Search This Blog

Wednesday, January 29, 2014

Komunitas Katolik: Sosial dan Politik (Pof. Dr. B.S. Mardiatmadja, SJ)


Oleh: Pof. Dr. B.S. Mardiatmadja, SJ, dose STF Driyarkara Jakarta


(Disampaikan dalam pertemuan Lintas Komisi (Tokoh Umat) Provinsi GerejawiSe-Papua di Jayapura,2-5 Desember 2013)
Nama "Communitas politica" berbeda dari "communitas socialis". Kata "communitas" lebih menekankan aspek hubungan pribadi serta kontak antara manusia. Dalam hal ini ada suatu perubahan pandangan ensiklik-ensiklik yang lebih tua (Leo XIII dan Pius XI) memakai "societas"[1]. Kita mau menitikberatkan hubungan pribadi antara manusia. Saya menyebut Masyarakat Politik sebagai “communitas communitatum”. Tetapi dari lain pihak hubungan dalam bidang politik toh dibedakan dari hubungan sosial pada umumnya. Di sini timbul soal: Apakah dengan demikian semua tindakan dan kumpulan yang tidak bersifat kenegaraan harus disebut "privĂ©"? Apa fungsi organisasi swasta dalam pandangan konstitusi? Bagaimana dibedakan antara bidang kenegaraan, bidang "publik" (umum) dan bidang swasta? Teristimewa harus ditanyakan: Apakah bidang kenegaraan hanyalah bidang politik? 

Kata "kehidupan umum" adalah terjemahan dari "vita publica" dan rupa-rupanya berarti kehidupan di bidang kenegaraan. Kita mulai dengan menyebut perubahan dalam masyarakat, yang mempunyai akibat pada hidup politik (1). Khususnya struktur yuridis-politik harus berubah (2) dan partisipasi pada kegiatan politik menjadi lebih umum (3). Maka sistem kenegaraan yang tidak memungkinkan partisipasi yang bebas ditolak (4) dan dianjurkan supaya sungguh dibangun negara yang adil dan makmur (5).

1) Disebut perubahan kebudayaan, ekonomi dan sosial.

Perubahan ini mempunyai akibatnya untuk "struktur dan organisasi para bangsa" (perubahan dalam struktur diinstitusionalisasi dalam lembaga-lembaga). Akibat perubahan ini disebut dua: di bidang pelaksanaan hak sebagai warganegara, khususnya dalam mengejar kesejahteraan umum; dan di bidang pengaturan hubungan antara para warganegara dan dengan pemerintah. Orang tidak hanya menuntut haknya dalam usaha kemakmuran negara, tetapi juga mau ikut menentukan peraturan yuridis keadilan. 

2) Perubahan kultural, ekonomis dan sosial pertama-tama membawa "kesadaran yang makin tajam akan martabat manusia". Maka dengan sendirinya dituntut "tertib yuridis-politik yang memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap hak-hak pribadi". Secara khusus disebut: "hak mengadakan pertemuan/rapat", "hak organisasi", "hak menyatakan pendapat", "hak kebebasan agama". Semua itu oleh konsili dilihat sebagai "Perlindungan hak-hak pribadi", dan dikatakan bahwa hak pribadi itu adalah syarat supaya para warganegara "secara aktif mengambil bagian dalam hidup dan peng-aturan negara".

3) Soal partisipasi berkaitan dengan perubahan kultural, ekonomis dan sosial yang menimbulkan keinginan untuk "memainkan peranan yang lebih besar dalam mengatur kehidupan politik". Jadi partisipasi pada seluruh kehidupan politik, khususnya pada pengaturannya. Yang dimaksudkan adalah kegiatan politik dalam arti aktif. Juga di sini GS menyebut beberapa contoh konkret: (a) soal golongan minoritas; (b) dialog antar-agama; (c) soak diskriminasi (yang tidak diterangkan lebih khusus lagi; kiranya harus dipikirkan soal suku, tingkat atau golongan sosial, kaum wanita, dst.).Di sini konstitusi mau mengemukakan gagasan tentang masyarakat puluralistis.

4) Pembelaan hak pribadi manusia tentu saja berarti penolakan dari segala sistem totaliter. Tidak disebut nama, tetapi cukup jelas apa yang dimaksudkan.

5) Secara positif konsili menganjurkan supaya "mengembangkan kesadaran batin akan keadilan, kebaikan dan pengabdian kepada kesejahteraan umum". Tetapi konstitusi tidak membatasi diri pada sikap batin. Disebut juga: "mengembangkan keyakinan fundamental mengenai hakekat yang sebenarnya dari masyarakat politik". 

HAKIKAT DAN TUJUAN MASYARAKAT POLITIK

Sekarang perhatian ada pada tujuan negara, yaitu kesejahteraan umum (1); sedang soal kekuasaan diartikan secara fungsional (2), khususnya perlu dicermati dasar kekuasaan itu (3), pelaksanaan (4) serta batas-batasnya (5).

1) Paham Negara
Dalam GS faham Negara berhubungan dengan filsafat Aristoteles: karena kelompok-kelompok kecil tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka, maka perlu diciptakan suatu lembaga yang mencakup keseluruhannya. Malahan dikatakan bahwa kebutuhan untuk membentuk negara timbul dari kodrat manusia, dan dalam hal ini negara adalah serupa dengan keluarga. Ajaran ini sudah terdapat dalam "Immortale Dei", ensiklik Leo XIII dari 1885.

GS membedakan antara "masyarakat sipil" dan "masyarakat politik". Yang pertama adalah masyarakat yang lebih besar, yang harus menampung kebutuhan dari kelompok-kelompok kecil; tetapi masih belum ada struktur yuridisnya. Kalau masyarakat itu dibentuk secara formal-yuridis, maka terjadilah masyarakat politik atau negara. Oleh sebab itu GS juga menambahkan: "menurut bentuk yang beranekaragam". Segi organisatorisnya merupakan ciri hakiki negara. Negara yang tidak teratur bukan negara (menurut konsepsi Aristoteles, yang diambil-alih dalam tradisi para Paus).

Tujuan dari masyarakat politik yang terorganisir ini, ialah: "perwujudan kesejahteraan umum yang lebih luas". Dan diulangi sekali lagi: "masyarakat politik lahir untuk kepentingan kesejahteraan umum". Kesejahteraan umum itu diterangkan sebagai: "keseluruhan kondisi-kondisi hidup sosial yang memungkinkan baik kelompok maupun orang perseorangan dapat mencapai kesempurnaannya secara lebih penuh dan lebih lancar". Jadi, "semua syarat kehidupan sosial dengan mana manusia secara perseorangan, keluarga dan serikat-serikat dapat lebih mudah dan lebih lengkap mencapai kesempurnaannya sendiri". Singkatnya, yang dimaksudkan adalah kondisi-kondisi kehidupan yang harus menjamin perkembangan manusia. Perlu diperhatikan bahwa "kesejahteraan masyarakat" lebih dimaksudkan hasil usaha manusia bersama. Dan kiranya harus dikatakan bahwa kondisi atau syarat sekaligus juga merupakan hasil: manusia membangun dunianya sendiri, di mana ia selanjutnya harus berkembang lebih lanjut. Oleh sebab itu, kalau di sini dikatakan bahwa negara itu untuk kesejahteraan umum, "yang memberi dasar serta arti kepada negara, dan merupakan dasar hak-haknya", maka janganlah ditarik kesimpulan seolah-olah hidup seluruhnya harus ditanggung oleh negara. Sebaliknya, negara harus menjamin kondisi-kondisi kehidupan menurut kemampuan dan kekhususan negara, ialah pada bidang politik-yuridis. Maka jelaslah bahwa negara bukan tujuan: Dasar eksistensinya adalah pengabdian kepada kesejahteraan para warganegara. Tetapi karena negara memainkan peranan yang begitu penting dalam menentukan kesejahteraan umum, maka di sini perlu sekali suatu "filsafat negara". Sebab kesejahteraan umum, yang berupa kondisi kehidupan manusia, tentu saja ditentukan menurut gambaran manusia tertentu. Usaha negara dalam melaksanakan kesejahteraan umum akan diarahkan menurut gambaran manusia yang menjadi pedoman negara. Di sini kiranya terletak arti dan kepentingan Pancasila. Dari lain pihak, justru karena kesejahteraan umum merupakan kekuasaan yang amat besar, maka perlu sekali bahwa para warganegara semua berpartisipasi dalam menentukan secara konkret perwujudan kesejahteraan umum ini. 

2) Untuk melaksanakan kesejahteraan umum secara efisien diperlukan pimpinan yang berkuasa: pemerintah. Kalau tidak ada pimpinan sentral, maka "tiap orang mengikuti pendapatnya sendiri" dan segala kerjasama menjadi kacau. Seperti hirarki di dalam Gereja, begitu pemerintahan di dalam negara adalah organ kesatuan. Mengenai bentuk pemerintah (republikkah, monrakikah) Gereja tidak berkata apa-apa. Yang ditentukan lebih lanjut adalah cara memerintah: "bukan secara mekanis atau dengan memperkosa, melainkan dengan kekuatan moril, yang berdasarkan kebenaran dan tanggungjawab para warganegara". Kalau tidak ada pimpinan, kesejahteraan umum tidak terjamin; tetapi kesejahteraan umum tetap merupakan tanggungjawab semua dan harus dilaksanakan dengan merdeka. Jadi pemerintah bukan sesuatu yang datang dari luar. Dasarnya terletak dalam usaha seluruh negara untuk mengerjakan kesejahteraan umum. Di sini kelihatan lagi bahwa bagi kita kesejahteraan umum merupakan nilai, yang tidak dapat dipaksakan dari luar. Tetapi dengan demikian juga tidak disangkal bahwa dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menuntut kegiatan atau sumbangan tertentu dari para warganegara; asal saja demi kesejahteraan umum.

3) Soal dasar pemerintah sekarang ditegaskan sekali lagi: "berdasar atas kodrat manusia dan oleh karenanya termasuk tertib yang direncanakan Allah". Tentu saja dengan pembatasan bahwa bentuk pemerintahan yang konkret "diserahkan kepada kehendak bebas warganegara". Perlu adanya pemerintah, tetapi bentuk pemerintahan tertentu yang begitu itu dikehendaki oleh Allah (lih. juga Pacem in terris: "Sekalipun pemerintahan berasal dari Allah, namun hal itu tidak menghilangkan kekuasaan manusia untuk memilih sendiri pemerintahannya, menetapkan bentuk negaranya atau menentukan patolan-patokan dan batas-batas menjalankan pemerintahan itu".) Maka dari itu ketaatan yang diwajibkan terhadap pemerintah tidak boleh dilihat sebagai kepatuhan langsung kepada Allah. Kendati diakui arti pemerintah dalam rencana Allah, pemerintah sendiri tidak boleh didewa-dewakan. Malahan sebaliknya: secara hakiki pemerintah bersifat fungsional, harus menolong untuk mencapai kesejahteraan umum.

4) Hal itu - yang cukup sulit dalam praktek - sedikit dikhususkan dalam beberapa hal:

(a) harus ada tertib yuridis: (b) tertib itu tidak tetap/mutlak; "telah atau akan ditegakkan"; (c) penggunaan kuasa politik dalam rangka tertib yuridis itu harus mengindahkan "tertib moral" juga (hormat untuk pribadi dan martabat manusia) dan (d) harus "diarahkan kepada kesejahteraan umum", yang harus dipandang secara dinamis, artinya: berkembang sesuai dengan perkembangan manusia dan zaman. Kalau semua syarat itu telah terpenuhi, maka (e) "semua warganegara wajib mentaatinya". Bahwa harus ada tertib yuridis itu jelas dari paham masyarakat politik sendiri, yang justru mau memberi pengaturan yuridis-formal kepada kehidupan masyarakat. Tetapi struktur yuridis itu adalah sesuatu yang ditentukan oleh manusia sendiri. Dan oleh karena itu senantiasa dapat diubah juga oleh manusia. Hukum bukan sesuatu yang mutlak atau abadi. Tetapi kalau pun tertib yuridis merupakan bidang kekususan negara, namun segi yuridis bukan satu-satunya norma untuk pemerintah. Tentu saja, kalau segi yuridis tidak diindahkan, unsur pokok pemerintahan sudah tidak ada. Tetapi di samping bidang yuridis perlu mengindahkan baik nilai-nilai moral maupun nilai sosio-ekonomis, yang diringkaskan dalam istilah "kesejahteraan umum". Di sini nampak suatu kelemahan dari ajaran konstitusi: dari satu pihak ditandaskan bidan yuridis politik sebagai bidang khusus kenegaraan, tetapi dari lain pihak disadari pula bahwa negara yang hanya berjalan secara yuridis-politik, belum cukup memenuhi tugasnya. Kiranya itulah sebabnya bahwa konstitusi berbicara mengenai "kekuasaan politik baik dalam masyarakat sendiri maupun dalam badan-badan perwakilan negara". Tempat kegiatan negara tidak dapat dibatasi pada instansi pemerintahan saja: seluruh bangsa secara aktif ikut membangun kesejahteraan umum.

5) Maka tidak mengherankan bahwa kita perlu berbicara mengenai situasi di mana syarat-syarat yang disebut dalam alinea 4 tidak terpenuhi. Lalu dapat dipikirkan dua jalan keluar: dari satu pihak tidak menolak hal-hal yang secara obyektif dituntut untuk ‘kesejahteraan umum’ dari lain pihak "mempertahankan hak-hak terhadap penyalahgunaan kekuasaan". Nasehat ini amat baik sekali, tetapi dalam praktek tidak mudah. Kapan dan bagaimana rakyat harus membela haknya terhadap pemerintah, tidak dikatakan (dan barangkali juga tidak dapat dikatakan). 

6) Sekali lagi dikatakan bahwa ada bermacam-macam bentuk dan kemungkinan untuk pelaksanaan kegiatan politik. Dan diulangi juga tujuannya: "pembinaan manusia yang berkebudayaan, cinta-damai dan baik untuk sesamanya". Penegasan mengenai pluriformitas dalam bentuk pemerintahan berasal uskup-uskup Afrika-Asia, yang mau menghindari bahwa konsili seolah-olah mengesankan model pemerintahan Barat.


KERJASAMA DALAM KEHIDUPAN BERSAMA

Kita perlu membicarakan tugas para warganegara terhadap negara. Maka tidak dikatakan "masyarakat politik", tetapi "hidup publik". Dan ditegaskan pula bahwa semua harus mengambil bagian di dalamnya, bukan hanya para anggota pemerintah (1). Memang masih dibicarakan pula syarat-syarat yuridis, yang harus memungkinkan partisipasi ini (2), dan tugas khusus pemerintah (3). Tetapi tekanan ada pada sikap patriot para warganegara (4), khususnya kaum kristiani (5); maka juga disebut soal pendidikan politik (6).

1) Kita perlu memperlihatkan penghargaan untuk demokrasi: "lembaga yuridis-politis yang menyediakan bagi semua warganegara kemungkinan yang praktis untuk turutserta secara bebas dan aktif". Dikatakan bahwa struktur demokratis ini "benar-benar sesuai dengan kodrat manusia". Dan kegiatan yang diharapkan dari para warganegara adalah: (a) "menegakkan dasar-dasar yuridis"; (b) "mengurus bidang politik"; (c) "menetapkan bidang kerja serta tujuan lembaga-lembaga"; (d) "memilih pemimpin politik". Kiranya harus diperhatikan ucapan GS bahwa: "Patutlah disampaikan pujian bagi bangsa-bangsa yang membolehkan sebanyak mungkin warganya turutserta secara aktif dalam urusan umum dengan kebebasan yang besar. Tetapi hendaknya diperhatikan juga keadaan-keadaan yang nyata dari setiap bangsa serta ketegasan yang harus dimiliki oleh penguasa". Pantas ditekankan bahwa untuk demokrasi yang sehat dibutuhkan kondisi-kondisi tertentu yang harus dipenuhi lebih dahulu. Tetapi kalau kondisi ini memang ada, maka kita juga tidak mau membatasi partisipasi para warganegara pada penetapan undang-undang dasar saja atau pada pemilihan umum. Juga kontrol dari instansi pemerintah dan partisipasi aktif dalam menentukan haluan negara disebut. Akhirnya "Gereja memuji dan menghargai pekerjaan semua orang yang demi kesejahteraan manusia menyerahkan diri untuk mengabdi ke negara dan memikul beban-beban jabatannya". Dari pujian terhadap para politisi ini dapat disimpulkan bahwa menurut ajaran konsili politik bukan sesuatu yang kotor atau jijik. Sebaliknya, konsili mengajarkan bahwa partisipasi dalam kegiatan politik bagi semua warganegara merupakan "hak dan juga kewajibannya".

2) Partisipasi umum ini tidak mungkin tanpa "tertib hukum positif, yang mengatur (a) pembagian tugas dan lembaga pemerintahan; dan (b) jaminan serta perlindungan hak-hak yang bebas dan efisien". Jadi dua hal yang diminta: pengaturan aparatur pemerintah yang baik dan efisien dan pembelaan hak para warganegara. Dari satu pihak pemerintah harus dapat bekerja dengan baik, tetapi dari lain pihak pemerintah sendiri ada demi para warganegara yang harus dilayaninya, dan hak-hak para warganegara harus terjamin sungguh-sungguh (lih. Pacem in terris: "supaya kekuasaan yudikatif menyelenggarakan keadilan dengan tidak memihak, namun perikemanusiaan dan tanpa dibelokkan dalam menghadapi tekanan").

Tetapi juga di sini pokok pembicaraan bukan pemerintah, melainkan para warganegara. Dan konsili mengingatkan semua akan "kewajiban untuk memberikan pelayanan material maupun personal kepada masyarakat politik sebagaimana dituntut oleh kesejahteraan umum". Tidak diberi tegasan lebih khusus lagi, sebab itu akan melampaui batas-batas uraian konstitusi. Yang dikemukakan adalah prinsip subsidiaritas: Pemerintah harus memajukan kegiatan kelompok kecil dan tidak menghalang-halanginya. Pacem in terris yang dikutip di sini, berkata: "Kesejahteraan umum terletak terutama dalam pengamanan hak-hak serta kewajiban pribadi manusia. Oleh karena itu peranan pemerintah terletak terutama dalam menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak itu, mendamaikan satu sama lain, mempertahankan dan meluaskan hak-hak itu, dan selanjutnya membantu supaya tiap-tiap warganegara dengan lebih mudah dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya". Tetapi Gereja juga berpendapat bahwa campur-tangan yang berlebih-lebihan dari pihak pemerintah seringkali disebabkan oleh karena para warganegara mengharapkan terlalu banyak dari pemerintah. Pandangan bahwa pemerintah harus menanggung segala sesuatu kiranya tidak didukung oleh konsili. Sebaliknya, dengan menonjolkan nilai dan kepentingan pribadi, maka juga ditekankan tanggungjawab pribadi.

3) Cuma, kendati tetap dipertahankan prinsip subsidiaritas, kita perlu juga melihat bahwa perkembangan masyarakat teknis dengan sendirinya menuntut campurtangan pemerintah yang lebih besar. Tetapi dengan demikian timbullah persoalan tentang "hubungan antara sosialisasi dan otonomi serta perkembangan pribadi". Khususnya mengenai bidang ekonomi sering dikatakan bahwa pertumbuhannya tidak boleh diserahkan begitu saja kepada pemerintah. Kita tidak menyetujui monopoli negara yang mutlak: "apabila pelaksanaan hak-hak dibatasi untuk sementara waktu demi kesejahteraan umum, maka kebebasan haruslah secepat mungkin dipulihkan kembali apabila keadaan telah berubah lagi". Dan sistem diktatorial atau totaliter tidak dapat diterima, tetapi pelaksanaan konkret diserahkan lagi kepada masing-masing bangsa menurut kebudayaannya sendiri.

4) Kembali kepada sikap para warganegara konsili mengajarkan semangat keterlibatan dalam patriotisme. Tetapi sekaligus diperingatkan bahwa semangat nasional itu tidak boleh menjadi ultra-nasionalisme: yang sempit harus terarahkan kepada "kesejahteraan seluruh keluarga manusia".

5) Sumbangan khusus orang kristen pada kegiatan politik praktis dapat terletak pada "memberi teladan yang baik". Sekaligus juga diajarkan sikap toleran terhadap yang lain. Kiranya kedua itu harus dilihat bersama: teladan yang boleh diharapkan dari umat kristiani adalah partisipasi dan keterlibatan yang aktif. Oleh karena politik untuk sebagian besar berdasarkan interpretasi dari kemungkinan yang ada, maka dengan sendirinya terang bahwa justru dalam bidang politik timbul pandangan yang bertentangan, juga di antara kaum kristen sendiri.

Maka teladan terdapat di sini bahwa orang berani secara kreatif dan otonom memainkan peranannya di bidang politik, dan sekaligus tahu bagaimana ia harus hidup bersama dengan mereka yang berbeda pendapat. Dalam hal ini secara khusus oleh konsili disebut soal tentang partai-partai politik.

6) Melanjutkan persoalan tentang partisipasi dari semua, maka perlu diusahakan agar semua "turut serta memikul kewajiban-kewajiban" dalam masyarakat, juga di bidang politik. Jadi pendidikan itu sendiri sudah menjadi bagian dari partisipasi. "Seni politik itu sulit tetapi sekaligus juga sangat indah dan luhur". Dan dengan menjalankan politiknya demi kesejahteraan umum seorang politikus sungguh mewujudkan hukum "cintakasih". 

Khususnya dalam masyarakat pluriform yang modern perlulah pe-

ngertian yang tepat mengenai "hubungan antara negara dan Gereja", antara "tugas orang kristen sebagai warganegara dan sebagai warga Gereja". Sebab dalam masyarakat pluralistis itu tidak dapat diandaikan bahwa negara dalam segala hal mempunyai pandangan yang sama seperti Gereja. Dari lain pihak perbedaan pendapat ini tidak diselesaikan ialah orang kristen mengundurkan diri dari bidang politik begitu saja. Oleh sebab itu konstitusi membedakan antara partisipasi Gereja dan partisipasi para anggota Gereja menurut otonomi mereka sendiri. Yang terakhir boleh disebut situasi yang normal, mengingat otonomi dunia yang diakui oleh Gereja. Tetapi karena Gereja juga berupa lembaga kemasyarakatan - justru kalau dilihat dari sudut negara -, maka dapat timbul sikap orang kristen pribadi. Pembedaan antara sikap Gereja resmi dan sikap para anggotanya adalah konsekuensi dari prinsip otonomi dunia, yang dalam praktek tidak selalu mudah dilaksanakan.

7) Gereja terbedakan dari negara. Dan itu "berdasarkan peranan dan kewenangannya". Atau seperti dikatakan dalam GS a.42,2: kepada Gereja "Kristus tidak memberikan tugas khusus di lapangan politik". Tetapi oleh karena negara harus mengusahakan kesejahteraan umum dan karena itu memperhatikan hidup manusia seluruhnya, maka hal pembedaan ini perlu diterangkan: Gereja adalah "tanda dan pelindung sifat transenden pribadi manusia". Justru kepribadian manusia, khsususnya dalam keterbukaannya untuk yang transenden, adalah bidang Gereja. Dalam ketegangan antara pribadi dan masyarakat (lih. aa.26-28: Gereja berdiri di pihak pribadi, sedang negara sebagai pelaksana kesejahteraan umum lebih memperhatikan segi masyarakat. Dalam Deklarasi tentang kebebasan beragama hal itu dirumuskan begini: "Kebebasan Gereja adalah prinsip fundamental dalam hal-hal yang bertalian dengan hubungan antara aGereja dan pemerintah serta seluruh tertib sipil" (a.13).

8) Soal pembedaan antara Gereja dan negara masih ditegaskan lebih khusus: "Gereja dan masyarakat politik memiliki otonomi dan tidak tergantung satu sama lain dalam bidangnya masing-masing". Tetapi Gereja dan negara, kedua-duanya, melayani manusia. Maka perlulah kerjasama yang baik. Dari pihak Gereja itu berarti bahwa mau "memberikan sumbangannya" dan "mengindahkan serta memupuk kebebasan dan tanggungjawab politik semua warganegara". Dalam hal politik Gereja mempertahankan prinsip tentang hubungan dengan dunia: mengakui otonominya dan sekaligus menyumbangkan bantuannya. Mengenai bentuk kerjasama itu tidak dikatakan apa-apa. Hanya dikemukakan bahwa harus "mengingat keadaan waktu dan tempat". Dengan lain perkataan apa yang harus dilakukan dalam situasi yang konkret.

9).Diharapkan bagi Gereja dari negara kebebasan: untuk (a) mewartakan iman, (b) mengajarkan ajaran sosialnya, (c) menjalankan peranannya dan juga (d) memberikan penilaian moral terhadap tindakan pemerintah. Gereja menuntut hak untuk mewartakan Injil dengan segala konsekuensinya (secara khusus dalam konteks ini disebut ajaran sosialnya), untuk menjalankan ibadatnya dan bantuan pastoralnya; dan malahan untuk bertindak sebagai instansi kritis terhadap pemerintah. Semua itu dicakup di bawah pengertian kebebasan agama. Hal itu menjadi jelas sekali dari Deklarasi tentang kebebasan agama (a.13): "Di dalam masyarakat manusia dan terhadap semua pemerintahan umum Gereja menuntut kebebasan bagi dirinya sendiri selaku penguasa spiritual, yang ditegaskan oleh kristus Tuhan. Gereja juga menuntut kebebasan bagi dirinya dalam kedudukannya sebagai lembaga manusia yang mempunyai hak untuk hidup dalam masyarakat sesuai dengan peraturan agama kristiani". Dan dalam a.6: "Pemerintah harus menjamin perlindungan kebebasan beragama semua warganegaranya dengan cara yang efektif, melalui undang-undang yang adil dan sarana-sarana lain yang sepadan.

Pemerintah juga harus menciptakan situasi yang menguntungkan pemeliharaan hidup keagamaan, agar rakyat dapat benar-benar mampu menjalankan hak-hak keagamaan mereka dan menunaikan kewajiban keagamaannya. Dari sebab itu pemerintah sekali-kali tidak boleh memaksakan kepada rakyatnya dengan kekerasan, ancaman atau pun sarana lainnya, pengakuan atau penolakan suatu agama, atau mengahalang-halangi orang masuk atau meninggalkan golongan keagamaan". Di sini jelaslah bahwa kebebasan agama yang harus dijamin oleh pemerintah, bukan hanya kebebasan bagi masing-masing warganegara (termasuk hak untuk pindah agama), tetapi juga untuk Gereja sebagai instansi sosial keagamaan. Gereja mau diakui sebagai lembaga sosial keagamaan. 
CATATAN

[1] Lih. R. Coste, Les communautés politiques, hlm, 30-32.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *