Search This Blog

Wednesday, February 05, 2014

Mewujudkan Kehidupan Politik yang Bermartabat Berdasarkan Pancasila (J. Kristiadi)

Oleh: J. Kristiadi, Peneliti Senior Centre For Strategic And International Studies (CSIS), Jakarta

(Tulisan ini dipresentasikan pada PERTEMUAN DIALOG KERUKUNAN UMAT BERAGAMA TINGKAT NASIONAL DI KUPANG dengan TEMA: Menggali Nilai – Nilai Pancasila, Menegakkan Keadilan, Memperkooh Kesatuan dan Persatuan Bangsa, 28 september - 1 Oktober 2011)


Pengantar

Reformai telah membawa berkah sekaligus musibah. Masyarakat mendapat berkah kebebasan, tetapi sebagian masyarakat mempergunakan kebebasan tidak mengindahkan kepentingan orang lain. Ranah paling rawan dalam melakukan transformasi politik adalah menata tertib politik yang demokratis. Pengalaman selama lebih dari tiga belas tahun ber-reformasi, menunjukan demokratisasi telah dimanipulasi oleh para elit politik. Perobahan tatanan kekuasaan yang sangat kompleks, rumit dan sarat dengan berbagai kepentingan memerlukan tuntutan dan ruh yang memberikan sinar terang, agar proses transformasi tidak terjebak dalam gelapya nikmat kekuasaan. 

Benang merah dari keseluruhan makalah ini mencoba menjawab permasalahan yang sering dikemukan oleh publik sebagai berikut. Pertama adakah jalan keluar mengatasi persoalan multi dimensi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pasca reformasi politik dewasa ini? Kedua, dari titik mana persoalan yang kompleks dan tali temenali tersebut diurai?

Dalam konteks kekinian jawaban terhadap pertanyaan tersebut menjadi semakin mendesak mengingat kehidupan politik dewasa ini mengalami pendangkalan, manipulatif, transaksional serta semakin jauh dari budaya politik yang bermartabat dalam memaknai demokrasi serta hakekat kekuasaan. Ranah politik hanya menjadi sekedar arena pertarungan kepentingan kekuasaan tanpa ruh dan ideologi serta kepemihakkan kepada yang lemah. Kecenderungan ini kalau dibiarkan tidak mustahil akan menyeret transformasi politik menuju kearah anarki sosial atau kembalinya kekuasaan yang represif. 

Untuk mempermudah mengikuti jalan pikiran yang tertuang dalam uraian ini, paparan disusun dengan sistematika sebagai berikut. Pertama, Pancasila: ideologi yang sedang diuji. Kedua, mengelola kekuasaan yang beradab. Ketiga, pluralisme dan toleransi. Keempat, tranformasi politik tanpa ruh. Kelima, Agenda Mendesak: (1) mewujudkan pemerintahan yang efektif, (2); reformasi partai poltik dan (3) kontrol dana partai politik. Terakhir, penutup. 


PANCASILA: IDEOLOGI YANG SEDANG DIUJI. 

Setiap bangsa, terlebih yang sedang mengalami perobahan tatanan kekuasaan yang mendasar, memerlukan sebuah cita-cita besar baik untuk memertahankan eksistensi dan survivalitasnya maupun untuk mengembangkan diri mencapai cita-cita yang diimpikan bangsa yang bersangkutan. Gagasan luhur tersebut menjadi absolut karena bangsa yang bersangkutan harus menemukan nilai-nilai yang dapat memotivasi, memberi inspirasi serta mempersatukan mereka mewujudkan cita-cita bersama. Upaya tersebut menjadi lebih sulit kalau bangsa tersebut mempunyai tingkat keragaman primordialistik yang tinggi. Heterogonitas yang didasarkan atas sentimen primitif sangat rawan terhadap konflik karena pertarungan menjadi sangat tidak rasional. Glorifikasi dan keungguluan kelompok satu dengan lainnya tidak mempunyai ukuran yang masuk akal, dan oleh sebab itu sulit dikompromikan. Dalam sejarah umat manusia perbedaan primordial yang dijadikan sarana berburu kekuasaan menjadi awal dan penyebab perang saudara yang berdarah-darah dan saling mematikan. 

Nasion Indonesia yang terdiri dari berbagai “bangsa’ sangat beruntung karena mempunyai modal sosial dan modal kesejarahan yang panjang. Berdasarkan modal tersebut, melalui negosiasi yang keras dan melelahkan, namun disertai dengan semangat dan jiwa yang luhur, para pendiri bangsa berhasil merumuskan pemikiran-pemikiran besar yang sarat dengan nilai-nilai mulia bangsa sebagai dasar, ideologi dan falsafah bangsa. Titik kulminasi dari semangat para pendiri negara untuk membangun bangsa dan negara, akhirnya mereka menemukan jawaban terhadap permasalahan ideologsi tersebut: Pancasila. Sebagai ideologi bangsa, Pancasila adalah kekayaan bangsa yang tidak ternilai harganya. Ia merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur yang digali dari akar budaya bangsa. Keutamaan yang mencakup seluruh kebutuhan hak-hak dasar dan azasi manusia secara universal sehingga dapat dijadikan landasan dan fasafah hidup bangsa Indonesia yang heterogen. 

Pancasila secara moral dan imperatif menjadi tuntutan tabiat dan perilaku seluruh warga negara dalam mewujudkan cita-cita bersama. Kesepakatan seluruh bangsa tersebut menjadi sangat monumental karena kelompok-keolompok yang mempunyai perbedaan ideologi yang bersandarkan sentimen primordial sepakat lebih mengutamakan kepentingan umum, dan mengkesampingkan kepentingan sempit mereka. Oleh karena itu bangsa Indonesia sudah seharusnya mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai tersebut sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan cita-cita-cita bersama. 

Dalam tataran ide atau gagasan, Pancasila sebagai ideologi yang mempersatukan seluruh elemen bangsa dalam mewujudkan cita-cita sudah final. Namun sayangnya dalam sejarah perjalanan bangsa, sejak kemerdekaan hingga kini, pelaksanaan Pancasila mengalami berbagai hambatan. Terutama disebabkan oleh dinamika politik yang menyalahgunakan Pancasila untuk menyusun kekuasaan. Ideologi bangsa dan negara yang sarat dengan nilai-nilai luhur sekedar dijadikan sarana memburu kekuasaan dengan mengingkari niai-nilai Pancasila itu sendiri. Sumber dari segala sumber persoalan terjadinya perilaku politik yang berseberangan dengan Pancasila adalah rentannya para pemegang kekuasan terhadap godaan kekuasaan. Melalui sejarah perjalanan bangsa dapat dengan mudah ditelusuri mulai dari rejim Orde Lama, Orde Baru serta Orde Reformasi, pada awalnya rejim-rejim selalu beretorika bertekad melaksanakan Pancasila. Namun dalam perjalannya rejim-rejim tersebut tumbang atau gonta-gonti karena memanipulasi Pancasila untuk kepentingan kekuasaan. 

Pamor Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa yang pernah dikeramatkan dengan sebutan azimat revolusi bangsa, temaram untuk pertama kalinya pada akhir dua dasa warsa setelah proklamasi kemerdekaan. Sinar Pancasila redup sebagai tuntunan hidup berbangsa dan bernegara diawali oleh kehendak seorang presiden yang secara berlebihan gandrung dengan semangat persatuan dan kesatuan. Niat luhur tersebut diwujudkan dalam bentuk membangun kekuasaan yang terpusat; dengan tujuan agar dapat menjadi pemimpin bangsa yang mampu menyelesaikan sebuah revolusi perjuangan melawan penjajah (nekolim, neo-kolonialisme) serta ikut menata dunia agar bebas dari penghisapan bangsa atas bangsa dan penghisapan manusia atas manusia (exploitation de nation par nation, exploitation de l’homme par l’homme). Namun sayangnya ambisi mulia tersebut dilakukan dengan menabrak dan mengingkari seluruh nilai-nilai dasar Pancasila. Selama kurun waktu kepemimpinanya, secara perlahan tetapi pasti, virtue (nilai-nilai luhur) Pancasila meluntur sejalan dengan proses akumulasi kekuasaaan dilakukan dengan sangat agresif, tanpa mengindahkan cita-cita luhur yang dijadikan alasan untuk membangun kekuasaan itu sendiri. Retorika dan jargon politik yang bersumber dari gagasan bahwa revolusi belum selesai, termasuk cara – cara revolusioner untuk membangun tatanan dunia baru, dijadikan legitimasi politik untuk membenarkan perlunya seorang pemimpin revolusi yang ditaati oleh seluruh rakyatnya. Dengan semangat dan alasan melaksanakan amanat revolusi 1945 pulalah nilai-nilai luhur, konstitusi, norma dan aturan harus tunduk kepada dinamika jalannya revolusi. Bahkan kalau diperlukan, demi sebuah perjuangan yang revolusioner kadang-kadang revolusi harus tega memakan anaknya sendiri. 

Dalam gegap gempitanya atmosfir revolosioner, Pancasila sebagai falsafah bangsa serta UUD’45 sebagai konstitusi negara, akhirnya tidak berdaya menahan gelombang semangat revolusioner. Ideologi dan konstitusi negara hanya menjadi alat revolusi. Retorika yang selalu dikumandangkan, revolusi adalah upaya rakyat Indonesia sebagai menjebol dan membangun, ternyata dilakukan secara pincang. Selama selama kurun waktu itu, Pemimpin Besar Revolusi lebih banyak menjebolnya dari pada melaksanakan pembangunan. Oleh sebab itu nilai-nilai luhur dalam Pancasila tinggal menjadi retorika rangkaian kata-kata bagus yang digunakan oleh rejim penguasa untuk membuai dan meninabubukkan rakyat supaya lupa penderitaaan baik karena dilanda kelaparan maupun kemiskinan.

Agar revolusi berhasil mencapai tujuannya, maka seluruh kekuatan harus dipersatukan sehingga Pemimpin Besar Revolusi mempunyai kekuatan yang dahsyat untuk menghancurkan apa yang disebut musuh-musuh revolusi. Demi sebuah kekuasaan yang dashyat pulalah, maka semua cabang kekuasaan, baik itu legisatif, yudikatif dan kekuataan masyarakat harus dihimpun dalam satu tangan Pemimpin Besar Revolusi. Rakyat harus berada dibelakang Sang Pemimpin tanpa reserve untuk menunggu komando yang diberikan kepadanya. Manifestasi kegandrungan mempersatukan kekuatan dan mengakumulasikan kekuasaan diwujudkan pula dalam tataran ideologis dengan memeras Pancasila menjadi Trisila yang unsur-unsurnya adalah kekuatan golongan nasionalis, komunis serta agama yang pada tahap berikutnya ketiga sila itupun kemudian disimplifikasikan menjadi satu sila yang disebut Gotong Royong.

Hiruk pikuk revolusi akhirnya mencapai titik balik yang anti klimaks. Revolusi justru menelan korban pemimpin itu sendiri melalui tragedi yang dikenal dengan nama G 30 S/PKI[1]. Kekuasaan yang hakekatnya cenderung korupsi (merusak tatanan), terbukti telah memudarkan nilai-nilai luhur Pancasila. Ironinya, tokoh sentral yang menjadi korban revolusi adalah penggali dan penggagas Pancasila itu sendiri. Tragedi politik tahun 1965 yang pada dasarnya adalah perang saudara yang disebabkan oleh konflik ideologi. Tragedi bangsa yang menelan ratusan ribu korban, trauma, luka batin serta stigma politik bagi jutaan rakyat yang tidak tahu menahu mengenai apa yang disebut memperjuangkan sebuah revolusi. 

Catatan singkat di atas adalah penggalan sejarah bangsa yang amat pahit dan memedihkan. Pengalaman sejarah yang harus dijadikan pelajaran bahwa kemujaraban serta kekeramatan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa, sangat rentan terhadap penyelewengan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan. Runtuhnya sistem kekuasaan yang disebut sebagai rejim Orde Lama adalah akibat dari peri laku para pemimpin politik yang menyalahgunakan serta menjungkirbalikan nilai-nilai Pancasila demi ambisi politik yang mengatasnamakan Pancasila. 

Sejarah berulang 

Babak baru dalam sejarah perjuangan bangsa muncul sejalan dengan berakhirnya rejim yang dikenal sebagai Orde Lama. Sebuah kekuatan baru muncul, yang dimotori oleh militer dan berbagai tokoh-tokoh dari kalangan mahasiswa, pelajar serta tokoh-tokoh masyarakat lain, bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD ‘45 secara murni dan konsekwen. Semangat tersebut muncul berdasarkan pengalaman sejarah dari rejim sebelumnya yang telah dianggap menyelewengkan Pancasila serta menyalahgunakan UUD’45 untuk kepentingan kekuasaan. Dari embrio inilah dibangun suatu tatanan Pemerintahan yang disebut Ode Baru. Nama itu dipilih untuk menunjukan bahwa orde ini merupakan tatanan hidup berbangsa dan benegara yang bertujuan mengoreksi rejim masa lalu dengan janji melaksanakan Pancasila dan UUD’45 secara murni dan kosekwen. Salah satu agenda besar adalah menghilangkan kotak-kotak ideologi politik dalam masyarakat yang menjadi warisan masa lalu dan membangun sistem kekuasaan yang berorientasi kepada kekaryaan. ’Ideologi’ kekaryaan ini dikumandangkan untuk membedakan secara lebih jelas dengan rejim sebelumnya yang hanya dianggap bermain pada tataran ideologis, tanpa sesuatu karya yang nyata bagi rakyat banyak. Untuk itu diperlukan stabilitas politik sebagai cara melaksanakan karya-karya yang dianggap secara kongkrit dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Urusan bangsa disederhanakan menjadi urusan negara. Organisasai sosial dan politik dinegarakan, gerak-gerik masyarakat sepenuhnya dikontrol oleh negara. Stabilitas politik menjadi panglima dengan alasan diperlukan untuk membangun ekonomi. 

Upaya tersebut diawali oleh rejim Orde Baru dengan menata struktur politik berdasarkan UUD’45, dan mencoba membuat garis pemisah yang jelas antara apa yang disebut supra struktur politik (kehidupan politik pada tataran negara) dan infra struktur politik (kehidupan politik pada tataran masyarakat). Dalam dimensi supra struktur politik, lembaga-lembaga negara secara formal-struktural ditata sehingga hubungan dan kewenangan menjadi lebih jelas dibanding dengan struktur kelembagaan kekuasaan pada masa Ode Lama. 

Selain itu dilakukan restrukturisasi kehidupan kepartaian, dengan terlebih dahulu mendirikan partai politik dengan nama Golongan Karya (Golkar) yang merupakan gabungan dari berbagai macam organisasi masyarakat. Meskipun secara aksplisit Golkar tidak mengakui dirinya sebagai partai politik tetapi pada pemilu pertama pada masa orde baru, sebagai pendatang baru, ia memperoleh kemenangan yang mencengangkan: lebih dari 60% dari popular vote. Perolehan tersebut selain karena dukungan militer dan birokrasi, masyarakat juga sudah jenuh dengan pemainan politik para elit yang mengorbankan kepentingan rakyat, khususnya berkenaan dengan penyediaan kebutuhan hidup sehari-hari. Namun sejalan dengan semakin tingginya tuntutan tingkat kenikmatan oleh para penguasa, tahun-tahun berikutnya, pemilu lebih merupakan seremoni dan pesta politik elit dari pada kompetisi politik yang jujur dan adil. Pemilu yang belangsung secara rutin dan diatur serta diselenggarakan oleh negara hanya memihak kepada kepentingan penguasa. Untuk menjaga stabilititas rejim penguasa, Golkar harus memperoleh kemenangan sekitar 60% setiap pemilihan umum. 

Sejalan dengan semakin dominannya kekuatan negara yang didukung oleh gabungan antara Golkar-militer dan birokrasi, nasib Pacasila dan UUD’45 tidak banyak berbeda bila dibandingkan dengan rejim sebelumnya. Kedua rejim selalu menempatkan Pancasila dan UUD ‘45 sebagai benda keramat dan azimat yang sakti serta tidak boleh diganggu gugat. Penafsiran dan implementasi Pancasila sebagai ideologi terbuka, serta UUD’ 45 sebagai landasan konstusi berada di tangan negara. Penafsiran yang berbeda terhadap kedua hal tersebut selalu diredam secara repesif, kalau perlu dengan mempergunakan kekerasan militer. Dengan demikian sudah sangat jelas bahwa Orde Baru tidak hanya memonopoli kekuasaan, tetapi juga memonopoli kebenaran. Sikap politik masyarakat yang kritis dan berbeda pendapat dengan negara dalam prakteknya diperlakukan sebagai pelaku tindak kriminal atau subversif. Sementara itu penanaman nilai-nilai Pancasila dilakukan secara indoktrinatif dan birokratis. Akibatnya, bukan nilai-nilai Pancasila yang meresap ke dalam kehidupan masyakat, tetapi kemunafikan yang tumbuh subur dalam masyarakat. Sebab setiap pernyataan atau pidato para pemimpin mengenai Pancasila tidak disertai dengan keteladanan serta tindakan yang nyata. Sehingga Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur bangsa dan harus dijadikan landasan filosofi mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, bagi rakyat hanyalah retorika dan demagogi yang tidak mempunyai makna apapun. Mereka yang setiap hari berpidato dengan selalu mengucapkan kata-kata keramat: Pancasila dan UUD’45, tetapi dalam kenyataannya masyarakat tahu bahwa kelakuan mereka jauh dari apa yang mereka katakan. 

Lebih-lebih pendidikan Pancasila dan UUD,45 yang dilakukan melalui metode indoktrinasi dan unilateral dan tidak memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat, semakin mempertumpul pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila. Cara melakukan pendidikan semacam itu, terutama bagi generasi muda berakibat fatal. Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur, setelah dikemas dalam pendidikan yang disebut penataran P4 atau PMP (Pendidikan Moral Pancasila), atau nama sejenisnya, ternyata dapat mematikan hati nurani generasi muda terhadap makna dari nilai luhur Pancasila tersebut. Hal itu terutama disebabkan oleh karena pendidikan yang doktriner tidak disertai dengan keteladanan yang benar. Perilaku itu justru semakin membuat persepsi buruk bagi para pemimpin serta meredupnya pamor Pancasila sebagai landasan hidup bernegara. Karena masyarakat menilai bahwa aturan dan norma hanya untuk orang lain (rakyat) tetapi bukan atau tidak berlaku bagi para pemimpin. Retorika persatuan kesatuan menyebabkan bangsa Indonesia yang sangat plural diseragamkan. Uniformitas menjadi hasil konkrit dari kebijakan politik pembangunan yang unilateral. Seluruh tatanan diatur oleh negara, sementara itu rakyat tinggal menerima apa adanya. Gagasan mengenai pluralisme tidak mendapatkan tempat untuk didiskusikan secara intensif. Pelajaran yang dapat dipetik, persatuan dan kesatuan bangsa yang dibentuk secara unilateral tidak akan bertahan lama. Pendidikan ideologi yang hanya dilakukan secara sepihak dan doktriner serta tanpa keteladanan selain tidak akan memperkuat bangsa bahkan dapat merusak hati nurani dan moral generasi muda. Sebab, pendidikan semacam itu hanya menyuburkan kemunafikan. 

Pengalaman pahit masa Orde Lama yang memberlakukan Pancasila hanya sebagai retorika politik dan instrumen menggalang kekuasaan ternyata berlanjut pada masa Orde Baru. Hanya bedanya, masa Orde Lama Pancasila dimanipulasi menjadi kekuatan politik dalam bentuk bersatunya tiga kekuatan yang besumber dari tiga aliran yaitu nasionalisme, komunisme dan agama; masa Orde Baru Pancasila disalahgunakan sebagai ‘ideologi’ penguasa untuk memasung pluralisme dan mengekang kebebasan bependapat masyarakat dengan dalih menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Pada masa Demokrasi Terpimpin ancaman bangsa dan negara adalah neo-kolonialisme, pada zaman Orde Baru ancaman bangsa dan negara adalah komunisme. Namun pada dasarnya, dalam perspektif politik keduanya sama dan sebangun yaitu bagaimana menjadikan ideologi Pancasila hanya sebagai instrumen penguasa agar kekuasaan dapat dipusatkan kepada seorang pemimpin. Hasilnya, pada masa Orde lama kekuasaan memusat di tangan Pemimpin Besar Revolusi, sementara itu pada zaman Ode Baru otoritas politik sepenuhnya di tangan Bapak Pembangunan. Kekuasaan yang semakin akumulatif dan monopolistik di tangan seorang pemimpin menjadikan mereka juga berkuasa menentukan apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap salah. Ukurannya hanya satu: sesuatu dianggap benar kalau hal itu sesuai dengan keinginan penguasa, sebaliknya sesuatu dianggap salah kalau bertetangan dengan kehendaknya. Karena Orde baru tidak dapat belajar dari pengalaman sejarah rejim sebelumnya, akhirnya kekuasaan yang otoritarian pada akhir 1990-an runtuh oleh kekuatan masyarakat.

Momentum tersebut memberikan peluang bagi bangsa Indonesia untuk membenahi dirinya, terutama bagaimana belajar lagi dari sejarah agar Pancasila dapat menjadi pedoman bangsa dan negara memujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Sementara itu UUD’45 sebagai penjabaran Pancasila dan sekaligus merupakan kontrak sosial di antara sesama warga negara untuk mengatur kehidupan bernegara, perlu dilakukan perobahan agar sesuai dengan tuntutan dan perobahan jaman. 

Namun upaya untuk menyalakan pamor Pancasila tidak mudah dilakukan. Bahkan ada kesan bahwa sejalan dengan runtuhnya rejim Orde Baru yang selalu gembar-gembor mengumandangkan Pancasila, masyarakat terutama elit politiknya sungkan meskipun hanya sekedar menyebut Pancasila. Hal itu juga menunjukkan bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara tidak hanya pamornya telah meredup, melainkan sudah mengalami degradasi krediblitas yang luar biasa. Sehingga memasuki babak baru setelah jatuhnya rejim otoritarian, bangsa Indonesia laiknya sebuah nasion tanpa roh, absen cita-cita serta mengalami disorientasi ideologis. Akibatnya arah perobahan tidak jelas dan mendorong berkembangnya ‘ideologi’ pragmatisme yang kering dengan empati, menipisnya rasa solidaritas, elit politik yang mabok kuasa, lembaga perwakilan rakyat yang menggagahi pemilihnya, dan lain-lain sikap dan perilaku menghalalkan cara untuk mencapai tujuan oportunistik bagi diri sendiri atau kelompoknya.

Belajar dari pengalaman lebih kurang setengah abad sejak proklamasi kemerdekaan, membuktikan bahwa nilai-nilai luhur Pancasila sangat rentan perilaku penguasa yang haus kekuasaan. Oleh karena itu agenda urgensi bangsa Indonesia dewasa ini adalah menata kekuasaan yang dapat mencegah munculnya penguasa despotik, serta mengembangkan nilai-nilai luhur bangsa agar kehidupan politik menjadi bermartabat. 

MENGELOLA KEKUASAAN SECARA BERADAB.

Upaya mewujudkan cita-cita bangsa muncul kembali dengan terjadinya transformasi politik dari otoritarian menuju kehidupan politik yang demokratis akhir tahun 1990-an. Makna yang paling mendasar adalah mengatur sistem manajemen kekuasaan yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila serta politik perundang-undangan yang visioner dalam memproyeksikan transformasi politik ke depan, sehingga akan menghasilkan struktur, sistem dan budaya politik yang semakin bermartabat. 

Namun hal itu tidak mudah dilakukan mengingat fenomena kekuasan sangat rentan untuk disalahgunakan. Oleh karena itu dalam dunia politik sangat dikenal ungkapan klasik tetapi popular sebagai berikut : “power tends to corrupt, absolut power corrupts absolutly”[2] . Rangkaian kata yang mengungkapkan makna sangat mendalam. Kekuasaan mempunyai dua tabiat yang kontradiksi secara diametral satu sama lain: daya pesona yang luar biasa, tetapi sekaligus juga mempunyai kecenderungan merusak. Apalagi kalau kekuasaan itu absolut, pemegang kekuasan pasti akan merusak tatatan kehidupan masyarakat. Daya pikat kekuasaan semacam itu mengakibatkan pertarungan memperebutkan kekuasaan menjadi sangat rawan terhadap tindakan yang menghalakan cara.

Dalam terminologi Rudolf Otto, sebagaimana dikutip oleh Romo Eddy Kristiyanto, OFM, fenomena tersebut disebut “tremendum et fascinosum”, menggentarkan sekaligus menarik hati. Politik praktis tidak mengenal kawan atau lawan, sehingga begitu banyak orang melakukan simplifikasi dengan menganggap bahwa dalam dunia politik praktis satu-satunya yang abadi adalah kepentingan, yang diidentikan dengan kekuasaan. Kompetensi moral di balik perjuangan kekuasaan adalah agar politicus mampu melayani masyarakat warga sehingga kemungkinan untuk mencapai bonum commune itu diperbesar dan diperluas[3]

Dalam perspektif yang berbeda, tetapi masih berkaitan dengan pengelolaan kekuasaan, Albert Hircshman dengan panjang lebar mencoba meyakinkan bahwa nafsu manusia, termasuk nafsu kekuasaan (yang merusak) hanya dapat ditundukkan oleh nafsu lain yang lebih rendah daya rusaknya, yaitu kepentingan (self-interest) terutama interes ekonomi (kemakmuran)[4]. Untuk lebih menegaskan pendapatnya ia juga mengutip James Steuart mengatakan bahwa ekonomi moderen adalah kendali ampuh yang pernah ditemukan untuk melawan kekuasan yang despotik.( A modern economy, therefore, is the most effectual bridle against the folly of despotism [5]” Pendapat yang lebih spektakuler dikemukakan oleh Michael Jones. Menurut dia, bahkan liberalisasi sex (Sexual Liberation ) dapat menjadi alat kontrol politik yang efektif[6]

Keseluruhan penjelasan Albert Hircshman mungkin dapat mudah difahami dalam pengantar bukunya yang memberikan ilustrasi bahwa sekelompok orang yang mempunyai nafsu membunuh dengan alasan yang sama sekali tidak rasional, perbedaan warna kulit, misalya, dapat batal melakukan perbuatan itu karena orang yang akan dibunuh menyebarkan uang. Para pembunuh membiarkan korban terus lari dan mereka lebih tertarik mengumpulkan uang yang berceceran dari pada membunuh. Ia menyimpulkan, dalam perspektif individual mungkin peristiwa itu hanya dianggap korban beruntung, batal dibunuh, karena para jagal mempunyai kepentingan /interes yang bijak. Tetapi dalam perspektif universal ia mencoba meyakinkan bahwa nafsu kekerasan (violent passion) dapat ditundukkan oleh kepentingan yang kurang ganas (innocuous interest).[7]

Watak kekuasaan semacam itu mengakibatkan pertarungan memperebutkan kekuasaan menjadi sangat rawan terhadap tindakan yang menghalakan cara, mulai dari bujuk rayu, intimidasi sampai dengan tekanan fisik. Sedemikian kejamnya pertarungan kekuasan sehingga ikatan-ikatan pertemanan, keakraban, persaudaraan, bahkan ikatan yang didasarkan atas sentimen primordial : suku, agama, ras dan keturunan tidak dapat dijadikan sarana meredakan pertarungan politik. Bahkan sebaliknya, penyalahgunaan ikatan primordial sebagai sarana perburuan kekuasaan dapat mengakibatkan perang saudara yang sangat kejam dan berlarur-larut[8]

Dalam perspektif politik, upaya umat manusia mengelola nafsu kekuasaan agar para pemegang kekuasaan tidak sewenang-wenang adalah tatanan politik yang dapat memaksa penguasa tunduk dan dikontrol oleh warga masyarakat. Prinsip manajemen kekuasan tersebut dinamakan demokrasi. Kehadiran demokrasi sebagai tatanan kekuasaan yang bermartabat memang tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang praktek pengelolaan kekuasaan yang sentralistis dan sewenang-wenang; baik yang bersumber dari keturunan, dominasi kekuatan militer maupun oligarki politik lainnya. Sistem kekuasaan yang tidak manusiawi itulah yang mendorong umat manusia mencari sistem pengelolaan kekuasaan yang beradab. Kekuasaan yang otoritarian adalah musuh umat manusia karena penguasa tidak hanya memonopoli kekuasan tetapi juga memonopoli kebenaran. Kebenaran menjadi milik penguasa, akibatnya perbedaan pendapat bukan saja dianggap sebagai tindakan kriminal atau subversi yang harus ditindak oleh negara.

Menegaskan mengenai apa yang telah disampaikan sebelumnya, secara sederhana demokrasi dapat dirumuskan sebagai tatanan kekuasaan yang berprinsip bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat. Jelasnya, siapapun yang ingin berkuasa harus mendapat mandat dan dikontrol oleh pemberi kekuasaan. Inilah temuan rasional manusia dalam mengelola kekuasaan modern yang dianggap paling bermartabat. Ia adalah sistem manajemen kekuasaan yang dilandasi oleh nilai-nilai dan etika serta peradaban yang menghargai maratabat manusia. Upaya pencarian tata kelola kekuasaan yang dapat membendung kelaliman pemegang kekuasaan, sejalan dengan mulai tumbuhnya nilai-nilai kehidupan yang lebih menghargai hak-hak individu, kesetaraan serta pengakuan terhadap hak-hak azasi manusia. Pada dasarnya perkembangan peradaban manusialah yang telah memungkinkan umat manusia dapat memperadabkan kekuasan yang mempunyai daya pesona yang luar biasa, tetapi sekaligus juga watak yang cenderung merusak tatanan kehidupan manusia. Pesona kekuasaan yang menakjubkan itulah yang membuat para pemburu kekuasaan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Memang dalam tatanan demokrasi daya rusak kekuasaan tidak dapat ditaklukan secara absolut, karena hal itu juga berkaitan erat dengan salah satu sifat manusia yang serakah dan lemah menghadapi godaan kenikmatan. Namun karena sifat luhur manusia jugalah kekuasaan dapat digunakan untuk kemashlahatan umat manusia, terutama untuk mengelola kehidupan besama menunju kesejahteraan lahir dan batin. Martabat dalam tertib politik yang demokrasi juga dibahas secara panjang lebar oleh Monstesquieu[9]. Dia membedakan tiga jenis pengelola kekuasan negara : Republik, Monarki dan Depostik atau disebut juga Demokrasi, Oligarki dan Monarki. Dari ketiga jenis tersebut, demokrasi adalah tatanan kekuasan yang mempunyai “virtue” yang menghargai martabat warganya. 

Secara kelembagaan agar perilaku kekuasaan tidak menjadi liar, ia harus “dikerangkeng” dalam suatu struktur bangunan kekuasaan sedemikian rupa sehingga terjadi keseimbangan kekuatan didalam komponen-komponen struktur tersebut, agar mereka satu dengan lainnya dapat saling mengontrol. Dalam bahasa yang lebih teknis disebut “cheks and balances mechanism” Praktek penyelengaraan tertib politik yang demokratis dengan membangun saling kontrol antara lembaga-lembaga politik tidak terlepas dari pemikiran Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan judikatif. Ungkapannya yang sangat terkenal bahwa kekuasaan hanya dapat dilawan dengan kekuasaan[10]

Oleh karena itu, mewujudkan demokrasi bukan hanya sekedar membangun sistim, mekanisme, prosedur politik, tetapi juga harus membangun lembaga-lembaga yang dapat menjamin mekanisme saling kontrol tersebut dapat berfungsi, seperti partai politik, lembaga peradilan dan penegak hukum, lembaga perwakilan, birokrasi dan lain sebagainya. Namun upaya lain yang tidak kalah pentingnya adalah menanamkan tata nilai yang dapat menghadirkan ruh yang menghidupkan dan sekaligus menguatkan demokrasi. Tiadanya sukma dalam tatanan demokrasi hanya akan menjadikan sistem tersebut rapuh sehingga mudah ambruk atau menjadi anarkis. Oleh karena itu tidak mustahil bahwa negara-negara seperti Yunani dan Roma[11] yang pernah berabad-abad menerapkan sistem ini, mengalami arus balik menjadi kekaisaran. Pengalaman tersebut harus lebih menyadarkan siapapun yang ingin mewujudkan kehidupan demokrasi adalah perjuangan membangun peradaban untuk menyelamatkan manusia dari kesewenangan-wenangan rejim yang lalim, serta mewujudkan kesejahteraan rakyat. 

Dengan demikan demokrasi bukan hanya bangunan struktur kekuasaan yang masing–masing lembaga-lembaga politik saling kontrol satu dengan lainnya. Demokrasi adalah pandangan hidup (tata nilai) yang menjadi pedoman sikap dan perilaku warganya, karena itu ia harus menjadi referensi bagi perilaku politik warga masyarakat. Oleh sebab itu dalam masyarakat demokratis, pendidikan politik merupakan faktor yang sangat penting mendukung terwujudnya masyarakat yang demokratis. Yaitu proses internalisasi nilai-nilai demokrasi universal yang mengutamakan kesetaraan ( termasuk gender), pluralisme, toleransi, hak azasi manusia, perlindungan minoritas, penegakkan hukum, kepemihakkan terhadap mereka yang lemah,serta membangun sikap siap untuk menang tetapi juga bersedia kalah dengan ikhlas.

Melalui pendidikan semacam itu, diharapkan perselisihan masyarakat dalam tatanan demokrasi dikelola dengan baik. Konflik bukan permusuhan untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Konflik dalam masyarakat demokatis harus dipandang sebagai perbedaan pendapat dalam perspektif yang berbeda. Tidak ada monopoli kebenaran dalam kehidupan politik yang demokatis. Dalam masyarakat demokratis konflik harus dikelola sehingga menjadi suatu konsensus bersama dan diupayakan menjadi peraturan perundangan yang dijadikan pedoman hidup bersama. Dengan mengembangkan budaya politik seperti itu ruang publik akan menjadi wilayah yang sehat untuk memperdebatkan isyu-isyu yang dianggap penting oleh publik. Melalui ruang publik pula masyarakat dapat berbeda pendapat dengan negara, bahkan publik dapat melakukan koreksi terhadap kebijakan publik yang tidak sesuai dengan kehendak masyarakat. Mekanisme tersebut disediakan dalam kehidupan demokrasi agar kedaulatan rakyat tidak direduksi oleh segelintir orang yang dipilih duduk dalam parlemen maupun eksekutif. Namun harus diingat bahwa dalam kehidupan politik yang demokratis cara-cara tersebut di atas harus dilakukan dengan tetap mengindahkan kaidah-kaidah etika serta berpedoman kepada ketentuan hukum yang berlaku. Oleh sebab itu tantangan yang dihadapi oleh setiap masyarakat demokratis adalah memelihara keseimbangan antara kebebasan dengan mempertahankan sikap tertib masyarakat. Memberangus sikap kritis publik dengan alasan mengganggu ketertiban dan kestabilan politik akan memproduksi rejim yang repressif. Sebaliknya, membiarkan protes yang dilakukan dengan kekerasan akan menimbulkan anarki sosial.

Demokrasi moderen adalah demokrasi perwakilan, dan oleh karena itu sendi utama demokrasi adalah parlementarisme. Prinsip ini menegaskan, meskipun pada dasarnya kedaulatan di tangan rakyat, tetapi mengingat tidak mungkin rakyat seluruh ambil bagian dalam menjalankan pemerintahan, maka diperlukan lembaga perwakilan yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat. Namun sistem ini mempunyai kelemahan karena tingkat keterwakilan (representativeness) yang rendah mengakibatkan diskrepansi antara rakyat sebagai pemegang kedaulatan anggota parlemen sebagai wakil rakyat. Hal itu disebabkan oleh karena prosedur rekruitmen dan seleksi politik seringkali tidak hanya mereduksi kedaulatan rakyat melainkan mengatasnamakan rakyat untuk kepentingan segolongan elit. Sehingga demokrasi bukan pemerintahan oleh rakyat, melainkan pemerintahan atas nama rakyat. 

Maka perlu diingat bahwa dalam sistem demokrasi, meskipun rakyat telah memilih para wakil mereka, rakyat tetap berdaulat dua puluh empat jam sehari dan dapat mengontrol parlemen. Kebebasan sipil memberikan jaminan kedaulatan rakyat dan keleluasaan partisipasi, hal itu dilakukan untuk menyalurkan dan mengekspresikan aspirasi serta keyakinannya. Penguasa dibatasi oleh kebebasan warga (civil liberty)[12] dan kelompok masyarakat yang mempunyai aspirasi yang berbeda. Agar kekebasan sipil dapat berkembang diperlukan pers yang bebas sehingga dapat membangun opini publik sebagai salah satu pilar demokrasi yang berfungsi sebagai kekuatan tanding untuk mewujudkan mekanisme saling kontrol yang merupakan ciri dari kehidupan demokratis[13]

Dalam perspektif sosiologis, masyarakat disebut mempunyai tertib yang demokratis bila interaksi seluruh anggota dalam masyarakat selalu berorientasi kepada semakin meningkatnya martabat dan harkat manusia. Hal ini sejalan dengan naluri manusia yang selalu mendambakan persamaan, kebebasan dan kemerdekaan serta dari segala bentuk penindasan. Dengan demikian hubungan antara anggota masyarakat dilandasi oleh semangat kesetaraan dan kebersamaan tanpa melakukan perbedaan status sosial–ekonomi, asal-usul, ikatan primordial serta ciri-ciri eksklusif lainnya. Semua itu harus dilakukan dengan kebijakan atau politik hukum yang mempunyai paradigma dan arah yang jelas. Sehingga perangkat hukum yang dapat menjamin tegaknya hukum dan rasa keadilan publik. Dalam Negara dan masyarakat yang demokratis, relasi negara (state) vis avis dengan masyarakat ( society) harus dapat mewujudkan keseimbangan yang saling mengawasi.

Ruang publik yang bebas (civil liberty) sebagaimana disebutkan di atas merupakan sendi utama kedua demokrasi, setelah parlementarisme. Ia adalah institusi kemasyaratan dan tonggak penopang demokrasi agar prinsip kedaulatan rakyat tidak direduksi politik transaksional dan pragmatisme politik. Oleh sebab itu mengembangkan hak-hak sipil sangat penting dilakukan mengingat banyak pengalaman sejarah membuktikan pemilihan umum selalu dapat menghasilkan lembaga perwakilan yang belum tentu sejalan dengan kepentingan publik. Oleh sebab itu, meskipun pemilihan umum telah diselenggarakan secara demokratis telah menghasilkan parlemen tidak berarti rakyat kehilangan kedaulatannya. Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa demokrasi sejak kelahirananya telah mempunyai cacat bawaan. Karena tidak ada jaminan bahwa mereka yang duduk dalam lembaga perwakilan selalau searah dengan kinginan rakyat yang memilih mereka. 

Persyaratan lain agar demokrasi dapat berlangsung adalah kemampuan, pengetahuan serta kecermatan dalam membuat aturan dasar yang komprehensif dan koheren satu sama lain sebagai landasan hidup bersama. Untuk itu selalu diperlukan gagasan dan pemikiran yang mendalam sebagai paradigma dalam penyusunan regulasi yang diperlukan. Aturan tersebut harus dijabarkan sedemikian rinci sehingga dapat dilaksanakan secara baik. Kerumitan dalam proses pembuatan aturan serta kompromi-kompromi politik yang harus dilakukan membuat demokras tidak efisien dan efektif. Oleh karena itu demokrasi bukan sistem yang sempurna dan mempunyai banyak kelemahan, antara lain proses pengambilan kebijakan berlangsung lamban, karena kompleksitas serta kepentingan yang sangat beragam dalam masyarakat. Hal-hal semacam itulah yang menyebabkan kadang-kadang masyarakat skeptic terhadap demokrasi. Apalagi kalau para elit politik hanya cenderung memanipulasi kekuasaan untuk kepentingan subyektif mereka. 

Bila dibiarkan hal itu menyebabkan rakyat tidak percaya kepada sistem ini. Kredibilitas demokrasi yang rusak akan menyebabkan gelombang balik yang dapat mengembalikan bangsa bersangkutan kepada sistem kekuasaan yang menindas atau bahkan menjadi anarki sosial yang tidak kalah destruktifnya dengan sistem kekuasaan yang otoriter. Gejala semacam itu oleh Samuel Huntington[14] disebut sebagai gelombang demokrasi. Artinya dalam kurun waktu tertentu muncul serombongan negara berobah dari otoriter menjadi demokrasi, namun hal itu selalu terjadi kemungkinan diikuti oleh gelombang balik berupa negara yang semula demokratis menjadi otoritarian kembali. Gejala tersebut nampaknya tidak akan berhenti, sampai dengan nilai-nilai demokrasi menjadi peradaban masyarakat dunia. 

Pemerintahan yang demokratis adalah adalah pemerintahan mayoritas yang menang melalui pemilihan umum yang adil, jujur serta reguler. Oleh karena itu mayoritas dalam konteks tatanan politik yang demokratis bukan mayoritas berdasarkan angka-angka statististik serta bukan pula ditentukan secara kategoris berdasarkan ciri-ciri primordialistik seperti suku, agama, ras, keturunan dan lain-lain. Meskipun harus diakui dalam persaingan politik yang keras kadang-kadang tidak dapat dihindari benturan-benturan yang disebabkan oleh isyu-isyu primordial dan gender. Namun pada dasarnya prinsip mayoritas dalam tertib politik yang demokratis adalah persaingan memperjuangkan aspirasi, gagasan serta cita-cita politik untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. 

Mesipun dalam tertib demokrasi mayoritas adalah pemenang pemilu, namun tidak berarti mereka dapat bertindak semaunya sendiri. Pemenang harus menjamin dan hak-hak mendasar minoritas karena yang dalam pemilhan umum (majority rule, minority right). Perlindungan terhadap hak-hak minoritas adalah hak yang melekat dalam sistem demokrasi, dan oleh sebab itu bukan merupakan sikap welas asih dari pemenang pemilu kepada mereka yang kalah dalam kontestasi politik. Makna mayoritas, menurut FA Hayek[15], juga lebih dimaksudkan sebagai metode pengambilan keputusan, bukan otoritas untuk menentukan keputusan yang akan diambil. Sebab, dalam kehidupan demokrasi masih tersedia ruang publik untuk membangun kekuatan, antara lain opini publik, yang dapat merobah pendapat mayoritas dalam parlemen. Inilah keunggulan demokrasi, dibanding dengan sistem manajemen kekuasaan yang lain. Oleh sebab itu pula setiap sistem demokrasi selalu memerlukan ruh yang berfungsi sebagai jiwa yang menghidupkan demokrasi. Sebagaimana telah disinggung diatas, siprit atau ruh tersebut adalah pluralisme dan toleransi. 


PLURALISME DAN TOLERANSI

Secara singkat pluralisme dapat dimaknai sebagai pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman masyarakat. Prinsipnya ini menegaskan bahwa warga masyarakat berhak menyatakan pendapatnya. Oleh sebab itu prinsip pluralisme harus disertai pula tersedianya ruang publik yang bebas untuk mengekspresikan pendapat dan aspirasi yang berbeda-beda. Prinsip ini sangat penting, karena menghindarkan dan mencegah mayoritas bertindak sewenang-wenang terhadap minoritas. Dengan demikian kehadiran pluralisme sangat penting karena eksistensinya menjamin keberadaan tata nilai, ideologi, kepentingan dan aspirasi politik warga masyarakat. Sebagaimana dikatakan oleh Gabriel A.Almond and Sidney Verba[16]: “pluralism, even if not explicitly political pluralism, may indeed be one of the most important foundation of political democracy”. Sementara itu Kornhauser menegaskan lagi dengan menyatakan sebagai berikut: “Fostering pluralism is especially important today. Religious, racial, ethnic, and nasional identities have reasserted themselves in many places with a vigor that is often frightening. And yet modern societies are increasingly diverse[17]

Sejalan dengan pengakuan terhadap perbedaan dan kebebasan menyampaikan pendapat, toleransi adalah ruh demokrasi yang tidak kalah pentingnya dengan komponen yang lain. Prinsip ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pluralisme, karena pluralisme dalam demokrasi melekat nilai yang mengakui, menghormati serta menghargai perbedaan. Toleransi adalah perekat agar perbedaan tidak menjadi ajang pertarungan kepentingan yang saling mematikan di antara warga sehingga mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat itu sendiri. Tanpa toleransi, kehidupan politik akan penuh dengan resiko. Bepolitik seperti itu akan menciptakan dua jenis individu atau warga masyarakat yang yang hanya mengejar kepentingan politik kekuasaan. Mereka disebut sychopan dan petualang politik[18]. Sycopan adalah seseorang yang mengejar kedudukan politik secara oportunistik dan mencari selamat sendiri dan tidak bersedia bertangungjawab atas perbuatannya. Oleh sebab itu selama kedudukan politik dilakukan dengan kooptasi, mereka mencari kedudukan itu dengan penuh resiko. 

Berpolitik resiko tinggi mendorong pula munculnya demagog politik dan petualang politik. Mereka menganggap medan politik adalah pertempuran hidup dan mati, antara kebaikan dan kejahatan. Pandangan semacam ini tidak memberikan ruang bagi terjadinya kompromi. Dalam kontkes semacam ini, dimana kesempatan terbatas dan perolehan yang tinggi atas keberhasilan berpetualang, mendorong munculnya petualang politik. 

Dengan demikian kehadiran pluralisme dan toleransi memberikan jaminan untuk memelihara dan mengembangkan pemikiran dan gagasan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dan keadilan masyarakat yang dilakukan secara secara adil, beradab dan demokratis. Kedua prinsip tersebut juga memberikan tempat terhormat bagi kelompok-kelompok di tingkat local, suku, ras, agama, keturunan untuk ikut aktif ambil bagian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian semua individu, kelompok dan masyarakat secara keseluruhan diberikan kesempatan yang adil untuk memberikan konstribusi bagi berkembangnya kehidupan bangsa tanpa melihat latar belakang serta asal-usul warganya. 

Sejarah panjang demokrasi telah membuktikan sistem tersebut mempunyai kekenyalan menyesuaikan diri dengan dinamika perkembangan masyarakat. Hal itu terutama disebabkan oleh karena dalam masyarakat yang demokratis selalu menjunjung tinggi martabat manusia serta kemampuan rakyat mengawasi serta membatasi perilaku penguasa. Bila rakyat melakukan kesalahan rakyat dapat melakukan koreksi sesuai dengan kehendak rakyat sendiri. Namun demikian tidak berarti bahwa demokrasi merupakan tatanan yang sempurna[19]. Sejarah telah memberikan pelajaran pula bahwa dalam beberapa abad perkembangan negara-negara yang menganut sistem demokrasi telah mengalami gelombang balik dalam wujud perubahan sistem politik yang semula demokratis berubah menjadi otoriter kembali[20]. Oleh sebab itu perlu ditegaskan bahwa membangun demokrasi bukan saja membangun lembaga-lembaga atau struktur politik tetapi membangun budaya yang menempatkan persamaan hak-hak individu tanpa membedakan status sosial serta perbedaan lain karena alasan primordial serta ciri-ciri eksklusif lainnya. 

TRANSFORMASI POLITIK TANPA RUH.

Runtuhnya tatanan politik yang memonopoli kekuasaan dan kebenaran pada akhir tahun 1990, merupakan peristiwa yang menandai bangkitnya bangsa dari represi penguasa. Perobahan tersebut terjadi sangat cepat, dalam sekejap terjadi penjungkir balikkan tatanan kekuasaan. Rakyat yang selama tiga puluh tahun diperlakukan sebagi kawula alit yang ditindas oleh represi penguasa, dalam hitungan hari menjadi pemegang kedaulatan. Rakyat telah bebas dari belenggu rantai kekuasaan yang menelikung dan mengendalikan perilaku publik, sehingga warga masyarakat lebih merupakan robot politik dari pada insan manusia. 

Kedatangan ‘Zaman’ baru memberikan harapan besar untuk mewujudkan masa depan Indonesia yang gemilang. Era demokrasi telah dimulai, dan agenda politik segera disusun untuk menopang struktur kekuasan yang baru. Harapan munculnya tatanan politik politik yang bermartabat disambut dengan antusias oleh seluruh masyarakat. Demokrasi menjadi tanda dan sarana keselamatan menuju masyarakat yang bebas, adil, makmur dan berkeadilan. 

Berbekal kebebasan tersebut masyarakat mulai membangun konsensus baru berbangsa dan bernegara. Namun mengingat tingkat percepatan transformasi politik, bangsa Indonesia tidak dapat menyusun konstitusi yang sempurna serta membangun lembaga dan kultur politik yang dapat segera menopang tatanan politik baru yang disebut demokrasi. Amandemen konstitusi dilakukan empat kali dalam waktu yang sangat singkat. Dibandingkan naskah sebelum di amandemen, oleh sementara kalangan Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen dianggap relative lebih baik. 

Namun sayangnya, transformasi politik yang terlalu cepat mengakibatkan amandemen dilakukan tanpa disertai perdebatan yang cukup luas dan mendalam. Amandemen konstitusi juga tidak dasarkan atas prinsip-prinsip konstitusioanalisme. Menurut Hayek, penyusunan konstitusi harus merupakan prinsip-prinsip yang disepakati oleh rakyat sehingga rakyat akan taat kepada konstitusi tersebut[21]. Sementara itu, sebagian besar elit politik lebih mengedepankan daftar keinginan subyektif yang dikemas secara retorik sekedar mendapatkan dukungan atau popularitas masyarakat. Ketergesaan memahami konsep adalah salah satu contoh yang dapat dilihat dalam merumuskan Indonesia sebagai negara kesatuan dalam aturan dasar yang disebut konstitusi. Dalam alam pikiran para perumus amandemen UUD 1945 yang sangat gandrung negara kesatuan, nampaknya untuk mewujudkan Negara kesatuan cukup merumuskan keinginan tersebut dalam konstitusi sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesia akan langgeng. Hal itu dapat disimak dalam pasal 1, ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi sbb: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.” Rumusan tersebut sangat jelas dan limitatif bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan, jadi kalau bukan negara kesatuan bukan Negara Indonesia. Untuk lebih kuat agar Negara kesatuan tidak goyah dan tidak dapat di uthak-uthik lagi, pasal tersebut dikunci melalui ketentuan pasal 37 ayat (5) yang berbunyi sbb:”Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perobahan”. Para penyusun UUD 1945 nampaknya sangat meyakini bahwa kalimat dalam UUD 1945 sudah sedemikian sakti sehingga dengan mencantumkan rumusan tersebut negara kesatuan tidak dapat dirobah. Pertanyaannya: apakah benar keputusan politik tidak dapat dirobah. Apakah benar bangsa Indonesia tidak akan mengalami dinamika politik yang mungkin akan merobah struktur kekuasaan yang dianggap lebih responsive terhadap dinamika perkembangan politik ke depan. Mereka nampaknya lupa bahwa dalam hidup ini, lebih-lebih kehidupan politik selalu owah–ginggsir. Dinamika politik telah membuktikan bahwa UUD’45 yang pernah dijadikan jimat ternyata dapat diamandemen sebanyak empat kali. 

Nampaknya para penyusun UUD 1945 menyadari juga bahwa merumuskan pasal tersebut adalah sesuatu yang mustahil atau tidak masuk akal. Oleh karena itu, meskipun sudah terdapat pasal yang menjamin kelestarian UUD 1945, penyusun konstitusi memberikan kemungkinan perobahan pasal tersebut dengan merumuskan pasal 37 ayat (3) sbb: “Untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945, Sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR”. Pasal yang sama pada ayat berikutnya (4) lebih menegasan lagi, dengan bunyi sbb : “putusan untuk mengubah pasal UUD 1945 dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.” Keseluruhan ilustrasi tersebut hanya memberikan beberapa kesan sebagai berikut : Pertama, para penyusun konstitusi tidak memahami konsep bernegara secara mendalam. Kedua, percaya bahwa kalimat bagus dalam konstitusi dan dapat bertuah dan mempunyai kekuatan magis dapat menjamin kehendak agar negara kesatuan tidak berobah. Namun yang jelas rumusan yang kontradiktif tersebut bagi masyarakat menimbulkan kebingungan, setidak-tidaknya sampai saat ini masih terjadi kontroversial dalam memahami konstitusi yang telah diamandemen empat kali. Akibatnya, regulasi yang merupakan turunan atau derivasi dari konstitusi menjadi tumpang tindih dan saling tabrak satu pasal dengan pasal lainnya. Ranah peraturan perundangan menjadi belantara tawar menawar kepentingan kekuasaan karena perilaku elit politik yang sarat dengan politik transaksional yang dipicu oleh politik uang. 

Hal yang mirip juga dilakukan dalam melakukan desentralisasi. Kalau semangat dan komitmen terhadap bentuk negara kesatuan akan dipertahankan, maka prinsip-prinsip tersebut secara konsisten harus dijadikan pegangan dalam melakukan kebijakan desentralisasi. Salah satu prinsip yang penting adalah besaran urusan dan kewenangan yang didelegasikan ke daerah berasal dari pemerintah pusat. Konsekwensinya, bila daerah tidak dapat mengemban kewenangan yang diberikan tidak dilaksanakan secara bertanggungjawab, atau terjadi krisis pemerintahann daerah, pemerintahan pusat harus mempunyai instrumen dan mekanisme menyelesaikan kemelut tersebut. Pemicu krisis di daerah yang paling potensial adalah tiadanya jaminan hubungan kekuasaan yang simetris di tataran politik lokal. Lebih-lebih kalau calon independen untuk pemilihan kepada daerah telah menjadi keputusan politik. Asimetris hubungan kekuasaan antara kepala daerah dan parlemen lokal menjadi potensi konflik di daerah yang berlarut-larut. 

Dalam hal intervensi pemerintah pusat terhadap krisis pemerintahan daerah, harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip demokratis, seperti aturan yang jelas, evaluasi yang obyektif serta bimbingan yang cukup dan lain sebagainya. Tetapi karena desentralisasi selama ini tidak dilakukan dengan pakem yang konsisten, banyak sekali terjadi konfllik antara kepala daerah dan perlemen lokal yang berlarur-larut. 

Dalam mengantisipasi krisis pemerintahan di daerah mungkin dapat mengambil pelajaran negara India. Meskipun bentuk negara India adalah quasi federal, namun bila terjadi krisis pemerintahan di negara bagian (state), Presiden mempunyai kewenangan diskresi, melalui pasal 356 Konstitusi, membubarkan parlemen di negara bagian dan memecat gubernur. Namun kewenangan tersebut dilakukan melalui persyaratan yang sangat ketat. Pertama, diskresi harus merupakan jalan terakhir setelah segala upaya sebelumnya tidak dapat mengatasi masalah tersebut. Kedua, Presiden harus harus mendapatkan persetujuan kedua parlemen dan benar-benar memperhatikan laporan Gubernur. Ketiga, pernyataan situasi dalam keadaan darurat oleh presiden dapat dilakukan judicial review kepada Mahkamah Agung. Bilamana Mahkamah Agung menolak, maka Gubernur dan Lembaga Perwakilan di daerah (state) dapat berfungsi kembali. Pengaturan yang rumit tersebut selain untuk mencegah agar presiden tidak sembarangan atau menyalahgunakan kewenangan yang kontroversial tersebut. Oleh sebab itu kewenangan presiden tersebut tidak mutlak dan tetap dalam kerangka demokrasi[22]. Pengalaman tersebut kiranya sangat berharga untuk dijadikan konsiderasi membuat regulasi yang komprehensif. Dengan demikan munculnya calon independen tidak saja semakin membuka peluang tumbuhnya demokrasi, tetapi juga merupakan momentum untuk mewujudan kehidupan politik yang stabil, pemerintahan yang efektif serta sistem kepartaian yang multi partai. 

Sementara itu pemekaran daerah juga menandai betapa desentralisasi semakin tidak terkendali serta tidak menjamah kepentingan masyarakat. Sumber utama kegagalan pemekaran daerah karena elit politik, pusat dan daerah, menjadikan pemekaran seringkali hanya sebagai ladang bisnis. Pemekaran hanya menjadi medan pertarungan kepentingan pribadi dan golongan. Sehingga dalam prakteknya, tidak jarang persyaratan pemekaran baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif dapat lolos berkat deal-deal politik yang sangat oportunistik dan pragmatis. Lebih-lebih pembuatan UU pemekaran tidak terlalu sulit karena praktis hanya merobah sedikit konsideran dan diktum dari UU yang telah ada dengan daerah baru. Kalau semangat para pengambil kebijakan tidak berobah, meskipun PP 129/2000 telah diganti dengan PP 78/2007 yang lebih ketat persyaratannya, tidak menjamin bahwa pemekaran akan bermanfaat bagi masyarakat. ( cari tempat).

Merebaknya Politik Transaksional

Faktor yang lebih menyedihkan, memperburuk serta mengancam tujuan restrukturisasi kekuasaan adalah perilaku para elit yang memanipulasi demokrasi prosedural. Mereka menganggap sudah mendapatkan legitimasi kalau sudah mengikuti prosedur dan regulasi yang mereka buat sendiri. Dengan mengatasnamakan rakyat mereka bahkan dapat menguras kekayaan negara untuk dinikmati sendiri atau bersama kelompoknya. Perilaku para elit yang sangat merusak tatanan tersebut kalau tidak segera dihentikan akan menggerogoti modal sosial (social capital) bangsa ini yang selama satu dekade ini dapat dijadikan aset dalam melakukan transisi politik. Modal sosial yang disumbangkan masyarakat dalam masa transisi adalah kesanggupan rakyat melakukan proses transisi politik yang sangat kritikal. Kompetisi pertarungan kekuasaan untuk mendapatkan jabatan publik, secara prosedural semakin melembaga. Indikasi yang sangat meyakinkan adalah kontestasi politik yang dilakukan dalam skala yang masif dapat dilakukan dengan aman. Hal itu membuktikan bahwa bangsa Indonesia mempunyai peradaban yang cukup tinggi sebagai landasan untuk menjadi bangsa yang besar. Pertarungan politik yang rawan konflik komunal karena keragaman bangsa Indonesia disebabkan ikatan-ikatan primordial kesukuan, ras,bahasa, agama serta pengelompokkan ekskulif lainnya, meskipun sangat disesalkan, tetapi tidak membawa ekses yang destruktif dalam masyarakat. 

Kematangan masyarakat berdemokrasi juga menunjukan tanda-tanda menggembirakan. Kekuatan politik yang hanya bertopang kepada sentimen primodial semakin surut pendukungnya. Secara a kontrario hal ini berarti bahwa hanya kekuatan politik yang inklusif yang akan memperoleh dukungan luas masyarakat. Inilah salah satu modal sosial bangsa. Rajutan sosial yang silang menyilang membuahkan struktur masyarakat yang kompleks yang tidak monolit. Di segala pesolok tanah air bertebaran berbagai gerakan-gerakan kemasyarakatan lintas agama, suku, ras, golongan yang merupakan perwujudan konkrit dari masyarakat yang plural. 

Namun ironinya justru di tataran elit perpolitikan di Indonesia sarat dengan pertarungan politik tanpa cita-cita. Kiblat politik yang sangat didorong oleh godaan nafsu berkuasa telah menyingkirkan jauh-jauh arti politik sebagai perjuangan bersama mewujudkan cita-cita luhur bangsa. Manuver politik didominasi oleh nafsu berkuasa sehingga jagad politik Indonesia sarat dengan intrik dan kompromi politik yang pragmatik-transaksional, oportunistik, politik uang, tebar pesona dan janji kosong sebagai alat merayu dukungan politik. Demikian pula perselingkuhan politik, dengan segala bentuk dan manifestasi semarak; semuanya dilakukan untuk mengejar kenikmatan kekuasan. Tiadanya roh kehidupan politik, kekurangmengertian tentang hakekat kekuasaan serta akselerasi perobahan yang sedemikian cepat, mengakibatkan wajah perpolitikan di Indonesia selama lebih kurang sepuluh tahun sarat dengan pertarungan politik dari para elit yang ingin berkuasa, mempertahankan kekuasan atau mereka yang ingin lebih berkuasa. 

Perilaku elit yang berorientasi kepada kekuasaan subyektif cenderung merusak tatanan serta menginjak-injak martabat rakyat. Pada hal bangsa Indonesia memiliki semua persyaratan untuk berhasil.[23]

Sesat Niat

Transformasi politik juga memberikan kesempatan rakyat membangun tertib politik yang bersumber kepada kedaulatan rakyat. Namun sayangnya kebebasan yang yang telah direbut kembali tidak disertai dengan tanggung jawab yang sepadan. Kebebasan telah menimbulkan anarki di tataran masyarakat maupun negara. Akibatnya peran negara menjadi nihil, kekuatan komunal menjadi ancaman demokrasi. Kebebasan telah mengancam kebebasan itu sendiri. Bahkan atas nama kebebasan orang dapat berperilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila yang telah disepakati menjadi falsafah bangsa dan negara seakan-akan hanya menjadi monumen mati akibat dari praktek-praktk politik dan peri laku para pemimpin yang munafik. Kebebasan juga dipraktekkan secara eksesif oleh sementara media yang tidak melayani kepentingn publik, melainkan mengabdi kepada kepentingan modal serta politik jangka pendek. 

Akibatnya, kebebasan dan demokrasi yang merupakan tanda dan sarana menuju bangsa yang sejahtera serta memberikan sinar terang yang menuntun nasion Indonesia ke peradaban yang yang lebih tinggi, dalam waktu yang hampir bersamaan muncul “tanda-tanda zaman” menuju ‘abad’ kegelapan. Sinar yang memancar dari nilai-nilai luhur bangsa terhalang oleh politik transaksional, terutama money politics, yang melekat dalam proses politik, baik rekrutmen maupun dalam menyusun regulasi ditingkat pusat dan daerah. Jabang bayi demokrasi yang tumbuh dalam wujud demokrasi prosedural telah semakin menjauhkan kehidupan politik yang beradab dan bermartabat. Kerusakan tatanan politik sudah dimulai sejak mereka yang berniat menjadi pejabat publik hanya menginginkan kedudukan politik. Mereka mengawali dengan niat yang sesat, semata-mata mereka hanya berangan-angan untuk berkuasa, memburu kekayaan serta membangun dinasti politik; bukan iktikad luhur mengabdikan diri kepada masyarakat. Terjun kedunia politik bukan karena panggilan hidup sehingga berani me-wakaf-kan diri untuk bangsa, melainkan menjadi pemburu kekuasaan dan kenikmatan. Pendangkalan politik semakin lama semakin menggerus modal sosial bangsa. Saling percaya ada kecenderungan semakin menipis. Tingkat kepecayaan politik terhadap seluruh lembaga politik dan lembaga negara mencapai tingkat sangat rendah. Demikian pula intolerensi di antara warga masyarakat juga meningkat. Gejala pembusukan tidak hanya terjadi pada tataran negara tetapi juga merangsek ke ranah publik. 

Sesat niat juga sangat menyuburkan korupsi politik dalam bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang merajalela. Produk legislasi ditengarai menjadi arena perdagangan kepentingan politik yang pragmatik dan oportunistik. Akibatnya negara tidak mempunyai kebijakan perundang-undangan sebagai infrastruktur kebijakan politik guna mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan. Proses penyusunan regulasi dari pembuatan undang-undang sampai dengan peraturan daerah, ditengarai sarat dengan transaksi politik kepentingan golongan. Oleh karena perundang-undangan tidak memberikan arah kebijakan melainkan jalan yang menyesatkan bagi siapapun yang melaluinya. Negara praktis macet dan terkunci dengan berbagai kepentingan yang saling menyandera karena struktur kekuasaan yang dirajut dengan nafsu keserakahan. Manajemen pemerintahan semakin parah karena politik citra menjadi pola pengelolalan kekuasaan yang mengutamakan “wajah” dari pada efektivitas pemerintahan. Akibatnya banyak kebijakan-kebijakan yang tidak dapat dilaksanakan dengan semestinya. Pada hal, terlebih dalam masa tansisi politik, rakyat memerlukan bukti konkrit bahwa demokrasi adalah sistem yang lebih baik dalam memperhatikan nasib rakyat dibandingkan dengan sistem-sistem yang lain. Oleh sebab itu beberapa kajian poliltik –ekonomi mensyaratkan agar demokrasi dapat berjalan dengan baik diperlukan reformasi ekonomi sehingga penghasilan penduduk rata-rata sekitar 4000 us dollar per tahun[24]

AGENDA MENDESAK: 
Mewujudkan pemerintahan yang efektif. 

Praktek penyelengaraan pemerintahan dewasa ini masih belum efektif disebabkan oleh karena menggabungkan sistem presidensial dengan multipartai tak-terbatas. Penggabungan dua variabel tersebut adalah kombinasi yang tidak kompatibel. Beberapa kelemahan pokok yang mengakibatkan kedua sistem tersebut tidak kompatibel adalah sebagai berikut : Pertama, Sistem presidensial dan sistem multi partai mengakibatkan hubungan antara kedua lembaga tersebut diancam oleh kemacetan. Hal ini berbeda dengan sistem parlementer dimana partai mayoritas atau gabungan partai-partai yang berhasil membangun koalisi membentuk pemerintahan, sehingga selalu ada jaminan dukungan pemerintah oleh parlemen. Sementara itu sistem presidensial dalam multipartai, presiden tidak selalu mendapatkan jaminan mayoritas di parlemen sehingga dipaksa harus selalu melakukan koalisi atau deal-deal politik dalam menangani setiap isyu politik. Kedua, kombinasi sistem presidensial dan multi partai akan menimbulkan persoalan yang kompleks dalam hal membangun koalisi di antara partai-partai politik. 

Koalisi partai dalam sistem presidensial dan sistem parlementar mempunyai tiga perbedaan sebagai berikut. Pertama, dalam sistem parlementer partai-partai menentukan atau memilih anggota kabinet dan perdana menteri, dan mereka (partai-partai) tetap bertanggung-jawab atas dukunganya terhadap pemerintah. Sementara itu dalam sistem presidensial, presiden memilih sendiri anggota kabinetnya, akibatnya partai-partai kurang mempunyai komitmen dukungan terhadap presiden. Kedua, berlawanan dengan sistem parlementer, dalam sistem presidensial tidak ada jaminan partai akan mendukung kebijakan presiden meskipun presiden mengakomodasi secara indivividual beberapa tokoh partai politik dijadikan anggota kabinet. Ketiga, dalam koalisi semacam itu dorongan partai politik untuk melepaskan diri atau keluar dari koalisi lebih mudah dibandingkan dalam sistem parlementer. 

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut sistem presidensial paling cocok dengan sistem multipartai yang terbatas[25]. Seandainya sistem multi partai tak-terbatas ingin dipertahankan, sebaiknya sistem pemerintahan yang ideal adalah parlementer atau semi presidensial. Sebab, memaksakan sistem presidensial dengan sistem multi partai tak-terbatas, ancaman terjadinya deadlock[26] dalam penyelenggaraan pemerintahan atau instabilitas politik sangat mungkin terjadi. Biasanya jalan tengah yang dapat dilakukan adalah membatasi jumlah partai serta melakukan rekayasa konstitusional agar dapat menghindari ancaman-ancaman sebagaimana disebutkan di atas. 

Oleh sebab itu proses transformasi politik harus terus disempurnakan. Agenda yang sangat penting melakukan penyempurnaan terhadap berbagai regulasi politik tentang sistem pemerintahan, sistem pemilihan umum dan sistem kepartaian. Beberapa prinsip mendasar dan paradigma yang harus dijadikan acuan dalam menyusun penyempurnaan regulasi politik adalah sebagai berikut. Pertama, proses demokratisasi yang sedang berlangsung dewasa perlu ditingkatkan dan dilembagakan. Kedua, sementara itu pada saat yang sama diperlukan pemerintahan yang efektif agar rakyat dapat menikmati secara konkrit hasil dari proses demokrasi dalam wujud kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Hal itu harus menjadi pilihan mengingat demokrasi dalam dirinya selalu mengandung kontradiksi antara governability (pemerintahan yang efektif) di satu pihak, representativeness (keterwakilan) dipihak lain. 

Secara lebih rinci prinsip-prinsip tersebut harus dituangkan dalam kebijakan politik perundangan sebagai berikut. Pertama, dalam UU Pemilihan umum, prinsip-prinsi tersebut adalah : (1) meningkatkan akuntabilitas wakil rakyat dengan pemilihnya. (2) demokratisasi dalam mekanisme pencalonan kandidat anggota lembaga perwakilan, (3) penguatan dan perluasan basis keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah. (4) mempertegas sistem auditing dan pengelolaan dana-dana politik yang digunakan dalam proses Pemilu. Sementara itu UU pemilihan presiden disempurnakan dengan persyaratan partai-partai yang mencalonkan presiden harus memenuhi komitmen setidak-tidaknya selama lima tahun tetap konsisten menjadi pendukung pemerintah. 

Kedua, kehidupan kepartaian harus didukung oleh suatu regulasi yang mempunyai paradigma sbb: (1) pengkaderan partai politik, (2) mendorong kepemimpinan partai yang demokratis, (3) mendorong penggabungan partai-partai kecil dan partai-partai yang gagal mendapatkan Parliamentary Thershold (PT) berdasarkan persamaan kepentingan maupun idelogi kepemihakan, (4) dibukanya kesempatan partai lokal, (5) mendorong proses institusional partai dengan mempunyai sumber daya yang independen, serta (5) larangan merangkap jabatan bagi pengurus partai yang terpilih menjadi pejabat publik. Ketiga, prinsip penyempurnaan UU Susunan dan kedudukan MPR dan Lembaga Perwakilan Rakyat adalah sebagai berikut : (1) peningkatan kemampuan dan akuntabilitas lembaga dan anggota DPR, (2) pertanggungjawaban yang jelas bagi setiap anggota DPR yang melakukan reses, (3) meningkatkan hubungan antara anggota DPR dan DPD, antara lain dengan meningkatkan komunikasi politik antara wakil rakyat dan konstituensinya. (4) peningkatan efektifitas lembaga DPR dilakukan dengan penciutan jumlah pengelompokkan politik (fraksi) di DPR dengan menentukan jumlah minimal anggota fraksi di DPR sama dengan jumlah komisi. (5) Harmonisasi hubungan DPR dan DPD dengan memberikan peran yang lebih signifikan kepada DPD dalam pembahasaan RUU, dan lain sebaginya. Semua itu harus dilakukan secara komprehensif dan koheren serta dirancang dalam Program Legislatif Nasional yang berkesinambungan agar peraturan perundangan tidak tumpang tindih satu dengan lainnya. 

Reformasi partai Politik 

Transformasi yang terlalu cepat mengakibatkan munculnya ratusan kerumunan manusia yang kemudian menyebut dirnya partai politik, sebagian besar menunjukkan perilaku yang sangat lapar kekuasan. Pada saat sosok ini berburu kekuasaan, ibaratnya apa saja dilakukan untuk menggenggam kekuasaan. Setelah para elitnya berkuasa, mereka lupa semua apa yang pernah dijanjikan dan bahkan tidak segan-segan memanipulasi kepercayaan dan mandat rakyat mnyebabkan yang dipercayakan kepada mereka. Ciri-ciri umum kerumunan politik tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, sangat berorientasi kepada kekuasaan. Akibatnya, mereka selalu dirundung konflik internal yang berlatur-larut karena urusan perebutan memperoleh kekuasan adalah bisnis utama mereka. Cita-cita politik hanya secara seremonial dicantumkan dalam visi dan misi tanpa secara konsisten dijabarkan dan dilaksanakan. Kedua, kekuatan massa dijadikan andalan utama merebut kedudukan politik, kalau perlu rakyat diprovokasi untuk melakukan kekerasan kalau kalah dalam memerebutkan kedudukan. Bahkan tidak segan-segan memanipulasi semangat primordial sebagai instrumen politik yang dapat mengakibatkan konflik politik menjadi konflik komunal. Ketiga, membangun oligarki politik baik di dalam tubuh organisasi maupun bersama-sama dengan lembaga-lembaga politik lainnya mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Tujuannya agar para elit di dalam organisasi yang disebut partai tadi semakin berkuasa. Kalau perlu produk Undang-undang dipelintir agar mereka tetap dapat mengamankan kekuasaannya. Keempat, bersifat feodalis atau sentralistis; semua keputusan organisasi pada dasarnya dilakukan oleh pimpinan pusat, termasuk proses pemilihan apa yang disebut wakil-wakil rakyat dan kepala-kepala daerah. 

Mencemati kenyataan tersebut tidak ada pilihan lain bahwa agenda yang sangat mendesak dewasa ini adalah melakukan reformasi partai politik atau meningkakan kualitas partai politik. Peningkatan kualitas pertama-tama adalah dengan melakukan pengakaderan partai politik. Pendidikan kader partai dimaksudkan untuk menghasilkan kader partai yang kapabel, akuntabel, mempunyai komitmen, kepekaan serta keterampilan menterjemahkan ideologi kebijakan partai, disiplin terhadap keputusan partai sampai dengan ketrampilan-ketrampilan melakukan lobi, diskusi, meyakinkan lawan politiknya, berdebat, memimpin rapat, dan lain sebagainya. Dengan melakukan kaderisasai dan pendidikan poltik secara reguler maka kapasitas partai dalam menjalankan fungsi-fungsi pokoknya yakni sosialisasi dan pendidikan politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, partisipasi politik dll juga akan ditingkatkan. Melalui proses pendidikan politik yang semacam itulah partai akan didorong melakukan institusionalisasi agar menjadi pilar demokrasi yang kredibel. 

Kedua, Prioritas pendidikan politik pertama-tama harus ditujukan kepada kader partai politik. Karena merekalah yang akan menjadi pengelola pemerimtahan. Kederasi kader parpol menjadi sangat urgen mengingat kredibilitas parpol di mata masyarakat terus merosot. Parpol dianggap gagal sebagai lembaga yang berfungsi menyalurkan serta memadukan aspirasi dan kepentingan publik. Melalui pendidikan politik diharapkan tokoh-tokoh partai memahami dasar-dasar, fungsi dan peran Parpol dalam sistem demokrasi. Selain itu mereka mereka mampu melaksanakan fungsi dan peran tersebut secara maksimal. Dengan demikian upaya pengurangan jumlah partai politik merupakan pilihan setelah masyarakat diberikan cukup kesempatan untuk benar-benar memahami perilaku partai-partai politik. Pilihan ini diharapkan akan menjadikan seleksi alam bagi eksistensi partai politik. Seandainya dilakukan peningkatan electoral trershold hal itu merupkan hasil dari pertarungan yang adil dan jujur, sebagai trade off (imbal balik) peningkatan ET diharapkan munculnya partai-partai lokal dapat menjadi instrumen bagi kekuatan-kekuatan masyarakat yang tidak mempunyai kapasitas nasional. Sejalan dengan perkembangan itu, mungkin ke depan dapat dilakukan regulasi perobahan pemilu yang lebih fundamental dengan membagi antara pemilu nasional dan pemilu lokal. 

Ketiga, melakukan pendidikan politik kepada masyarakat dengan tujuan memberikan pengetahun kepada masyarakat mengenai seluk beluk kehidupan politik yang didasarkan atas kedaulatan rakyat. Rakyat harus benar-benar paham bahwa mereka yang menjadi pemegang kedaulatan. Oleh sebab itu anggota lembaga perwakilan serta semua pejabat publik harus mempertanggungjawabkan kepada masyarakat. Hal uang sangat penting disoslialisaikan kepada masyarkat, bahwa partisipasi masyarakat tidak hanya terbatas hanya pada pemilihan umum. Partipasi harus dilakukan secara terus menerus. Artinya kalau penguasa dianggap berhasil harus didukung, tetapi kalau kebijakannya melenceng dari harapan masyarakat, publik harus melakukan kritik.Bahkan kalau perlu membangun kekuatan tanding secara demokratis. Masyarakat harus menyadari bahwa lembaga perwakilan tidak mereduksi kedaulatan rakyat.

Keempat, kepemimpinan partai yang demokratis dengan melakukan seleksi kepemimpinan partai yang demokratis serta menegaskan kedaulatan anggota dan desentralisai kewenangan pengurus partai di tingkat pusat kedaerah sebagai upaya meningkatkan demokratisasi internal. Hal itu dilakukan melalui seleksi dan kompetisi yang jujur dan adil secara demokratis. Fungsi ini sangat penting agar elit partai atau kader yang dipercaya untuk duduk dalam jabatan publik dan parlemen,misalnya, bukan hanya karena dukungan para petinggi partai melainkan secara internal mereka juga mempunyai basis politik yang kuat. 

Kelima, memperkuat basis dan struktur partai, termasuk menyertakan 30 % perempuan mulai dari pusat sampai daerah. Basis sosial yang jelas dan berakar pada masyarakat akan menjadikan partai lebih kuat, melembaga sehingga akan memermudah menyerap aspirasi masyarakat. Basis dan struktur partai tidak didasarkan atas sentimen primordial. Hal ini berkaitan dengan ideologi kebijakan yang akan menjadi discourse dari partai politik. Perdebatan publik tidak lagi mengenai hal-hal yang berkenaan dengan keunggulan identitas primordial tetapi mengenai dasar-dasar kebijakan yang ditujukan utnuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 

Keenam, mendorong partisipasi politik warga masyarakat dalam proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan publik yang menyangkut kepentingan mayoritas, namun juga jaminan atas kepentingan minoritas yang kalah dalam pemilihan umum. Fungsi ini sangat penting antara lain untuk memberikan bobot lejitimasi pemimpin politik yang terpilih. 

Ketujuh, menyalurkan aspirasi dan memadukan aspirasi masyarakat yang berbeda-beda. Jadi yang dikelola adalah kepentingan yang berbeda untuk dirumuskan menjadi kebijakan umum, bukan kepentingan elit partai yang dikompromikan sehingga menjadi kebijakan yang mengatasnamakan rakyat tetapi pada kenyataannya hanya untuk kepentingan elit partai. 

Kedelapan, melakukan komunikasi politik. Fungsi yang sangat penting mengingat komunikasi politik adalah proses informasi timbal balik di antara warga masyarakat. Ibaratnya adalah darah dalam tubuh manusia yang mengidupkan bagian-bagian yang saling berhubungan dalam suatu sistem. 

Kesembilan, mengelola konflik sehingga tidak menjadi benturan kekerasan atau kerusuhan sosial bagi kelompok-kelompok masyarakat yang memperjuangkan kepentingannya. Melalui mekanisme dan aturan-aturan yang ditertapkan, konflik dalam masyarakat demokratis harus dapat dilakukan dan diselesaikan secara damai.

Kesepuluh, mendorong penggabungan partai-partai kecil dan partai-partai yang gagal mendapatkan Eletoral Thershold (ET) berdasarkan persamaan kepentingan maupun idelogi kepemihakan.

Kesebelas, mendorong proses institusional partai dengan mempunyai sumber daya yang independen. 

Keduabelas, larangan merangkap jabatan bagi pengurus partai yang terpilih menjadi pejabat publik. Hal itu untuk mencegah conflict of interest (konflik kepentingan) dari pejabat yang besangkutan. Konsekwensinya akan lebih besar lagi kalau birokrasi kemudian menjadi ajang pertarungan politik dari partai politik. Birokrasi yang berfungsi sebagai pelayan publik, akan menjadi sekedar intrumen partai politik. 

Dalam kaitan dengan upaya mewujudkan pemerintahan yang stabil dan efektif tidak cukup hanya dilakukan dengan semata-mata mengurangi jumlah partai politik. Sebab dalam masyarakat heterogen, terlebih masyarakat yang sedang mengalami masa transisi, tidak mungkin secara drastis mengurangi jumlah partai dengan memperketat pembentukan partai maupun meningkatkan persyaratan partai politik untuk ikut pemilihan umum. Oleh sebab itu menyederhanakan jumlah partai hanya akan mengakibatkan dua hal sebagai berikut. Pertama, membuat partai-partai besar, yang telah terjebak oligarki dan di dominasi oleh kultur paternalisme, semakin kuat dan permanen; kedua, menutup munculnya partai-partai baru yang mungkin mempunyai kapasitas mengembangkan dirinya menjadi partai yang lebih demokratis. Alasan lain yang sangat perlu diperhatikan, pemilihan umum yang jujur dan adil setelah pasca pemerintahan yang otoriter baru diselenggarakan dua kali, sehingga masyarakat masih harus diberi kesempatan menentukan dan menguji partai apa yang pantas didukung. 

Pengetatan jumlah partai politik ini perlu dilakukan melalui mekanisme yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokratis. Mendirikan partai politik adalah hak politik setiap warga negara karena itu tidak boleh ada pelarangan mendirikan partai politik. Meski begitu, sistem politik harus mengatur kriteria dan mekanisme evaluasi bagi partai politik untuk bisa partisipasi dalam pemilihan umum (electoral process). Sistem politik harus memberikan disinsentif yang besar bagi petualang-petualang politik untuk memanfaatkan keterbukaan politik dengan mendirikan partai politik yang sekadar papan nama. Di sisi lain, sistem politik perlu memberikan insentif bagi aspirasi yang senyatanya ada di masyarakat dan menjelma menjadi partai politik. Partai politik yang secara senyatanya memiliki dukungan dari masyarakat perlu mendapatkan tempat di dalam sistem politik Indonesia yang demokratis. 

Kontrol dana parpol

Agenda mendesak yang harus dilakukan jangka dekat adalah mengontrol dana partai politik. Gawatnya korupsi di Indonesia dapat dicermati melalui laporan Transparansi Internasinal mengenai Global Corruption Barometer yang menempatkan Indonesia adalah satu diantara 7 negara yang paling korup dari 69 negara yang di survai oleh lembaga tersebut[27]. Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa lembaga perwakilan adalah lembaga yang paling korup di Indonesia diantara lembaga-lembaga negara lainnya. Keuangan dan dana partai politik adalah satu bentuk korupsi politik yang sangat membahayakan. Sejak subsidi terhadap parpol dikurangi pada tahun 2005, gerakan menggalang dana partai menjadi sangat massif dan tak terkontrol, dan oleh sebab itu tidak mustahil berasal dari sumber illegal. Partai menjadi lembaga pemburu rente yang tidak hanya menggerogoti kredibilitasnya tetapi bahkan dapat melumpuhkan kehidupan demokrasi[28]. Oleh sebab itu pengaturan dana partai sangat penting dilakukan, karena tiadanya peraturan yang jelas dan tegas mengenai keuangan partai bukan hanya akan mengakibatkan vote buying[29], tetapi yang lebih berbahaya adalah akses pemilik kapital terhadap penguasa atau calon penguasa-penguasa di dalam partai politik. Banyak dugaan dana partai selain dari para pemilik modal yang ingin selalu mempertahankan dan meningkatkan keuntungannya, disedot pula dari sumber-sumber kekayaan Negara melalui akses parpol birokrasi pemerintahan. Oleh karena itu lembaga perwakilan rakyat sebagai tempat bertemunya berbagai kepentingan politik selalu tidak tegas dalam menyusun rumusan tentang dana parpol. Kejahatan seperti penerimaan dana di atas batas satu sampai empat miliar rupiah hanya diancam dengan penjara maksimal satu atau dua tahun pada Undang-undang nomor 2 tahun 2008. Sementara itu pengelolaan dana partai politik, transparansi serta pertanggungjawaan sumbangan dana kampanye masih sangat jauh dari harapan. Padahal sumber merebaknya Korupsi Politik berawal dari pendanaan partai politik sebagaimana disebutkan di atas. 

Mengingat politik uang sudah menjadi bagian dari proses politik, ia harus dapat cegah diredam dan bahkan harus diberantas agar tidak mengakibatkan pembusukan politik yang semakin parah. Caranya adalah memabatasi dan mengontrol keuangan partai dan dana kandidat. Pemikiran dan gagasan tersebut sudah dilakukan oleh bebagai NGO’s dan kalangan partai politik yang menghasilkan beberapa pikiran penting sebagai berikut[30]. Pertama, memperjelas dan memerinci apa yang yang disebut sumbangan dalam UU parpol. Apakah maksudnya uang, pinjaman (pinjaman komersial atau non-komersial), barang, fasilitas (meminjamkan peralatan, komputer, kendaraan, percetakan, perlengkapan atau jasa (transportasi, tenaga ahli, dokter atau petugas lain,karyawan perusahaan) dan lain sebagainya. Semua sumbangan barang harus ditentukan sesuai harga pasar. 

Kedua, memperjelas arti pengeluaran. Kata itu harus meliputi hal-hal sebagai berikut : pembayaran sejumlah dana oleh partai politik atau kandidat, segala pembayaran yang dilakukan oleh seseorang atau organissai, keloompok masyarakat yang mendukung atau menentang sebuah partai atau calon. Jadi pengeluaran partai politik termasuk biaya administrasi ( anggaran operasional rutin) serta dana kampanye. 

Ketiga, mengharuskan partai politik menerapkan pembuatan laporan keuangan partai yang meliputi semua pemasukan dan pengeluaran dari kelompok-kelompok pendukung dalam suatu koordinasi yang terintegrasi. Oleh sebab itu setiap patai politik harus menunjuk petugas untuk menyusun dan melaporkan kewenangan partai secara rinci berdasarkan standar yang ditetapkan. Temasuk antara lain, identitas donatur partai dan jumlah dana yang diberikan. Seseorang yang ditujuk oleh partai mempunyai beberapa persyaratan: (1) kemampuan sebagai akuntasi dan paham prosedur akuntansi;(2) bertanggung jawab atas nama partai serta mematuhi semua peraturan mengenai peraturan perundangan yang berkenaan dengan kegiatan keuangan partai . (3) secara pribadi bertanggung jawab terhadap kelengkapan dan akurasi dari semua kegiatan partai politik yang disertai dengan data-data seperlunya. (4) memberikan akses kepada semua pengurus atau staf parpol. Intinya, petugas tersebut harus porfesional dalam arti mampu menyusun laporan yang rinci dan jelas serta serta dapat mempelajari semua dokumen pengeluaran dan pemasukan sehingga laporan dapat dipertanggungjawabkan. 

Keempat, prinsip transparansi harus diterapkan dalam laporan keuangan partai politik. Oleh sebab itu setiap partai politik harus melaksanakan kegiatan keuangan melalui rekening bank yang ditunjuk. Pengeluaran dan simpanan (sumbangan) harus djadikan satu dalam rekening tersebut. Pengeluaran dan pemasukan sumbangan dilarang dilakukan melalui nomor rekening selain yang telah ditetapkan. Namun rekening untuk keperluan administratif harus dibedakan dengan rekening dana kempanye. Perbedaan yang tegas antara dana rutin (administratif, sekretariat, penembangan partai, rekrutmen kader, riset politik dll) dan kampanye, termasuk memisahkan rekening dari kedua pengelolaan dana tersebut. Selain itu juga diperlukan pengertian dasar yang jelas mengenai istilah hutang piutang partai. Tanpa adanya pengertian yang jelas KPU akan mengalami kesulitan dalam menilai legitimasi laporan dari transaksi keuangan partai. Sementara itu masyarakat ( publik) juga akan mengalami kesulitan dalam memantau pendanaan kampanye secara utuh. 

Kelima, pada dasarnya sumbangan yang diberikan kepada calon harus dilaporkan kepada partai politik. Kalaupun calon yang ingin mempunyai rekening sendiri harus lapor kepada pimpinan partai poliitk. Bantuan spontan yang dilakukan oleh para pendukungnya dicatat oleh partai dan dilaporkan ke KPUD/KIP.

Keenam, partai politik harus melakukan konsolidasi keuangan partai politik baik sumbangan mapun pengeluaran mulai dari pusat sampai tingkat cabang, termasuk dana yang dihimpun oleh calon yang mempunyai rekening sendiri harus dilaporkan pula. 

Ketujuh, setiap pelangggaran yang terjadi dalam laporan keuangan seperti keterlambatan, kelalaian masukkan laporan yang salah atau tidak legkap, memanipulasi laporan harus diberikan sangsi hukum yang jelas. 

Kedelapan, publik harus mempunyai akses yang leluasa untuk mengetahui sumbangan dan pengeluaran partai politik. Oleh sebab itu laporan harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat dilakukan uji publik oleh masyarakat. 

Namun sayangnya, gagasan yang baik di atas sampai sekarang tinggal gagasan, kalangan elit politik, khususnya partai politik masih enggan mengadopsi pikiran-pikiran yang amat berguna tersebut menjadi regulasi yang jelas dan tegas sanksinya bagi yang melanggar. Pada regulasi yang mengatur transparansi dana partai dan kandidat sangat mendesak untuk meredam politik uang yang sudah sangat eksesif. 

Dengan melakukan penyempurnaan tersebut, termasuk sanksi yang tegas terhadap pelaku politik uang, diharapkan dalam menapak masa depan, transformasi politik berjalan berdasarkan paradigma serta landasan pemikiran yang jelas dan benar Kurun waktu lebih sepuluh tahun proses demokrasi, harus dapat dijadikan tonggak penyempurnaan kehidupan politik di masa depan. 


PENUTUP.

Praktek politik selama lebih kurang tiga belas tahun telah berhasil melembagakan sebagian dari penyelenggaraan politik demokratis, khususnya kompetisi dalam memperebutkan jabatan-jabatan publik telah menjadi bagian dari kehidupan politik yang wajar. Pretasi yang patut dibanggakan karena pelembagaan dalam kompetisi politik dapat menjadi modal yang sangat berharga untuk melakukan konsolidasi kehidupan demokrasi yang lebih substansial. Namun sayangnya, dalam waktu yang hampir bersamaan muncul tanda-tanda menakutkan karena elit politik telah memanipulasi demokrasi prosedural sebagai legitimasi perilaku politik yang korup. Elit politik mendapat mandat rakyat tetapi justru menginjak-injak harkat dan martabat rakyat. Rakyat digagahi oleh mereka yang seharusnya melindungi, mengayomi serta membuat rakyat sejahtera. Reformasi politik masih belum berhasil membentuk sikap dan perilaku elit politik yang mempunyai komitmen mengutamakan kepentingan umum. Pesona dan nikmat kekuasaan telah membuat perilaku politik elit semakin jauh dari standar peradaban bangsa. Praktek penyelenggaraan pemerintahan semacam itu jelas lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya bagi masyarakat. Kemudaratan telah dimulai dari niat para politisi yakni upaya habis-habisan untuk menjadi bagian dari penguasa yang bergelimang kemewahan. Sesat pikir dan niat sudah dimulai sejak mereka membayangkan nikmatnya kekuasaan yang akan direguk. Keserakahan para penguasa telah menghilangkan ruh peradaban yang memuliakan politik: Pancasila. 

Oleh sebab itu pendidikan ideologi Pancasila harus dilakukan kepada para kader-kader partai politik yang nanti akan menjadi pemegang otoritas politik. Mereka inilah harus menjadi sasaran prioritas, sebab merekalah yang akan memiliki kewenangan yang setiap keputusannya mengikat warga masyarakat. Transformasi politik tanpa disertai dengan pembangunan karakter yang didasarkan nilai-nilai luhur bangsa dapat dipastikan hanya akan merusak tatanan dan menghangcurkan masa depan bangsa dan Negara. Oleh karena itu pembangunan karakter harus pula menjadi salah satu agenda urgensi. Dengan menanamkan nilai-nilai Pancasila, diharapakan kehidupan politik menjadi lebih mulia. Kehidupan politik lebih bermartabat. Ke depan diharapkan, mereka yang akan terjun ke medan politik harus berbekal niat untuk berjuang bagi kepentingan bangsanya; bukan mencari gelimang kemewahan dan kekuasaan. Cara paling praktis, murah tetapi efektif adalah kesediaan para tokoh dan pimpinan di berbagai bidang dan lapisan masyarakat memberikan keteladanan dalam sikap dan perilaku kehidupan sehari-hari. Mengatakan sesuatu, terutama janji-janji politik tanpa disertai dengan bukti yang konkrit, hanya akan menyuburkan perilaku munafik dan membuat rakyat semakin tidak percaya kepada tatanan baru yang disebut demokrasi. 

Sementara itu untuk memutus mata rantai kesemrawutan yang dihadapi bangsa Indonesia agenda yang harus menjadi prioritas adalah menyusun regulasi yang berkenaan dengan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Perangkat regulasi harus mempunyai tujuan dan arah yang jelas serta dilakukan secara komperehensif, kohesif dan koheren antara regulasi yang satu dengan lainnya. Beberapa regulasi yang terkait dengan penataan kekuasaan pemerintahan, misalnya regulasi tentang pemilihan presiden, kepala daerah, dewan perwakilan rakyat, sistem kepartaian, pemilihan umum, desentralisasi, perimbangan keuangan pusat dan daerah, bahkan regulasi yang berkenaan dengan keamanan nasional. Dengan kebijakan politik perundang-undangan yang mempunyai proyeksi yang visioner serta pakem dan paradigma yang jelas, diharapkan dapat diwujuddkan pemerintahan yang efektif tetapi tetap dapat dikontrol oleh masyarakat. 

Gagasan dan pemikiran semacam itu sudah banyak dimiliki oleh masyarakat, bahkan sudah terlalu sering disampaikan kepada para wakil rakyat serta pemerintah dalam berbagai forum dan kesempatan. Namun nampaknya mereka sudah kedap terhadap himbauan serta wacana publik yang menyuarakan dan mendesak agar agenda reformasi dilakukan dengan kaidah-kaidah yang benar. Oleh sebab itu sudah saatnya masyarakat membangun kekuatan yang demokratis untuk melakukan tekanan dan desakan terus menerus kepada otoritas politik agar tunduk kepada kehendak rakyat. 

Peran civitas akademika menjadi sangat penting dalam situasi yang serba tidak pasti, semrawut bahkan menjurus kearah kritikal dan semakin revolusioner. Oleh sebab itu, kaum cerdik pandai selain diharapkan pemikiran yang cemerlang yang dapat menjawab persoalan bangsa yang kompleks, diharapkan pula bersama –sama dengan kekuatan masyarakat yang lain bahu membahu membangun kehidupan politik yang beradab dan bermartabat. 

Jakarta, September 2011. 

BIBLIOGRAFIE

1. Kristiyanto, Eddy, OFM; Sakaremen Politik : Mempertanggungjawabkan Memoria; Penerbit Lamalera, Desa Wilirejo, Kecamanatn Pandak, Bantul, 2008; 

2. Hirschman, Albert O; The Passion And The Interest : Political Argument For Capitalis Befor Its Trial; Princton University Perss, New Jersey, 1997. 

3. Snyder, Jack, Dari Pemungutan Suara Ke Pertumpahan Darah, terjemahan dari buku From Voting to Violence, penterjemah: Martin Aleida & Parakitri T. Simbolon, Penerbit Gramedia, November 2003. 

4. Montesquieu, The Siprit of Laws, diterjemahkan dan diedit oleh : Anne M. Cohler; Basia. Miller; Harold Stone ; Cambridge Univeesity Press, New York, 1989.

5. The International Bank for Reconstruction and Development /The World Bank Report: Sub-Saharan Africa: From Crisis to Sustainable Growth, First Printing November 1989, Manufactured in the United States of America). 

6. Huntington, Samuel P; The Third Wave : Democratization in the Late Tweintieth Century; University of Oklahoma Press, 1991.

7. Hayek, FA; The Constitution of Liberty; Routledge & Kegan Paul Ltd, London EC4E 4EE. 

8. Hollifield, James F & Jillison Calvin (eds); Pathways to Democracy : The Political Economy of Democratic Transitions, Routledge, London, 2000. 

9. Kristiadi, J; Sistem Pemilihan Umum dan Representasi Politik dalam Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indodensia; Bantarto Bandoro (eds), CSIS, Jakarta, 1995.

10. Grabow, Karsten dan Riek.E, Christian (eds); Parties and Democracy, page 110-111; Konrad- Adenauer- Stiftung e.V; Klingenhoferstabe 23, D-10907 Berlin, Germany. 

11. Przewosrski, Adam ( et.al) : Democracy and Develompmet: Political Institutional and Well-being in the World; Cambridge University press; 2000; 

12. Przewosrski, Adam; Democracy an The Market : Politial and Economics Reforms in Eastern Europe and Latin America; Cambridge university Press; 1991.

13. Jones, Michael E; Libido Dominandi : Sexual Liberation and Political Control; St Agustne’s Press, South Bend, Indiana, 2000.

14. Mainwaring, Scott; Presidensialism, Multipartism, And democracy: The Difficult Combination; Comparative Political Studies; Vol 26, No 2, Jukly 1993, p 198-228.

15. Liphard, Arend (ed); Parliementary Versus Presidential Government, Oxford University Press; 1992.

16. Mainwaring, Scott & Soberg Shugart ( eds) : Presidensialism And Democracy in Latin America; Cambridge University Press, 1997. 

CATATAN KAKI:
[1] Sebutan Peristiwa G 30 S/PKI adalah istilah yang dibakukan oleh negara pada Pemerintahan Orde Baru dan mulai menjadi perdebatan publik sejak Era Keterbukaan. Salah satu tema sentral diskursus publik adalah apakah gerakan yang disebut dengan Peristiwa G 30 S/PKI “didalangi” oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) atau hanya terbatas beberapa tokohnya saja yang terlibat. 


[2] Konon, ungkapan berasal dari surat Lord Acton kepada Bishop Mandell Creighton, 1887:"Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men." Acton was preceded by William Pitt the Elder, who voiced a similar thought in a House of Lords speech in 1770:"Unlimited power is apt to corrupt the minds of those who possess it; and this I know, my lords, that where laws end, tyranny begins." 

[3] Kristiyanto, Eddy, OFM; Sakaremen Politik : Mempertanggungjawabkan Memoria; Penerbit Lamalera, Desa Wilirejo, Kecamanatn pandak, bantul, 2008; hal 6 

[4] Hirschman, Albert O; The Passion And The Interest : Political Argument For Capitalis Befor Its Trial; Princton University Perss, New Jersey, 1997 hal 3-66. 

[5] Ibid, hal 83 

[6] Jones, Michael E; Libido Dominandi : Sexual Liberation and Political Control; St Agustne’s Press, South Bend, Indiana, 2000. 

[7] Ibid, hal x 

[8] Buku yang membahas itu antara lain : Snyder, Jack, Dari Pemungutan Suara Ke Pertumpahan Darah, terjemahan dari buku From Voting to Violence, penterjemah: Martin Aleida & Parakitri T. Simbolon, Penerbit Gramedia, November 2003. 

[9] Montesquieu, The Siprit of Laws, terutama buku ke II : “ On The Direcly From The Nature Of The Goverment” dan buku III : “On The Principles Of The Three Goverments”, diterjemahkan dan diedit oleh : Anne M. Cohler; Basia. Miller; Harold Stone ; Cambridge Univeesity Press, New York, 1989; hal 113. 

[10] Opcit, Hircschman, Albert O; hal 78; Ungkapan tersebut lengkapnya berbunyi : “ So that may be no abuse of power, it is necessary that, through the disposition of things ( par la disposition de chose), power be stopped by power. 

[11] Banyak sumber yang dapat dijadikan refensi mengenai jatuh bangunnya dua negara tersebut, antara lain Susan Wise Bauer; The History of The Ancient World-From The Earliest Accounts To The Fall Of Rome: pubished by WW.Norrton & Company Inc, USA, 2007; yang diterjemahkan oleh Aloysius Presetyo A, , Sejarah Dunia Kuno: Dari Cerita-Cerita Tertua Sampai Jatuhnya Roma; Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta; 2010; 

[12] Melengkapi konsep Civil Liberty mungkin ada baiknya memahami konsep Montesquieu memngenai Liberty dalam negara demokrasi. Ia menjelaskan bahwa dalam negara demokrasi, masyarakat mempunyai aturan ( hukum) yang memberikan kebebasan ( liberty) kepada mereka yang mau melakukan sesuatu dan tidak melarang kepada mereka yang tidak mau melakukan sesuatu. Menurutnya, kebebasan (dalam negara demokrasi) adalah hak warga melakukan sesuatu sejauh hal itu dilakukan berdasarkan diberdasarkan undang-undang. Namun kalau warga melakukan sesuatu yang dilarang (undang-undang), mereka tidak lagi mempunyai kebebasan karena orang lain mempunyai (hak) kebebasan yang sama untuk melakukan sesuatu. ( Montesquieu, The Siprit Of Laws, Buku 11, halaman 155). 

[13] Namun dalam pekembangannya civil liberty yang menghasilkan civil society mengalami distorsi pada saat dunia internasional dilanda kegandrungan munculnya paham ekonomi pasar bebas yang berlebihan. Paham tersebut dalam perkembangannya menganggap bahwa kehadiran Negara, terlebih Negara yang korup, harus diimbangi dengan kekuatan masyatakat sipil yang kuat. Resep in oleh Negara-negara maju, terutama Amerika dan beberapa negara Eropa, diterapkan di negara-negara Sub Sahara Afrika. Karena diangap berhasil agenda tersebut diterapkan juga di negara-negara lain, termasuk Indonesia. Namun karena penguatan civil society tidak disertai dengan pembangunan institusi dengan intensitas yang pararel, bukan hanya Negara yang lemah karena munculnya lebih dari seratus state-auxiliary institutions, tetapi waga Negara tidak lagi menjadi citizens melainkan consumers.Karena peran Negara digantikan dengan mekanisme pasar, sehingga penerapan good governance dikatakan sebagai good governance but ungovernability. ( Periksa : The International Bank for Reconstruction and Development /The World Bank Report: Sub-Saharan Africa: From Crisis to Sustainable Growth, First Printing November 1989, Manufactured in the United States of America). 

[14] Huntington, Samuel P; The Third Wave : Democratization in the Late Tweintieth Century; University of Oklahoma Press, 1991. 

[15] Hayek, FA; The Constitution of Liberty; Routledge & Kegan Paul Ltd, London EC4E 4EE, 1990, hal 103. 

[16] Marcedo, Stephen; Transitions to What? The Social Foundation of the Democratic Citizenship, dalam Hollifield, James F & Jillison Calvin (eds); Pathways to Democracy : The Political Economy of Democratic Transitions, Routledge, London, hal 67, 2000. 

[17] Ibid, hal 67 

[18] Lihat Kristiadi, J; Sistem Pemilihan Umum dan Representasi Politik dalam Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indodensia; Bantarto Bandoro (eds), CSIS, Jakarta, 1995. 

[19] Mungkin dalam konteks seperti inilah Perdana Menteri Inggris Wilston Churchill dalam pidatonya di parlemen Inggris pada tahun 1947 pernah mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang paling buruk, kecuali dibandingkan sistem lain yang pernah dipatktekan dan ternyata lebih buruk. Jadi pada dasarnya sistem demokrasilah yang paling baik dari pilihan yang lebih buruk. Ungkapannya :“Many forms of Government have been tried and will be tried in this world of sin and woe. No one pretends that democracy is perfect or all-wise. Indeed, it has been said that democracy is the worst form of government except all those other forms that have been tried from time to time”. 

[20] Opcit, Huntington, Samuel P; 1991; serta Gretchen, Casper & Tailor,Michele : Negotiating Democracy : Tansition from Authoritarian Rule; University of Pittsburgh Press,1996 

[21] Opcit, Hayek, FA, hal 181. 

[22] Grabow, Karsten dan Riek.E, Christian (eds); Parties and Democracy, hal 110-111; Konrad- Adenauer- Stiftung E.V; Klingenhoferstabe 23, D-10907 Berlin, Germany. 

[23] ”The country has all the ingredients for success: a stable democracy, a wealth of natural resources and a large consumer market. But Indonesia is not keeping pace with Asia’s booming economies”.( Majalah ”Time” edisi 12 September, 2008.) 

[24] Buku yang menkaji iysu tersebut antara lain : Przewosrski, Adam ( et.al) : Democracy and Develompmet: Political Institutional and Well-being in the World; Cambridge University press; 2000; dan Przewosrski, Adam; Democracy an The Market : Politial and Economics Reforms in Eastern Europe and Latin America; Cambridge university Press; 1991. 

[25] Mainwaring, Scott; Presidensialism, Multipartism, And democracy: The Difficult Combination; Comparative Political Studies; Vol 26, No 2, Jukly 1993, p 198-228. selain itu masih banyak lagi perdebatan mengenai isyu yang berkaitan hubungan antara sistem multi partai dengan sistem presidensial seperti dalam buku Liphard, Arend (ed); Parliementary Versus Presidential Government, Oxford University Press; 1992. Selain itu juga dalam buku Mainwaring, Scott & Soberg Shugart ( eds) : Presidensialism And Democracy in Latin America; Cambridge University Press, 1997. 

[26] Di Amerika Serikat ancaman kemacetan tersebut dapat diatasi dengan tradisi “ Going Public”. Karena Presiden AS dipilih “langsung” oleh rakyat, ia turun ke masyarakat. Dengan melakukan hal mitu presuden mencoba meyakinkan publik dengan agenda yang jelas, sembari minta publik kalau mereka setuju supaya mendesak wakil mereka agar mendukung program pemerintah. Presiden terakhi yang melakuan hal itu dalam Obama dalam meyakinkan Konggres Amerika mengenai program Health Care Reform, yang telah lebih kurang satu abad dirintis oleh Presiden- Presiden AS sebelumnya, baru berhasil dalam periode Presiden Clinton. Kajian yang dapat dijadikan referensi antara lain : Kernel, Samuel; Going Public New Stretegies of Presidensial Leadership, CQ Press DC; 2007 dalam Nurliah Nurdin, Komparasi Sistem Presidensial Indonesia dan Amerika Serikat: Hubungan Kekuasaan Presiden Dan Legislatif (2004-2009), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia; Juli 2011 (tidak diterbitkan). 

[27] Harian The Jakarta Post 4 Juni 2009., 

[28] Mietzner, Marcus; Party Financing in Post-Soeharto Indonesia: Between State Subsidies and Political Corruption;’Contemporary Southeast Asia: A Journal oof International and Strategic Affairs - Volume 29, Number 2, August 2007, pp. 238-263. 

[29] Pendalaman mengenai fenomena vote buying, antara lain dapat dibaca dalam : Schaffer, Frederic Chatles (eds); Election For sale : The Causes And Consequences of Vote Buying; Ateneo De manila university Press, 2000; dan Heinz Nassamacher, Karl; Fondation for Democracy : Approach to Comparative Political Finance; Nomos verlagsgesellschaft Baden-Baden; 2001. 

[30] Gagasan, pemikiran, diskusi publik mengenai masalah ini sudah banyak dilakukan sejak tahun 2000-an setelah pemilu yang berlangsung secara demokratis pasca pemerintahan otoriter jatuh pada awal tahun 1998- hingga saat ini. Misalnya kajian : Perubahan Pasal Dana Politik Di Dalam Paket Undang-Undang Pemilu, yang dilakukan oleh Pokja Dana Politik yang terdiri dari Cetro, IAI-KSAP, PERLUDEM, T- Chapt, Indonesia, yang diterbitkan pada bulan maret 2007. selain itu istiyu ini juga dianggap sangat penmting, dan dapat dilihat dalam berbagai kajian internasioial , antara lain : Johnson, Michael: Political Parties And Democracy in Theorotical Perspectives: Political Finance Policy, Parties, And development; National Democratic Institute For International Affairs(NDI); 2005; Hopkin, Jonathan; The Problem Wiyh party Finance : Theoritical Perspectives on The Funding of Party Politics; Partay Politics, Sage Publication; Vol 10, no 6, p 627-651; London; 2004; Scatrrow, Susan E; Explaining Political Finance Reforms : Competition And Context; Partay Politics; Sage Publications; Vol 10, no 6, mp 653-675; 2004. 

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *