Oleh B.S.
Mardiatmadja, guru besar STF Driyarkara Jakarta
Artikel ini dipresentasikan ketika ada pertemuan tokoh linta komisi/tokoh umat Provinsi Gerejawi se-Papua, 2-5 Desember 2013
Tahun 2014 akan menawarkan wisata kuliner politis.
Rakyat akan diberi ’buku menu hidangan politik’: agar rakyat tertarik mencicipi
dan memilih santapan. Seperti hampir semua buku menu, bahan mentahnya mirip
(tulang iga, usus, daging, telor, kulit atau sayur) dan terpampang sudah lama
(hak azasi manusia, kemakmuran, kesetaraan, industri, kebebasan beragama dst). Harapan
dari pemasang iklan adalah bahwa rakyat memilih ’membeli tawaran itu’. Wajarlah
kalau rakyat juga membayangkan bahwa nantinya ”hidangan politis nyata selaras
dengan iklan menu”; jangan sampai penunggu warung kerap menjawab ”maaf, lodeh
otak belum tersedia; yang ada hanya gulai otot atau rujak lidah”. Rakyat sebagai
”yang berdaulat di Republik ini” juga mempunyai tuntutan, seperti dalam setiap
restoran: korban Merapi meminta segera disediakan bantuan tepat-saji; buruh
mengharapkan sajian yang tepat-guna; PNS mendambakan bukan sekedar gaji
ketigabelas melainkan juga santapan ajeg-saji berupa jaminan sosial tiap bulan;
mereka yang tertindas atas dasar pendirian hukum agama sefihak mengharap
keadilan politis tanpa diskriminasi; seperti biasa pemesan santapan politis
boleh meminta ”nggak pakai lama”. Credibilitas
’produsen’ mau dinaikkan dengan namabaik ’pengiklannya’: entah lewat artis atau
tokoh politis, entah lewat gelar dan kedudukan sosial orang. Namun tak boleh dilupakan
bahwa taruhan kita bukan pada kenikmatan pandangan mata dan belaian suara
merdu, atau keindahan potret doktor atau keelokan Raden; melainkan kemungkinan
mereka menjadi pelaku politis demi kedaulatan rakyat. Tolokukur utama pendidikan politis adalah kemampuan orang
memperjuangkan kepentingan politis dalam arena politik.[1]
Asumsinya: kepentingan itu yang mana?
Dalam proses itu terjadi pendidikan politik yang mewujudkan ”kedaulatan rakyat” yakni bahwa
rakyat menentukan nasib para ”calon legislatif”, sebelum mereka di DPR dan DPD
menggantung nasib rakyat dengan Undang-undang yang mudah-mudahan tepat,
konsisten dan terumus baik. Semoga pada tahun 2015 tidak terjadi seperti pada
tahun 2007 (3 tahun sesudah Pemilihan Umum 2004), bahwa Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia mencatat kritik pedas
terhadap DPR dengan menulis ”Bobot kurang, Janji masih terhutang”. Sudah lewat masa, seakan-akan rakyat dianggap
”buta politik”, seperti beberapa bulan terakhir ini sering diucapkan oleh
”pelayan legislasi” dan ”pejabat publik” yang menyerukan ”rakyat belum cukup
mempelajari kurikulum 2013 atau UU ini atau itu”, sementara sebenarnya
pejabatlah yang tidak cermat mempelajari Peraturan Bersama Menteri atau UU
Sisdiknas atau bahkan peraturan pemerintah sendiri. Bersama penulis Wedhatama[2],
pantaslah kita mencari pemimpin politik yang mengenal dan melayani rakyat. Konteks
abad 19 di Jawa Tengah memang agak khusus, namun intisari ajarannya mengena
untuk masa kini. Sebab pada waktu itu maupun sekarang, sosok pemimpin politik
yang dicita-citakan adalah mereka yang memang melayani rakyat dan berusaha
memahami rakyat. Jauh dari oportunisme dan haus kekuasaan, baginya pemahaman
mengenai rasa dan pengertian rakyat merupakan dua hal yang diandaikan dalam
menjadi pemimpin politik. Pandangan tersebut masih didambakan pada masa
sekarang dan pada waktu mendatang.
Pendidikan Politis Caleg
Semua calon pekerja industri atau perusahaan mana
pun, di-tes oleh calon pengusahanya: apa kompetensinya, apa kemampuan nyatanya,
apa ketrampilannya dan apa dayatarik sosialnya. Banyak calon TKI/W dididik
cepat-cepat untuk mampu melaksanakan calon pekerjaannya dan dapat memamai
bahasa yang tepat. Begitu pula calon legislatif: ada yang secara ’cepatsaji’
disiapkan walau seumur-umur sebenarnya tak pernah berpengalaman di bidang
politik; ada pula yang sudah lama berkecimpung di bidang politik sehingga
sesungguhnya mudah diketahui apakah dia oportunis atau tidak; sangat mungkin
ada pula yang mempunyai pengalaman yang memperlihatkan sikap politis yang baik
dan terbukti sering membela rakyat pula. Kita boleh mencermati pesan
Ronggowarsito yang menuntut pemuka rakyat untuk mendahulukan kepentingan
bawahan daripada keprihatinannya sendiri.[3]
Maka rakyat ber-hak memeriksa, sejauh mana seseorang dinilai mampu mewakilinya
di pentas politik. Jangan sampai pendidikan berpolitik bagi calon legislatif
berupa ”latihan acting politis” untuk menjadikan arena politik sebagai panggung
pertunjukan: bukan tempat berargumentasi demi kesejahteraan bersama. Kalau
berdasarkan pengalaman di panggung lalu mereka meneruskan ’acting’ di DPR, lalu
dapat saja mereka ”over-acting secara politis, atau mereka merusak tata republik:
ber-acting ketika harus beradu argumentasi. Tak mustahil bahwa mereka perlu
dididik menjadi politikus yang mampu bicara sopan dan tidak memperlakukan ruang
DPR sebagai panggung ’sandiwara’ atau ’lomba interupsi’ seperti sejumlah anggota
DPR sebelum ini.
Pendidikan politis berarti bahwa para caleg belajar mendengarkan pendapat
dan keinginan rakyat; merumuskan dengan baik hasrat rakyat dalam bahasa beradab
selaras dengan kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat; menangkap pandangan lawan
bicara secara berbudaya dan cerdas; menganalisis masalah sesuai dengan bidang
keahlian; memaparkan dengan kecerdasan komunikasi; kegigihan berjuang secara
tepat-azas[4]. Dalam hal itu, pantaslah para pemilih
menuntut agar para caleg tidak hanya pandai berdebat dan tidak hanya memiliki
pengetahuan kemasyarakatan serta mempunyai kecerdasan memperhitungkan dunia
politik/ekonomi; mereka juga perlu mempersiapkan diri dengan kemampuan logika
yang baik dan pengetahuan etika umum serta ’common sense’ normal. Andaikata
seseorang terpilih sebelum memiliki semua itu, tanggungjawabnya menuntut bahwa
mencari tambahan pengetahuan itu, sebagaimana seseorang yang masuk dalam dunia
usaha dan ilmu pengetahuan perlu mengejar kekurangannya demi tanggungjawab
profesionalnya.
Dengan kata lain, perlu sekali diadakan pendidikan politik pada calon legislatif secara
cermat: baik dari sudut kata-kalimat UU atau Permen sampai pada kaitan
antara peraturan dan perundangan serta pengandaian ideologis dan latar belakang
sosial peraturan semua. Dalam hal ini kita dapat belajar dari Gus Dur yang
memilih melayani kepentingan seluruh rakyat, juga yang berjumlah sedikit,
daripada memenuhi permintaan ’teman-temannya sendiri, yang sebelumnya
mengangkatnya menjadi Presiden tetapi kemudian mencampakkannya’.
Pendidikan Ke-Pancasila-an
Pelbagai peristiwa empat tahun terakhir ini
menunjukkan dengan jelas, betapa pemerintah maupun pemelihara keamanan serta
lembaga legislatif dan yudikatif menunjukkan sikap kurang melaksanakan dengan
pemahaman tepat Pancasila. Akibatnya, kekerasan lintas kelompok yang bertolak
dari penafsiran sejarah hidup Republik terjadi tanpa penanganan yang tepat-azas
dan tepat-guna sehingga sama sekali tidak berhasil-guna. Peristiwa sekitar
Ahmadiyah, kesewenang-wenangan kelompok
yang menindas warga lain dengan mengangkat prinsip agama di atas
konstitusi, penghinaan terhadap lembaga
hukum telah terjadi tanpa transparansi penanganan yang konstitusional. Pejabat yang membiarkan hal itu terjadi,
ketika mempunyai kewenangan untuk menanganinya, sebenarnya dapat dipandang
sebagai ”membenarkan dan mendukung kekerasan itu”; suatu kegagalan pendidikan
politik Republik ini.
Padahal Sila
Kelima sudah mengamanatkan bahwa keadilan diberikan kepada seluruh warga
negara, teristimewa mereka yang kecil dan lemah. Pejabat(-2) yang membiarkan
hal itu tidak terjadi adalah orang(-2) yang gagal mendidik diri sendiri menjadi
Pancasilais sejati.[5]
Tidak mungkin juga Lembaga Legislatif mencuci
tangan dalam peristiwa semacam itu, karena dalam banyak kesempatan Lembaga itu
berpretensi menjadi ”tukang kontrol” pelaksana negara (eksekutif); tetapi dalam
kekerasan-kekerasan lintas kelompok parlemen tidak bertindak secara tepat-guna.
Bahkan terkadang tercipta kebiasaan yang membuka peluang untuk pelemahan tugas ”permusyawaratan dan perwakilan”. Maka
para calon legislatif memerlukan pendidikan politik dalam menjadi pemangku
kepentingan rakyat atas dasar Pancasila.
Sayang sekali bahwa banyak petugas yudikatif
ternyata berulangkali menunjukkan kegagalannya mempersatukan bangsa melalui keputusan-keputusan
pengadilan yang bahkan memecahbelah rakyat karena kurang setia pada kebenaran
yuridis, faktual dan intensional. Diperlukan pendidikan politis dalam
menerapkan Pancasila yang konsisten agar Persatuan
Bangsa Indonesia terwujud sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan.
Sayang sekali, bahwa pelaksana lapangan, seperti
polisi dan satpolpp serta pelbagai petugas, tidak hanya sering tidak
mempedulikan pelanggaran aturan, tetapi malah ikut melanggar perikemanusiaan,
sehingga korban perampasan hak maupun penghilangan nyawa orang tidak ditindak
selaras dengan Perikemanusiaan yang adil
dan beradab. Perwujudan Indonesia yang berperikemanusiaan membutuhkan
kesadaran politis yang terjabar dalam tindakan yang nyata. Tanpa langkah itu,
tidak mungkin Republik Proklamasi terlaksana secara adil dan beradab.
Kadang kala kelihatan jelas, betapa sejumlah
organisasi keagamaan memperalat kelemahan politis untuk secara sefihak
memaksakan kehendak, seakan-akan hukum sesuatu agama boleh dipakai menghantam
orang atau kelompok yang bersikap religius berbeda. Pendirian keagamaan dengan
sengaja telah dinetralisasikan dengan perumusan Ketuhanan Yang Mahaesa ketika kita memulai Republik Indonesia atas
dasar Pancasila. Sesungguhnya, dengan demikian keloompok dan perseorangan
seperti itu telah merosotkan makna agama sebagai ’onder-bouw’ dari sistem
politik dan karena itu malah menurunkan derajad agama. Lalu agama dengan mudah
menjadi sarana adu kekuatan dan kekerasan.[6]
Maka seluruh bagian masyarakat perlu melibatkan diri secara konsekuen dan
konsisten dalam hal ini. Bila tidak, maka sia-sialah segala perundingan selama
60tahunan pembangunan bangsa ini.
Seluruh bangsa memerlukan pendidikan Pancasila yang baru, untuk dapat mengatasi segala
perbedaan dan kepentingan. Para calon legislatif hanya pantas dipilih apabila
mempunyai sikap dan semoga juga rencana yang jelas dalam Pendidikan Politik
berporos Pancasila. Bila tidak, kita menyiapkan penghancuran Republik Indonesia
yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Baik Bung Karno maupun Bung Hatta sangat membela
perwujudan Pancasila dalam bernegara, sehingga pantas kita jadikan guru yang
berharga. Pendidikan untuk memahami, mendalami dan melaksanakan Pancasila sudah
dibicarakan banyak fihak. Salah satu yang menganjurkan pendidikan Pancasila
secara sistematis adalah H.A. Tilaar. Dalam bukunya ”Beberapa Agenda Reformasi
Pendidikan Nasional dalam perspektif Abad 21” dianjurkannya agar kita lebih
bersungguh-sungguh mengintegrasikan pemahaman Pancasila dalam tata-didik
nasional kita.[7]
Pendidikan politis mencakup
pencerdasan
Sejumlah petugas pendidikan di pentas politik sering mengutip Mukadimah UUD 1945
untuk mencerdaskan bangsa. Namun tidak jarang langkah itu dilakukan ”tidak
secara cerdas”, seperti disarankan oleh Howard Gardner dengan aneka bentuk
kecerdasannya. Sekarang ijasah kerap dikemukakan sebagai syarat minimal, karena
ada pejabat yang mengira, bahwa Ujian Nasional yang kacau balau itu adalah
ukuran kecerdasan. Sekarang jelas bahwa kecerdasan itu tidak dengan sendirinya dapat
dipenuhi dengan ijasah atau sertifikat. Apalagi, kalau ijasah/sertifikat itu
dibeli (seperti direkam oleh banyak pemantau Ujian Nasional beberapa tahun
terakhir ini). Kita tahu bahwa kita harus melengkapi
kecerdasan intelektual dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual,
yang melampaui segi institusional sehingga tak boleh disempitkan dikaitkan
dengan keterikatan pada lembaga hidup kekeluargaan dan keagamaan tertentu. Kita
minta agar calon legislatif terdidik dalam masyarakat majemuk dengan kecerdasan
inter-personal dan intra-personal yang memadai: sebab sekurang-kurangnya
diperlukan kecerdasan bernegosiasi dan membangun kerjasama lintas partai dan
lintas golongan atas dasar prinsip bernegara Pancasila yang tepat. Alangkah
miskinnya seorang anggota legislatif kalau tidak memiliki kecerdasan linguistik
dan kecerdasan musikal maupun kecerdasan seni minimal, sebab akan membuatnya tidak mampu mengungkapkan gagasannya sampai
dapat difahami kubu lain, sehingga malah
memaksakan pendapatnya dengan ukuran kuantitatif atau ancaman demonstrasi
luar-parlemen atau pemerasan media elektronik. Akibatnya adalah pelbagai perda,
yang diwarnai fanatisme, yang malah tidak mungkin dipertanggungjawabkan di
hadapan otoritas agamanya sendiri.
Kampanye beberapa minggu harus mengandaikan, bahwa para calon legislatif
terdidik melampaui penampilan elok atau sumber dana cukup, sampai mampu
mengatasi kekurangan kecerdasan ganda yang memadai sebagaimana dipesan Howard
Gardner. Tanpa kecerdasan yang utuh,
seorang caleg tidak memenuhi syarat untuk dipilih. Seyogyanya suatu partai
juga tidak akan menunjuk orang seperti itu, karena hanya akan menurunkan
derajad partai itu sendiri.
Moh Yamin mengajak kita untuk cermat mempelajari
Pancasila, sambil tetap menghidangkan gagasannya untuk didiskusikan. Betapa
perlunya kita berani mendiskusikan dan memperdebatkan isi Pancasila dan
pewujudan pendidikan Pancasila: demi kesejahteraan seluruh masyarakat. Bila
kita mempelajari pandangan-pandangan sekitar Lahirnya Pancasila, kita ditantang
untuk lebih cerdas dalam memahami Pancasila dan tempatnya dalam hidup negeri
ini.
Siapa mendidik siapa?
Sering diberi kesan, bahwa orang-orang yang ada di
lembaga legislatif dan eksekutif merasa, bahwa mereka dengan sendirinya lebih
mampu mendidik rakyat. Istilah yang kerap dipakai adalah ”rakyat tidak memahami
aturan, sehingga menolak UU BHP atau UU Sisdiknas atau UU Kepartaian dan
Rencana Kurikulum 2013[8]”,
seperti sering dikemukakan para pejabat, tertutama di bidang pendidikan
(publik). Hal serupa tampak dalam petugas di lapangan, yang kalau diingatkan
peserta lalulintas, karena melanggar sendiri aturan lalin malah ganti marah:
”Kamu mau ngajari petugas ya?!” Anggota legislatif atau petugas eksekutif
seperti itu lupa, bahwa jabatan tidak begitu saja membuat orang jadi cerdas
secara lengkap; dan lupa bahwa justru karena jadi petugas, maka ia wajib
belajar terus; dan bahwa ada kemungkinan memang ada rakyat yang sedikit lebih
cerdas daripada petugas. Tepatlah ungkapan seorang Wakil Gubernur yang menuntut
Menteri Dalam Negeri mempelajari Konstitusi ketika mengusulkan bawahannya
melanggar ketentuan dasar negara. Sikap
paternalistik tak-terdidik seperti itu merusak demokrasi dan dalam arti yang
sebenarnya malah menjauhkan ikloim ilmiah dari dunia pendidikan, khususnya
pendidikan politik.
Dalam suatu negara demokrasi, setiap orang tidak hanya sama di hadapan hukum, tetapi juga sama di
hadapan kebenaran sejati dan sama di hadapan bangsa seluruhnya. Etika
mengabdi masyarakat berorientasi pada kesejahteraan bersama dan pedoman
bersama, yakni UUD. Maka seluruh rakyat pantas saling mendidik[9].
Dari pelbagai diskusi dalam mempersiapkan beberapa RUU menjadi jelas, bahwa
banyak anggota DPR (yang silam) dan pejabat publik agaknya tidak cukup cerdas
untuk memahami liku-liku logika hukum dan kesejahteraan bersama (bahkan
sedemikian sehingga tidak mampu memahami aturan DPR sendiri, atau UU yang
dibuatnya sendiri, sampai terperosok dalam noda yang diwaspadai oleh rakyat
lewat KPK atau pelbagai lembaga pengawas parlemen). Pendidikan Politis sangat diperlukan oleh seluruh rakyat: termasuk
calon legislatif dan pejabat negara, dari yang paling rendah sampai di lapisan
pemerintahan yang tertinggi, termasuk Menteri maupun pejabat publik lain.
[1] Bdk.
Freire, Paulo, Politik Pendidikan: Kebudayaan,
Kekuasaan dan Pembebasan, Pustaka Pelajar dan Research, Education and Dialogue, Yogyakarta, Yogyakarta, 1999,
khususnya Bab 8. Aslinya: The Politic of
Education: Culture, Power and Liberation.
[2]
Mangkunegoro IV, 1860
[3] Serat
Kalatidha, bagian kedua (1860).
[4] Bdk.
Rotter, Hans dan G. Virt, Neues Lexikon
der christlichen Moral, Tyrolia Verlag, Innsbruck-Wien, s.v. Politik.
[5]
Bdk, Saafroedin Bahar (ed). (1992) Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei
1945-19 Agustus 1945. Edisi kedua di beberapa tempat.
[6] Bdk.
Haryatmoko, Dr., Etika: Politik dan
Kekuasaan, KOMPAS, Jakarta, 2003, Bab III.
[7] Tera
Indonesia, Jakarta, 90-111.
[8] Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI terkait Kurikulum 2013 yang dimuat di Harian
Kompas, Kamis, 7 Maret 2013.
[9]
Salah satu tempat saling-mendidik yang baik adalah Media Cetak maupun
Elektronik.
No comments:
Post a Comment