oleh Pormadi Simbolon
Di tengah kemajemukan tersebut penulis menghadapi perbenturan antara ajaran agama dan budaya setempat dengan yang penulis anut. Pada situasi demikian pula penulis melihat realitas bahwa ada beberapa pemimpin dan tokoh agama berlomba-lomba “menjual” dan mewartakan ajaran agamanya. Yang patut disesalkan adalah adanya sejumlah kecil dari mereka yang tidak segan-segan mengajarkan fanatisme berlebihan, penjelek-jelekan agama di luar agama yang dianutnya, pengajaran kebencian terhadap agama lain dan pemeluknya.
Akhir-akhir ini kekerasan, pembunuhan, bom bunuh diri dan tindak anarkhisme terhadap kelompok dan agama lain semakin kerap mewarnai kehidupan bangsa Indonesia. Mungkinkah aneka tindakan amoral tersebut merupakan buah-buah yang harus dipetik dari khotbah-khotbah kebencian yang pernah diwartakan sejumlah pemimpin agama?
Ketika duduk di Sekolah Dasar, penulis masih terkungkung dan terbelenggu dalam gua lingkungan masyarakat yang mayoritas beragama Kristen di kampung halamannya (sebuah desa di Sumatera Utara). Perasaan aman dan nyaman menjadi pengalaman tersendiri. Dunia ini terasa bagaikan milik kekristenan saja. Belum tercium adanya nuansa kebencian antaragama dan antar pemeluknya.
Namun ketika penulis harus merantau guna melanjutkan pendidikan ke Malang, mata hati dan budi penulis tercerahkan dan tersadarkan bahwa Indonesia itu pluralis dan beraneka ragam. Penulis merasa asing, aneh dan minoritas ketika berada di tengah masyarakat yang terdiri dari aneka suku, agama, ras dan antargolongan. Teristimewa karena tempat itu mayoritas berpenduduk dan berbudaya Islami.
Di tengah kemajemukan tersebut penulis menghadapi perbenturan antara ajaran agama dan budaya setempat dengan yang penulis anut. Pada situasi demikian pula penulis melihat realitas bahwa ada beberapa pemimpin dan tokoh agama berlomba-lomba “menjual” dan mewartakan ajaran agamanya. Yang patut disesalkan adalah adanya sejumlah kecil dari mereka yang tidak segan-segan mengajarkan fanatisme berlebihan, penjelek-jelekan agama di luar agama yang dianutnya, pengajaran kebencian terhadap agama lain dan pemeluknya. Pengalaman tersebut merupakan contoh yang mungkin juga terjadi di tempat lain.
Penyebaran warta kebencian dapat pula kita temui lewat media lain seperti majalah, bulletin, VCD/DVD dan internet. Warta kebencian tersebut kerap kita jumpai bila kita coba mengunjungi toko buku atau pasar loak (penjualan buku di pinggir jalanan).
Pewartaan Yang Keliru
Ajaran atau wejangan kebencian terhadap agama lain dikumandangkan oleh sejumlah pemimpin agama-agama Abrahamistik, entah di gereja atau di mesjid. Saat itu hari Jumat. Penulis naik sepeda ontel pulang dari kampus (di Malang) tiba-tiba telinga penulis menangkap dan mendengarkan khotbah yang mengajarkan kebencian terhadap agama lain. Agama lain kafir, agama kita sempurna, demikian kurang lebih inti wejangan itu. Sebagai salah seorang dari kaum minoritas, penulis merasa terkejut dan berkecil hati.
Demikian pula, ketika seorang dosen Teologi Kristen Protestantisme pernah menganjurkan para mahasiswa agar sekali-kali mau mengikuti peribadatan salah satu dari agama aliran kekristenan (sekte?) guna memahami lebih jauh tentang teologi mereka, penulis menemukan hal yang sama yaitu pewartaan kebencian terhadap agama lain lewat khotbah. Penulis pun bingung dan terkejut ketika terdengar kata-kata dari pengkhotbah gereja tersebut mengatakan bahwa agama lain itu sesat, berhala dan berasal dari iblis. Telinga terasa ditampar dan memerah.
Barangkali segelintir saja pemimpin agama yang menanamkan ajaran kebencian, permusuhan, penjelek-jelekan terhadap agama lain, namun berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat yang majemuk. Khotbah tersebut menyakitkan telinga dan melukai hati mayoritas warga yang menginginkan kedamaian, kerukunan dan keselamatan persatuan bangsa Indonesia.
Dari berbagai opini di media massa, mayoritas pemimpin dan tokoh agama dan masyarakat berjuang ekstra keras bagaimana mereka dapat membangun suatu perdamaian dan pertemuan antara agama-agama yang berbeda-beda secara otentik dengan mengedepankan universalitas ajaran agamanya tanpa menghilangkan keunikan dan kekhasan masing-masing agama.
Namun ada saja pemimpin (dari masing-masing agama) yang mencoba merusak perdamaian dan persahabatan yang sudah terjalin dengan membongkar lagi kejelekan, aib, konflik dan permusuhan antaragama yang terjadi pada masa ekspansi Muslim ke Eropa, Perang Salib dan sistem penyiaran agama yang dapat membuka kembali luka-luka agamis yang pernah terjadi. Bisa jadi kekerasan, pembunuhan dan aksi anarkhis terhadap kelompok lain merupakan buah dari pewartaan yang keliru tentang ajaran agama.
Karen Armstrong dalam bukunya Sejarah Tuhan (Mizan, 2001) mengajak pemeluk agama-agama Abrahamistik berhenti bertengkar. Dalam keseluruhan bukunya ia menegaskan betapa pertengkaran antara agama-agama anak-anak Abraham tentang siapa yang paling benar merendahkan harkat keagamaan semua. Dengan kata lain, ia mau mengajak umat dari agama-agama Abrahamistik supaya jangan mempermalukan Tuhan.
Sudah saatnya para pemimpin agama dan tokoh agama menyetop ajaran kebencian dan permusuhan terhadap agama lain pada umatnya. Dunia akan lebih layak dihuni bila para pemimpin agama dan tokoh agama membangun sikap pengampunan, persahabatan dan persaudaraan antar suku, agama, ras dan antargolongan. Sebab ajaran memandang agama lain kafir dan sesat hanya akan menciptakan citra negatif, imej yang menakutkan, menyeramkan dan menimbulkan kemarahan terhadap pemeluk agama lain.
Filosofi Bangsa Indonesia
Bisa dibayangkan, akan kemana dan apa peran agama-agama dalam menjaga persatuan dan keutuhan Indonesia bila masing-masing agama-agama saling mencap agama sendiri yang paling benar, sedangkan agama lain kafir, sesat dan jelek. Bangsa kita bisa berhenti pada retorika dan formalisme bahwa Pancasila adalah landasan filosofi bangsa Indonesia.
Kita, umat beragama sebagai warga Republik Indonesia (RI) yang berdasarkan Pancasila telah sepakat mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara di atas kepentingan sendiri, golongan, perbedaan agama dan lain-lain demi terciptanya tujuan nasional sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945 (bdk. Penjelasan KMA No. 70 Tahun 1978)
Namun kerapkali kita warga negara RI yang mengakui Pancasila sebagai filosofi negara dan ideologi nasional masih berada pada tahap ucapan bibir manis, formalis dan retoris. Hal inilah yang dikritik oleh Prof. Dr. Nurcholis Madjid (Cak Nur). Cak Nur pernah mengkritik orang-orang yang menyebut dirinya Pancasilais, namun nilai-nilai luhur yang merupakan hasil kristalisasi budaya Indonesia tidak dilaksanakan secara murni dan konsekwen. (bdk. Sudjangi, 1992: 272-273).
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menegaskan bahwa bila Pancasila hanya berfungsi membenarkan satu agama, berhentilah ia sebagai “aturan main” yang menghubungkan semua agama dan paham dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (bdk. Ibid, 287)
Maka tantangan bagi pelaksanaan tugas dan peran pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di bidang agama adalah bagaimana supaya Pancasila dengan nilai-nilai luhurnya dapat dilaksanakan secara murni dan konsekwen. Bila perlu pemerintah melarang tegas dan keras para pemimpin dan tokoh agama mewartakan benih-benih kebencian dan permusuhan antaragama dan pemeluknya. Dengan demikian formalisme tidak menjadi begitu kuat hingga Indonesia seakan-akan negara seremonial belaka.
Tak bisa dipungkiri bahwa para pemimpin agama adalah inti kekuatan agama dan umat. Lewat perannya sebagai pengawal ajaran agama, juru bicara aspirasi dan kepentingan umat serta integrator umat yang dapat menyatukan seluruh potensi umat, para pemimpin dan tokoh agama (ulama, kyai, pastor, pendeta) seyogiyanya menyetop ajaran stigmatisasi agama lain sebagai agama sesat dan kafir dan lalu mengedepankan persaudaraan dan persahabatan antaragama, universalitas ajaran agamanya tanpa menghilangkan keotentikan dan keunikannya.
Bila semua pemimpin agama mengedepankan agama yang humanis dengan menekankan persaudaraan dan persahabatan, kerukunan dan kedamaian antaragama, kesejahteraan dan kebaikan bangsa Indonesia, maka aneka permasalahan bangsa pelan-pelan akan dapat diatasi secara bersama-sama.
Pada bagian penutup ini, penulis mau mengulangi apa yang pernah dikemukakan oleh Moh. Hatta (1977: 32) tentang Persatuan Indonesia. “Persatuan Indonesia menjadi syarat hidup bagi Indonesia. Persatuan Indonesia mengandung di dalamnya cita-cita persahabatan dan persaudaraan segala bangsa, diliputi oleh suasana kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan keindahan yang senantiasa dipupuk oleh alamnya”.
Unsur cita-cita persahabatan dan persaudaraan bangsa merupakan keharusan kodrati sesuai dengan kedudukan manusia sebagai ciptaaan Tuhan yang diciptakan dari satu keturunan dan dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar dapat menyelenggarakan kerja sama dalam menjalani hidup di dunia ini. Semoga.
* Pormadi Simbolon, alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta, Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
No comments:
Post a Comment