Search This Blog

Sunday, February 09, 2014

Pancasila, Politik Pengakuan dan Multikulturalisme (Membaca Pancasila dalam Diskursus FIlsafat Politik)

Demokrasi Pancasila
(Foto: sarybintangamorepurbah.blogspot.com)
Oleh Otto Gusti Madung, mengajar Etika Sosial di STFK Ledalero, Flores. Menyelesaikan program studi doktoral tahun 2008



(Makalah ini dipresentasikan dalam seminar nasional bertemakan “Menggali Nilai-Nilai Pancasila, Menegakkan Keadilan, Memperkokoh Kesatuan dan Persatuan Bangsa” yang diselenggarakan di Kupang pada tanggal 28 September – 1 Oktober 2011)

“Niemals Identität, immer Identifizierungen”- “Tak pernah ada identitas, tapi proses identifikasi” (Jean-Luc Nancy)

1. Pendahuluan

Pluralisme merupakan ciri dasariah masyarakat moderen. Pluralisme muncul ketika tekanan atas tatanan-tatanan sosial yang lebih kecil untuk beradaptasi pada narasi besar kian melemah. Atau ketika paksaan homogenisasi pandangan hidup berkurang. 

Dalam sejarah masyarakat Eropa pluralisme moderen lahir ibarat burung garuda harapan (wie ein Phoenix aus der Asche) dari tengah puing-puing kehancuran nasionalisme akhir abad ke-19 yang coba menyeragamkan kehidupan masyarakat yang akhirnya bermuara pada rasisme dan pembantaian massal di Auschwitz pada abad ke-20. Totalitarianisme abad ke-20 baik totalitarianisme atas nama bangsa (fasisme) atau atas nama ras (rasisme), maupun atas nama kelas sosial (sosialisme) telah berakhir pada pembantaian massal jutaan umat manusia. Perang dunia pertama berakhir dengan pembunuhan 10 juta jiwa, perang dunia kedua 50 juta jiwa dan masih ada jutaan pengungsi yang harus meninggalkan tanah airnya.[2]

Pengalaman berdarah-darah abad ke-20 ini merupakan gugatan atas politik identitas. Sebagai alternatif atas politik identitas yang berpijak pada kekhasan substansial, tradisi dan norma kolektif, lahirlah konsep politik liberal yang dikenal dengan identitas prosedural persamaan hak. Identitas prosedural ini mempersoalkan kesamaan etnis atau bangsa sebagai basis sebuah politik. Model ini misalnya diperkenalkan oleh Jűrgen Habermas dengan konsep “Verfassungspatriotismus”- loyalitas terhadap konstitusi sebagai basis sebuah politik multikultural. 

Politik identitas merupakan persoalan yang terus mendera bangsa Indonesia pasca reformasi. Cukup banyak peristiwa politik dan kekerasan berasal dan lahir dari persoalan komunal. Sentimen “putera daerah” yang mengabaikan kompetensi intelektual dan integritas moral dalam pemilihan kepala daerah atau pemilihan calon legislatif mewarnai sandiwara politik di tanah air. Musibah Cikeusik dan Temanggung adalah catatan buram hubungan antara agama atau kelomplok kultural di Indonesia. Gerakan sektarian dan fundamentalisme agama merebak di mana-mana dan tidak saja menjadi monopoli agama Islam. Di Maumere, Flores dengan mayoritas penduduk beragama Katolik Roma, jemaat GBI Rock mengalami kesulitan untuk mendirikan rumah ibadat dan beribadat secara aman. Langit suci Flores telah jebol dan gereja main stream belum mampu manghadapi perkembangan masyarakat Flores yang pluralistis tersebut. Dalam pemilihan gubernur dan penempatan pejabat publik di NTT pertimbangan agama masih tetap diperhitungkan. 

Agar Indonesia yang plural ini tidak hancur berkeping-keping, apa yang pernah disampaikan oleh Soekarno dalam pidatonya dalam sidang Zyunbi Tyoosakai pada tanggal 1 Juni 1945 tetap relevan: “Menurut anggapan saya yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda ‘Philosofische grondslag’ daripada Indonesia Merdeka. ‘Philosofische grondslag’ itu adalah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”[3]

Apa artianya Pancasila sebagai philosofische grondslag, sebagai identitas bangsa dalam situasi politik kontemporer baik pada tatanan bangsa pun tatanan global? Kutiban dari Chantal Mouffe berikut mungkin perlu untuk direfleksikan untuk memahami identitas secara tepat: “Nampaknya dalam ranah identitas kolektif, seolah-olah orang dapat menciptakan sebuah “kekitaan kolektif” yang hanya bertahan jika “mereka” dihancurkan.”[4] Mouffe ingin memberikan awasan bahwa tak pernah ada identitas yang sudah selesai, yang ada adalah proses konstruksi identitas kolektif yang tak pernah berakhir. “Niemals Identität, immer Identifizierungen”- “Tak pernah ada identitas, tapi proses identifikasi.”

Refleksi tentang Pancasila sebagai basis ideologi dan identitas bangsa Indonesia tetap urgen. Sebab sebuah bangsa hanya dapat bertahan kalau ada roh (Geist) yang mempersatukannya. Untuk itu Pancasila perlu ditafsir kembali dan ditemukan aktualitasnya. Di tengah era globalisasi yang telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari tatanan masyarakat global, tafsir kembali Pancasila hanya mungkin dan relevan jika ditempatkan dalam diskursus ideologi masyarakat global. 

Dalam tulisan ini saya coba menempatkan Pancasila di tengah pusaran arus ketegangan antara dua aliran filsafat poltik kontemporer: liberalisme dan komunitarisme. Diskursus seputar liberalisme versus komunitarisme sesungguhnya juga sudah muncul pada saat berdirinya republik ini ketika terjadi perdebatan antara antara Soepomo dengan konsep negara integralistiknya dan Muhamad Hatta yang memperjuangkan agar hak-hak individual dimasukkan ke dalam UUD 45. 



2. Komunitarisme versus Liberalisme

Komunitarisme adalah sebuah mazhab filsafat yang dicetuskan oleh sekelompok pemikir anglosaxon yang mengkritisi konsep kontrak sosial seperti dikembangkan John Rawls dan liberalisme pada umumnya. Perdebatan liberalisme versus komunitarisme dimulai awal tahun 80-an dan berkembang begitu cepat. Komunitarisme terdiri dari macam-macam posisi berbeda, namun mereka sepakat pada beberapa hal mendasar: kaum komunitarian menggarisbawahi kekurangan filsafat sosial yang berorientasi pada liberalisme moderen serta pentingnya tuntunan etis dan pandangan hidup bersama. Secara filosofis kaum komuniatiran merujuk pada Aristoteles, Thoma Aquinas, Hegel dan Tocqueville, bukan pada pemikir klasik moderen seperti Locke, Rousseau dan Kant. 

Beberapa karya penting kaum komunitarian: After Virtue (Macintyre, 1981), Liberalism and the Limits of Justice (Michael J. Sandel, 1982), Spheres of Justice (Michael Walzer, 1983), Sources of the Self (Charles Taylor, 1989), The Spirit of Community (Amitai Etzioni, 1993). 

Pokok pikiran liberalisme yang menjadi sasaran gugatan kaum komunitarian dapat diringkaskan sebagai berikut. Dalam liberalisme terdapat distingsi tegas antara konsep keadilan dan pandangan tentang hidup baik, legalitas dan moralitas. Tugas negara ialah menciptakan dan menjamin sistem koordinat hak atas dasar faham HAM dengan tujuan mengkoordinasi ruang-ruang kebebasan individual secara maximal berdasarkan prinsip hukum yang berlaku umum (Immanuel Kant). Pertanyaan seputar hidup baik bukan menjadi kewenangan negara tapi masuk dalam ranah privat, namun konsep hidup baik itu tidak pernah boleh bertentangan dengan prinsip hukum. Dengan demikian hukum membatasi kebebasan pandangan hidup baik. 

Komunitarisme mengajukan beberapa catatan kritis atas pandangan kaum liberal yang dewasa ini terutama diwakili oleh Habermas dan Rawls. Ada pun beberapa point penting kritikan kaum komunitarian tersebut:[5] Pertama, kaum komunitarian menolak konsep antropologi liberal yang melihat manusia sebagai „unencumbered self“ (Sandel). Manusia dalam pandangan kaum liberal dimengerti sebagai individu yang terisolir dan melayang-layang di ruang kosong serta ditempatkan dalam ruang-ruang hak kebebasan. Dalam kenyataanya, demikian kaum komunitarian, manusia selalu hidup dalam komunitas, tradisi dan ikatan sosial. Sebuah sistem sosial yang tidak menggubris aspek-aspek sosial ini dan hanya membatasi diri pada pemahaman tentang manusia sebagai pribadi hukum dalam ruang-ruang kebebasan, menghancurkan substansi sosial hidup manusia dan cenderung menghantar masyarakat kepada bahaya individualisasi, atomisasi dan penghancuran nilai solidaritas. 

Kedua, bahaya atomisasi sosial dan melemahnya solidaritas dipertajam lagi dengan dominasi imperatif ekonomi. Rationalitas ekonomi pasar terus mengkolonisasi, mengikis habis dan memarjinalisasi dimensi etis, kultural dan religius bersama tradisi dan komunitas-komunitasnya (agama misalnya). Tendensi ekonomisasi berdampak pada perilaku manusia yang egoistis dan bercorak rasionalitas instrumental. Kecenderungan ini menyebabkan hancurnya potensi solidaritas. 

Kendati terdapat perspektif sosial dalam teori keadilan John Rawls, menurut kaum komunitarian tendensi individualisasi yang terdapat dalam pandangan tersebut tetap menghantar masyarakat menuju masyarakat pasar yang ekonomistis. Sebab teori Rawls tidak membawa Renaissance tradisi dan komunitas budaya dan pandangan hidup. Maka Walzer pun menuntut pembatasan ranah ekonomi lewat penguatan sfer-sfer lainnya secara sosial dan politis. Etzioni memperjuangkan model ekonomi, politik dan masyarakat baru melampaui “prinsip egoisme”. 

Ketiga, solusi apa yang ditawarkan kaum komunitarian untuk mengatasi bahaya individualisasi, ekonomisasi dan desolidarisasi (Entsolidarisierung)? Solusi kaum komunitarian ialah dengan menawarkan dan memperkuat komunitas-kominitas, kelompok-kelompok dan tradisi komunitarian di mana manusia dapat mengalami, mempratikkan dan menginternalisasi identitas kultural, etos sosial, solidaritas dan makna bersama. Komunitarisme menawarkan solusi dengan mengikat kembali „unencumbered self“ ke dalam keluarga, sanak saudara, tetangga, komunitas agama, jaringan sosial dan segala macam persekutuan sosial sampai akhirnya identitas sosial bangsa yang mampu memberikan makna hidup. Keutamaan etis untuk melawan egoisme ekonomis hanya mungkin dikembangkan melalui proses integrasi ke dalam komunitas dan tradisi komunitarian. Tanpa sikap-sikap yang dihayati dan ditradisikan secara komunitarian, sebuah masyarakat akan mengalami degradasi menjadi semata onggokan (Haufen-Taylor) pribadi juridis yang tak berdaya di hadapan „despotisme administratif“ (Bellah), yang kemudian berakhir pada individualisme birokratis (Macintyre) dan kebingungan publik yang tanpa arah (Barber). 

Keempat, cita-cita kaum komunitarian berkait erat dengan kritik budaya. Charles Taylor dalam Sources of the Self berpendapat bahwa modernitas dalam wajah liberal telah melupakan akar, substansi dan sumber kehidupannya.[6] Akar dan sumber mata air kehidupan moderen dan juga sumber bagi subjek bebas atas dasar faham hak-hak asasi manusia bersifat pandangan hidup, religius dan metafisis. Hanya modernitas yang merefleksikan sumber kehidupannya dan membaharui diri lewat proses refleksi tersebut dapat menjadi pengawal dan pembela kebebasan dan martabat manusia. Mengeringnya sumber mata air modernitas tersebut jelas menggoncangkan basis legitimasi bangunan kultural moderen. Karena itu keadilan dan hukum berpijak pada konsep hidup baik dan mengandaikan konsep hidup baik. Tanpa pilihan makna dan nilai hidup baik yang dihayati serta berpijak pada tradisi etis-religius dan ideologis, sistem hukum moderen (hak dan keadilan) akan remuk seketika.

Pentingnya konsep hidup baik dalam kehidupan manusia mendorong Taylor untuk mentematisasi konsep hidup baik sebagai persoalan publik dan bukannya persoalan privat seperti pandangan kaum liberal. Hal ini diuraikan Taylor lebih lanjut dalam politik pengakuan.



3. Politik Pengakuan[7]

3.1. Formasi Identitas dan Pengakuan 

Politik Pengakuan mulai ramai ditematisasi di bidang filsafat politik ketika filsuf Kanada, Charles Taylor, menulis karyanya berjudul Politik Pengakuan. Politik pengakuan pertama kali lahir dari rahim konteks historis masyarakat Amerika Serikat dan Kanada. Konteks historis pertama, perdebatan kanon seputar karya-karya yang boleh dimasukkan dalam program belajar dan studi di sekolah-sekolah dan universitas di Amerika. Perdebatan ini dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa sistem pendidikan di masyarakat Amerika Serikat dan Kanada yang liberal dipandang tidak cukup mengadopsi aspek budaya, aspek intelektual atau seni dari kelompok-kelompok minoritas yang bukan merupakan bagian dari kelompok mayoritas orang kulit putih dengan dominasi budaya maskulin, orientasi heteroseksual serta beragama Kristen. Jenis literatur mana serta berapa banyak pengaruh literatur kelompok minoritas seperti kelompok orang kulit hitam, kaum feminis, gay, lesbian serta suku Indian boleh diadposi dalam kurikulum tersebut?

Konteks historis kedua adalah diskursus tentang kesatuan dan kebhinekaan Kanada dalam hubungan dengan tuntutan warga Quebec untuk mendapat perlakuan khusus (distinct society). Status ini harus sejajar atau bahkan lebih tinggi dari hak-hak kebebasan individual yang tercantum dalam Charter of Rights Kanada tahun 1982. Demi melindungi budaya minoritas berbahasa Prancis yang terancam punah di bawah dominasi budaya berbahasa Inggris di Amerika Utara, Provinsi Quebec memperjuangkan hak-hak kolektif. Hak-hak kolektif tersebut tidak mendapat perlindungan secukupnya dan bahkan dibatasi dengan hak-hak kebebasan individual dan liberal dalam Charter of Rights. Perjuangan akan hak-hak kolektif antara lain melahirkan aturan yang dikenal dengan Bill 101. Isinya, anak-anak dari orang tua berbahasa Prancis serta para emigran yang tidak berbahasa Inggris harus belajar di sekolah berbahasa Prancis. Iklan serta reklame di toko-toko di wilayah Quebec hanya diizinkan menggunakan bahasa Prancis. 

Kedua latar belakang historis di atas melahirkan beberapa persoalan yang oleh Charles Taylor direfleksikan dari sudut pandang teori politik dan filsafat sosial. Pertama, refleksi politis, filosofis dan juridis tentang hidup bersama dalam masyarakat multikultural ditandai dengan koeksistensi egaliter dan bukan dominasi budaya mayoritas (Leitkultur) atas budaya-budaya lainnya. Konsep ini menawarkan model penyelesaian konflik yang tidak bersifat etnosentris dan budaya solidaritas di tengah multikulturalisme. Kedua, Charles Taylor menghimpun dan merumuskan pertimbangan-pertimbangan mengenai hubungan antara formasi identitas dan pengakuan sosio-kultural.[8]

Karya Taylor ini dibagi dalam lima bagian. Bagian pertama berbicara tentang identitas dan pengakuan. Tesis dasarnya ialah bahwa subjek hanya dapat mengembangkan gambaran dan jati diri yang sejati jika ditopang dengan pilar-pilar intersubjektif yang kokoh berupa pengakuan, respek dan penghormatan dari orang lain. Ada sebuah korelasi esensial antara pengakuan dan identitas.

Tesisnya berbunyi, identitas kita separuhnya terbentuk lewat pengakuan atau tidak adanya pengakuan, bahkan sering juga lewat pengakuan yang keliru dari sesama, sehingga seorang manusia atau sekelompok orang dapat mengalami kerugian atau menderita deformasi, jika lingkungan sekitar atau masyarakat menciptakan gambaran yang mengekang atau menghina tentang diri atau kelompok orang lain. Tidak adanya pengakuan atau gambaran yang keliru tentang orang lain dapat menyebabkan penderitaan, dapat berupa penindasan serta membawa orang lain kepada cara berada yang palsu dan menghancurkan.[9]



Pelecehan terhadap kekhasan individual dan kultural seseorang (sebagai orang hitam, homoseksual atau orang cacat) dapat dipandang sebagai instrumen represi paling kuat dari budaya mayoritas: Pelecehan menyebabkan subjek bersangkutan menginternalisasi perasaan rendah diri serta mengungkapkannya kembali lewat perilakunya. Sejauh masyarakat-masyarakat liberal bertujuan menciptakan peluang pembentukan identitas yang layak bagi para anggotanya, dapat dijelaskan mengapa tuntutan akan pengakuan dalam politik moderen begitu kuat. Bahkan perhatian akan pengakuan melampaui tuntutan tradisional tentang pembagian sumber kekayaan material yang adil. Menurut Taylor, “pengakuan bukan sekadar ungkapan sopan santun terhadap sesama. Lebih dari itu, tuntutan akan pengakuan merupakan kebutuhan dasar manusia.“[10]

Pertanyaan tentang hubungan antara formasi identitas dan pengakuan sudah selalu ada dalam perjalanan sejarah filsafat. Namun hubungan ini mulai dipersoalkan dalam filsafat moderen lantaran perkembangan budaya. 

Sejak Revolusi Prancis “budaya jaga kehormatan masyarakat feodal” yang memberikan status serta takaran penghormatan baku kepada setiap subjek berdasarkan posisinya dalam ranah sosial, digantikan dengan budaya dan politik martabat manusia yang setara (Politik der gleichen Wűrde). Politik martabat manusia memandang setiap individu sama sebagai subjek moral dan warga negara. Akibatnya, pertanyaan tentang identitas manusia tidak lagi dielaborasi dalam hubungan dengan dunia luar, dalam konteks sosial serta hubungan dengan kosmos, tapi mengalami internalisasi. Subjek-subjek moderen dituntut untuk menelisik dan menemukan identitas dirinya dalam aktus refleksi diri.

Lewat refleksi filosofis Taylor coba mengidentifikasi sumber mata air jati diri manusia moderen.[11] Pencarian akan otentisitas dan perwujudan diri merupakan obsesi setiap manusia moderen. Menurut Taylor, pencarian manusia moderen ini dirumuskan secara jelas oleh Herder: “Jeder Mensch hat ein eigenes Mass, gleichsam eine eigene Stimmung aller seiner sinnlichen Gefűhle zueinander” – “Setiap manusia memiliki takaran masing-masing, semacam suasana khas rasa indrawi satu terhadap yang lain.”[12]

Ideal manusia moderen ini, demikan Taylor, begitu kuat mempengaruhi kita. Hal ini diperkuat lagi dengan pandangan bahwa kita harus mendengarkan „bisikan kodrati“ dalam diri untuk dapat menemukan siapa diri sesungguhnya.[13] Akibatnya, rancangan identitas individual manusia moderen masih harus menemukan dan bahkan memperjuangkan legitimasi intersubjektif. Dan bisa jadi bahwa subjek tidak mendapatkan pengakuan sosial. Identitas manusia moderen yang diperjuangkan dengan susah payah dapat juga gagal atau diperdebatkan. “Kita selalu menentukan identitas kita dalam dialog dan bahkan terkadang dalam perjuangan dengan apa yang orang lain ingin lihat dalam diri kita.”[14] Karena subjek tidak begitu saja menemukan identitas individual dalam dirinya, namun harus mengembangkannya dalam dialog kritis dengan inividu dan kelompok-kelompok lain, maka keutuhan budaya di mana subjek itu hidup sangat penting. Jawaban atas pertanyaan, siapakah seseorang sebagai warga Kanada berbahasa Prancis dalam kenyataan dan seharusnya, mengandaikan bahwa orang dapat menemukan akar budaya Prancis dalam hidup keseharian dan kerja, dalam pesta dan lagu-lagu, dalam relasi sosial dan adat-kebiasaan. 

Jika orang merasa bahwa identitasnya sebagai warga kulit hitam atau kelompok homoseksual tidak dihargai, itu berarti ia menemukan identitas dalam dirinya yang tidak mendapat pengakuan sosial. Perasaan seperti ini dapat juga muncul sebagai akibat dari situasi budaya minoritas di mana keyakinan dan adat-kebiasaan, hari-hari raya dan ungkapan-ungkapan khas tidak dipahami oleh orang atau kelompok lain. Di sini jati diri pribadi tidak mendapat gemanya dalam ruang sosial. 

3.2. Politik Diferensiasi 

Kita telah mengemukakan landasan historis mengapa hubungan antara identitas atau jati diri dan pengakuan begitu penting dalam teori politik dewasa ini. Atas dasar pertimbangan antropologis tersebut Charles Taylor menarik beberapa konsekwensi politik praktis. Konsep politik ini dibangun atas dasar ketegangan hubungan antara konsep martabat manusia universal yang memandang semua manusia sama dan aspek diferensiasi atau pandangan tentang keunikan serta otentisitas setiap individu dan kebudayaan.

Ketegangan antara dua model politik ini bertolak dari pertanyaan dasar: Aspek manakah dalam diri manusia atau kebudayaan yang menuntut pengakuan dari yang lain? Jawaban Kant lewat konsep otonomi moral universal dikenal dengan „politik martabat manusia universal“. Dalam terang politik martabat manusia, setiap manusia memiliki kesamaan yang harus dihormati dan mendapat pengakuan.[15] Kesamaan tersebut terungkap dalam hak dan kebebasan yang sama seperti tercantum dalam katalog hak-hak asasi manusia. 

Solusi lain mengikuti paradigma berpikir Rousseau dan Hegel dengan konsep tentang originalitas dan otentisitas individual serta kultural. Konsep ini melahirkan pandangan tentang „politik diferensiasi“. Politik deferensiasi menuntut kita untuk mengakui dan menghormati takaran individual masing-masing atau keunikan spesifik dari yang lain.[16] Jadi yang harus mendapat penghargaan bukan hanya potensi manusiawi universal, tapi juga elemen-elemen khas yang diciptakan oleh setiap budaya dan individu dari potensi universal tersebut.[17] Ini suatu perlakuan khusus terhadap „yang khas“, karena itu „asimilasi merupakan dosa berat melawan ideal otentisitas“.[18] Pada dasarnya pandangan ini mirip dengan prinsip bahwa takaran atau ukuran masing-masing hanya dapat menuntut hak dan kebebasan yang sesuai dengan dirinya. 

Ketika politik martabat universal bertujuan menggapai yang universal, sesuatu yang sama untuk semua serta suatu paket hak dan kebebasan yang identis, politik pengakuan di sisi lain menuntut pengakuan akan identitas tak tergantikan dari setiap individu atau kelompok, pengakuan akan kekhasan berhadapan dengan yang lain.[19]

Dalam politik praktis konsep diferensiasi melahirkan pertanyaan tentang bentuk-bentuk diskriminasi yang diperbolehkan. Kaum liberal dengan politik martabat manusia universal menuntut perlakuan politis dan hukum yang sama tanpa memandang perbedaan gender, ras, agama dan ideologi. Konsep ini dikritik kaum komunitarian atau poststrukturalian sebagai „kebutaan akan keberbedaan“ yang berbahaya. Berbahaya karena dapat menciptakan penindasan dan pelecehan terhadap kaum minoritas. 

Pelecehan terhadap hak-hak kaum minoritas dijelaskan oleh Fletcher dalam beberapa contoh konkret berikut:[20] Bahwa hari Minggu diberlakukan sebagai hari libur untuk semua, merupakan bentuk diskriminasi dan dominasi budaya Kristen terhadap Islam dan Yahudi. Atau izinan minum alkohol sementara narkoba dilarang merupakan pelecehan terhadap kaum Hippi dan beberapa kelompok budaya Indian. Demikian pun larangan poligami mendiskriminasi kekhasan budaya orang Mormon. Program wajib sekolah atau belajar memaksa suku Roma dan Sinti untuk menetap dan dengan demikian menghancurkan kekhasan budaya nomaden mereka. Para pendukung politik diferensiasi berargumentasi bahwa pelecehan terhadap kebudayaan lain terjadi jika ketaksamaan diperlakukan secara sama. 

Pandangan di atas dijawab dengan argumentasi kontra kaum liberal atau politik martabat manusia universal. Kaum liberal berpandangan, atas dasar pluralitas substansial, penghargaan yang sama terhadap semua manusia menuntut prinsip netralitas politis dan juridis negara terhadap semua konsep hidup baik atau ideologi. Tentu saja sikap netral ini hanya dipertahankan sejauh pandangan-pandangan hidup tersebut tidak bertendensi menghancurkan pluralisme atau toleransi. Liberalisme tak pernah boleh membiarkan intoleransi. 

Prinsip ini memungkinkan kebudayaan dan kelompok minoritas yang terancam mendapatkan dukungan dengan tujuan agar mereka memperolah kemampuan yang diperlukan untuk mengembangkan identitas secara wajar. Namun tuntutan khas budaya ini pada prinsipnya serta untuk jangka panjang tidak pernah boleh membatasi hak-hak kebudayaan atau individu lain. 

Dalam hubungan dengan ini menarik untuk mengamati tindakan „diskriminasi terbalik“ atau aksi afirmatif di mana dalam pembagian lapangan kerja, perempuan, orang cacat dan orang hitam diprioritaskan. Untuk sementara waktu hal ini memaksakan terjadinya perlakuan yang tidak sama dan akibatnya harus dipikul oleh masing-masing individu dari kelompok mayoritas. Namun dalam jangka panjang perlakuan yang tidak sama ini bertujuan menciptakan kesederajadan dan perlakuan yang sama bagi semua individu dan kelompok serta memulihkan ketakadilan di masa lalu. Karena itu aksi afirmatif didukung oleh kaum liberal. [21] Dalam kaca mata politik diferensiasi, pandangan seperti ini harus ditolak.

Politik diferensiasi tidak mau menciptakan kembali ruang yang buta terhadap keunikan masing-masing budaya atau individu. Politik diferensiasi bertujuan menjaga dan merawat kekhasan setiap budaya dan individu bukan hanya untuk jangka waktu tertentu, tapi untuk selamanya.[22] Menurut Taylor, tujuan politik diferensiasi terealisasi ketika kelompok-kelompok budaya yang terancam memperjuangkan eksistensinya dan membela diri melawan tekanan asimilasi kelompok mayoritas. 

Kaum komunitarian mempertahankan tuntutan mereka di hadapan kubu liberal juga dengan alasan substansial bahwa konsep netralitas negara dan katalog hak-hak individual universal merupakan produk khas budaya Kekristenan. Sebab budaya ini berpijak pada konsep pemisahan antara yang privat dan publik, agama dan negara. Dengan demikian konsep liberal tentang netralitas sesungguhnya tidak pernah bersifat netral terhadap pandangan-pandangan hidup lainnya, namun telah berubah menjadi instrumen hegemonial untuk budaya–budaya lain.[23]







3.3. Multikulturalisme

Dalam uraian sebelumnya Taylor mengemukakan dua prinsip politik yakni politik martabat manusia dan politik diferensiasi, lalu menggali akar sejarah dari keduanya seperti pernah dikembangkan oleh Immanuel Kant dan J.J. Rousseau. Dalam bagian keempat ini Taylor membahas persoalan seputar multikulturalisme. 

Pertanyaan fundamental di sini ialah sejauh mana pengakuan akan hak-hak kolektif demi melindungi kebudayaan-kebudayaan yang terancam dan definisi tujuan-tujuan kolektif memiliki kompatibilitas dengan konsep liberalisme politik barat. Untuk konsep liberalisme politik, perlindungan atas hak-hak dasar individu merupakan prinsip tatanan politik yang tak dapat ditawar-tawar lagi. 

Pusat perhatian Taylor diarahkan kepada situasi di Quebec dan cita-cita masyarakat Kanada berbahasa Prancis untuk melindungi secara hukum keberlangsungan hidup tradisi budayanya. Taylor menulis: “Atas dasar tujuan kolektif kelestarian budaya, pemerintah Quebec telah menciptakan bagi para warganya batasan-batasan yang di wilayah lain Kanada begitu mudah dianulir dengan alasan Charter of Rights. Pertanyaan penting yang perlu dijawab: Apakah kekecualian seperti itu dapat diterima atau tidak?”[24]

Dalam uraiannya Taylor mengafirmasi kekecualian tersebut. Ia membedakan dua jenis liberalisme politik yakni liberalisme versi komunitarian seperti dipraktikkan di Quebec dan model liberal-individualistis seperti ditemukan di Kanada berbahasa Inggris dan Amerika Serikat. 

Dalam pandangan liberalisme individualistis seperti dikembangkan oleh John Rawls dan Ronald Dworkin, negara dalam sebuah masyarakat plural harus bersikap netral berhadapan dengan pelbagai konsep hidup baik atau ideologi. Negara memberikan jaminan maksimum atas kebebasan individual. Secara prosedural negara bersikap dan memberikan pertimbangan kepada pelbagai ideologi yang ada tanpa menampilkan sebuah pandangan tertentu tentang tujuan kolektif atau konsep hidup baik. 

Dengan cara ini konsep liberalisme dapat mewujudkan keadilan distributif dalam pembagian kekayaan, kesempatan dan hak tanpa adanya kesepakatan kolektif tentang nilai atau tujuan bersama. Kesepakatan kolektif tentang nilai dan tujuan bersama itu sering mengabaikan kelompok minoritas yang menyimpang dari nilai-nilai kolektif tersebut. 

Sebuah masyarakat dengan tujuan-tujuan kolektif seperti Quebec bertentangan dengan model ini. Untuk semua pemerintahan di Quebec sudah menjadi aksioma sistem politik yang dianutnya bahwa kelangsungan hidup dan pertumbuhan kebudayaan Prancis di Quebec merupakan sebuah kebaikan. Masyarakat politis tidak bersikap netral berhadapan dengan mereka yang setia menghayati kebudayaan kolektif warisan nenek moyang dan mereka yang ingin membebaskan diri dari ikatan kultural tersebut atas nama otonomi dan tujuan aktualisasi diri.[25]

Seperti sudah kita lihat, dari sudut tilik liberalisme individualistis-prosedural tuntutan tertentu dari kebudayaan Prancis juga dapat dipertahankan. Asalkan tuntutan tersebut dapat menjamin kesempatan yang sama bagi individu-individu. Akan tetapi dalam dua hal tuntutan masyarakat berbudaya Prancis ini melampaui konsep liberalisme individualistis. Pertama, demi melindungi nilai-nilai budaya kolektif penetapan undang-undang di Quebec melegitimasi penggunaan paksaan terhadap individu-individu yang mau membebaskan diri dari ikatan kultural tersebut. Kedua, tuntutan tersebut tidak hanya berhubungan dengan kepentingan-kepentingan individu yang sekarang hidup: „Lebih dari itu the politics of survival ingin memastikan bahwa di masa depan ada kelompok manusia yang menggunakan bahasa Prancis. Politik seperti ini secara aktif menciptakan anggota kelompok agar di masa depan terdapat generasi yang mengidentifikasikan diri sebagai orang berbudaya Prancis.“[26]

Jelas bahwa dalam konsep ini individu sengaja diciptakan atau diinstrumentalisasi demi menjaga keberlangsungen tujuan-tujuan dan nilai-nilai kolektif tertentu. Namun dalam uraiannya Taylor tidak dapat menjelaskan dan memberikan pendasaran atas dasar apa sebuah kebudayaan harus bertahan hidup kalau bukan karena kepentingan individu-individu yang sekarang hidup seperti dikemukakan kaum liberal.[27]



4. Pancasila: Melampaui Liberalisme dan Komunitarisme 

Hubungan antara negara dan masyarakat seperti dikembangkan kaum komunitarian dapat dijadikan model relasi antara negara dan masyarakat, politik dan agama di Indonesia berbasiskan Pancasila. Seperti antropologi komunitarian, Pancasila juga memberikan penekanan pada dimensi sosial hidup manusia. 

Selaras dengan pandangan kaum komunitarian, Pancasila sebagai ideologi bangsa menghendaki agar konsep keadilan dan hukum berpijak pada pandangan hidup baik serta mengandaikan konsep hidup baik. Tanpa pilihan makna dan nilai hidup baik yang dihayati serta berpijak pada tradisi etis-religius dan ideologis, sistem hukum moderen (hak dan keadilan) akan remuk seketika. 

Pancasila dalam kaca mata komunitarisme dapat dipandang sebagai sebuah catatan kritis atas patologi masyarakat liberal dan memunculkan beberapa rujukan positif untuk sebuah kehidupan bersama. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dalam menafsirkan Pancasila dari perspektif komunitarian sebagai basis kehidupan masyarakat Indonesia yang multikultural. 

4.1. Pancasila dan Patologi Liberalisme 

Dari perspektif komunitarisme Pancasila dapat memberikan penekanan pada beberapa persoalan sentral Indonesia yang moderen. Prinsip moderen seperti demokrasi dan faham hak-hak asasi manusia yang menjadi titik pijak politik di Indonesia pasca reformasi tetap menunjuk pada pertanyaan seputar pandangan hidup, pertanyan yang berhubungan dengan substansi dan pemahaman tentang manusia. Pancasila adalah jawaban atas pertanyaan ini. Faham hak asasi manusia sebagai sebuah konsep universal membutuhkan locus kontekstualisasi di Indonesia agar menjadi bagian dari hidup masyarakat. Pancasila mencegah bahaya privatisasi konsep hidup baik seperti dipraktikkan dalam masyarakat liberal. Namun di sisi lain harus tetap disadari kalau pancasila hanya menjadi relevan jika selalu terbuka ditafsir lagi dalam terang nilai-nilai kemanusiaan universal seperti konsep HAM. 

Bahwa jawaban yang human atas pertanyaan tentang orientasi makna dan nilai dapat ditemukan dalam sebuah masyarakat, sangat bergantung pada vitalitas sosial dari tradisi, sumber-sumber kultural, agama, model-model etos serta tatanan sosial di mana makna dan nilai tersebut dirawat dan dihayati. Pancasila merupakan suatu model pengawetan dan vitalisasi tradisi tersebut. Untuk itu Pancasila harus selalu ditematisasi dalam diskursus di ruang publik. Dengan demikian Pancasila mengambil bagian dalam proses pembentukan kesadaran kolektif bangsa Indonesia. 

Diferensiasi dan atomisasi sistem-sistem interaksi moderen hidup dan hanya berfungsi atas dasar prasyarat-prasyarat kultural. Tatanan hukum negara yang berpijak pada konsep hak-hak asasi manusia betul merupakan syarat yang seharunya (necessary condition), tapi bukan yang mencukupi (sufficient condition) bagi sebuah tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera. Juga konstitusi dan hukum yang paling rasional sekalipun belum menjadi jaminan dalam berperang melawan masyarakat yang egoistis, intoleran, kriminal, akrab dengan kekerasan, korup, rakus dan kehilangan orientasi makna. Korupsi, lemahnya solidaritas sosial menggambarkan kian mengeringnya orientasi makna tersebut. Pancasila sebagai ideologi dan sistem etika bangsa memberikan rambu-rambu untuk keluar dari pelbagai krisis etika publik yang tengah melanda bangsa kita. 



4.2. Pancasila: Paradigma Diferensiasi dalam Relasi Antara Negara dan Agama

Perlu dicatat bahwa Pancasila hanya dapat diterima sebagai basis ideologi masyarakat Indonesia yang plural ini jika ia tetap belajar dari konsep liberal tentang pembedaan antara negara dan masyarakat, politik dan agama. Pilihan makna dan nilai pandangan hidup serta konsep hidup baik dan pemeliharaannya harus berlangsung dalam konteks masyarakat liberal atau bebas. Negara dapat memberikan garansi otonomi hukum dan etis kepada warga negara sebagai pribadi juridis di mana setiap pribadi dapat mendefinisikan dirinya sebagai pribadi etis dan membangun hubungan komunitarian dengan yang lainnya. 

Dialektika penuh ketegangan antara negara dan agama, keadilan dan konsep tentang hidup baik ditunjukkan oleh mantan Presidan Mahkamah Konstitusi Jerman, Ernst Wolfgang Böckenförde. Böckenförde merumuskan secara tepat esensi sekaligus paradoks yang harus dihadapi sebuah negara demokratis moderen: “Der freiheitliche, säkularisierte Staat lebt von Voraussetzungen, die er selbst nicht garantieren kann” – “Negara liberal-sekuler hidup dari syarat-syarat yang tak dapat dijaminnya sendiri.”[28]

Paradoksi ini, demikian Böckenförde, harus diterima setiap negara liberal yang mau menghargai pluralitas dan menyelamatkan kebebasan individu. Sebuah negara demokratis moderen hanya mungkin eksis secara legitim jika ia mampu menjamin dan melindungi kebebasan setiap warganya. Di satu sisi kebebasan individu merupakan tujuan dan dasar keberadaan sebuah negara. Akan tetapi di sisi lain inti dari kebebasan tersebut yakni suara hati tidak pernah boleh dan tidak dapat diatur menurut norma-norma hukum positif. Sebab ketika negara lewat hukum positif masuk ke dalam ranah privat kebebasan suara hati, ia sesungguhnya telah menjadi totaliter. Paradoksi yang dikemukakan Böckenförde di atas merupakan jalan yang telah dan tetap dilewati pemikiran dan praktek politik Eropa moderen. Jalan ini telah menghantar mereka keluar dari konflik berdarah dan perang antara agama dan kelompok etnis yang melanda Eropah pada abad ke-17. Dan hingga kini konsep negara liberal-sekular tetap mampu menjaga perdamaian umum. 

Kebebasan manusia terungkap lewat keputusan otonom dan atas pertimbangan suara hati yang tidak pernah boleh serta tidak dapat diintervensi oleh instansi luar.[29] Kebebasan hanya dapat meregulasi dirinya dari dalam, dari substansi moral setiap individu dan homogenitas sebuah masyarakat. Bahaya totalitarisme mulai mengintip ketika negara misalnya lewat hukum positif mau mengatur suara hati dan keutamaan pribadi warga negara. Di sini negara berambisi mengatur segala-galanya termasuk cara berpikir dan moralitas warganya yang seharusnya mustahil dapat dilaksanakannya. Ambisi negara tersebut menciptakan konflik dan membahayakan perdamaian umum sebab ia menyangkal adanya pluralitas budaya, agama, tingkah laku dan kebebasan berpikir dalam sebuah negara moderen. 

Pancasila sebagai sebuah ideologi masyarakat Indonesia yang mulitikultural harus mampu menangkal tendensi komunitarisme yang coba mempersoalkan kembali distingsi antara negara dan masyarakat, antara pribadi juridis dan etis serta mau menghidupkan sebuah negara „kebenaran“ (regim agama, ideologi, pandangan hidup). 

Tendensi komunitarian yang intoleran ini muncul di Indonesia terutama dalam bentuk fundamentalisme agama. Kaum fundamentalis melakukan teror dan menghalalkan kekerasan untuk membasmi kelompok-kelompok lain. Dengan membajak demokrasi prosedural kelompok fundamentalis telah berhasil menciptakan dan menggolkan sejumlah produk hukum yang antimultikultural seperti Undang-Undang Pornografi serta ratusan peraturan daerah yang bernuansa Syariah.[30] Cita-cita untuk membangun sebuah negara dengan berbasiskan ideologi atau agama tertentu merupakan sebuah bentuk kemunduran sejarah peradaban umat manusia. Untuk mengatasi hal ini demokrasi prosedural harus dilengkapi dengan substansi demokrasi yang membatasi kesewenangan kekuasaan dan kesewenangan kehendak mayoritas. Substansi demokrasi adalah hak-hak asasi manusia yang juga terkandung dalam nilai-nilai Pancasila. 

Pancasila tidak menghendaki adanya agama negara di Indonesia. Namun itu tidak berarti, Pancasila sepakat dengan pandangan kaum liberal yang memandang agama sebagai persoalan privat semata. Pancasila menghendaki agar nilai-nilai agama diterjemahkan menjadi moralitas publik. Di sini konsep ketuhanan dalam Pancasila berperan seperti agama sipil (civic religion) yang berurusan dengan moralitas publik dan tidak mencampuri moralitas serta keyakinan pribadi. Atau seperti dirumuskan Yudi Latif: 

…dalam kerangka ketuhanan menurut Pancasila, boleh saja seseorang secara pribadi tidak memeluk agama formal (sebagai agnostik atau bahkan ateis). Akan tetapi, dalam kehidupan publiknya harus tetap menghormati nilai-nilai Ketuhanan-keagamaan seperti dikeehndaki Pancasila berdasarkan hasil kesepakatan konstitusional, sehingga tidak diperkenankan menyebarkan propaganda untuk menolak atau membenci agama.[31]

Mengingat pentingnya peran publik agama, Pancasila membuat koreksi atas tesis “privatisasi” agama kaum liberal dan menganjurkan paradigma diferensiasi dalam relasi antara agama dan negara. Sebab, “ketika agama tersudut dari ruang publik ke ruang privat, yang muncul adalah ekspresi spiritualitas personal yang terputus dari kehidupan publik. Sebailiknya, politik sekuler memandang rendah nilai-nilai agama dan mengabaikan signifikansi moral ketuhanan. Akibat yang ditimbulkan oleh situasi saling mengabaikan ini adalah spiritualitas tanpa pertanggungjawaban sosial, dan politik tanpa jiwa.”[32] Untuk itu fundamentalisme, baik fundamentalisme agama maupun fundamentalisme sekuler harus dihindari. Maraknya korupsi di tengah pesatnya perkembangan agama-agama di Indonesia merupakan bukti kasat mata bahwa agama masih dihayati sebagai ritus kesalehan privat dan belum menjadi kekuatan moral di ruang publik. 

Peran publik agama menuntut agama untuk membela sendiri kebebasannya serta kebebasan agama-agama lain. Agama juga dapat mempersoalkan tendensi absolutisme dunia sekuler dan absolutisme kekuasaan negara yang membahayakan kehidupan manusia tanpa harus merebut dan mendominasi seluruh ranah kehidupan manusia.[33] Di tengah arus modernisasi yang ditandai dengan kolonialisasi sistem teknologi dan birokrasi kekuasaan yang anonim atas dunia kehidupan (Lebenswelt), agama tampil sebagai sumber mata air moralitas dan pemberi rambu-rambu etis. 

Ketuhanan dalam kerangka Pancasila mengungkapkan komitmen bangsa Indonesia untuk menata kehidupan politik-publik atas dasar nilai-nilai moral universal agama-agama serta budi pekerti yang luhur. Krisis moral yang dihadapi masyarakat moderen serta fenomen kebangkitan agama-agama dalam masyarakat sekular membuat paradigma ketuhanan dalam kerangka Pancasila menjadi penting dan semakin relevan. 

Dalam masyarakat Barat sejak tahun 90-an paradigma sekuler yang meminggirkan agama ke ruang privat mulai goyah dan tema agama kembali meramaikan diskursus di ruang publik.[34] Habermas misalnyanya yang menganggap dirinya “religiős unmusikalisch” (tak berbakat secara religius) menyadari kembali akan pentingnya peran agama di ruang publik dan mengembangkan konsep masyarakat postsekuler. Mengapa masyarakat liberal-sekuler kembali kepada agama? 

Mungkin salah satu jawaban atas pertanyaan ini adalah rambu-rambu kritis salah seorang teolog Katolik abad ini, Hans Kűng, yang dialamatkan kepada masyarakat moderen sekular yang mau mendepak agama ke raung privat irasionalitas: ”Kendatipun manusia mewajibkan dirinya untuk taat pada norma-norma moral, satu hal tetap tak dapat dilakukan manusia tanpa agama: memberikan pendasaran atas keniscayaan dan universalitas kewajiban-kewajiban moral.”[35]

Pendasaran terakhir tak tergoyahkan tentang keharusan dan universalitas norma-norma moral, demikian Kueng, tak dapat berpijak pada argumentasi filosofis abstrak semata-mata. Filsafat hanya mampu menyentuh intelek manusia. Sementara keharusan nilai-nilai moral harus dapat menggugah ranah perasaan manusia, ruang di mana agama-agama dapat menembusnya dan bergerak. Karena itu krisis moralitas masyarakat moderen menuntut peran aktif agama-agama dalam ruang publik. 



4.3. Pancasila dan Multikulturalisme[36]

Dengan menjadikan Pancasila sebagai basis ideologi bukan berarti negara Indonesia mengabaikan prinsip netralitas negara. Negara yang netral secara ideologis lebih dari sekedar institusi birokratis. Prinsip netralitas negara moderen sekurang-kurangnya memiliki tiga makna.[37] Pertama, netralitas akibat atau konsekwensi. Itu berarti penerapan prinsip-prinsip liberal memiliki konsekwensi yang sama untuk semua komunitas dalam sebuah negara. Kedua, netralitas tujuan. Negara liberal tak pernah boleh mengutamakan konsep hidup baik tertentu berhadapan dengan pandangan atau ideologi lainnya. Persis itu yang terjadi jika negara didirikan atas dasar ideologi agama tertentu. Ketiga, netralitas legitimasi atau pembenaran. Basis legitimasi prinsip-prinsip keadilan tak boleh berpijak pada nilai-nilai etis komunal tertentu, namun bertumpuh pada konsep moral universal dan tak berpihak. 

Asas netralitas dari liberalisme ini merupakan prestasi peradaban umat manusia dan telah berhasil mengatasi konflik antara agama dan ideologi yang melanda masyarakat Eropa. Konsep ini harus diterapkan di Indonesia yang multikultural agar perbedaan dan kebhinekaan tidak menjadi sumber konflik tapi kekayaan bangsa. 

Negara yang menganut prinsip netralitas tetap dapat memainkan peran secara politis agar diskursus seputar ideologi, pandangan hidup dan konsep hidup baik merupakan objek tematisasi di ruang publik. Dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan negara dapat mengatur sekian agar dominasi pengetahuan instrumental yang menekan dapat dibatasi demi kepentingan kompetensi pandangan hidup. 

Negara liberal dapat mengembangkan pengetahuan tentang pelbagai tradisi filsafat dan agama serta kesadaran akan pluralitas persoalan ideologis di sekolah-sekolah dan universitas dan bukan sebaliknya mendepak persoalan ideologis dan agama ke ruang privat irasionalitas. Negara yang dibangun atas semangat multikulturalisme sadar akan pentingnya komunitas-komunitas yang menawarkan dan menjaga orientasi etis-religius serta terlibat dalam kegiatan-kegiatan solidaritas-karitatif. Institusi-institusi komunitarian seperti agama, kelompok adat, dan lain-lain dapat menawarkan diri sebagai forum diskursus tentang pandangan hidup. Dengan memberi penekanan pada politik kebudayaan model ini negara dapat menanggapi secara produktif idealisme komunitarian tanpa harus berhenti menjadi negara moderen.

Dalam seluruh proses diskursus publik seputar pandangan hidup Pancasila dapat berperan sebagai substansi normatif yang memberikan panduan agar nilai-nilai kehidupan bersama seperti toleransi, kebebasan, persamaan, solidaritas, ketaatan terhadap hukum dan pantang akan kekerasan tatap dijaga dan dipegang teguh. Dengan demikian Pancasila dapat menjadi basis pengakuan dalam masyarakat multikultural agar setiap pribadi, kelompok, pandangan hidup dan agama dapat mewujudkan dirinya secara otentis tanpa harus membahayakan yang lain. 


Penutup 

Indonesia adalah sebuah masyarakat yang multikultural. Pengakuan merupakan salah satu sikap etis yang penting dalam menghadapi kebhinekaan dan keberbedaan tersebut. Pengakuan memungkinkan yang lain mengekspresikan dan mengembangkan dirinya secara otentis. Namun pengakuan akan keberbedaan dan keanekaragaman semata tanpa adanya basis substansi moral yang sama belum cukup menjadi landasan kokoh sebuah kehidupan bersama. 

Dalam sebuah masyarakat multikultural nilai-nilai komunal perlu ditransformasi menjadi nilai-nilai etika publik agar dapat diterima oleh semua. Pancasila tidak lain dari etika publik tersebut yang telah mengatasi sekat-sekat komunal. Pancasila juga memberikan rambu-rambu normatif apakah nilai-nilai komunal tertentu layak diterima sebagai norma bersama di ruang publik. Dalam dialog terus-menerus dengan nilai-nilai komunal dan global Pancasila menampakkan dinamikanya sebagai identitas bangsa. Sebuah identitas yang selalu terbuka untuk ditafsir kembali. Niemals Identität, immer Identifizierungen”- “Tak pernah ada identitas, tapi proses identifikasi” (Jean-Luc Nancy)

*Otto Gusti Madung, mengajar Etika Sosial di STFK Ledalero, Flores. Menyelesaikan program studi doktoral tahun 2008 di Hochschule fűr Philosophie Műnchen, Jerman dengan disertasi “Politik und Gewalt. Giorgio Agamben und Jűrgen Habermas im Vergleich”. 

================================================
[1] Makalah ini dipresentasikan dalam seminar nasional bertemakan “Menggali Nilai-Nilai Pancasila, Menegakkan Keadilan, Memperkokoh Kesatuan dan Persatuan Bangsa” yang diselenggarakan di Kupang pada tanggal 28 September – 1 Oktober 2011

[2]Bdk. Hans Kűng, “Weltpolitik und Weltethos. Zur Problemstellung“, dalam: Hans Kűng dan Dieter Senghas (Ed.), Friedenspolitik. Ethische Grundlagen internationaler Beziehungen, Műnchen-Zűrich: Piper Verlag 2003, hlm. 17-18

[3] Diambil dari padato Soekarno berjudul “Lahirnya Pancasila”, dalam Sukarno, Pancasila sebagai Dasar Negara, Jakarta: Inti Idayu Press, 1986, hlm. 133

[4] Chantal Mouffe, Űber das Politische. Wider die kosmopolitische Illusion, Frankfurt am Main: Suhrkamp, 2007, hlm. 12

[5] Bdk. Arno Anzenbacher, Christliche Sozialethik. Einfűhrung und Prinzipien, Paderborn. Műnchen. Wien. Zűrich: Ferdinand Schőningh, 1997, hlm. 117

[6] Bdk. Charles Taylor, Quellen des Selbst. Die Entstehung der neuzeitlichen Identität, Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1994

[7] Bdk. Otto Gusti Madung, Politik Diferensiasi versus Politik Martabat Manusia?, Maumere: Penerbit Ledalero, 2011, hlm. 6dst.

[8]Charles Taylor mengembangkan tema ini bersama rekannya dari Universitas Frankfur am Main, Axel Honneth. Honneth mentematisasi soal politik pengakuan dalam karyanya Kampf um Anerkennung (1993).

[9]Charles Taylor, Multikulturalismus und Politik der Anerkennung, Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1993, hlm. 13dst.

[10]Ibid., hlm. 15

[11]Bdk. Charle Taylor, Quellen des Selbst. Die Entstehung der neuzeitlichen Identität, Suhrkamp, Frankfurt am Main 1994

[12] Charles Taylor, Politik der Anerkennung, op.cit., hlm. 19

[13] Bdk. Ibid., hlm. 18

[14] Ibid., hlm. 22

[15] Bdk. Ibid., hlm. 28

[16] Bdk. Ibid.

[17] Bdk. Ibid., hlm. 33

[18] Ibid., hlm. 29

[19] Ibid., hlm. 28

[20] Bdk. George Fletcher, Loyalität. Über die Moral von Beziehung, Suhrkamp, Frankfurt am Main 1994

[21] Bdk. Charles Taylor, Politik der Anerkennung, op.cit., hlm. 30

[22] Bdk. Ibid., hlm. 31

[23] Bdk. Ibid., hlm. 57

[24] Ibid., hlm. 45

[25] Ibid., hlm. 51

[26] Ibid., hlm. 52

[27] Bdk. Hartmut Rosa, Identität und kulturelle Praxis. Politische Philosophie nach Charles Taylor, Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1998

[28] Ernst Wolfgang Bőckenfőrde, Staat, Gesellschaft, Freheit. Studien zur Staatstheorie und zum Verfassungsrecht, Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1976, hlm. 60

[29] Bdk. Franz Magnis -Suseno, Etika Politik. Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Moderen, Jakarga: Gramedia Pustaka Utama, 1999, hlm. 348

[30] Bdk. Adnan Buyung Nasution, Demokrasi Konstitusional, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011, hlm. 122

[31] Yudi Latif, Negara Paripurna. Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Kompas Gramedia, 2011, hlm. 112

[32] Ibid., hlm. 104

[33] Bdk. Ibid., hlm. 109

[34] Bdk. Otto Gusti Madung, “Etos Global dan Dialog Peradaban”, dalam Kompas 27 Februari 2010

[35] Bdk. Hans Kűng, “Leitlinien zum Weiterdenken”, dalam: Hans-Martin Schoenherr-Mann, Miteinder Leben Lernen, Műncehen: Piper Verlag 2008, hlm. 387

[36] Pluralisme dan multikulturalisme sama-sama mengungkapkan kebhinekaan dan perbedaan.Perbedaannya, pluralisme menjelaskan fakta antropologis kebhinekaan dan keberbedaan tersebut tanpa membuat penilaian. Sedangkan multikulturalisme berkaitan dengan sikap etis yang berintikan penghargaan terhadap kebudayaan dan pandangan hidup yang berbeda-beda sambil terus mendorong dialog dan kerja sama yang produktif antara elemen-elemen yang berbeda dan beraneka tersebut (Bdk. Willy Gaut, “Mengakui Kemajemukan, Merayakan Perbedaan”, dalam Seri Buku Vox 55/02-04/2011, Ledalero 2011, hlm. 119)

[37] Bdk. Rainer Forst, Kommunitarismus und Liberalismus – Stationen einer Debatte, dalam: Axel Honneth (Ed.): Komunitarismus. Eine Debatte űber die moralischen Grundlagen moderner Gesellschaften, Campus Verlag: Frankfurt am Main 1993, hlm. 192

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *