Oleh Benny Susetyo PR, Budayawan dan tokoh agama Katolik
(Tulisan ini dipresentasikan dalam pertemuan Tokoh Lintas Komisi/Tokoh Umat Provinsi Gerejawi Se-Papua di Jayapura, 2-5 Desember 2013)
Kekerasan di tanah Papua
merupakan suatu kenyataan yang terusmenerus berlangsung dari waktu ke waktu.
Beragam kasus kekerasan melahirkan tragedi kemanusiaan bagi rakyat Papua.Ini
sekaligus mencerminkan bahwa harkat dan martabat manusia kurang dijunjung dan
dihormati. Kekerasan sering merusak kerukunan hidup dan bahkan bisa mengancam
keutuhan NKRI. Komitmen untuk menyelesaikan masalah-masalah di Papua melalui
dialog terbuka antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua perlu
diintensifkan. Semua dilakukan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara
demokratis, modern, dan beradab, serta menjadikan Papua sebagai Tanah Damai.
Selain itu juga perlu
dikembangkan sikap saling percaya antara Pemerintah Indonesia dan orang asli
Papua. Sedini mungkin perlu dilakukan identifikasi terhadap masalah-masalah
yang menghambat terwujudnya Papua Tanah Damai.Karena itu,perlu suatu gerakan
bersama dalam menyelesaikan konflik horizontal dan vertikal di tanah Papua demi
mewujudkan Papua Tanah Damai.
Keadilan untuk Papua
Kekerasan yang terjadi di
bumi Papua belakangan ini menunjukkan tiadanya perubahan dalam cara
memperlakukan rakyat negeri ini.Amat mengherankan karena kekerasan selalu
menjadi pilihan utama (sejak Orba hingga kini) khususnya untuk menghadapi
saudara- saudara kita di Bumi Cendrawasih. Tragedi demi tragedi terjadi tanpa
ada kesudahan dan penyelesaian yang jelas. Aksi kekerasan yang dilakukan aparat
makin memperpanjang deretan luka yang dialami rakyat Papua.
Watak represi negara
dipraktikkan dengan mengabaikan segala pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang
terjadi. Negara begitu semenamena dan mengabaikan seluruh pendekatan kecuali
kekerasan. Bahkan nyaris tak terhitung berapa banyak pelanggaran HAM yang sudah
terjadi di sana. Kondisi seperti demikian mengingatkan pada rentetan peristiwa
kekerasan lain sebelumnya di tanah Papua. Semua terjadi di tengah deru
eksploitasi besar-besaran sumber alam dari tanah tumpah darah mereka.
Di tengah isu kemiskinan
dan ketidakadilan, mereka tersandera oleh isu nasionalisme. Bagaimana
sesungguhnya konsep visi kebangsaan Indonesia? Max Lane dalam Bangsa yang Belum
Selesai menyatakan perlunya menimba kembali kekuatan dan pertarungan ide dan
pikiran dalam menyelesaikan pembangunan Indonesia sebagai sebuah
bangsa.Kedaulatan politik memang sudah ada di tangan bangsa ini sejak merdeka
setengah abad lebih lalu, tapi nation building memerlukan dinamika baru secara
dinamis. Mempertimbangkan segi dinamika politik, kerumitan, pluralitas sekaligus
kekhususan Indonesia sebagai bangsa ”yang belum selesai” justru lahir
pertanyaan, haruskah kita memang mengarah pada suatu garis akhir kebangsaan
sekaligus mengabaikan diri pada semua gejolak yang timbul di dalamnya serta
melihatnya sebagai semata-mata ancaman?
Dinamika politik
kebangsaan tak lepas dari berbagai gejolak, namun bila gejolak itu dilihat
semata-mata ancaman, bukan tak mungkin cara pandang kebangsaan ini tak ada
bedanya dengan apa yang dilakukan Orba. Jauh lebih penting membicarakan Indonesia
sebagai bangsa adalah bagaimana seharusnya cara pandang kita melihatnya. Kita
berpengalaman saat melihat Indonesia dengan mata buta nasionalisme
memperlakukan paham kebangsaan ini layaknya agamYang terjadi adalah kekerasan
dan penistaan nilai-nilai kemanusiaan. Papua adalah wilayah yang teramat sering
menjadi korban keberingasan tangan-tangan berdarah atas nama nasionalisme ini.
Nasionalisme yang dipahami sebagaimana agama hanya akan menghasilkan sikap
kebangsaan yang picik, yang selalu melihat perbedaan sebagai musuh.
Bila memang NKRI adalah
konsep utama kebangsaan ini, bagaimana menegakkannya dengan landasan keadilan.
Upaya nation building selama ini justru menghadapi masalah pelik atas
sikap-sikap elite yang sering tak menghargai jasa para pahlawan merebut
Indonesia dari penjajah. Tidak jarang mereka membunuhi rakyatnya sendiri karena
dianggap melawan dan bertentangan dengan pandangan elite.
Berikan Keadilan
Kita harus membaca
persoalan Papua ini dengan searifarifnya. Kiranya kita perlu becermin dalam
diri sendiri, mengapa warga Papua dari dulu hingga kini––yang tercipta dari
waktu yang sama dan juga ikut berjuang untuk menegakkan Bumi Pertiwi—belum
sejahtera, padahal kekayaan alamnya sangat melimpah. Kita memang harus bertanya
sejauh mana Indonesia memberikan kontribusi bagi Papua? Kekayaan alam yang
begitu melimpah justru tidak membuat rakyatnya mendapatkan kesejahteraan. Realitas
seperti ini akan mengajak kita bersama berpikir ulang,di manakah tanggung jawab
Republik ini agar kita bersama- sama merasakan penderitaan kemiskinan rakyat
Papua. Harus diakui itu bagian dari kesalahan kita sebagai bangsa yang selama
ini tidak pernah memiliki perhatian serius terhadap mereka. Kebijakan elite
politik Jakarta yang hanya berorientasi sekadar menguras kekayaan mereka adalah
kesalahan terbesar kita dalam mengelola suatu bangsa.
Keadilan belum pernah
menjadi pijakan dalam pengambilan kebijakan pemerintah. Karena itu, saat ini
yang lebih urgen adalah bagaimana pemerintah lebih proaktif untuk mendekati
warga Papua dengan memberikan bukti yang nyata bahwa rakyat Papua adalah bagian
terpenting Republik Indonesia. Rakyat Papua berhak memperoleh kesempatan yang
sama dalam segala hal, terutama dalam mengelola sumber daya alamnya. Otonomi
pengelolaan sumber daya alam ini akan bermanfaat besar bagi warga Papua bila
ada kemauan politik ke sana.
Pemerintah harus
mengoreksi kebijakan-kebijakan yang tidak memberikan kesempatan kepada rakyat
Papua untuk memperoleh akses dalam ikut serta mengelola sumber daya alam.
Rakyat Papua hanya bisa menjadi ’Indonesia’, bila politik-Jakarta berorientasi
untuk memanusiakan warga Papua. Pendekatan kekerasan jelas harus ditanggalkan
dan dibuang jauh-jauh. Pendekatan kekerasan harus digantikan dengan budaya
dialog lewat usaha mencerdaskan kehidupan masyarakat Papua. Perubahan orientasi
inilah yang sebenarnya diharapkan rakyat Papua agar Jakarta memahami bahwa
selama ini mereka kurang dimanusiakan. Dibutuhkan sebuah tata ekonomi baru di
mana sumber alam harus digunakan untuk kemakmuran bagi penduduk pemiliknya.
Tokoh agama
dan masyarakat di harapkan mencari solusi papua
tanah damai dengan mengupaya kan diaolog melalui mekanisme papua tanah damai Sejak itu, gagasan tentang
“Papua Tanah Damai” dikampanyekan, banyak kegiatan yang dilakukan. Para
pemimpin agama mendukung gagasan ini. Dukungan tersebut secara khusus mereka
organisir melalui satu wadah, Forum Konsultasi Para Pemimpin Agama (FKPPA) di
Papua yang dibentuk sejak tahun 2006.
Forum ini aktif dengan
berbagai kegiatan yang semuanya terarah kepada Papua Tanah Damai. Antara lain,
dalam kerjasama dengan Interfidei, Yogyakarta melalui pendidikan alternative
tentang “pluralism-multikulturalisme” serta peace building, khususnya di
kalangan Guru-guru Agama, para pemuda dan para pemimpin Agama. Sejak itulah,
oleh seorang Imam Katolik, Pater Neles
Tebay, Pr. yang juga sebagai salah satu anggota FKPPA merancang satu konsep
yang lengkap dengan uraian langkah-langkah praksisnya, tentang cara
menyelesaikan konflik di Papua.
Cara itu, tidak lain adalah
DIALOG; yaitu DIALOG JAKARTA-PAPUA[5]. Karena, menurut keyakinan Pater Neles,
bahwa hanya dengan membuka dan menjalani DIALOG sajalah, maka perdamaian di
Tanah Papua akan terjadi dengan tanpa kekerasan. DIALOG di antara sesama orang
Papua yang berbeda suku, agama dan faksi; DIALOG di antara orang Papua dan para
pendatang atau yang dikenal dengan kelompok strategis; DIALOG di antara
Pemerintah daerah dengan masyarakat Papua; dan DIALOG di antara Jakarta
(Pemerintah Pusat) dan Orang Papua, baik yang ada di Tanah Papua maupun yang
tersebar di daerah lain di Indonesia dan di Luar Negeri. DIALOG bersama dengan
mereka yang selama ini dianggap atau dituduh sebagai separatis. DIALOG yang
perlu dilanjutkan dengan KERJA, kerja bersama dalam membangun Papua Tanah
Damai.
Yang terpenting dialog
mesti dipandang sebagai misi bersama untuk menyelesaikan konflik di tanah Papua
menjadi Papua tanah damai . Dimana saja dengan payung organisasi atau institusi
apa saja atau mungkin secara individu. Dialog semestinya terus dikampanyekan,
dialog dalam arti luas : terus berdialog untuk kepentingan apa saja; mulailah sesuatu dengan berdialog untuk
kepentingan apa saja : dialog yang
sejajar, bermartabat dan mengakomodir kepentingan semua orang. (Pater Neles Tebay)
Tanggal 5-7 Juli 2001,
Jaringan Damai Papua, yang diinisiatifkan oleh Pater Neles bersama dengan 31
orang rekannya yang lain, mengadakan Konferensi Perdamaian Tanah Papua yang
digelar di Auditorium Universitas Cendrawasih (UNCEN), Abepura. Konferensi
Perdamaian Tanah Papua ini dihadiri oleh kurang lebih 800 orang peserta,
mewakili kurang lebih 252 suku bangsa Papua dan faksi-faksi yang ada di Papua.
Mereka adalah, warga asli Papua, Tokoh Agama, Tokoh Adat (Dewan Adat Papua) dan
Tokoh Masyarakat asli Papua serta pemerintah Pusat dan Daerah dan beberapa
pengamat (penulis hadir sebagai pengamat). Dalam Konferensi ini, soal DIALOG
dipikirkan dan dibahas secara mendalam dan bersama-sama. Mereka yakin bahwa
DIALOG merupakan langkah yang baik, bermartabat dan damai dalam menyelesaikan
persoalan di Tanah Papua. “Sebab jika tetap menggunakan kekerasan akan dibalas
dengan kekerasan dan akan melahirkan kekerasan baru". (Pdt. Socratez S.
Yoman).
Salah satu hasil yang
berkualitas dari Konferensi ini adalah, terbangunnya kesadaran bersama di
kalangan orang Papua, yang berbeda suku, bahasa, agama, gender, faksi, tentang
pentingnya membangun “spirit” bersama dengan visi dan misi bersama, yaitu
mewujudkan Papua Tanah Damai. Untuk itu, mereka harus mensukseskan DIALOG,
jalan damai yang bermartabat bagi kehidupan Papua, sekarang dan sampai di masa
mendatang.
No comments:
Post a Comment