Search This Blog

Showing posts with label ajaran agama Katolik. Show all posts
Showing posts with label ajaran agama Katolik. Show all posts

Sunday, February 23, 2014

Politik dan Moralitas (T. Krispurwana Cahyadi, SJ)

POLITIK TIDAK BISA DILEPASKAN DARI MORALITAS 
Dokumen Kongregasi Ajaran Iman Vatican, 
"Doctrinal Note on some questions regarding the 
participation of Catholics in political life"

"T. Krispurwana Cahyadi, SJ" di Innsbruck

Pengantar 

Pada tanggal 24 November 2002, Kongregasi Ajaran Iman Vatican mengeluarkan sebuah dokumen tentang keterlibatan umat Katolik dalam kehidupan politik, "Doctrinal Note on some questions regarding the participation of Catholics in political life". Dokumen tersebut mencoba untuk memberikan suatu pegangan bagi umat Katolik yang terlibat dalam kehidupan politik, terlebih dalam menghadapi berbagai persoalan pelik atau tema krusial. Tidak bisa disangkal Vatican cukup sering mengalami kekecewaan karena para politisi Katolik sering tidak malahan membela ajaran Gereja saat ikut menentukan kebijakan publik. Yang sering dikeluhkan adalah soal aborsi, euthanasia, perkawinan homoseksual, dan juga berbagai tema-tema etis lainnya. Tidak sedikit politisi Katolik, terutama anggota parlemen atau pun pejabat pemerintahan, yang mendukung legalisasi kasus-kasus tersebut. 

Mereka mengatakan bahwa harus dibedakan antara kepentingan privat dengan kepentingan publik. Sebagai pribadi Katolik, mereka mengatakan mendengarkan ajaran Gereja. Namun sebagai pejabat publik, mereka terikat pada kepentingan publik, atau suara kehendak massa yang memilihnya, dan karenanya harus lebih 
mendengarkan kepentingan publik tersebut. Kenyataan yang mereka hadapi, kepentingan publik sering berbeda dengan ajaran Gereja. Sebagai pejabat terpilih atau anggota parlemen, maka mereka menempatkan diri mewakili kepentingan mereka yang memilih. Maka kalau suara pemilih menyetujui legalisasi aborsi, mereka pun mengatakan persetujuannya pula. 

Bisa jadi mereka ingat akan ungkapan, "vox populi, vox Dei" (suara rakyat adalah suara Tuhan). Ungkapan ini sebenarnya lebih berupa suatu ajakan agar pemimpin tidak meninggalkan suara dan kepentingan rakyat, karena kepemimpinan politis sering hanya memperhatikan kepentingan sempit golongan, partai atau malahan kelompoknya sendiri saja. Karena kalau mereka mengabaikan suara rakyat, mereka sebenarnya mengabaikan suara Tuhan. Memang tidak disangkal bahwa seringkali kebijaksanaan politis tidak saja mengabaikan kepentingan rakyat, atau kesejahteraan umum, tetapi juga malahan menindas rakyat dan menumbuhkan ketidakadilan. Maka kebijakan yang seperti itu bertentangan dengan kehendak Tuhan, bertentangan dengan kebenaran. 

Namun tentu tidak bisa lalu dikatakan bahwa "vox populi" identik dengan "vox Dei", atau menyamakan begitu saja "vox populi" dengan "vox Dei". Konteks ungkapan "vox populi, vox Dei" lebih pada konteks kesewenangan kekuasaan. Otoritas dan kebijakan politis yang sewenang-wenang tidak sesuai dengan prinsip kebenaran. Namun prinsip kebenaran tidak bisa disamakan begitu saja dengan suara rakyat. Oleh karena itu, alasan demi kepentingan suara pemilih (vox populi), lalu mengabaikan kebenaran, sama saja mengabaikan "vox Dei". 

Vatican sendiri jelas berharap agar para politisi Katolik sungguh tidak mengabaikan kebenaran. Dalam kesempatan Yubileum 2000 bersama para anggota parlemen, pejabat pemerintahan serta politisi Katolik, Paus Yohanes Paulus II menekankan dua aspek panggilan politisi Katolik: mendengarkan kebenaran hukum ilahi dan melayani sesama. Paus mendasarkannya pada Injil Markus ketika berbicara tentang dua hukum dasar: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Mrk 12, 30). Oleh karena itu Paus mencoba meletakkan dua kata "vox 
Dei" dan "vox populi" dalam konteks makna panggilan hidup politisi Katolik. 

Tulisan ini hanya mencoba untuk membahas catatan doktriner dari Kongregasi Ajaran Iman tentang keterlibatan umat Katolik dalam kehidupan politik. Maka bagian pertama, lebih berupa sajian atau paparan isi dari catatan dokumen tersebut. Dan bagian kedua akan lebih berupa beberapa tanggapan kecil dan ringkas atasnya. 




Dokumen 
Di bagian awal dokumen menunjukkan bahwa keterlibatan umat Katolik dalam kehidupan politik sudah berjalan sepanjang kehadiran Gereja. Sejak awal Gereja senantiasa menyatakan agar umat Katolik dapat selalu memainkan perannya sebagai warga negara. Terlebih dalam tata kehidupan demokratis sekarang ini, maka keterlibatan setiap orang dalam kehidupan politik semakin 
menjadi kebutuhan. Maka diingatkan bahwa kehidupan demokrasi tidak akan menghasilkan buah bila tiada keterlibatan serta rasa tanggungjawab aktif dansepenuh hati dari setiap orang di setiap tingkat, bentuk, bidang dan tanggungjawab kehidupan bersama (1).

Tentu keterlibatan tersebut terutama ditujukan kepada kaum awam. Prinsip dasar yang kemudian dikemukakan adalah prinsip kerjasama dengan semua pihak, juga dengan yang beragama lain. Sedangkan prinsip arah perjuangannya adalah prinsip kesejahteraan atau kepentingan umum (common good). Dokumen memang tidak bermaksud untuk memberikan suatu arah untuk memperjuangkan kepentingan Katolik. Gereja sebagai bagian dari masyarakat, sesuai dengan ajaran Konsili Vatican II Gaudium et Spes, mengabdi pada kepentingan bersama. Yang dimaksudkan dengan kepentingan bersama adalah pembelaan dan penegakkan tata politik yang baik, perdamaian, kebebasan dan kesederajatan (equality), penghargaan akan kehidupan manusia dan lingkungan hidup, keadilan dan solidaritas (1). 

Berangkat dari prinsip dasar yang dikemukakan tersebut, Vatican, dalam hal ini Kongregasi Ajaran Iman, melihat semakin maraknya keraguan, atau ambiguitas, atau perdebatan tentang berbagai soal dalam kehidupan bersama dewasa ini, terlebih dalam konteks perdebatan politik. Oleh karena itu Kongregasi Ajaran Iman lewat dokumen tersebut hendak memberikan klarifikasi akan beberapa persoalan. Tentu Klarifikasi dimaksudkan untuk menegaskan kembali ajaran Gereja, agar umat Katolik yang terlibat dalam politik tidak mengabaikan prinsip dasar ajaran Gereja, yang juga berarti mengabaikan prinsip dasar kepentingan umum, kepentingan kebenaran (1). 

Dengan dokumen ini memang Gereja tidak bermaksud memberikan suatu solusi,sebab Gereja mengakui bahwa Tuhan memberikan kebebasan dan tanggungjawab pada masing-masing pribadi untuk membuat keputusan yang dirasa baik baginya. 
Namun Gereja, demikian tulis dokumen ini, memiliki hak dan kewajiban untuk memberikan penilaian moral atas berbagai persoalan sosial (3). Hak dan kewajiban tersebut tentu, sesuai tradisi Gereja, ditempatkan dalam kerangka iman dan moral. 

Dokumen menyebutkan bahwa situasi dewasa ini antara lain ditandai dengan tumbuhnya kultur relativisme. Budaya relativisme tersebut tampak dalam etika pluralisme yang membenarkan dekadensi dan disintegrasi nalar dan prinsip yang berakar pada hukum moral. Memang tidak ada salahnya mendengarkan opini publik, yang menyuarakan paham etika pluralisme tersebut, karena itu merupakan bagian dari demokrasi. Setiap warga memang memiliki otonomi untuk menentukan pilihan moralnya. Namun dokumen menegaskan bahwa mereka yang terlibat dalam kehidupan politik memiliki kewajiban untuk menunjukkan bahaya akan kultur relativisme ini. Lebih lanjut disebutkan bahwa toleransi akan berbagai paham yang ada tidak pernah berarti menganut sikap ketidakjujuran atau malahan juga hipokrit akan panggilan dasar untuk memperjuangkan hak asasi dan kepentingan umum (2). 

Kebebasan politik, dikatakan, tidak dapat berdasar pada gagasan relativistis, sehingga tidak mengakui adanya kebenaran moral yang bersifat mutlak dan mendasar. Maka umat Katolik diharapkan berani menolak pandangan yang mencerminkan paham relativisme. Politik terkait dengan upaya pewujudan nilai kemanusiaan dan kesejahteraan sosial di tengah konteks historis, geografis, ekonomis, teknologis dan kultural tertentu (3). Di satu sisi dokumen mencoba menunjukkan bahwa kebijakan politis selalu bersifat konkret, maka sifat relativisme malahan bisa mengaburkan aktualitas kebutuhan setempat. Aktualitas memang memiliki bersifat segera untuk diputuskan dan mendesak untuk bertindak. 
Di sisi lain, kebijakan politis tidak bisa berdasar pada nilai moral yang relatif, yang mengabaikan tuntutan tak terelakkan akan kebenaran, nilai kemanusiaan dan keadilan, serta kebutuhan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Budaya relatif yang dikatakan dokumen menganggap semuanya punya nilai kebenaran yang sama, cenderung tidak memberi ruang penghargaan akan nilai kebenaran hakiki yang bersifat superlatif. 

Politik semestinya sejalan pada prinsip absolut tersebut, sebab perjuangan politik mengabdi pada penghargaan akan pribadi manusia dan perkembangan kehidupan sejati (5). Dokumen menyebutkan di tahun-tahun terakhir ini beberapa kelompok Katolik malahan mendukung kebijakan atau sikap yang bertentangan dengan ajaran moral Gereja; atau juga politisi Katolik di beberapa negara bersikap berseberangan dengan ajaran Gereja(7). Otonomi berpendapat tidak berarti bisa mengabaikan prinsip moral dasar yang ditanamkan Tuhan dalam hati setiap orang. Oleh karena itu, politisi tetap harus mendengarkan dan peka akan suara hati. 

Memang demokrasi, disebut oleh dokumen, sebagai bentuk terbaik yang menjamin keterlibatan serta pilihan politis warga negara. Namun, demokrasi harus didasarkan pada prinsip etika sosial yang benar dan kokoh. Maka struktur demokratis rapuh jika tidak meletakkan martabat pribadi manusia sebagai dasarnya (3). Oleh karena itu setiap pilihan politis, entah apapun partai atau strategi politik yang dipilih, diharapkan tidak menyimpang dari prinsip dasar ini. Prinsip dasar demokrasi oleh Gereja dipandang tidak bertentangan dengan prinsip moral dasar. Demokrasi justru menjadi pilihan politik yang mampu menjamin penghargaan akan nilai-nilai dasar hidup manusia. 

Kemudian dokumen menyajikan persoalan, bahwa banyak kebijakan politik,terlebih produk legislatif, yang justru mencederai kemurnian hidup manusia. Kebijakan tersebut tidak mempedulikan dampak yang dihasilkannya bagi kehidupan serta masa depan umat manusia, dan tidak ikut membentuk budaya dan perilaku sosial yang sehat (4). Situasi tersebut, menurut dokumen, merupakan situasi yang tidak mudah. Oleh karenanya, dengan catatan doktriner ini, dokumen bermaksud untuk mengajak semua umat Katolik pertama-tama memperdalam pemahamannya akan hakekat martabat pribadi manusia, dan kemudian berupaya untuk memperjuangkannya, juga dalam tata kehidupan politis. Ditegaskannya,mengutip Ensiklik Paus "Evangelium Vitae", adalah sesuatu yang tidak bisa dibenarkan jika umat Katolik memilih atau memperjuangkan nilai-nilai yang bertentangan dengan martabat pribadi manusia (4). 

Konsekuensi tentu tidak memilih program politik atau usulan hukum yang bertentangan dengan dasar iman dan moral. Dikatakannya, keterlibatan politis yang menjauh dari bagian-bagian tertentu ajaran, juga ajaran sosial Gereja,bukanlah suatu keterlibatan yang mengarah pada kepentingan umum atau 
kesejahteraan sosial (4). Ajaran Gereja tentu dipahami sebagai ajaran yang utuh, maka tidak bisa dipisah-pisahkan satu sama lain: membenarkan yang satu, namun menolak yang lain. 

Kemudian dokumen menyebutkan beberapa persoalan yang muncul untuk mendapatkan perhatian dari para politisi Katolik. Dengan menyebutkannya,dokumen mengingatkan lagi bahwa berkaitan dengan prinsip moral tidak ada pengecualian, ataupun kompromi (4). Yang disebutkan dalam dokumen adalah soal aborsi, euthanasia, perkawinan yang monogami dan antar pria-wanita (menolak ikatan perkawinan homoseksual). Namun juga disebutkan soal kebebasan orangtua akan pendidikan anak, yang di dalamnya terkait dengan kewajiban politisi memikirkan soal perlindungan anak dari perbudakan.Dimaksudkannya adalah ancaman dari bahaya narkotika dan prostitusi. 

Persoalan moral sosial yang dimintakan perhatian pada para politisi Katolik adalah soal kebebasan beragama dan perkembangan ekonomi. Tentang persoalan ekonomi, dokumen mengingatkan bahwa kebijakan ekonomi dimaksudkan untuk pertumbuhan kehidupan umat manusia dan kesejahteraan sosial, oleh karenanya harus sesuai dengan prinsip keadilan sosial, solidaritas umat manusia dan juga prinsip subsidiaritas (4). Semua orang memiliki hak yang sama untuk berusaha, demikian dikatakan Konsili Vatican II dalam dokumen Gaudium et Spes, oleh karena itu kehidupan ekonomi yang membatasi atau malahan juga tidak memberi peluang sama bagi setiap orang atau kelompok untuk berusaha bagi Gereja merupakan praktek yang bertentangan dengan prinsip moral dasar.Malahan tradisi moral Gereja yang senantiasa memberikan perhatian serta pembelaan akan mereka yang lemah, kiranya memiliki konsekuensi agar kebijakan politis memberikan peluang lebih bagi usaha-usaha kecil agar mereka dapat juga berkembang, dan tidak dilindas oleh kekuatan ekonomi yang lebih kuat. 

Namun persoalan peka lain yang dimintakan perhatian adalah soal perdamaian.Dokumen mengingatkan agar para politisi memiliki komitmen kuat akan perjuangan kedamaian, yang di dalamnya memuat sikap tegas menolak kekerasan dan terorisme. Dalam hal ini mungkin baik juga mengingat apa yang dikatakandalam Katekismus Gereja Katolik no 2304, yang juga diacu oleh dokumen, "Perdamaian tidak hanya berarti tiadanya perang, dan juga tidak hanya sebatas mempertahankan adanya keseimbangan kekuatan antar mereka yang bertentangan". Perdamaian adalah karya keadilan dan buah dari kasih (4). Tentu diingatkan salah satu kata-kata terkenal dari Paus Paulus VI, yang menyebutkan tak ada perdamaian, jika tiada keadilan. 

Itulah beberapa persoalan yang dimintakan perhatikan oleh dokumen pada para politisi Katolik. Tidak hanya dimintakan supaya mendapatkan prioritas perhatian, namun juga agar semua itu diperjuangkan agar dijamin dalam legislasi negara. Dalam kaitan itu dikatakan juga bahwa semuanya itu sebenarnya bukan sesuatu yang khas Katolik, sebab semua agama mengungkapkan ajaran yang sama: penghargaan akan martabat pribadi manusia (8). Oleh karena itu, catatan doktriner ini, yang menegaskan perjuangan politisi Katolik bagi kesejahteraan umum masyarakat, menyatakan bahwa ini bukanlah suatu "konfesionalisme", perjuangan demi kepentingan agama, namun tidak juga mengarah pada suatu intoleransi agama (6). Memang konfesionalisme, atau keterlibatan politik demi kepentingan agama tertentu, bisa mengarah pada sikap intoleran akan penganut atau ajaran agama lain. Akibatnya, bukan kepentingan umum yang diperjuangkan. 

Dalam kaitan ini, dokumen mengingatkan bahwa Paus Yohanes Paulus II telah berulangkali mengingatkan bahaya jika bidang kepentingan agama dan politik disalahmengerti. Paus menyebutkan bahwa jika norma agama tertentu menjadi norma negara maka bisa muncul soal sensitif jika tidak ada pemilahan jelas antara domain kehidupan agama dan politik, akibatnya bisa membatasi kebebasan beragama, bahkan juga bisa membatasi atau mengingkari nilai-nilai hak-hak asasi manusia yang mendasar(6). Oleh karena itu perlu pula mewaspadai gagasan politis yang bersifat utopis, yang mencoba menawarkan gagasan harapan semu yang semata-mata duniawi, betapapun gagasan utopis tersebut menggunakan ajaran agama (7). Oleh karena itu tentu, menggunakan ajaran agama dalam kehidupan politik, tidak berarti begitu saja bisa diartikan mau membangun tata masyarakat yang sejati. 

Dokumen juga mengingatkan bahwa kegiatan keagamaan berada di luar kewenangan negara, maka pemerintah tidak berhak intervensi ke dalamnya (6). Demikian juga agama pun tidak diharapkan untuk intervensi dalam dunia kehidupan politik, kecuali bila ada aktivitas agama tersebut menimbulkan persoalan publik. Oleh karena itu, dokumen menyebutkan bahwa catatan doktriner ini pun tidak dimaksudkan untuk mencampuri urusan politik kekuasaan atau juga untuk membatasi kebebasan berpendapat umat Katolik. Dokumen menegaskan bahwa tetap masing-masing pribadi memiliki kebebasan berpendapat dan juga otonomi pandangan moral, yang berdasar pada hukum moral dasar. Namun disebutkan catatan doktriner ini dikeluarkan hanya bermaksud untuk memberi penegasan dan penjelasan akan suara hati umat beriman, terlebih mereka yang terlibat dalam kehidupan politik, sehingga keterlibatan mereka sungguh mengabdi pada perjuangan hak asasi manusia dan kepentingan umum. Dengannya, keterlibatan umat Katolik dalam kehidupan politik malahan akan semakin nyata dan tepat (6). 

Keterlibatan umat Katolik dalam kehidupan politik merupakan suatu panggilan.Panggilannya adalah untuk membangun suatu kultur kehidupan yang diinspirasikan oleh Injil, yang didasarkan pada nilai dan inti ajaran Katolik (7). Keterlibatan tersebut merupakan tanda tanggungjawabnya sebagai umat beriman untuk ikut membangun tata dunia yang berkeadilan dan menjunjung 
kebenaran. Partisipasi umat Katolik dalam kehidupan politik, yang memperjuangkan nilai-nilai moral dasar yang terdapat dalam ajaran Gereja,disebutkan tidak lain merupakan upaya untuk mewujudkan kepaduan antara iman dan kehidupan, Injil dan budaya (9). 

Namun tidak disangkal oleh dokumen, jika politisi Katolik memperjuangkan nilai-nilai tersebut, bisa terjadi akan dicurigai atau dipersalahkan, di tengah paham sekularisasi intoleran yang berkembang (6). Memang dalam masyarakat demokratis, segala hal akan diperdebatkan, demikian juga nilai-nilai moral dasar yang diperjuangkan. Dalam kaitan ini Paus, saat pertemuan dengan korps diplomatik di tahun 2002 pernah menyinggung soal sikap moral anarkis, yang kuat menekan dan menindas yang lemah. Yang terjadi kemudian adalah praktek marginalisasi. 

Catatan dan tanggapan 

Betapapun dikeluarkan oleh Kongregasi Ajaran Iman, namun disebutkan bahwa dokumen ini sudah disetujui oleh Paus dan diminta oleh Paus untuk diumumkan.Memang dalam tata hirarki ajaran Gereja, status dokumen ini bukan sebagai suatu ajaran dogmatis, seperti konstitusi dogmatis dalam Konsili, ataupun suatu ensiklik Paus. Namun tidak berarti bahwa catatan doktriner ini bisa diabaikan sebagai salah satu dokumen ajaran Gereja, terlebih bila mengingat aktualitas isi yang dikemukakannya. Tentu pertimbangan ini ikut menjadi alasan mengapa Kongregasi Ajaran Iman mengeluarkan dokumen semacam ini, karena dipandang situasi dewasa ini memang membutuhkan semacam penegasan seperti ini. 

Keprihatinan dasar yang dikemukakan adalah semakin besarnya peluang sikap mengkompromikan nilai-nilai dasar moral, akibatnya keputusan politis yang dihasilkan justru melukai prinsip moral dan prinsip kemanusiaan. Situasi kultural dewasa ini oleh dokumen disebutkan membuahkan kultur baru. Kultur tersebut adalah kultur relativisme. Kultur ini mengabaikan prinsip dasar,atau nilai fundamental, karena menganggap segalanya menjadi relatif. Paham pluralistik ditempatkan begitu saja sebagai merelatifkan segalanya. Di sisi lain praktek demokrasi sering menempatkan para politisi dalam sikap kompromi, membenarkan begitu saja keinginan masyarakat pemilih, tanpa memperdulikan nilai fundamental kehidupan. Padahal sebagai politisi mereka pun memiliki kewajiban untuk mempertahankan nilai-nilai tersebut. 

Konteks keprihatinan tersebut memang lebih menonjol sebagai kasus dalam dunia barat, kawasan yang menyebut diri sebagai kawasan demokrasi. Memang persoalan-persoalan politis yang terjadi di negara-negara dunia ketiga, bahkan juga soal relasi antar negara, yang nyatanya membuahkan ketergantungan pada negara-negara superkaya, tidak begitu disinggung. Kita akan mencoba melihat itu dalam catatan berikut. 

Memang terasa kuat bahwa dokumen ini dikeluarkan terutama menanggapi perkembangan yang terjadi di dunia barat: persoalan aborsi, homoseksual,tetapi juga perdebatan soal ancaman bagi perdamaian di beberapa kawasan negara. Namun dokumen tidak menyinggung kasus akut yang melanda negara-negara yang terjebak dalam persoalan korupsi, penyelewengan dan kesewenangan kekuasaan, kekerasan militeristik, ataupun ketidakdilan dan penindasan. Bahkan ketika berbicara soal perlindungan anak, tidak disebutkan pula soal perdagangan anak dan kasus pekerja anak-anak, yang banyak terjadi di negara-negara dunia ketiga. Dan walaupun lebih tertuju pada kawasan dunia barat, dokumen tidak menyebut pula soal perlombaan senjata, atau kolonialisme baru dalam dunia ekonomi, atau neo-liberalisme yang banyakdikecam pula oleh kalangan Gereja. Memang dokumen mengharapkan para politisi Katolik tidak mengabaikan ajaran Sosial Gereja, namun topik-topik penting dan menonjol dalam berbagai ajaran sosial Gereja, soal keadilan, 
buruh, tata ekonomi dan kemiskinan tidak dikupas mendalam. 

Tidak mengherankanlah kalau Kardinal Joachim Meisner, Uskup Agung Köln (Cologne) Jerman, ketika memberi tanggapan saat peluncuran dokumen ini menyebutkan bahwa dokumen ini lebih berbicara di tengah konteks masyarakat demokratis, dan karenanya tidak membicarakan persoalan dalam negara diktatoris atau anarkisme anti-kristianitas. Oleh karena itu tidak dibicarakan pula persoalan politis yang terjadi di negara-negara yang dalam 
proses demokratisasi. Pernyataan Kardinal Meisner tersebut bisa dimengerti,karena memang persoalan yang diajukan dalam dokumen lebih soal sikap ambigu dan ragu, hipokrit dan tak berprinsip moral mendalam kalangan politisi, yang berakibat pada keputusan politis yang tidak membela keluhuran martabat pribadi manusia dan kepentingan umum. 

Oleh karena itu, dokumen menegaskan bahwa kebebasan berpendapat dan memilih tidak bisa mengabaikan prinsip dasar, ketaatan akan hukum moral. Seakan hendak dikatakan bahwa bahaya bagi demokrasi adalah lemahnya penghargaan akan nilai-nilai moral dasar. Oleh karena itu kecaman diarahkan pada kultur 
relativisme, yang demi paham pluralis dan toleransi, malahan meninggalkan nilai dasar kehidupan yang mutlak. Selain kultur relativis yang dikecam adalah paham sekularisme yang intoleran. Keduanya merupakan ancaman bagi kehidupan demokrasi sejati. Dengan demikian, mengutip kembali Kardinal Meisner, demokrasi secara ideologis netral, namun dari sisi perjuangan akan nilai dasar kehidupan dan kesejahteraan umum tidak netral. 

Demokrasi seakan dibela oleh dokumen ini, sebagai bentuk terbaik yang menjamin partisipasi aktif semua warga negara. Anjuran moral bagi para politisi Katolik dalam memperjuangkan nilai dasar kehidupan pun diletakkan dalam kerangka proses demokrasi, yang berarti siap untuk diperdebatkan dan siap pula untuk mendengarkan argumen lain. Maka bentuk demokrasi tidak dipertanyakan, malahan didukung. Kiranya Kongregasi Ajaran Iman juga memahami bahwa proses demokrasi seperti itu bisa berarti bahwa perjuangan penegakan moral tidak mendapatkan dukungan suara. Namun soal yang dikemukakan dalam dokumen ini bukan soal keputusan dari proses demokratis yang akan dihasilkan, misalnya lewat pemungutan suara, tetapi lebih pada sikap dan pilihan moral umat Katolik yang terlibat dalam kehidupan politik. 

Betapapun tidak menyebut tentang bentuk teokrasi, namun secara sekilas dokumen menunjukkan ungkapan tegas bahwa kawasan (domain) politik berbeda dengan agama. Oleh karenanya keduanya tidak bisa dicampuradukkan. Malahandokumen mengutip ungkapan Paus Yohanes Paulus II tentang bahaya yang bisa terjadi jika kepentingan agama dan politik tidak tegas dipisahkan, atau memanfaatkan ajaran agama untuk membangun gagasan politik utopis. Akan tetapi melepaskan politik dari tanggungjawab moral juga bukan jawaban. Dalam tataran inilah Gereja lalu berbicara. 

Dalam kaitan ini dua hal lalu dikemukakan. Pertama, tentang kekhawatiran bahwa anjuran moral tersebut dipandang para politisi Katolik sebagai wujud 'konfesionalisme'. Dokumen Gereja adalah dokumen moral, bukan dokumen politik. Walau dokumen tersebut mungkin memiliki implikasi politis, tetap tidak bisa dikategorikan sebagai ajaran politik. Memang kewenangan Gereja adalah kewenangan bicara dalam tataran iman dan moral. Oleh karena itu dokumen menyebutkan bahwa bukanlah tugas dan kewenangan Gereja untuk memberikan atau mengajukan suatu solusi politis. Karenanya kecemasan akan anggapan 'konfesionalisme', seakan dokumen ini hendak mendorong para politisi Katolik memperjuangkan kepentingan Katolik ditepis. Kepentingan yang dianjurkan untuk dibela adalah kepentingan nilai-nilai kemanusiaan, dan nilai-nilai tersebut sesuai dengan ajaran Katolik. 

Selanjutnya dikatakan, catatan doktriner ini malahan bermaksud untuk memberi bobot kualitas makna akan keterlibatan umat Katolik dalam kehidupan politik.Dengannya kontribusi mereka malahan akan semakin nyata dan berarti. Memang setiap umat Katolik memiliki panggilan untuk membangun hidup sesuai dengan pesan imannya. Namun panggilan tersebut tidak berarti membangun suatu 'masyarakat Gereja', karena panggilan tersebut ditempatkan dalam konteks membangun tata dunia yang berkeadilan dan berkebenaran. Gereja menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat dunia, dan tidak berhak menentukan langsung proses kehidupan politik. Gereja berada dalam tataran iman dan moral, maka bicara pula secara moral tentang kehidupan politik. 

Kedua, disebutkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan tersebut tidak saja sesuai dengan ajaran Katolik, namun sesuai pula dengan ajaran agama-agama lain. Oleh karena itu anjuran moral dalam dokumen ini tidak punya implikasi pada sikap intoleransi, juga intoleransi agama. Kiranya dua sikap dasar yang melatarbelakangi. Pertama, Gereja tidak pernah memiliki program politik Katolik, atau memperjuangkan kepentingan Katolik, karena memang tidak ada politik Katolik. Yang ada hanyalah keterlibatan umat Katolik dalam politik yang didasarkan pada moralitas Katolik. Kedua, bentuk keterlibatan politik ada dalam tataran demokrasi. Demokrasi senantiasa mengandaikan adanya partisipasi aktif semua warga negara, tanpa pengecualian. Demokrasi memberi 
peluang kebebasan untuk berpendapat dan memilih. Malahan demokrasi memiliki panggilan untuk memberikan perlindungan serta peluang pada kelompok minoritas. Karenanya, sistem demokrasi yang sesungguhnya tidak akan pernah menjadi sistem yang menganut paham intoleransi, atau juga paham tirani mayoritas. 

Sikap dasar yang diharapkan dimiliki oleh para politisi Katolik, selain sikap menghargai proses serta mekanisme demokrasi; dan di sisi lain, tidak meninggalkan kewajiban moralnya untuk mempertahankan nilai moral fundamental, yang sejalan dengan ajaran Gereja, dalam setiap bentuk, wujud, aktivitas serta proses keterlibatan politisnya. Diingatkan bahwa mereka tidak bisa memisahkan diri dari panggilan sebagai umat beriman. Menjadi politisi adalah panggilan, dan panggilan itu dari Tuhan sendiri. Konsekuensinya, politisi Katolik berkewajiban mencegah setiap kemungkinan yang memungkinkan munculnya kebijakan yang berorientasi untuk membangun masyarakat tanpa Tuhan. Manusia tidak bisa dipisahkan dari Tuhan, dan karenanya politik pun tidak bisa dipisahkan dari moralitas. 

Dokumen ini memang adalah dokumen moral. Sifatnya pun lebih berupa himbauan moral. Namun betapapun konteks serta titik tolak pembicaraan lebih terasa muncul dari persoalan di negara barat, tidak berarti tidak memiliki aktualitas untuk negara-negara di kawasan lain. Prinsip dasarnya tetap sama dan berlaku di mana-mana, bahwa politik tanpa moral hanya mendatangkan kehancuran, demokrasi yang tidak menjunjung tinggi nilai fundamental hidup manusia dan memperjuangkan kepentingan umum adalah demokrasi yang rapuh.


Sunday, February 02, 2014

Mewujudkan Papua Tanah Damai

Oleh Benny Susetyo PR, Budayawan dan tokoh agama Katolik
(Tulisan ini dipresentasikan dalam pertemuan Tokoh Lintas Komisi/Tokoh Umat Provinsi Gerejawi Se-Papua di Jayapura, 2-5 Desember 2013)

Kekerasan di tanah Papua merupakan suatu kenyataan yang terusmenerus berlangsung dari waktu ke waktu. Beragam kasus kekerasan melahirkan tragedi kemanusiaan bagi rakyat Papua.Ini sekaligus mencerminkan bahwa harkat dan martabat manusia kurang dijunjung dan dihormati. Kekerasan sering merusak kerukunan hidup dan bahkan bisa mengancam keutuhan NKRI. Komitmen untuk menyelesaikan masalah-masalah di Papua melalui dialog terbuka antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua perlu diintensifkan. Semua dilakukan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara demokratis, modern, dan beradab, serta menjadikan Papua sebagai Tanah Damai.

Selain itu juga perlu dikembangkan sikap saling percaya antara Pemerintah Indonesia dan orang asli Papua. Sedini mungkin perlu dilakukan identifikasi terhadap masalah-masalah yang menghambat terwujudnya Papua Tanah Damai.Karena itu,perlu suatu gerakan bersama dalam menyelesaikan konflik horizontal dan vertikal di tanah Papua demi mewujudkan Papua Tanah Damai.

Keadilan untuk Papua
Kekerasan yang terjadi di bumi Papua belakangan ini menunjukkan tiadanya perubahan dalam cara memperlakukan rakyat negeri ini.Amat mengherankan karena kekerasan selalu menjadi pilihan utama (sejak Orba hingga kini) khususnya untuk menghadapi saudara- saudara kita di Bumi Cendrawasih. Tragedi demi tragedi terjadi tanpa ada kesudahan dan penyelesaian yang jelas. Aksi kekerasan yang dilakukan aparat makin memperpanjang deretan luka yang dialami rakyat Papua.

Watak represi negara dipraktikkan dengan mengabaikan segala pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi. Negara begitu semenamena dan mengabaikan seluruh pendekatan kecuali kekerasan. Bahkan nyaris tak terhitung berapa banyak pelanggaran HAM yang sudah terjadi di sana. Kondisi seperti demikian mengingatkan pada rentetan peristiwa kekerasan lain sebelumnya di tanah Papua. Semua terjadi di tengah deru eksploitasi besar-besaran sumber alam dari tanah tumpah darah mereka.
Di tengah isu kemiskinan dan ketidakadilan, mereka tersandera oleh isu nasionalisme. Bagaimana sesungguhnya konsep visi kebangsaan Indonesia? Max Lane dalam Bangsa yang Belum Selesai menyatakan perlunya menimba kembali kekuatan dan pertarungan ide dan pikiran dalam menyelesaikan pembangunan Indonesia sebagai sebuah bangsa.Kedaulatan politik memang sudah ada di tangan bangsa ini sejak merdeka setengah abad lebih lalu, tapi nation building memerlukan dinamika baru secara dinamis. Mempertimbangkan segi dinamika politik, kerumitan, pluralitas sekaligus kekhususan Indonesia sebagai bangsa ”yang belum selesai” justru lahir pertanyaan, haruskah kita memang mengarah pada suatu garis akhir kebangsaan sekaligus mengabaikan diri pada semua gejolak yang timbul di dalamnya serta melihatnya sebagai semata-mata ancaman?
Dinamika politik kebangsaan tak lepas dari berbagai gejolak, namun bila gejolak itu dilihat semata-mata ancaman, bukan tak mungkin cara pandang kebangsaan ini tak ada bedanya dengan apa yang dilakukan Orba. Jauh lebih penting membicarakan Indonesia sebagai bangsa adalah bagaimana seharusnya cara pandang kita melihatnya. Kita berpengalaman saat melihat Indonesia dengan mata buta nasionalisme memperlakukan paham kebangsaan ini layaknya agamYang terjadi adalah kekerasan dan penistaan nilai-nilai kemanusiaan. Papua adalah wilayah yang teramat sering menjadi korban keberingasan tangan-tangan berdarah atas nama nasionalisme ini. Nasionalisme yang dipahami sebagaimana agama hanya akan menghasilkan sikap kebangsaan yang picik, yang selalu melihat perbedaan sebagai musuh.

Bila memang NKRI adalah konsep utama kebangsaan ini, bagaimana menegakkannya dengan landasan keadilan. Upaya nation building selama ini justru menghadapi masalah pelik atas sikap-sikap elite yang sering tak menghargai jasa para pahlawan merebut Indonesia dari penjajah. Tidak jarang mereka membunuhi rakyatnya sendiri karena dianggap melawan dan bertentangan dengan pandangan elite.
Berikan Keadilan

Kita harus membaca persoalan Papua ini dengan searifarifnya. Kiranya kita perlu becermin dalam diri sendiri, mengapa warga Papua dari dulu hingga kini––yang tercipta dari waktu yang sama dan juga ikut berjuang untuk menegakkan Bumi Pertiwi—belum sejahtera, padahal kekayaan alamnya sangat melimpah. Kita memang harus bertanya sejauh mana Indonesia memberikan kontribusi bagi Papua? Kekayaan alam yang begitu melimpah justru tidak membuat rakyatnya mendapatkan kesejahteraan. Realitas seperti ini akan mengajak kita bersama berpikir ulang,di manakah tanggung jawab Republik ini agar kita bersama- sama merasakan penderitaan kemiskinan rakyat Papua. Harus diakui itu bagian dari kesalahan kita sebagai bangsa yang selama ini tidak pernah memiliki perhatian serius terhadap mereka. Kebijakan elite politik Jakarta yang hanya berorientasi sekadar menguras kekayaan mereka adalah kesalahan terbesar kita dalam mengelola suatu bangsa.
Keadilan belum pernah menjadi pijakan dalam pengambilan kebijakan pemerintah. Karena itu, saat ini yang lebih urgen adalah bagaimana pemerintah lebih proaktif untuk mendekati warga Papua dengan memberikan bukti yang nyata bahwa rakyat Papua adalah bagian terpenting Republik Indonesia. Rakyat Papua berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam segala hal, terutama dalam mengelola sumber daya alamnya. Otonomi pengelolaan sumber daya alam ini akan bermanfaat besar bagi warga Papua bila ada kemauan politik ke sana.

Pemerintah harus mengoreksi kebijakan-kebijakan yang tidak memberikan kesempatan kepada rakyat Papua untuk memperoleh akses dalam ikut serta mengelola sumber daya alam. Rakyat Papua hanya bisa menjadi ’Indonesia’, bila politik-Jakarta berorientasi untuk memanusiakan warga Papua. Pendekatan kekerasan jelas harus ditanggalkan dan dibuang jauh-jauh. Pendekatan kekerasan harus digantikan dengan budaya dialog lewat usaha mencerdaskan kehidupan masyarakat Papua. Perubahan orientasi inilah yang sebenarnya diharapkan rakyat Papua agar Jakarta memahami bahwa selama ini mereka kurang dimanusiakan. Dibutuhkan sebuah tata ekonomi baru di mana sumber alam harus digunakan untuk kemakmuran bagi penduduk pemiliknya.
Tokoh  agama  dan masyarakat di harapkan mencari solusi  papua  tanah  damai  dengan mengupaya kan  diaolog melalui mekanisme  papua tanah damai Sejak itu, gagasan tentang “Papua Tanah Damai” dikampanyekan, banyak kegiatan yang dilakukan. Para pemimpin agama mendukung gagasan ini. Dukungan tersebut secara khusus mereka organisir melalui satu wadah, Forum Konsultasi Para Pemimpin Agama (FKPPA) di Papua yang dibentuk sejak tahun 2006.
Forum ini aktif dengan berbagai kegiatan yang semuanya terarah kepada Papua Tanah Damai. Antara lain, dalam kerjasama dengan Interfidei, Yogyakarta melalui pendidikan alternative tentang “pluralism-multikulturalisme” serta peace building, khususnya di kalangan Guru-guru Agama, para pemuda dan para pemimpin Agama. Sejak itulah, oleh seorang Imam Katolik,  Pater Neles Tebay, Pr. yang juga sebagai salah satu anggota FKPPA merancang satu konsep yang lengkap dengan uraian langkah-langkah praksisnya, tentang cara menyelesaikan konflik di Papua.
Cara itu, tidak lain adalah DIALOG; yaitu DIALOG JAKARTA-PAPUA[5]. Karena, menurut keyakinan Pater Neles, bahwa hanya dengan membuka dan menjalani DIALOG sajalah, maka perdamaian di Tanah Papua akan terjadi dengan tanpa kekerasan. DIALOG di antara sesama orang Papua yang berbeda suku, agama dan faksi; DIALOG di antara orang Papua dan para pendatang atau yang dikenal dengan kelompok strategis; DIALOG di antara Pemerintah daerah dengan masyarakat Papua; dan DIALOG di antara Jakarta (Pemerintah Pusat) dan Orang Papua, baik yang ada di Tanah Papua maupun yang tersebar di daerah lain di Indonesia dan di Luar Negeri. DIALOG bersama dengan mereka yang selama ini dianggap atau dituduh sebagai separatis. DIALOG yang perlu dilanjutkan dengan KERJA, kerja bersama dalam membangun Papua Tanah Damai.
Yang terpenting dialog mesti dipandang sebagai misi bersama untuk menyelesaikan konflik di tanah Papua menjadi Papua tanah damai . Dimana saja dengan payung organisasi atau institusi apa saja atau mungkin secara individu. Dialog semestinya terus dikampanyekan, dialog dalam arti luas : terus berdialog untuk kepentingan apa saja;  mulailah sesuatu dengan berdialog untuk kepentingan apa saja :  dialog yang sejajar, bermartabat dan mengakomodir kepentingan semua orang.  (Pater Neles Tebay)

Tanggal 5-7 Juli 2001, Jaringan Damai Papua, yang diinisiatifkan oleh Pater Neles bersama dengan 31 orang rekannya yang lain, mengadakan Konferensi Perdamaian Tanah Papua yang digelar di Auditorium Universitas Cendrawasih (UNCEN), Abepura. Konferensi Perdamaian Tanah Papua ini dihadiri oleh kurang lebih 800 orang peserta, mewakili kurang lebih 252 suku bangsa Papua dan faksi-faksi yang ada di Papua. Mereka adalah, warga asli Papua, Tokoh Agama, Tokoh Adat (Dewan Adat Papua) dan Tokoh Masyarakat asli Papua serta pemerintah Pusat dan Daerah dan beberapa pengamat (penulis hadir sebagai pengamat). Dalam Konferensi ini, soal DIALOG dipikirkan dan dibahas secara mendalam dan bersama-sama. Mereka yakin bahwa DIALOG merupakan langkah yang baik, bermartabat dan damai dalam menyelesaikan persoalan di Tanah Papua. “Sebab jika tetap menggunakan kekerasan akan dibalas dengan kekerasan dan akan melahirkan kekerasan baru". (Pdt. Socratez S. Yoman).

Salah satu hasil yang berkualitas dari Konferensi ini adalah, terbangunnya kesadaran bersama di kalangan orang Papua, yang berbeda suku, bahasa, agama, gender, faksi, tentang pentingnya membangun “spirit” bersama dengan visi dan misi bersama, yaitu mewujudkan Papua Tanah Damai. Untuk itu, mereka harus mensukseskan DIALOG, jalan damai yang bermartabat bagi kehidupan Papua, sekarang dan sampai di masa mendatang.

***

Contact Form

Name

Email *

Message *