Search This Blog

Wednesday, January 29, 2014

Partisipasi Umat Katolik dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umum

(Dr. Harry Soeprianto, M.Si, Dosen Pascasarjana Universitas Mataram)

 Artikel ini dipresentasikan pada saat Pertemuan Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat Katolik Keuskupan Denpasar,di Mataram, September 2013)

PENDAHULUAN
Di era globalisasi, banyak perubahan yang terjadi dalam masyarakat, juga dalam pola pikir dan bertindak. Masyarakat termasuk yang didesa-desa mulai lebih kritis, penilaian dan penghargaan terhadap seseorang mulai berubah dari penghargaan sekadar karena memiliki “posisi dan kedudukan” ke penghargaan karena memang memiliki “kompetensi, profesionalitas dan integritas kepribadian”. Orang katholik sebagai subyek dan obyek dalam masyarakat tidak luput dari penilaian seperti itu. Bobot prilaku diharapkan dapat mencerminkan implementasi ajaran katholik di era ini. Salah satu gejala di zaman baru ini dimana manusia menuntut pelayanan serba cepat. Hal ini karena pola pikir manusia  sudah mulai berubah sejalan dengan zaman yang serba cepat bahkan cenderung “instant”. Selain itu dunia kerja zaman ini dengan jadwal kerja yang ketat kadang-kadang memberi waktu amat terbatas bagi orang untuk segala urusan kepentingan jasmani maupun kepentingan rohani.
            Salah satu aspek kehidupan umat katholik yang tidak mungkin diabaikan adalah aspek persaudaraan dan kerjasama. Persaudaraan dan kerjasama merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan tetapi saling menunjang satu sama lain. Orang akan dapat bekerjasama secara maksimal, menyukseskan tujuan yang sama, bila hidup dalam persaudaraan yang ikhlas.
            Era globalisasi akan mempertemukan beberapa kebudayaan yaitu kebudayaan daerah setempat dan yang datang dari luar  atau kebudayaan asing. Pertemuan ini terjadi karena perkembangan karena perkembangan masyarakat, pergaulan antar daerah menjadi semakin biasa. Kebudayaan berkembang terus dengan menerima dan mengolah aneka unsur kebudayaan dari kelompok dengan suku lain. Bahkan juga kebudayaan dari luar negeri mempunyai pengaruh sangat besar. Khususnya pengaruh dari negara-negara asia timur, dan daerah arabia sangat terasa. Begitu juga pengaruh daari barat baik dahulu maupun sekarang. Pengaruh itu terdapat dalam segala bidang kebudayaan, termasuk juga bidang agama.
            Tidak dapat tidak, timbul pertanyaan mengenai pertemuan agama-agama di Indonesia. Semua agama besar, tanpa kecuali, masuk ke dalam kebudayaan Indonesia melalui kebudayaan asing. Dengan demikian semua agama berhadapan dengan pertanyaan bagaimana mereka tetap setia kepada asas-asas agama itu sendiri, tetapi sekaligus juga  tidak menjauhkan orang Indonesia dari akar-akar kebudayaannya.
            Dengan sendirinya, penganut-penganut agama mencoba mengungkapkan pokok-pokok agama dalam bahasa danbentuk kebudayaan daerah meeka sendiri; maka dari zaman ke zaman agama yang satu dan sama itu mendapat bentuk dan ungkapan yang sedikit atau banyak berbeda, sesuai dengan keprihatinan zaman dan kebudayaan daerah. Pertemuan semacam itu tidak jarang diusahakan dengan sadar dan sengaja. Semakin orang menjadi sadar akan kebudayaannya sendiri dan semakin jujur orang menghayati agamanya, semakin giatnya orang mencari bentuk-bentuk yang berakar dalam kebudayaan daerah untuk mnghayati agama dengan tepat. Dari tradisinya, agama membawa kepercayaan yang diyakini sebagai kebenaran yang dihadapan Tuhan; dalam kebudayaan, agama menjadi hidup dan manusiawi.
            Dari uraian diatas timbul pertanyaan apa partisipasi umat katholik dalam mewujudkan kesejahteraan umum ?
PEMBAHASAN
A. Era Tehnologi Informasi dan Komunikasi
            Manusia merupakan mahluk hidup yang mempunyai pikiran dan bathin yang merdeka yang lahir ke dunia tanpa pilihan, tetapi ia mempunyai kedaulatan untuk berusaha dan menentukan pilihan-pilihan guna memperbaiki hidupnya, sepanjang kemampuan diri yang dibawahnya dari lahir mengijinkan. Pada akhirnya nanti ia harus mati. Tetapi iapun juga mempunyai kedaulatan untuk mempersiapkan kematiannya yang tak bisa ia duga dan kira kapan saatnya dan bagaimana caranya.
            Hukum alam memang tidak bisa kita ubah. Cuma jalan alam selalu kita ramaikan dengan jalan manusia melewati berbagai cara tehnologi yang tepat. Tetapi kenyataan struktural dalam masyarakat itu bukan hukum alam. Itu Cuma hasil kesadaran dan usaha manusia. Kalau memang kenyataan struktural itu menghalangi dinamika kehidupan, maka manusia selalu bisa berusaha mengubahnya, tidak gampang, tetapi itulah tantangan kehidupan.
            “Ingat taman firdaus sudah hilang, sejak saat itu keringat, luka, air mata, kesadaran, kesabaran dan keberanian adalah ongkos dasar dari perbaikan akan kehidupan manusia. Dengan kata lain kecuali kenyataan struktural di dalam masyarakat harus dihitung juga bahwa manusia mempunyai dinamika pikiran dan bathin yang bisa dipelihara dan dibina” (WS Rendra)
Tak dapat disangkal bahwa, sungguh banyak fenomena dalam hidup ini: dan dengan demikian, sekian banyak pandangan dan pengetahuan, yang tertuang maupun yang terpendam. Akan tetapi perlu disadari bahwa itu semua belumlah mencapai derajat kesempurnaan. Karena suatu ketika, cepat atau lambat kebaikan dan kebenaran akan datang dan menjawab, yaitu antara menolak dan membenarkan bahkan memperluas sejumlah pandangan dan pengetahuan yang tertuangkan maupun yang terpendam.
Adapun pada zaman sekarang umat manusia terpukau oleh rasa kagum akan penemuan-penemuan manusia dengan gelisah bertanya-tanya tentang perkembangan dunia dewasa ini penemuan serta kekuasaannya sendiri. Tetapi sering pula manusia dengan gelisah bertanya-tanya tentang perkembangan dunia dewasa ini, tempat dan tugasnya di alam semesta, tentang makna jeri-payahnya perorangan maupun usahanya bersama, akhirnya tentang tujuan akhir segala sesuatu dan manusia sendiri.
Tantangan terbesar untuk membangun Gereja adalah sekularisme dan globalisasi. Sekularisme diwarnai secara khas oleh hubungan agama dengan negara yang bisa berakibat pada macam-macam kesulitan seperti negara agama, formalisme agama, fanatisme kelompok dll. Sementara globalisasi telah memberi tawaran baru tiada henti kepada umat beriman bahwa manusia seakan tidak memerlukan Tuhan untuk menata hidupnya. Perpaduan antara sekularisme dan globalisasi adalah ketidakadilan struktural dan bahkan pemiskinan martabat manusia tiada henti, sebab martabat manusia dipandang sebagai bagian dari proses ekonomi. Akibatnya mereka yang kecil, lemah, miskin, cacat, dan bodoh menjadi korban ketidakadilan struktural. Ketidakadilan struktural semakin menancapkan kukunya dalam dunia modern karena pada budaya patriarki, sistem politik yang menindas dan perilaku beragama yang tidak manusiawi.
Dilain pihak pembangunan ilmu pengetahuan tehnologi dan seni pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum dalam rangka membangun peradaban bangsa, Tehnologi menjadi faktor yang memberi konstribusi signifikan dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat kita.
Tehnologi informasi dan komunikasi sebagai bagian dari ilmu pengetahun dan tehnologi secara umum adalah semua tehnologi yang berhubungan dengan pengambilan, pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, penyebaran, dan penyajian informasi.
Tehnologi informasi dan komunikasi sebagai perpaduan tehnologi telah memungkinkan terjadinya internetworking yang menyebabkan faktor jarak menjadi kurang berarti, informasi dapat mengalir dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan kecepatan cahaya dan dapat dimanfaatkan untuk konsolidasi, koordinasi, dan kolaborasi yang mampu menghasilkan tindakan-tindakan dengan pertimbangan keuntungan skala global. Melalui internetworking tersebut dapat disebarkan informasi dalam jumlah besar secara gencar untuk membentuk opini publik secara global terhadap suatu tindakan yang akan dan telah dilakukan untuk menghasilkan manfaat yang sepenuhnya dikendalikan oleh penyebar informasi. Tehnologi ini telah membawa dunia menuju ke era informasi, dimana informasi merupakan salah satu sumber daya paling penting sehingga harus dikelola dengan baik untuk tujuan-tujuan tertentu yang menguntungkan pemiliknya.
Pembangunan tehnologi informasi dan komunikasi pad hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka membangun peradaban bangsa. Kenyataan menunjukkan bahwa TIK telah membawa perubahan penting dalam perkembangan peradaban, terutma perekonomian dunia. Abad ke-21 bahkan diyakini akan menjadi abad baru yang disebut era informasi ekonomi (digital-economic) dengan ciri khas perdagangan yang memanfaatkan elektronika (electronic commerce). Kondisi ini mengakibatkan adanya pergeseran paradigma strategi pembangunan masyarakat dari pembangunan industri menuju era informasi (information age).
B. Keterlibatan dalam Pembangunan Politik di Indonesia
            Secara etimologi, “Politik” berasal dari polis. “Polis” dalam tradisi yunani adalah yang bertujuan memajukan apa yang sering disebut kepentingan umum. Dari kata “polis” diturunkan kata “ta politika” yang mengandung pengertian : hal-hal yang harus dilakukan terhadap polis dan mencakup semua aspek kehidupan warga negara.
            Dewasa ini urusan politik selalu berhubungan dengan bandul kekuasaan yang bergerak dinamis antar kutub masyarakat dan kutub negara dengan segala variaannya. Bagaimana bandul kekuasaan itu bergerak dari kutub masyarakat ke kutub negara dan sebaliknya; dan bagaimana variannya dalam praktek kehidupan Negara sehari-hari, telah banyakdijelaskan oleh berbagai teori kekuasaan, mulai dari teori Thomas Hobbes, Jhon Locke, JJ Rosseau, Montesquie, sampai dengan teori Hegel, dan Karl Marx (Arief Budiman, 2001).
            Sejarah telah membuktikan bahwa baik secara teoritis maupun praktis, cara hidup bermasyarakat dan bernegara yang dapat menjamin kehidupan bersama yang relatif aman, sejahtera dan beradab adalah demokrasi. Untuk sampai kepada masyarakat/negara yang demokratis dan berkeadaban amatlah rumit dan berliku-liku. Bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia telah berusaha menerapkan sistem demokrasi. Namun usaha tersebut masih banyak menemukan jalan buntu. Negara-negara tersebut bahkan masih terus mencari bentuk-bentuk varian-varian demokrasi yang cocok.
            Itulah sebabnya, sejak lahir abad ke-18, praktek demokrasi selalu menunjukkan penampilan yang berbeda-beda. Ada negara yang praktek demokrasinya sudah sampai pada tingkatan check dan balances yang fungsional. Ada pula saatnya, negara-negara mempraktekkan apa yang disebut “demokrasi facade”, dimana demokrasi dengan segala elemennya berjalan dalam mekanisme formalistik, tapi rezim yang berkuasa sangat lemah sehingga menjadi boneka negara yang kuat seperti campur tangan Amerika Serikat pada Mexico (1914 dan 1916), Republik Dominika (1916 – 1924 dan 1965), Haiti (1914-1938 dan 1994), Nicaragua (1912-1925), Kuba (1917-1923), Guatemala (1954), dan Panama (1989).
Pada saat tertentu, sistem politik yang diterapkan mengandung komponen demokratis yang signifikan, tetapi sekaligus mengandung komponen anti demokrasi yang juga signifikan. Inilah yang disebut “semi Demokrasi”. Sementara itu ada pula sistem politik yang memiliki elemen-elemen demokratis, tetapi tidak memiliki cara untuk mewujud nyatakan fungsi kontrol warga Negara terhadap pemerintah yang berkuasa. Sistem politik ini disebut “Pseudo Demokrasi” (John Markoff,1996).
Banyak penelitian menunjukkan bahwa poses demokrasi justru menimbulkan keputusasaan dan frustasi sebagian besar masyarakat yang bersangkutan. Sebab utamanya adalah karena bangsa yang bersangkutan belum memiliki prasyarat utama demokrasi, yaitu kultur dan struktur sosial politik yang demokrasi. (Arif Budiman, 2001).
Menurut Do Tocquevile, dalam kultur demokrasi terdapat dua elemen dasar yang menjadikan AS sebagai negara demokrasi sejak tahun 1830-an. Pertama, sifat egaliter dan liberal sebagai sumber etika puritarisme, yang kemudian berhasil berhasil disoaialisasikan kepada para pendatang dari daratan Eropa. Kedua, moral menahan diri yang bersumber pada ajaran agama Protestan. Kemampuan menahan diri amat diperlukan untuk mengimbangi adanya kebebasan (Asykuri Ibn Chamim,dkk, 2002).
Gabriel Almond dalam kajian untuk menguji kaitan antara keberhasilan demokrasi dengan keberadaan kultur dan struktur sosial politik yang demokratis, menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut : kultur demokrasi adalah kultur campuran antara kebebasan/partisipasi di satu pihak dan norma-norma prilaku di pihak lain. Kultur demokrasi bersumber pada kultur masyarakat yang mengndung: Social Trust dan Civicnes. Kultur demokrasi senantiasa memerlukan masyarakat madani. Seberapa jauh masyarakat memegang kultur demokrasi sangat bergantung pada prilaku pemerintah dalam demokrasi.
Dalam pengembangan kultur demokrasi menurut Almond, suatu bangsa harus melewati tiga tahap, sebagai berikut : Tahap pertama, pengembangan institusi yang demokratis. Tahap kedua, perwujudan sikap individu yang mendukung dmokrasi. Tahap tiga, perwujudan sruktur sosial dan kultur politik yang demokratis.
Dari prespektif sejarah dan teori inilah, kita akan mencoba memahami praktek dan realitas pembangunan politik di Indonesia khususnya pada era reformasi.
Kendati institusi kenegaraan sudah tertata melalui empat kali amandemen UUD 1945, diikuti oleh penyempurnaan undang-undang pelaksanan sistem pemilihan legislatif dan Presiden serta terselenggaranya PILKADA secara langsung oleh rakyat, ternyata wajah perpolitikan di Indonesia maih belum mengalami perubahan yang berarti. Praktik Demokrasi yang ditampilkan di pusat maupun di daerah masih cenderung bersifat anarkis dan oportunis serta kurang berpihak pada rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Anggota DPR-DPRD diragukan kualitasnya dan rakyat tersandung masalah hukum dan moral. Kendati mereka adalah wakil rakyat yang aspiratif karena dipilih secara langsung olehrakyat, tetapi mereka lebih merepresentasikan dirinya daripada rakyat yang diwakilinya.
Ada fenomena menarik pada pemilu 2009. Yaitu persaingan yang sangat ketat, bukan lagi antara partai politik, tetapi telah bergeser menjadi kompetisi dan pertarunganantar calon legislatif (caleg) internal partai. Proses politik transaksional dan instan melalui iklan pencitraan diri, telah menghantarkan orang berduit dan selebritis ke gedung parlemen.para politisi karier yang setia pada ideologi perjuangan tersingkir. Uang dipakai untuk mendapatkankekuasaan dan kekuasaan dipakaiuntuk mengeruk keuntungan ebanyak-banyaknya dan akan dipakai lagi untuk melanggengkankekuasaan.pertanyaan yang menggoda untuk dijawab: mengapa terjadi demikian ? karena demokrasi kita berlangsung di tengah rakyat yang rendah pendidikan dan kehidupan ekonominya.
Dulu pada zaman Yunani klasik, politik diartikan sebaagai proses pembuatan keputusan komunal yang diberlakukankepada publik setelah mengalami pembahasan subtantif oleh atau di depan pemilih yang dianggap sama. Artinya ada nuansa keseimbangan, kesetaraan di kalangan pemilih. Kesetaraan dalam hal apa ? kesetaraan dalam kompetensi, yang dicerminkan pada tingkat keterdidikan dan taraf hidup masyarakat, semakin tinggi tingkat ketergantungan masyarakat; sebaliknya semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat dan taraf hidupnya, semakin rendah pula derajat ketergantungannya. Masyarakat pemilih di Indonesia yang berpendidika dan taraf hidup rendah menjadi lahan bagi tumbuh suburnya politik transaksional. Saya pilih kmu, tetapi bayar berapa dulu ?. tidak penting pilih siapa dan partai apa, yang penting bagi pemilih tipe ini adalah dapur bisa berasap hari itu. Itulah problem utama Demokrasi kita dewasa ini.
C. Bagaimana  Partisipasi Umat Katholik
            Konsili Vatikan II menggariskan, “karena adalah khas bagi status awam, bahwa mereka hidup di tengah dunia dan urusan-urusan duniawi, maka mereka dipanggil Allah untuk menunaikan kerasulannya sebagai rasul di dalam dunia, dengan semangat kristiani yang berkobar-kobar” oleh karena itu, awam harus menerima pembenahan tata dunia sebagai tugas mereka yang khas, dan giat di dalamnya secara langsung di bawah bimbingan injil dan semangat gereja. Awam yang berkecimpung dalam urusan negara, harus menjalankannya dengan baik, dan dengan demikian mereka dapat menyumbangkan sesuatu bagi kepentingan umum dan serentak merintis jalan untuk injil.
            Pada tanggal 15 agustus 1998. Forum Masyarakat Katholik Indonesia, menegaskan  bahwa urusan politik kekuasaan adalah tugas dari sebagian saja umat yang mampu, berbakat, berminat serius dan yang profesional. Seluruh awam harus melibatkan dirinya dengan tata dunia yang beraeka ragamdan majemuk sesuai dengan talentanya masing-masing.pernyatan tersebut hanya mau menegaskan bahwa untuk terjun dalam politik kekuasaan dan berkompetisi memperebutkan tempat pada forum-forum pengambilan keputusan publik, diperlukan prasyarat tertentu yang memungkinkan awam menjalankan tugas kerasulannya secara baik dan berhasil.
            Politik itu adalah proses untuk mendapatkan Sharing power. Semua komponen dimasukkan dalam merumuskan dan menjalankan keputusan politik. Olek karena itu, dalam politik ada partisipasi dan kompetisi. Seluruh awam harus berpartisipasi dalam setiap tahapan politik dan sebagian awam yang tepanggil untuk memperebutkan jabatan politik karena memenuhi kualifikasi tertentu harus menjalani kompetisi yang ketat. Sesuai dengan tingkatannya. Mengapa kualifikasi begitu diutamakan bagi awam yang mau terlibat langsung dalam perebutan jabatan politik ? karena pelaksanaan tugasnya membawa resiko bagi kepentingan masyarakat.
            Awam yang terlibat harus berminat , karena minat merupakan energi untuk mendalami dan menikmatikegiatan politik sebagai panggilannya. Awam harus mahir dan profesional karena ia harus menguasai dan terampil menggunakan kiat-kiat politik yang fair, santun, beradab. Di atas semuanya, seorang awam harus berbakat politik, karena bakat sangat menentukan intuisi politik dalam percaturan yang semakin panas. Tanpa bakat, mereka ibarat joki yang lumpuh, yang berramai-ramai didudukkan ke atas punggung seekor kuda pacu. Tatkala perlombaan dimulai, ia akan terhempas ketanah pada lompatan pertama.
            Oleh karena itu, setiap kompetisi , jika bisa harus dimenangkan dengan sekuat tenaga. Tetapi kemenangan itu harus tetap diabdikan untuk kebaikan semua orang dan kemuliaan nama Tuhan. Setiap orang harus menikmati buah kemenangan itu tanpa pandang bulu.
Dari paparan di atas maka sebagai  refleksi diri. Bagaimanakah partisipasi kita sebagai umat katholik dalam mewujudkan kesejahteraan umum ? apakah kita sudah berpartisipasi dalam mewujudkan kesejahteraan umum ? Mengapa kita harus berpartisipasi dalam mewujudkan kesejahteraan umum ? sebagai motivasi untuk semua yang kita lakukan adalah berorientasi kepada Kristus sang Juru Selamat kita memanggul salib sampai di Golgota meskipun hadangan dan deraan dilakukan sepanjang perjalanan mencapai Golgota.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *