SKB YANG TERKENAL ITU
Oleh Pormadi Simbolon
Perdebatan tentang perlu tidaknya mencabut SKB No. 01/Ber/Mdn-Mag/1969 sudah menjadi isu nasional. Oleh karenanya SKB tersebut menjadi sangat terkenal ketika beredar melalui internet, surat kabar, berita di televisi dan radio. Sebagian orang berusaha mempertahankannya, karena ia sudah ideal dan sebagian lainnya mengusulkan untuk mencabut dan menggantinya dengan yang baru.
Soal ideal atau relevan perlu dicari titik tolak atau sudut pemikirannya. Di sinilah sebenarnya letak jalan dialog menjadi sangat penting. Pertanyaan awalnya, sudah adil dan bijaksanakah SKB yang terkenal itu?
SKB Menag – Mendagri
Dalam SKB Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No. 01/BER/Mdn-Mag/ 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pengembangan dan ibadat agama oleh pemeluk-pemeluknya ditemukan satu pasal yang berbunyi: Kepala Daerah atau pejabat yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberikan ijin yang dimaksud setelah mempertimbangkan: (a) pendapat kepala perwakilan Departemen Agama setempat, (b) planologi, (c) kondisi dan keadaan setempat (Pasal 4 (2)).
Selanjutnya pasal 4 (3) berbunyi apabila dianggap perlu, kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk itu dapat meminta pendapat dari organisasi-organisasi keagamaan/ rokhaniawan setempat.
Sekilas kutipan satu pasal dari SKB tersebut tampak bernada biasa-biasa, netral, dan prosedural seperti surat keputusan umum lainnya. Namun bila dikritisi lebih dalam, kutipan pasal SKB tersebut kususnya tentang pertimbangan-pertimbangan guna memberikan ijin pendirian rumah ibadat yaitu butir (a), (b), dan (c). Ketiga butir pertimbangan itu dan berdasarkan realitas di lapangan ternyata memicu dan mencondongkan orang berpolapikir binary opposition.
Binary opposition (pertentangan berpasangan) adalah kerangka berpikir yang melihat realitas sebagai pasangan yang bertentangan atau memperlawankan satu realitas dengan realitas lainnya. Contoh kerangka berpikir binary opposition tersebut adalah mayoritas ><><><><>
Pada hakekatnya pengertian hukum yang esensial dalam tata hidup bersama adalah bahwa ia adil dan bijaksana. Prinsip keadilan dan kebijaksanaan melekat dalam cara ada manusia yang bertindak menurut akal budinya. Hukum sebagai cetusan dari akal budi manusia harus adil dan bijaksana, sebab jika tidak, ia menyalahi prinsip kodrati (natura) akal budi manusia sebagai kelebihan yang dianugerahkan Penciptanya. Jika suatu hukum yang tidak adil toh tetap diberlakukan maka ia menjadi kesalahan moral dan dan merupakan kesewenang-wenangan pembuat hukum. Sebab hukum yang adil dan bijaksana memperhatikan aspirasi semua komponen bangsa yang ada.
Contoh paling jelas dari hukum tidak adil itu adalah perintah membunuh orang yang tidak bersalah. Perintah Hitler untuk menghabisi semua orang Yahudi secara tersirat juga termasuk perintah membunuh orang (Yahudi) yang tidak bersalah. Juga keputusan dan tindakan pemerintah tertentu untuk menghabisi suku Kurdi, atau penguasa Tutsi yang berusaha menghabisi kelompok suku Hutu di Rwanda, dan sebaliknya upaya suku Serbia membabat habis kelompok Muslim Bosnia jelas merupakan contoh-contoh ketentuan-ketentuan mengikat yang tidak bisa dibenarkan dari segi prinsip-prinsip kodrati keadilan akal budi.
Hukum adalah produk akal budi manusia yang sejatinya berangkat dari cara ada manusia. Itu berarti hukum merupakan hasil kesepakatan (konsensus) bersama sedangkan manusia dari kacamata orang beriman adalah ciptaan Allah. Oleh sebab itu jika hukum tidak memperhatikan cara ada manusia maka hukum itu tidak memenuhi prinsip keadilan dan kebijaksanaan. Dengan demikian hukum itu melawan kodrat manusia sebagai ciptaan Allah.
SKB No. 01 Tahun 1969 tidak relevan?
Kembali kepada perdebatan soal SKB Menag dan Mendagri No. 01 Tahun 1969, apakah ia sudah adil dan bijaksana? Kelompok yang disebut mayoritas berusaha mempertahankannya. Namun kelompok yang disebut minoritas mengusulkan suatu revisi atau bahkan lebih baik jika ia dicabut lalu diganti dengan peraturan yang baru karena ia sudah tidak relevan dengan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat sekarang.
Kelompok yang disebut mayoritas umumnya berpendapat bahwa SKB tersebut sudah ideal karena memang realitas menunjukkan bahwa mayoritas penduduk bangsa ini kelompok mereka. Sedangkan kelompok yang disebut minoritas berpendapat SKB tersebut tidak relevan lagi dengan semangat hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sedang berproses menuju negara yang demokratis, reformatif dan berada dalam satu kesatuan dengan komunitas global.
Menurut pendapat penulis, ketidakrelevanan SKB tersebut terletak pada akibat yang ditimbulkan oleh penafsiran pasal 4 tadi yang cenderung menciptakan pola pikir binary opposition. Hal ini terbukti di lapangan. Orang yang disebut minoritas tidak pernah dengan mudah mendapat ijin untuk membangun rumah ibadatnya. Sebab pertimbangan-pertimbangan yang terdapat pada pasal tersebut menjadi alasan yang mempersulit keluarnya ijin.
Sulitnya mendapat ijin mendorong mereka yang minoritas untuk beribadat di rumah penduduk tempat tinggal mereka. Sekali lagi, mereka yang mayoritas akan memprotes kegiatan beribadah tersebut karena merupakan penyalahgunaan rumah tempat tinggal sebagai rumah ibadah. Kenyataan ini menjadi suatu dilema bagi mereka yang minoritas dan serba salah.
Berangkat dari kenyataan di lapangan, SKB tersebut menjadi tidak relevan ketika ia dijadikan sebagai “senjata” mempersulit guna mendapatkan ijin mendirikan rumah ibadah dan lalu tidak memperhatikan hak asasi manusia yaitu hak untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercyaannya (pasal 29, UUD 1945). Disebut sebagai “senjata” mempersulit karena pola pikir binary opposition disadari atau tidak menjadi kerangka pola pikir bagi mereka yang mayoritas.
Menurut berita di media massa, SKB tersebut akan direvisi oleh Menag dan Mendagri. Kabar tersebut cukup melegakan bagi mereka yang minoritas. Namun mereka belum bisa berhenti pada kelegaan demikian. Mereka harus tetap secara bijak dan adil menyuarakan agar peraturan baru tentang pengeluaran ijin pendirian rumah ibadah tidak mencondongkan kebanyakan orang berpolapikir binary opposition, tetapi merangkul baik yang mayoritas maupun minoritas, artinya win-win solution.
Yang lebih mendasar lagi, revisi SKB tersebut seyogiyanya mengacu pada hak asasi manusia sebagai ciptaan Allah dan prinsip hukum yaitu keadilan dan kebijaksanaan. Artinya pengeluaran perijinan pendirian rumah ibadat bukan sebagai pemberian karena belas kasihan dari kelompok mayoritas kepada minoritas.
Akhirnya, peraturan atau SKB baru nantinya diharapkan semakin relevan bila ia mengacu kepada semangat hidup kebangsaan dan keutuhan NKRI.
*Penulis adalah Staf Penyusun Bahan Bimbingan Lembaga Agama
Ditjen Bimas Katolik, Depag RI Pusat
No comments:
Post a Comment