayaan generasi muda. Hidup mereka menjadi kesaksian yang paling ampuh dalam memberdayakan masyarakat Papua. Mereka memberikan warna dan meterai katolik pada pribadi anak-anak asuhnya. Mereka memberdayakan masyarakat Papua dengan kesaksian hidupnya sendiri. 

Misalnya di paroki Wilibrodus Arso, guru agama PNS tidak hanya berdiri di depan kelas tetapi oleh pastor paroki diberi tugas khusus sebagai guru agama di stasi tersebut.

Penutup

Segalanya telah berubah seiring dengan perkembangan zaman. Gereja Katolik sebagai lembaga dan umat Allah telah berusaha keras memberdayakan masyarakat di tanah Papua sejak awal kehadirannya sampai kini dan akan terus mengusahakannya di masa depan. Pada masa awal eksistensinya di bumi Cenderawasih, Gereja Katolik amat berperan dan berpengaruh, tetapi perannya semakin diambil alih oleh instansi lain (pemerintah). Mungkin pemberdayaan formal (ilmu pengetahuan dan teknologi) boleh dipercayakan kepada pihak yang lebih kompeten di bidang-bidang tersebut, tetapi hal itu tidak berarti Gereja Katolik melepaskan tanggungjawabnya. Pemberdayaan masyarakat, terutama pembentukan sikap dan karakter, masih tetap menjadi tanggung jawab yang tak terpisahkan dari misi Gereja Katolik di Tanah Papua.

Pemberdayaan ini selalu dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan sarana-sarana yang ada di dalam Gereja Katolik sendiri tanpa perlu menunggu apalagi mengharapkan dari pihak-pihak lain, karena misi, keprihatinan dan komitmen Gereja tertuju pada mereka yang membutuhkan uluran tangan. Ada berupa-rupa sarana di dalam Gereja Katolik, tetapi saya berkeyakinan bahwa kesaksian para anggota Gereja merupakan sarana yang paling unggul dalam memberdayakan masyarakat di tanah Papua.

Mungkin menjadi pertanyaan yang menarik untuk kita bahas dalam pertemuan ini: “Pemberdayaan macam apa yang kiranya Gereja lakukan, agar masyarakat di tanah Papua menjadi tuan di atas tanah sendiri?”

Saya harus mengakui bahwa makalah ini agak tergesa-gesa dikerjakan, sehingga masih terdapat banyak kekurangan didalamnya. Segala kritikan demi perbaikan dinantikan dengan senang hati.

Terima kasih!!!

Referensi

Alisjahbana S.Takdir. 1982. Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia: Dilihat 

dari Jurusan Nilai-Nilai, Jakarta: PT. Dian Rakyat.

Bagus Lorens. 1996. Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Boelaars J, 1995. Met Papoea’s Samen Op Weg, deel 2, Nijmegen: Kok-Kampen.

Boelaars J, 1997. Met Papoea’s Samen Op Weg, deel 3, Nijmegen: Kok-Kampen.

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 55 Tahun 2007. 

Mardiatmaja P.B.S & Weinata Sairin (Pengulas dan Editor). 50 Mutiara Pemikiran 

Pendidikan Kristiani Untuk Bangsa, Jakarta: Ayub.

Modouw J, 2013. Pendidikan dan Peradaban Papua: Suatu Tinjauan Kritis 

Transformatif, Yogyakarta: Bajawa Press. 

Pertemuan Konsultasi Antara Pimpinan Gereja dan Tokoh Katolik se-Tanah Papua 

Tahun 2007. 2007. Kesepakatan Timika, Yogyakarta: Kanisius.

Sillitoe P. 1998. An Introduction to The Anthropology of Melanesia: Culture and

Tradition, Cambdrige: Cambridge University Press.

Soekanto Soerjono, 1993. Kamus Sosiologi, Cet. Ke-3, Jakarta: PT. Raja Grafindo 

Persada.

Surat Kabar Harian:

Cepos, Jumat, 29 November 2013, hal. 8-5.

Suara Pembaharuan, Minggu 4-7 Juli 2013, hal. 8-9.

CATATAN KAKI:
[1] Makalah ini dipresentasikan pada Pertemuan Lintas Komisi (Tokoh Umat) Provinsi Gerejawi Se-Papua yang diselenggarakan pada hari Selasa, 3 Desember 2013, jam 17.00-19.00 di Travellers Hotel, Jl. Kemiri Raya No. 282, Kel. Hinekombe, Distrik Sentani, Jayapura, Papua. Saya menyampaikan terima kasih kepada Sdra. Herlan Ulukyanan yang telah membaca dan memberikan catatan pada makalah ini. 

[2] Periodisasi ini saya ciptakan sendiri untuk mempermudah pembahasan, karena seingat saya belum ada tulisan yang lengkap dan menjadi rujukan mengenai pendidikan Katolik di tanah Papua. 

[3] Pembahasan tentang periode awal diambil dari buku J. Boelaars, Met Papoea Samen Op Weg, deel 2 (1995:335-337) dan Met Papoea Samen Op Weg, deel 3, (1997: 442-456) . Hal yang menonjol dari periode ini adalah pemberdayaan masyarakat Papua oleh para misionaris dengan mendirikan Sekolah Guru. Mereka yang berhasil dari pendidikan ini dikirim sebagai guru ke tempat-tempat lain dan mereka berhasil di sana. Kebijakan ini sering tidak diketahui atau sengaja dilupakan, padahal semakin seseorang jauh dari lingkungan asalnya semakin ia bebas berkreasi dan mengungkapkan dirinya. 

[4] Bdk. Informasi lapangan dari buku Kesepakatan Timika memberikan potret yang menyedihkan tentang situasi pendidikan Katolik di tanah Papua. 

[5] Program 1000 doktor untuk Papua perlu dievaluasi, terutama yang belajar di Jerman, karena kurangnya biaya dan ketidaksiapan peserta program dalam berbahasa Jerman, dengan kata lain kurangnya persiapan bagi para calon peserta, sehingga sulit berkomunikasi dengan mentor atau universitas tempat kuliahnya (bdk. Cepos, Jumat, 29 November 2013, hal. 8-5). 

[6] Menurut Willy Toisuta, permasalahan rapuhnya pendidikan dasar di Papua disebabkan oleh kurangnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan dasar dan para guru yang kurang kompeten (Modouw, 2013: 19). 

[7] Nilai merupakan konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk (Soejono Soekanto, Kamus Sosiologi, Cet, ke-3, 1993: 532). Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikannya disukai, dihargai dan berguna, karena itu dihargai sebagai kebaikan (bdk. Bagus, 1996: 713). Dalam konteks inilah kata nilai digunakan dalam makalah ini. 

[8] David John Beynes adalah Chief Executive Officer (CEO) dari Tokio Marine Life Insurance Indonesia. Dulunya, ia seorang guru kemudian ia beralih profesi, karena keyakinannya bahwa penghasilan dari profesi guru tidak menjamin masa depan yang diharapkan. Dengan ketekunan dan penuh perhitungan, ia beralih profesi dan berhasil menduduki jabatannya sekarang. Kerja keras dan kesabaran menghasilkan buah yang bagus dalam hidupnya.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *