Search This Blog

Monday, February 03, 2014

Manusia Politik Kristiani (Satu Dua Diskursus)

Prof. Dr. Armada Riyanto, CM, Dosen Filsafat Politik STFT Widya Sasana Malang, Jawa Timur 

 (artikel ini pernah dipresentasikan pada pertemuan tokoh agama Katolik Keuskupan Denpasar di Mataram, NTB, 25-29 Agustus 2013)

TERBEBANI SEJARAH?


Gereja Katolik, khususnya Gereja Katolik Indonesia, sering berada dalam disposisi “ragu” melakukan eksplorasi kedalaman sejarah politiknya.
Secara umum disposisi itu disebabkan oleh pemahaman yang kurang menyeluruh atas pengalaman historis relasi Katolik dan politik. Ada semacam rasa “terbebani sejarah”.
Jika sebelum Konstantinus menang perang karena simbol “IHS” (yang merupakan singkatan simbolik dari “In Hoc Signo Vinces” atau “dalam tanda ini engkau akan menang) sejarah kekatolikan dihiasi oleh rupa-rupa pengalaman heroik, indah untuk dikenang dan diteladani, yaitu kemartiran; maka, setelah Konstantinus, orang Katolik kerap lebih suka “melupakan” sejarahnya karena penuh dengan kekacauan peradaban keterpautan antara kekuasaan politis dan kekuasaan rohani. Apalagi, label sejarah kekacauan tumpang tindih kekuasaan rohani dan profan itu disebut Cesaropapisme, yang merupakan terminologi peyoratif dari gandengan Cesar dan Paus.
Pengalaman historis yang kurang menarik untuk diingat (paling sedikit oleh publik pembaca Indonesia) adalah perang salib. Secara sederhana perang salib bukanlah peristiwa yang diterima sebagai sebuah momen kepahlawanan melainkan sebagai sebuah “nasib sejarah” yang hingga sekarang tidak hentinya menjadi keprihatinan. Halnya juga menjadi sebuah keniscayaan, karena kita hidup bersama dengan saudara-saudari umat Muslim yang juga memandang bahwa perang salib merupakan sebuah “nasib sejarah”.
Sejarah Abad Pertengahan Eropa yang dipandang sebagai periode keemasan dari sejarah kekatolikan pun lebih diingat sebagai momen inkuisisi, di mana kekuasaan Gereja tampak banal (jika disimak dari kacamata modern). Inkuisisi merupakan pengadilan Gereja atas heresi atau kesesatan iman yang berujung kepada hukuman (sebagian besar dengan pembakaran) kepada para pelakunya. Diantaranya, yang bisa kita sebut, Bruno, yang dibakar di Campo dei Fiori (lapangan bunga), di Roma.
Jika kita menyimak konteks dekat, sejarah kekristenan Indonesia, di situ pun kita mengalami semacam perasaan “inferior” atau disposisi “penyesalan” historis. Betapa tidak, identifikasi bahwa kekristenan sama dengan agama penjajahtoh di sana sini tetap kental juga. Sadar atau tidak, stigma bahwa kekatolikan gandeng dengan penjajahan tetap menjadi semacam “luka” yang tak kunjung sembuh dalam disposisi hati kita.
Logika sejarah seperti di atas sesungguhnya merupakan sebuah perspektif logika yang kurang tepat. Letak kekurang-tepatannya pada cara pandang bahwa sejarah pertama-tama adalah sebuah ingatan. Dan, ingatan paling mudah adalah ingatan akan peristiwa yang spektakuler. Betapa pun sebuah peristiwa bukan dominan, logika spektakuler menguasai hampir keseluruhan cara kita mengingat. Misalnya, orang Belanda (Katolik) lebih kita ingat sebagai penjajah. Tetapi, pernahkah kita menyadari bahwa Almarhum Romo van Lith adalah seorang Katolik yang diusulkan oleh K.H. Agoes Salim, seorang tokoh pergerakan nasional Muslim untuk menjadi anggota Volksraad? Atau, siapa yang mengingat bahwa salah satu rapat-rapat penting yang menghasilkan Sumpah Pemuda dijalankan di gedung pemuda Katolik (Katholieke Jongelingen Bond) di Waterlooplein (Jl. Lapangan Banteng) tanggal 27 Oktober 2008? Detil-detil yang mengindikasikan panorama aktivitas masa lampau dari partisipasi orang-orang Katolik dalam politik kerap terkubur, dan yang tampak adalah nisan-nisan emblem kegetiran historis bahwa kekatolikan gandeng dengan penjajahan.
Jarak waktu yang sangat besar dalam sejarah sebenarnya bukan hanya mengatakan “kelampauan” tetapi juga jurang perspektif. Artinya, ingatan kita akan sejarah sesungguhnya juga sekaligus mengatakan “pengadilan historis dengan perspektif sendiri” (historical judgment). Kita tidak pernah bisa mengingat peristiwa masa lampau sebagai sebuah peristiwa otonom, melainkan sebagai sebuah peristiwa yang sudah kita nilai, adili, eksplorasi. Akibatnya, dalam sejarah, peristiwanya sendiri lenyap, yang tinggal adalah penilaian kita. Halnya menjadi kurang adequate ketika penilaian itu diajukan untuk sebuah kepentingan modern, kepentingan kita saat ini.
Ketika Kaisar Konstantinus menjadi kristen dan secara perlahan kemudian juga seluruh Eropa mengimani Kristus perlulah ditempatkan pada keseluruhan sejarah manusia. Sejarah manusia adalah sejarah kekuasaan. Di mana pun di planet ini, ketika hadir kekuasaan di situlah sejarah dipatrikan. Sebuah suku yang sangat kecil dengan tradisi yang sangat kaya, ketika suku itu “menguasai” suku-suku lain, pastilah ditorehkan dalam sejarah. Dan, lupakan suku-suku lain yang tidak berkuasa, meskipun suku itu mungkin sangat besar.
Logika semacam ini juga memungkinkan sebuah panorama sejarah Gereja Katolik di era sesudah Konstantinus, kala Abad Pertengahan, dan periode-periode yang lebih modern.
Cesaropapisme menjadi emblem masa lalu. Tetapi, yang pasti jelas tidak hanya itu. Ketika kekuasaan profan gandeng dengan kekuasaan Gereja, sesungguhnya halnya memiliki pula perspektif yang baru. Gereja sebagai representasi kekuasaan rohani menyucikan kekuasaan dunia. Santo Agustinus, Uskup dari Hipo, menulis buku De Civitate Dei, yang langsung memaksudkan upaya teologi bahwa kekuasaan dunia harus tunduk dalam tata rohani sebagaimana dalam ekonomi keselamatan Tuhan. Jadi keterkaitan kekatolikan dan kekuasaan memang diakarkan juga pada pemahaman bahwa tata dunia ini perlu menghadirkan tata keselamatan.
Perang Salib adalah peristiwa sejarah yang sepenuhnya milik masa lampau. Dalam Perang Salib, yang paling pokok bukanlah perkara menang atau kalah, tetapi “roh” yang menjadi peristiwanya. Judgment kita akan Perang Salib pertama-tama berada dalam koridor bahwa sejarah agama-agama sebenarnya adalah sejarah kekuasaan manusia-manusia. Dan, logika kekuasaan adalah logika dominasi. Klaim-klaim kepemilikan atas Yerusalem tidak semata bertumpu pada doktrin agamis tetapi pada “roh”-nya manusia-manusia yang satu sama lain bertengkar dan saling menguasai. Bagaimana dengan inkuisisi? Inkuisisi tidak lain adalah perkara penting yang berkaitan langsung dengan pembelaan kemurnian iman. Sebuah pembelaan yang memiliki konteks zaman tertentu, di mana peradaban manusia tunduk pada peradaban ortodoksi ajaran agama.
Terbebani oleh sejarah sebagai “agama penjajah?” Sebenarnya, konsep yang tepat tentang agama-agama adalah ketika agama “berdatangan” ke Indonesia, masing-masing memiliki sejarah “hitam”-nya sendiri-sendiri yang khas. Tak terkecualikan agama paling awal datang ke Indonesia, seperti Hindu dan Budha. Apalagi Islam (simak pidato Atmodarminto dalam sidang Konstituante tahun 1957, tatkala pembahasan tentang Dasar Negara “Islam” yang hendak dikenakan oleh para eksponen-eksponen politis Muslim ketika itu). Sejarah kehadiran Islam di Indonesia pun gandeng dengan peristiwa-peristiwa perang dan penaklukan. Lihatlah Majapahit yang dihancurkan oleh Islam Demak (Pajang). Bukan hanya kekuasaan aktual kerajaan Majapahit, melainkan seluruh peradaban Hindu dihancurkan. Naskah-naskah Jawa kuna selamat hanya karena beberapa dari mereka dapat lari ke Bali atau Tengger. Dan, tentu saja juga kekristenan di Indonesia. Konsep historisitas kekatolikan sebagai agama penjajah semata lebih dipondasikan pada sebuah rivalitas ideologis yang terus dikibas-kibaskan. Repotnya, orang Katolik sendiri berada dalam “kurungan inferioritas” semacam ini. Semacam memiliki pengalaman “rendah diri” atau “kurang yakin” bahwa kiprahnya nanti kelak akan diterima masyarakat.
Seyogyanya konsep tentang “agama penjajah” tidak menjadi sebuah keniscayaan, sebab sejarah agama-agama adalah sejarah manusia-manusia yang memiliki konstelasi kekuasaan dengan logika tunggal, ekspansif. Ekspansi senantiasa memiliki indikasi negatif. Sebab, ekspansi merupakan ekspresi dari penolakan eksistensi kelompok lain demi kepentingan eksistensi sendiri. Demikianlah logika semacam ini juga dimiliki oleh semua agama yang ada! Islam pun, yang kerap dideklarasikan sebagai agama damai, memiliki segala peristiwa dan jejak-jejak historis tinta hitam baik dalam sejarah perkembangannya di dunia maupun juga di Indonesia (khususnya di Jawa). Tetapi, lagi-lagi, cara pandang terhadap agama sebagai sebuah peristiwa kekacauan dalam sejarah sering kali hanya untuk memenuhi sedikit kepuasan kita saja. Hal yang jelas tidak fair.
Kekatolikan tidak sama dan tidak gandeng dengan logika kolonialisme di masa lampau. Kekatolikan merupakan sebuah bentuk transendensi diri untuk menghadirkan Kerajaan Allah dalam hidup manusia di dunia sehari-hari kita. Dan, itulah sebabnya, kekatolikan merapatkan diri pada pelabuhan tata hidup bersama. Dengan kata lain, Katolik dan politik tidak saling tabrakan, melainkan justrus konvergen. Kekatolikan menjadi pondasi pembangunan manusia secara menyeluruh dalam martabatnya.
Ketika politik mengejar “kebaikan tertinggi” (kebaikan umum bagi seluruh warganya), menurut Aristoteles, Katolik menghadirkan sang “Kebaikan Tertinggi” dalam hidup persekutuan umatnya, Gereja. Artinya, ketika politik berada dalam ranah tata dunia, Katolik mewartakan tata baru, tata keselamatan. Ekonomi kehidupan dan ekonomi penebusan tidak dipisah-pisahkan. Itulah sebabnya Katolik dan politik tidak bertentangan. Etika politik dan etika Katolik bukan dua hal yang saling bertumbukan, melainkan dua perspektif yang menghadirkan keselarasan. Keselarasan societas.

***

HUKUM

Terminologi hukum. Hukum dalam bahasa Latin, Lex. Refleksi terminologi mengalir dari bahasa Latin ini. Lex berasal dari (1) ligare: mengikat, dan (2) legere:  menghimpun, membaca. Mana yang lebih tepat dari keduanya, bukan soal. Hukum adalah itu yang mengikat, namun sekaligus merupakan itu yang kita baca sebagai aneka peraturan yg dihimpun bersama sebagai sebuah kesatuan.
Apakah hukum? Hukum adalah soal perintah dan larangan. Berikut ini adalah pengertian hukum (positif) yang digagas oleh Santo Thomas Aquinas. Hukum positif artinya hukum yang diletakkan/diberlakukan dalam masyarakat. Disebut positif bukan untuk mengatakan lawan negatif. Positif memaksudkan yang diberlakukan / diletakkan (dari ponere-posui-positus: meletakkan). Hukum positif juga disebut hukum sipil. Aquinas menggagas hukum (yang adalah soal perintah dan larangan) sebagai:
1.       Ordo rationis atau ordinance of reason (tatanan akal budi). Yang dimaksud dengan akal budi, oleh Aquinas, ialah recta ratio atau right reason. Manusia sejauh manusia memiliki akal budi sehat, artinya memiliki segala apa yang perlu untuk berpikir dan menghendaki yang benar bagi dirinya (kesadaran bahwa dirinya adalah citra Allah) dan bagi sesamanya yang lain (kesadaran akan kodrat sosialitasnya). Dari sebab itu, akal budi yang benar akan selalu mengantar manusia kepada Allahnya. Hukum itu soal akal budi, apa artinya? Artinya, daya ikat/wajib dari hukum didasarkan pada kebenaran sejauh akal budi manusia dapat memikirkannya. Konsekuensinya? Tidak setiap peraturan hukum yang diperintahkan/diberlakukan mengikat/mewajibkan (secara moral); hanya perintah/ larangan yang lolos dari verifikasi akal budi saja yang memiliki daya ikat. Misalnya, perintah untuk membunuh orang Yahudi pada waktu jaman Nazi Hitler, dalam jalan pikiran Aquinas, jelas tidak memiliki daya ikat apa pun (artinya, apabila dilanggar, orang tidak melakukan kesalahan/pelanggaran moral apa pun; bahwa dia akan dihukum oleh pemerintah Nazi Jerman, itu soal lain). Perintah untuk membunuh orang Yahudi itu jelas tidak masuk akal. Dalam hidup sehari-hari ada banyak perkara yang di-hukum-kan, tetapi tidak semua mengatakan kewajiban yang harus ditaati.
2.       Tatanan akal budi ini dimaksudkan untuk mengejar bonum commune (atau the common good) – kesejahteraan umum. Aquinas mengatakan elemen kodrat hukum yang lain, yaitu bahwa hukum memiliki target untuk mengejar kesejahteraan umum. Hukum tak pernah untuk kepentingan pribadi atau penguasa atau golongan (beberapa orang), melainkan untuk kesejahteraan umum. Doktor Angelicum, Aquinas ini, menggagas finis operis hukum untuk kesejahteraan seluruh komunitas. Peraturan tidak pernah untuk peraturan. Peraturan itu untuk manusia. Peraturan harus menjadikan manusia baik, damai, sejahtera.
3.       Sumber dari tatanan akal budi ini berasal dari instansi/pribadi yang bertindak sebagai penanggung jawab atas kesejahteraan umum. Dari mana hukum diasalkan? Dari sendirinya dari sang penguasa, atau – dalam perumusan Aquinas – dari dia yang bertanggung jawab atas kesejahteraan umum seluruh komunitas. Thomas Aquinas belum mengenal pembagian kekuasaan yang secara praktis membedakan antara pembuat hukum, pelaksana hukum, dan instansi yang mengadili kesalahan hukum. Tetapi, apa pun namanya lembaga  suatu pemerintahan, yang membuat undang-undang ialah pihak yang bertanggung jawab atas komunitas. Tidak setiap orang bisa bertindak sebagai pembuat hukum.
4.       Sebagai hukum tatanan akal budi ini harus dipromulgasikan/diberlakukan. Bila mana hukum berlaku sebagai hukum? Bila hukum itu dipromulgasikan, diberlakukan oleh dia yang memegang tanggung jawab suatu pemerintahan. Jika belum dipromulgasikan, hukum hanyalah sebuah draft, rancangan, tulisan yang tidak memiliki daya ikat apa pun.
Gagasan Thomas Aquinas berbeda dengan Thomas Hobbes. Jika Aquinas menggagas hukum sebagai produk dari akal budi (hukum: ordinance of reason), bagi Hobbes hukum adalah kehendak sang penguasa (the will of  the sovereign). Hobbes mengedepankan will (atau vountas/kehendak). Francesco Suarez juga mengedepankan voluntas dalam pemahaman tentang kodrat hukum[1].
***
RASA KEBANGSAAN 1928[2]

                Saat bangsa Indonesia bergulat dengan “rasa kebangsaan”, di sana para Pendiri Bangsa tidak digerakkan oleh mimpi bersama. Mereka tidak lelap oleh ketertindasan. Dan, para pemuda dari segala suku, golongan, agama dan latar belakang pendidikan bahu-membahu mendefinisikan apa artinya “menjadi sebuah bangsa.”
Ketika itu belum ada revolusi fisik. Tetapi, pada tahun 1928 telah secara nyata hadir sebuah kesadaran revolusioner, namanya: “cita rasa sebagai bangsa”. Rasa kebangsaan pertama-tama adalah energi kebersatuan yang memungkinkan ledakan “big bang” yang melahirkan negara baru, Indonesia.
Jauh dari romantisme hingar bingar sebuah ritual upacara, peristiwa “Sumpah Pemuda” 28 Oktober 1928 sesungguhnya merupakan penutupan Konggres Pemuda Indonesia yang kedua.
Dari sudut isi kegemilangan isi “Sumpah Pemuda” juga tidak memaksudkan makna sumpah sebagaimana kita mengerti saat ini. Yang dimaksud “Sumpah Pemuda” adalah tekad hati para pemuda di akhir Konggres. Dalam tekad itu ditegaskan kebersatuan sebagai sebuah bangsa untuk menatap masa depan yang lebih cemerlang.
Sebagai sebuah Konggres, pertemuan itu memiliki acara cukup padat. Konon diantaranya terdapat pula sambutan tertulis dari Soekarno dan Tan Malaka.
Ada tiga kali sidang utama yang dilakukan di gedung yang berbeda-beda. Ketiga gedung itu konon sudah sering dipakai untuk kepentingan pertemuan kaum muda. Sidang pertama (Sabtu malam, 27 Oktober) berlangsung di Gedung Pemuda Katolik (Katholieke Jongelingen Bond) di Waterlooplein (Jl. Lapangan Banteng), sidang kedua (Minggu pagi, 28 Oktober) di gedung bioskop “Oost Java” di Koningsplein Noord (Medan Merdeka Utara), dan sidang ketiga (Minggu malam, 28 Oktober) di Gedung Klub Indonesia (Indonesissche Clubgebouw) di Kramat, jalan Kramat Raya 106 (Lih. Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, Jakarta: Kompas, 2006, 695).
Tetapi, yang sesungguhnya terjadi peristiwa 26-28 Oktober 1928 (Konggres pemuda Indonesia II) bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri seolah-olah tidak mengandaikan konteks dan keterkaitan dengan pergumulan sebelumnya.
Konggres kedua tersebut lahir sebagai kelanjutan dari yang pertama dengan maksud tunggal, yaitu agar organisasi-organisasi kepemudaan dapat berikhtiar untuk menggalang persatuan yang lebih kokoh. Desakan untuk bersatu dipicu oleh keputusan pemerintah kolonial yang membuang dr. Tjipto Mangoenkoesoemo ke Banda Neira. Sebelum berangkat ke pembuangan, dr Tjipto berkirim surat ke Soekarno agar bertekun untuk berkorban, berkorban, dan berkorban bagi kemerdekaan Indonesia.
Soekarno menindaklanjuti pesan dr. Tjipto tersebut dengan melakukan perundingan bersama pimpinan organisasi-organisasi pemuda lain di Bandung Desember 1927. Perundingan dijalankan sedemikian rupa sehingga terbentuk Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang merupakan federasi dari PSI, PNI, BO, Pasoendan, Soematranen Bond, Kaoem Betawi, dll.
Semangat dan kehendak untuk bersatu ini semakin menemukan motivasinya setelah mereka juga mendengar kabar bahwa para pemimpin Indonesia di Nederland telah dibebaskan dari dakwaan di pengadilan.
Tanggal 23 September 1927 empat pemimpin Pemuda Indonesia di Nederland ditangkap dan diajukan ke pengadilan. Mereka adalah Mohammad Hatta, Nazir Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdoel Madjid Djojoadiningrat. Tetapi tanggal 22 Maret 1928 pengadilan di Den Haag membebaskan keempat pemimpin Pemuda Indonesia ini.
Serangkaian peristiwa ini mendorong beberapa pemimpin Pemuda Indonesia mengadakan rapat-rapat di bulan Juni untuk menyelenggarakan Konggres Pemuda Indonesia II dengan maksud tunggal melakukan negosiasi untuk melahirkan persatuan yang lebih solid dari para pejuang muda. Terbentuklah susunan panitia: Soegondo Djojopoespito (ketua), Djoko Marsaid (wakil ketua, Jong-Java), sekretaris M. Yamin (Jong-Sumateranen Bond), bendahara Amir Sjarifuddin (Jong-Batak) dan kelima anggota: Djohan M. Tjai (Jong-Islamieten Bond), Katjasoengkono (Pemuda Indonesia), Senduk (Jong-Celebes), J. Leimena (Jong-Ambon), dan Rohjani (Pemoeda Betawi).
Tanggal 26-28 ternyata menjadi sebuah pertemuan akbar, di mana pada waktu itu hadir sejumlah lebih dari 750 peserta. Uniknya, peserta yang hadir tidak hanya dari putera-putera pribumi melainkan juga dari peranakan Cina dan bahkan dari Belanda.
Sidang pertama di gedung Pemuda Katolik membahas tema seputar persatuan Indonesia. Pada waktu itu, diperdengarkan pidato M. Yamin yang berjudul, “Persatoean dan Kebangsaan Indonesia”. Tema ini diulas cukup panjang sebagai sebuah keniscayaan sejarah yang perlu dihidupkan kembali. Pidato Yamin konon mendapat tanggapan positif dari peserta, di antaranya Kartosuwiryo sangat mendukung pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia.
Sidang kedua mengambil logika kelanjutannya, yaitu bagaimana “kebangsaan” Indonesia diwujudkan secara nyata dalam pendidikan anak bangsa. Ki Hadjar Dewantara tidak bisa hadir. Rekannya, Sarmidi Mangoensarkoro menguraikan tentang visi dan teknik-teknik pendidikan untuk anak-anak bumi-putera.
Sidang ketiga mengurai tentang tema seputar patriotisme yang mengatasi suku, agama dan ras serta ideologi. Susunan pembicara pun beragam: Ramelan yang beragama Islam dari Kepanduan Sarekat Islam, Theo Pangemanan yang beragama Kristen dari Kepanduan Nasional, dan Mr. Sunarjo sebagai ketua Persaudaraan Antarpandoe Indonesia.
Kemudian, Wage Rudolf Supratman, seorang Kristen memperkenalkan lagu ciptaannya tanpa lirik dengan instrumen biola yang disertai pula oleh Dolly Salim (Puteri Haji Agoes Salim) yang memainkan piano. Suasana ketika itu larut dalam alunan lagu indah yang kelak menjadi lagu kebangsaan Indonesia.
Konggres II Pemuda Indonesia Oktober 1928 ini sebenarnya dapat disebut “kurang berhasil” karena tidak mencapai “kesepakatan politik”, mengingat sebelum konggres direncanakan pembentukan sebuah organisasi persatuan pemuda. Yamin, misalnya, tidak pernah setuju peleburan organisasi-organisasi politik. Tetapi, ketika larut malam, Yamin menyodorkan secarik kertas kepada Soegondo, ketua Konggres, yang berisi sebuah “kebersatuan tekad hati” yang dipandang sebagai keputusan Konggres Pemuda II, yang kemudian dikenal dengan “Sumpah Pemuda”.
Kalimat introduktif sebelum rincian “Sumpah” tertulis: “Kerapatan pemoeda-pemoeda Indonesia jang diadakan oleh perkoempoelan perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan, dengan namanja: Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Batakbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan pelajar-pelajar Indonesia …” Introduksi ini mengawali tiga “Sumpah”, yaitu bertanah air satu Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia. Kalimat ini mengatakan sebuah entry point (pintu masuk) peradaban baru, yakni kedalaman rasa sebagai bangsa.
Perlu dicatat bahwa dalam Konggres Pemuda II tersebut hadir sejumlah pemuda keturunan Cina dari Jong-Soematranen Bond, diantaranya Kwee Thiam Hong (Daud Budiman), Ong KaySiang, John Liauw Tjoan, dan Tjio Jin Kwie. Dari Daud Budiman kita bisa menikmati kisahnya sebagaimana dituturkan kepada wartawan Siswadi dalam Kompas, Rabu 28 Oktober 1978.
Bagi seorang Gandhi kesadaran nasionalisme identik dengan humanisme. Ketika kelompok masyarakat menyebut diri sebagai “bangsa”, pada saat itu manusia menyatukan diri satu sama lain dengan sesamanya secara mendalam.
Gandhi menegaskan bahwa kebangsaan mengatakan makna kemanusiaan. Artinya, kebangsaan bukanlah sekedar sebuah perkara identitas kelompok yang didasarkan pada ras, tanah air, tradisi, budaya atau yang semacam itu. Kebangsaan adalah rasa kemanusiaan.
Para eksponen ideologi Nasionalisme Sosialisme Jerman semasa Perang Dunia II merinci pengertian perekat “bangsa” sebagai “Blut und Boden” (darah dan wilayah).
Ernst Renan (1823-1892) mengajukan pemikiran bahwa yang disebut bangsa sesungguhnya adalah sekelompok manusia yang merasa “seperasaan dan sepenanggungan”. Gagasan Renan menggarisbawahi prinsip solidaritas. Menurut Renan, bangsa terbentuk berdasarkan 1) ras atau suku, 2) bahasa, 3) agama, 4) kepentingan bersama, dan 5) wilayah.
Menurut Renan, bangsa adalah suatu jiwa, semangat, suatu kaidah kerohanian (un principe spirituel) yang timbul dari dua hal. Pertama, yang terjadi di masa lalu, berupa serangkaian kenangan bersama baik berupa kemuliaan maupun penderitaan. Kedua, yang timbul di masa kini, berupa kesepakatan, kehendak untuk hidup bersama, kemauan untuk melanjutkan dan memperbarui warisan bersama itu (le consentement actuel, le désir de vivre ensemble, la volonté de continuer a faire valoir l’héritage qu’on a reçu indivis).
Menurut Otto Bauer (1882-1938), bangsa merupakan kesatuan masyarakat yang punya watak sendiri, watak yang timbul dari persamaan nasib (aus Schicksalsgemeinschaft erwahsende Charaktergemeinschaft).
Manusia Indonesia menyadari diri sebagai “bangsa” terbilang masih baru. Aneka kerajaan yang menyebar di seantero Nusantara belum dapat disebut sebagai sebuah peradaban sebagai “bangsa” Indonesia. Ada cukup banyak kerajaan yang mendominasi sebagian besar wilayah Indonesia. Tetapi, sungguh pun demikian, kerajaan itu belum dapat disebut sebagai representasi “bangsa” Indonesia.
Kesadaran sebagai bangsa adalah kesadaran ketika satu sama lain menyatu. Dan, dasar kesatuannya “sudah” melampoi kecenderungan primordial. Aristoteles mengatakan bahwa manusia memiliki kodrat yang membuatnya “bersatu” dengan yang sesamanya. Kodrat itu adalah kecenderungan natural dirinya untuk bersatu dengan lawan jenis yang memungkinkan terbentuknya keluarga. Dari keluarga-keluarga lahirlah komunitas yang lebih besar. Dan, demikian selanjutnya terbentuklah masyarakat politik yang disebut “polis” (negara).
Dari makna Aristotelian kepada kesadaran bahwa negara ada untuk “membela dan melindungi hak-hak warganya” sebagaimana dikemukan oleh Robert Nozick. Identitas negara dengan demikian memiliki epistemologia pragmatis, negara ada untuk menegaskan perlindungan hak-hak. Jika hak-hak warga lenyap, eksistensi negara berakhir.
Indonesia tahun 1928 belumlah sebuah negara. Tetapi, kesadaran sebagai sebuah “bangsa” telah lahir secara sangat menyolok. Sebuah kesadaran yang mengatasi teritorial telah merasuk ke dalam jiwa para eksponen muda putera-puteri Indonesia.

***
EPISTEMOLOGIA UTILITARIANA
The episteme is the ‘apparatus’ which makes possible the separation, not of the true from the false, but of what may from what may not be characterised as scientific. – Michel Foucault
Konteks hidup manusia bukan konteks sempit. Dalam kesehariannya manusia selalu menghayati kebersamaan dengan sesamanya, dunianya, dan bahkan relasi dengan Tuhannya secara kaya.
Aristoteles adalah pioner yang menyebut bahwa manusia memiliki kodrat mengejar kebenaran. Manusia bukan makhluk yang tuntas. Melainkan, menggapai kesejatiannya.
Dalam menggapai pengetahuan, budi berperkara dalam wilayah benar salah. Aristoteles menjelaskan, benar berarti korespondensi dengan realitas; salah memaksudkan diskrepansi terhadap realitas. Ranah perkara ini disebut epistemologia.
Dalam epistemologia, benar salah berbeda dengan perkara etis baik jahat. Artinya, salah tidak identik dengan jahat, begitu juga yang benar tidak dari sendirinya mengatakan yang baik.
Dalam filsafat Michel Foucault, salah benar tidak memiliki jurang separasi seperti dalam hidup sehari-hari. Sebab salah benar memiliki persepsi sudut pandang scientific. Dan, scientific adalah paradigma (bukan ketentuan legal atau etis!), kata Thomas Kuhn.
Salah benar ada dalam wilayah pengetahuan budi, bukan wilayah konkret hidup sehari-hari. Artinya, orang yang mungkin memiliki pengetahuan salah (menurut salah satu persepsi) dapat pula menghadirkan hidup sehari-hari yang baik, ramah, membantu banyak orang yang kesusahan, bahkan menampilkan hidup yang virtuous. Dan kebalikannya, orang yang memeluk pengetahuan benar belum tentu hidupnya baik dan suci.
Demikianlah. Akhir-akhir ini, bangsa kita memeras energi membolak-balik lembaran epistemologis yang kacau berkaitan dengan eksistensi komunitas-komunitas kecil, seperti Ahmadiyah. Disimpulkan oleh Bakor Pakem, Ahmadiyah telah memiliki pengetahuan doktrinal agama yang salah atau sesat.
Walaupun perkara “pengetahuan agamis yang salah atau sesat” ini berada dalam ranah epistemologis, pemerintah telah menerbitkan SKB tiga menteri yang memiliki segala konsekuensi delik-delik sanksi legal konkret yang berakibat pada penahanan penjara, pembubaran rumah ibadat, pelarangan beribadah, dan bahkan pengusiran.
Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI, menulis bahwa bangsa ini memiliki sejarah berkaitan dengan tokoh-tokoh Ahmadiyah yang berperan dalam perjuangan Indonesia sejak sebelum kemerdekaannya. Di antaranya: Raden Ngabehi HM. Djojosoegito (tokoh Muhammadiyah) dan Wahab Chasballah, keduanya saudara sepupu dari Hasyim Asy’ari (pendiri NU), kemudian juga Erfan Dahlan, putera dari H. Achmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang kemudian menyebarkan Ahmadiyah di Thailand (Jawa Pos, 24 April 2008, 4).
Dari perspektif ortodoksi iman, Ahmadiyah mungkin pantas dipersoalkan sebagaimana juga banyak kelompok lain dalam agama apa saja. Tetapi, jika perkara “pengetahuan doktrin yang salah” semacam ini diambil alih oleh penguasa dan dijebloskan dalam ranah hukum, terjadi kerancuan yang sangat berbahaya dan bahkan dapat secara mudah menggiring kehidupan bersama kepada diskriminasi dan ketidakadilan.
Jika disimak dengan teliti, kebebasan agama di Indonesia selalu memiliki sejarah ketidak-konsistenan. Konstitusi 1945 jelas-jelas meratifikasi kebebasan beragama. Tetapi dalam kenyataannya beragama di Indonesia tidak sungguh-sungguh bebas. Indonesia tidak memiliki ruang untuk mereka yang karena kesulitan aktual tidak atau belum memeluk agama. Dan, bahkan ketika beragama pun, orang harus memilih salah satu dari agama yang disediakan (dan karenanya orang tidak bebas lagi). Pada poin ini, terjadi diskrepansi antara apa yang legal tertulis dalam Konstitusi dan apa yang secara konkret dipraktekkan dalam hidup sehari-hari.
Kini, dengan SKB tiga menteri, memeluk agama salah satu pun tidak cukup, melainkan harus memeluknya dalam doktrin agamis yang benar (menurut salah satu persepsi)! Di luar itu, aktivitas beribadahnya dipandang sebagai tindak kriminal melawan hukum. Mengapa terbit SKB? Yang sering dikatakan, ajaran Ahmadiyah meresahkan. Bukankah eksistensi Ahmadiyah sudah hampir satu abad usianya di Indonesia?!
Tetapi, soal yang sangat runyam: siapakah pemerintah? Apakah pemerintah juga dapat memiliki segala kewenangan untuk memvonis mana ajaran, kitab suci, ritus, ritual upacara, cara menyanyi atau beribadat dalam suatu agama yang benar dan salah?
Prinsip utilitarian, yang memproklamasikan greatest happines to the greatest number of people telah diaplikasikan secara banal dalam ranah epistemologia agamis. Demi kenyamanan banyak orang, yang kecil jumlahnya itu (the small) layak dibubarkan. Manusia lantas dihukum, ditindas, dipenjarakan semata-mata karena tidak menjadi bagian dari kebanyakan. Dia divonis salah (baca: guilty) secara legal, bukan karena perbuatan dan hidupnya yang jahat, melainkan karena eksistensinya sebagai demikian!
Utilitarianisme, salah satu musuh hebat prinsip keadilan manusiawi, telah mulai berhembus di rumah kita. Demi kelegaan the greatest number, kita semua telah dan sedang mengingkari hati nurani sendiri dengan bersikap tidak adil kepada the small.
Kebenaran bukanlah hak paten dari satu persepsi. Sebab kebenaran tidak sekedar perumusan teori tentang Allah, Wahyu, manusia, alam, dosa, Kitab Suci, nabi, cara berdoa dan seterusnya. Kebenaran agama menyentuh pula praksis, pengalaman personal, kesaksian hidup, perwujudan cinta. Dengan ini sesungguhnya tidak ada alasan untuk menekankan eksklusivisme kebenaran agama. Apalagi, menggusur the small karena keyakinannya.
The small juga adalah warganegara yang baik yang telah menampilkan partisipasi kreatif perjuangan bangsa ini secara keseluruhan. Di saat-saat untung dan malang. Maka, solidaritas dan keadilan juga untuk the small, mengapa tidak?!

***



[1] Concerning the definition of law Hobbes and Thomas Aquinas differ. Hobbes’s supremacy of “the will of the sovereign” is essentially distinct from Aquinas’s nature of law as an “ordinance of reason”. Aquinas defines law as “an ordinance of reason for the common good, made by him who has care of the community, and promulgated by him who has the care of the community” (ST I-II, 90, 4). He notes that it is by our reason that we grasp the connection between our decisions and the end at which we are aiming. This note is typically Aristotelian. It refers to the beginning of the Nicomachean Ethics. The ordinance of which Aquinas speaks is the establishment of an order. By establishment of an order he means order between the subjects of the law and the ends that are to be achieved. For instance, the law of military service “orders” the citizens in relation to the defence of their country. Such an ordinance is made in view of the common good. Differing from Hobbes, Aquinas contends that the common good distinguishes a law from a particular command that is imposed on an individual. A law, of its very nature, is addressed to the community. But like Hobbes, Aquinas says that the source of this ordinance has to be the person who has charge of the community. The task of planning for the end to be achieved always belongs to the person who is primarily responsible for seeing that this end is achieved. Moreover, someone who is not in authority, since he lacks the power to impose sanctions, is incapable of effectively leading others to attain the common good of the community. Finally, this ordinance has to be promulgated. A rule is ineffective unless applied to what it is intended to regulate. The effects of the law, as St. Thomas Aquinas writes, are “to  command, to forbid, to permit, to punish” and, in consequence, to help make people good (ST. I-II, 92, 1). Hobbes, on his part, says that “the end of making laws is no other  but such restraint, without which there cannot possibly be any peace. And law was brought into the world for nothing else but to limit the natural liberty of particular men, in such manner as they might not hurt, but assist one another, and join together against a common enemy” (Leviathan, xxvi, 8). The theory of law of Hobbes may be closer to Suarez’s theory than to that of Aquinas.  Suarez’s definition of law is often contrasted with the Thomistic notion of law. Suarez defines law as “a just, stable and sufficiently promulgated precept which is binding on all” (Suarez, de legibus, Ic, 14). This definition is similar enough to that of Aquinas with, however, the added condition of stability. But, for Suarez, concerning the source of the law he contends that a law originates in the legislator’s will. For, with his just and upright act of his will, the legislator decides to oblige the subjects to act in this or that particular way. In Suarez’s view, the decision of the legislator is far from being arbitrary and irrational. His decision has to be “just and upright”, that is, regulated by reason. In Suarez, as in Aquinas, a law which is not in conformity with reason is no law. In Christian philosophy, the Thomistic and Suarezian notions represent two different and typical ways of regarding law. According to St. Thomas, the legislator’s intelligence animates and channels the movement of his will towards the end which he intends. According to Suarez, the legislator’s will singles out the different possible ordinances grasped intellectually. In the former approach, greater emphasis is placed on the objective requirements of the situation (i.e., reason) while, in the latter, the emphasis is on the legislator’s preference with regard to these requirements (i.e., will). Whereas the Thomistic approach represents a more rationalistic notion of law, the Suarezian notion offers a more voluntaristic one.
[2] Perluasan beberapa ide dari yang diterbitkan oleh KOMPAS, 27 Oktober 2008.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *