Search This Blog

Tuesday, February 04, 2014

Pendidikan Politik 2014 (B.S. Mardiatmadja, SJ)

Oleh B.S. Mardiatmadja, guru besar STF Driyarkara Jakarta
Artikel ini dipresentasikan ketika ada pertemuan tokoh linta komisi/tokoh umat Provinsi Gerejawi se-Papua, 2-5 Desember 2013

Tahun 2014 akan menawarkan wisata kuliner politis. Rakyat akan diberi ’buku menu hidangan politik’: agar rakyat tertarik mencicipi dan memilih santapan. Seperti hampir semua buku menu, bahan mentahnya mirip (tulang iga, usus, daging, telor, kulit atau sayur) dan terpampang sudah lama (hak azasi manusia, kemakmuran, kesetaraan, industri, kebebasan beragama dst). Harapan dari pemasang iklan adalah bahwa rakyat memilih ’membeli tawaran itu’. Wajarlah kalau rakyat juga membayangkan bahwa nantinya ”hidangan politis nyata selaras dengan iklan menu”; jangan sampai penunggu warung kerap menjawab ”maaf, lodeh otak belum tersedia; yang ada hanya gulai otot atau rujak lidah”. Rakyat sebagai ”yang berdaulat di Republik ini” juga mempunyai tuntutan, seperti dalam setiap restoran: korban Merapi meminta segera disediakan bantuan tepat-saji; buruh mengharapkan sajian yang tepat-guna; PNS mendambakan bukan sekedar gaji ketigabelas melainkan juga santapan ajeg-saji berupa jaminan sosial tiap bulan; mereka yang tertindas atas dasar pendirian hukum agama sefihak mengharap keadilan politis tanpa diskriminasi; seperti biasa pemesan santapan politis boleh meminta ”nggak pakai lama”. Credibilitas ’produsen’ mau dinaikkan dengan namabaik ’pengiklannya’: entah lewat artis atau tokoh politis, entah lewat gelar dan kedudukan sosial orang. Namun tak boleh dilupakan bahwa taruhan kita bukan pada kenikmatan pandangan mata dan belaian suara merdu, atau keindahan potret doktor atau keelokan Raden; melainkan kemungkinan mereka menjadi pelaku politis demi kedaulatan rakyat. Tolokukur utama pendidikan politis adalah kemampuan orang memperjuangkan kepentingan politis dalam arena politik.[1] Asumsinya: kepentingan itu yang mana?

Dalam proses itu terjadi pendidikan politik yang mewujudkan ”kedaulatan rakyat” yakni bahwa rakyat menentukan nasib para ”calon legislatif”, sebelum mereka di DPR dan DPD menggantung nasib rakyat dengan Undang-undang yang mudah-mudahan tepat, konsisten dan terumus baik. Semoga pada tahun 2015 tidak terjadi seperti pada tahun 2007 (3 tahun sesudah Pemilihan Umum 2004), bahwa Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia mencatat kritik pedas terhadap DPR dengan menulis ”Bobot kurang, Janji masih terhutang”.  Sudah lewat masa, seakan-akan rakyat dianggap ”buta politik”, seperti beberapa bulan terakhir ini sering diucapkan oleh ”pelayan legislasi” dan ”pejabat publik” yang menyerukan ”rakyat belum cukup mempelajari kurikulum 2013 atau UU ini atau itu”, sementara sebenarnya pejabatlah yang tidak cermat mempelajari Peraturan Bersama Menteri atau UU Sisdiknas atau bahkan peraturan pemerintah sendiri. Bersama penulis Wedhatama[2], pantaslah kita mencari pemimpin politik yang mengenal dan melayani rakyat. Konteks abad 19 di Jawa Tengah memang agak khusus, namun intisari ajarannya mengena untuk masa kini. Sebab pada waktu itu maupun sekarang, sosok pemimpin politik yang dicita-citakan adalah mereka yang memang melayani rakyat dan berusaha memahami rakyat. Jauh dari oportunisme dan haus kekuasaan, baginya pemahaman mengenai rasa dan pengertian rakyat merupakan dua hal yang diandaikan dalam menjadi pemimpin politik. Pandangan tersebut masih didambakan pada masa sekarang dan pada waktu mendatang.

Pendidikan Politis Caleg

Semua calon pekerja industri atau perusahaan mana pun, di-tes oleh calon pengusahanya: apa kompetensinya, apa kemampuan nyatanya, apa ketrampilannya dan apa dayatarik sosialnya. Banyak calon TKI/W dididik cepat-cepat untuk mampu melaksanakan calon pekerjaannya dan dapat memamai bahasa yang tepat. Begitu pula calon legislatif: ada yang secara ’cepatsaji’ disiapkan walau seumur-umur sebenarnya tak pernah berpengalaman di bidang politik; ada pula yang sudah lama berkecimpung di bidang politik sehingga sesungguhnya mudah diketahui apakah dia oportunis atau tidak; sangat mungkin ada pula yang mempunyai pengalaman yang memperlihatkan sikap politis yang baik dan terbukti sering membela rakyat pula. Kita boleh mencermati pesan Ronggowarsito yang menuntut pemuka rakyat untuk mendahulukan kepentingan bawahan daripada keprihatinannya sendiri.[3] Maka rakyat ber-hak memeriksa, sejauh mana seseorang dinilai mampu mewakilinya di pentas politik. Jangan sampai pendidikan berpolitik bagi calon legislatif berupa ”latihan acting politis” untuk menjadikan arena politik sebagai panggung pertunjukan: bukan tempat berargumentasi demi kesejahteraan bersama. Kalau berdasarkan pengalaman di panggung lalu mereka meneruskan ’acting’ di DPR, lalu dapat saja mereka ”over-acting secara politis, atau mereka merusak tata republik: ber-acting ketika harus beradu argumentasi. Tak mustahil bahwa mereka perlu dididik menjadi politikus yang mampu bicara sopan dan tidak memperlakukan ruang DPR sebagai panggung ’sandiwara’ atau ’lomba interupsi’ seperti sejumlah anggota DPR sebelum ini.

Pendidikan politis berarti bahwa para caleg belajar mendengarkan pendapat dan keinginan rakyat; merumuskan dengan baik hasrat rakyat dalam bahasa beradab selaras dengan kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat; menangkap pandangan lawan bicara secara berbudaya dan cerdas; menganalisis masalah sesuai dengan bidang keahlian; memaparkan dengan kecerdasan komunikasi; kegigihan berjuang secara tepat-azas[4]. Dalam hal itu, pantaslah para pemilih menuntut agar para caleg tidak hanya pandai berdebat dan tidak hanya memiliki pengetahuan kemasyarakatan serta mempunyai kecerdasan memperhitungkan dunia politik/ekonomi; mereka juga perlu mempersiapkan diri dengan kemampuan logika yang baik dan pengetahuan etika umum serta ’common sense’ normal. Andaikata seseorang terpilih sebelum memiliki semua itu, tanggungjawabnya menuntut bahwa mencari tambahan pengetahuan itu, sebagaimana seseorang yang masuk dalam dunia usaha dan ilmu pengetahuan perlu mengejar kekurangannya demi tanggungjawab profesionalnya.

Dengan kata lain, perlu sekali diadakan pendidikan politik pada calon legislatif secara cermat: baik dari sudut kata-kalimat UU atau Permen sampai pada kaitan antara peraturan dan perundangan serta pengandaian ideologis dan latar belakang sosial peraturan semua. Dalam hal ini kita dapat belajar dari Gus Dur yang memilih melayani kepentingan seluruh rakyat, juga yang berjumlah sedikit, daripada memenuhi permintaan ’teman-temannya sendiri, yang sebelumnya mengangkatnya menjadi Presiden tetapi kemudian mencampakkannya’.

Pendidikan Ke-Pancasila-an

Pelbagai peristiwa empat tahun terakhir ini menunjukkan dengan jelas, betapa pemerintah maupun pemelihara keamanan serta lembaga legislatif dan yudikatif menunjukkan sikap kurang melaksanakan dengan pemahaman tepat Pancasila. Akibatnya, kekerasan lintas kelompok yang bertolak dari penafsiran sejarah hidup Republik terjadi tanpa penanganan yang tepat-azas dan tepat-guna sehingga sama sekali tidak berhasil-guna. Peristiwa sekitar Ahmadiyah, kesewenang-wenangan kelompok yang menindas warga lain dengan mengangkat prinsip agama di atas konstitusi, penghinaan terhadap lembaga hukum telah terjadi tanpa transparansi penanganan yang konstitusional. Pejabat yang membiarkan hal itu terjadi, ketika mempunyai kewenangan untuk menanganinya, sebenarnya dapat dipandang sebagai ”membenarkan dan mendukung kekerasan itu”; suatu kegagalan pendidikan politik Republik ini.

Padahal Sila Kelima sudah mengamanatkan bahwa keadilan diberikan kepada seluruh warga negara, teristimewa mereka yang kecil dan lemah. Pejabat(-2) yang membiarkan hal itu tidak terjadi adalah orang(-2) yang gagal mendidik diri sendiri menjadi Pancasilais sejati.[5]

Tidak mungkin juga Lembaga Legislatif mencuci tangan dalam peristiwa semacam itu, karena dalam banyak kesempatan Lembaga itu berpretensi menjadi ”tukang kontrol” pelaksana negara (eksekutif); tetapi dalam kekerasan-kekerasan lintas kelompok parlemen tidak bertindak secara tepat-guna. Bahkan terkadang tercipta kebiasaan yang membuka peluang untuk pelemahan tugas ”permusyawaratan dan perwakilan”. Maka para calon legislatif memerlukan pendidikan politik dalam menjadi pemangku kepentingan rakyat atas dasar Pancasila.

Sayang sekali bahwa banyak petugas yudikatif ternyata berulangkali menunjukkan kegagalannya mempersatukan bangsa melalui keputusan-keputusan pengadilan yang bahkan memecahbelah rakyat karena kurang setia pada kebenaran yuridis, faktual dan intensional. Diperlukan pendidikan politis dalam menerapkan Pancasila yang konsisten agar Persatuan Bangsa Indonesia terwujud sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan.

Sayang sekali, bahwa pelaksana lapangan, seperti polisi dan satpolpp serta pelbagai petugas, tidak hanya sering tidak mempedulikan pelanggaran aturan, tetapi malah ikut melanggar perikemanusiaan, sehingga korban perampasan hak maupun penghilangan nyawa orang tidak ditindak selaras dengan Perikemanusiaan yang adil dan beradab. Perwujudan Indonesia yang berperikemanusiaan membutuhkan kesadaran politis yang terjabar dalam tindakan yang nyata. Tanpa langkah itu, tidak mungkin Republik Proklamasi terlaksana secara adil dan beradab.

Kadang kala kelihatan jelas, betapa sejumlah organisasi keagamaan memperalat kelemahan politis untuk secara sefihak memaksakan kehendak, seakan-akan hukum sesuatu agama boleh dipakai menghantam orang atau kelompok yang bersikap religius berbeda. Pendirian keagamaan dengan sengaja telah dinetralisasikan dengan perumusan Ketuhanan Yang Mahaesa ketika kita memulai Republik Indonesia atas dasar Pancasila. Sesungguhnya, dengan demikian keloompok dan perseorangan seperti itu telah merosotkan makna agama sebagai ’onder-bouw’ dari sistem politik dan karena itu malah menurunkan derajad agama. Lalu agama dengan mudah menjadi sarana adu kekuatan dan kekerasan.[6] Maka seluruh bagian masyarakat perlu melibatkan diri secara konsekuen dan konsisten dalam hal ini. Bila tidak, maka sia-sialah segala perundingan selama 60tahunan pembangunan bangsa ini.

Seluruh bangsa memerlukan pendidikan Pancasila yang baru, untuk dapat mengatasi segala perbedaan dan kepentingan. Para calon legislatif hanya pantas dipilih apabila mempunyai sikap dan semoga juga rencana yang jelas dalam Pendidikan Politik berporos Pancasila. Bila tidak, kita menyiapkan penghancuran Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Baik Bung Karno maupun Bung Hatta sangat membela perwujudan Pancasila dalam bernegara, sehingga pantas kita jadikan guru yang berharga. Pendidikan untuk memahami, mendalami dan melaksanakan Pancasila sudah dibicarakan banyak fihak. Salah satu yang menganjurkan pendidikan Pancasila secara sistematis adalah H.A. Tilaar. Dalam bukunya ”Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam perspektif Abad 21” dianjurkannya agar kita lebih bersungguh-sungguh mengintegrasikan pemahaman Pancasila dalam tata-didik nasional kita.[7]

Pendidikan politis mencakup pencerdasan

Sejumlah petugas pendidikan di pentas politik sering mengutip Mukadimah UUD 1945 untuk mencerdaskan bangsa. Namun tidak jarang langkah itu dilakukan ”tidak secara cerdas”, seperti disarankan oleh Howard Gardner dengan aneka bentuk kecerdasannya. Sekarang ijasah kerap dikemukakan sebagai syarat minimal, karena ada pejabat yang mengira, bahwa Ujian Nasional yang kacau balau itu adalah ukuran kecerdasan. Sekarang jelas bahwa kecerdasan itu tidak dengan sendirinya dapat dipenuhi dengan ijasah atau sertifikat. Apalagi, kalau ijasah/sertifikat itu dibeli (seperti direkam oleh banyak pemantau Ujian Nasional beberapa tahun terakhir ini). Kita tahu bahwa kita harus melengkapi kecerdasan intelektual dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, yang melampaui segi institusional sehingga tak boleh disempitkan dikaitkan dengan keterikatan pada lembaga hidup kekeluargaan dan keagamaan tertentu. Kita minta agar calon legislatif terdidik dalam masyarakat majemuk dengan kecerdasan inter-personal dan intra-personal yang memadai: sebab sekurang-kurangnya diperlukan kecerdasan bernegosiasi dan membangun kerjasama lintas partai dan lintas golongan atas dasar prinsip bernegara Pancasila yang tepat. Alangkah miskinnya seorang anggota legislatif kalau tidak memiliki kecerdasan linguistik dan kecerdasan musikal maupun kecerdasan seni minimal, sebab akan membuatnya tidak mampu mengungkapkan gagasannya sampai dapat difahami kubu lain, sehingga malah memaksakan pendapatnya dengan ukuran kuantitatif atau ancaman demonstrasi luar-parlemen atau pemerasan media elektronik. Akibatnya adalah pelbagai perda, yang diwarnai fanatisme, yang malah tidak mungkin dipertanggungjawabkan di hadapan otoritas agamanya sendiri.
Kampanye beberapa minggu harus mengandaikan, bahwa para calon legislatif terdidik melampaui penampilan elok atau sumber dana cukup, sampai mampu mengatasi kekurangan kecerdasan ganda yang memadai sebagaimana dipesan Howard Gardner. Tanpa kecerdasan yang utuh, seorang caleg tidak memenuhi syarat untuk dipilih. Seyogyanya suatu partai juga tidak akan menunjuk orang seperti itu, karena hanya akan menurunkan derajad partai itu sendiri.
Moh Yamin mengajak kita untuk cermat mempelajari Pancasila, sambil tetap menghidangkan gagasannya untuk didiskusikan. Betapa perlunya kita berani mendiskusikan dan memperdebatkan isi Pancasila dan pewujudan pendidikan Pancasila: demi kesejahteraan seluruh masyarakat. Bila kita mempelajari pandangan-pandangan sekitar Lahirnya Pancasila, kita ditantang untuk lebih cerdas dalam memahami Pancasila dan tempatnya dalam hidup negeri ini.

Siapa mendidik siapa?

Sering diberi kesan, bahwa orang-orang yang ada di lembaga legislatif dan eksekutif merasa, bahwa mereka dengan sendirinya lebih mampu mendidik rakyat. Istilah yang kerap dipakai adalah ”rakyat tidak memahami aturan, sehingga menolak UU BHP atau UU Sisdiknas atau UU Kepartaian dan Rencana Kurikulum 2013[8]”, seperti sering dikemukakan para pejabat, tertutama di bidang pendidikan (publik). Hal serupa tampak dalam petugas di lapangan, yang kalau diingatkan peserta lalulintas, karena melanggar sendiri aturan lalin malah ganti marah: ”Kamu mau ngajari petugas ya?!” Anggota legislatif atau petugas eksekutif seperti itu lupa, bahwa jabatan tidak begitu saja membuat orang jadi cerdas secara lengkap; dan lupa bahwa justru karena jadi petugas, maka ia wajib belajar terus; dan bahwa ada kemungkinan memang ada rakyat yang sedikit lebih cerdas daripada petugas. Tepatlah ungkapan seorang Wakil Gubernur yang menuntut Menteri Dalam Negeri mempelajari Konstitusi ketika mengusulkan bawahannya melanggar ketentuan dasar negara. Sikap paternalistik tak-terdidik seperti itu merusak demokrasi dan dalam arti yang sebenarnya malah menjauhkan ikloim ilmiah dari dunia pendidikan, khususnya pendidikan politik.
Dalam suatu negara demokrasi, setiap orang tidak hanya sama di hadapan hukum, tetapi juga sama di hadapan kebenaran sejati dan sama di hadapan bangsa seluruhnya. Etika mengabdi masyarakat berorientasi pada kesejahteraan bersama dan pedoman bersama, yakni UUD. Maka seluruh rakyat pantas saling mendidik[9]. Dari pelbagai diskusi dalam mempersiapkan beberapa RUU menjadi jelas, bahwa banyak anggota DPR (yang silam) dan pejabat publik agaknya tidak cukup cerdas untuk memahami liku-liku logika hukum dan kesejahteraan bersama (bahkan sedemikian sehingga tidak mampu memahami aturan DPR sendiri, atau UU yang dibuatnya sendiri, sampai terperosok dalam noda yang diwaspadai oleh rakyat lewat KPK atau pelbagai lembaga pengawas parlemen). Pendidikan Politis sangat diperlukan oleh seluruh rakyat: termasuk calon legislatif dan pejabat negara, dari yang paling rendah sampai di lapisan pemerintahan yang tertinggi, termasuk Menteri maupun pejabat publik lain.





[1] Bdk. Freire, Paulo, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Pustaka Pelajar dan Research, Education  and Dialogue, Yogyakarta, Yogyakarta, 1999, khususnya Bab 8. Aslinya: The Politic of Education: Culture, Power and Liberation.
[2] Mangkunegoro IV, 1860
[3] Serat Kalatidha, bagian kedua (1860).
[4] Bdk. Rotter, Hans dan G. Virt, Neues Lexikon der christlichen Moral, Tyrolia Verlag, Innsbruck-Wien, s.v. Politik.
[5] Bdk, Saafroedin Bahar (ed). (1992) Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Edisi kedua di beberapa tempat.
[6] Bdk. Haryatmoko, Dr., Etika: Politik dan Kekuasaan, KOMPAS, Jakarta, 2003, Bab III.
[7] Tera Indonesia, Jakarta, 90-111.
[8] Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI terkait Kurikulum 2013 yang dimuat di Harian Kompas, Kamis, 7 Maret 2013.
[9] Salah satu tempat saling-mendidik yang baik adalah Media Cetak maupun Elektronik.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *