Mari membangun Tanah Papua (foto: http://cloud.papua.go.id) |
Oleh Izak Resubun, MSC, dosen STFT Fajar Timur Papua
Artikel ini dipresentasikan pada pertemuan Tokoh Lintas Komisi (tokoh umat) Katolik Provinsi Gerejawi se-Papua, 2-5 Desember 2013
Pendahuluan
Headline
Harian lokal Cenderawasih Pos (Cepos), Selasa, 26 November 2013, memuat
beberapa berita yang menarik perhatian saya dan berkaitan erat dengan hari-hari
pertemuan para pemimpin umat Katolik di tempat ini. Tulisan-tulisan itu antara
lain: Papua yang Pertama Daftarkan Diri Jadi Tuan Rumah PON XX, 1 Desember
Diminta hanya Ibadah, BNNP: Pengguna Narkoba di Papua Ribuan Orang, Separatisme
Jadi Ancaman Perang Asimetrik, Setiap Badan Publik Wajib Sediakan Informasi
Bagi Masyarakat. Jika dicermati berita-berita tersebut, maka tampak jelas ada
kaitannya dengan sekurang-kurangnya tema yang dipercayakan kepada saya, yaitu: Membangun Tanah Papua Berbasis
Kearifan Lokal.
Tema Membangun Tanah Papua Berbasis
Kearifan Lokal membangkitkan rupa-rupa pertanyaan dalam hati, seperti: “Apa yang dimaksudkan dengan
membangun? Siapa dan apa yang perlu
dibangun? Apa yang dimaksudkan dengan Papua: tanah dan atau manusia? Apa yang
dimaksudkan dengan kearifan lokal? Mengapa kearifan lokal menjadi basis bagi
pembangunan Papua? Apakah kebijakan pembangunan yang diterapkan selama ini di
tanah Papua tidak menyentuh sasaran, sehingga perlu dikaji kembali? Pertanyaan
yang demikian banyak tidak bisa dijawab
dalam presentasi yang sederhana ini. Saya akan lebih memusatkan perhatian pada
kearifan lokal Papua yang perlu diperhatikan, bila ingin membangun tanah Papua.
Karena itu makalah ini dalam beberapa bagian
sebagai berikut: Pendahuluan, Beberapa Catatan Umum,
Beberapa Kearifan Lokal Papua dan Penutup.
1. Beberapa Catatan
umum
Sebelum
melangkah lebih jauh, terlebih dahulu pada
bagian ini saya ingin membahas tiga aspek
sehubungan dengan judul makalah ini.
1.1 Membangun
Membangun
berarti memperbaiki, membina, mendirikan (mengadakan gedung) (Dep. Dikbud.,
1998: 76). Dengan demikian membangun mengandung baik meng-ada-kan sesuatu yang
tidak atau belum ada menjadi eksis, memperbaiki sesuatu atau hal yang rusak,
maupun mendidik, membentuk (membina). Terkait dengan pembangunan orang
berbicara tentang pembangunan fisik dan pembangunan mental- spiritual. Yang
terakhir telah dibahas pada presentasi terdahulu, dan kini akan dibahas
sepintas lalu pembangunan fisik. Dalam teori dikenal beberapa paradigma
pembangunan, mis.: paradigma modernisasi,
yang mengandalkan pembangunan berskala besar dengan dana dan tenaga luar negeri, paradigma dependensia yang tampaknya
memajukan negara berkembang tetapi nyatanya tidak, dan paradigma
alternatif: pembangunan berwawasan lingkungan,
kebutuhan dasar, etnis, pembebasan dan endogen. Dapat dikatakan bahwa kedua
paradigma pertama tidak memberikan hasil sebagaimana diharapkan, karena negara
maju semakin makmur sedangkan negara miskin semakin terpuruk dan ditambah lagi
kerusakan lingkungan yang justru terjadi di negara berkembang. Karena itu orang
beralih ke paradigma alternatif yang diharapkan mengurangi kerusakan lingkungan
tetapi serentak menguntungkan negara berkembang dan menjamin kesejahteraan
sekarang dan yang akan datang (Amien, 2005: 140-162). Memang masih
dipertanyakan entah harapan tersebut akan terwujud atau tidak.
Dalam rangka paradigma alternatif
inilah kearifan lokal dibutuhkan untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan
yang bukan hanya mengeksploitasi sumber daya alam secara tak bertanggungjawab,
tetapi juga memperhatikan keseimbungan
lingkungan bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Semakin disadari
pendekatan pembangunan yang selama
ini diikuti telah membawa
kehancuran bagi lingkungan alam dan manusia, terutama orang-orang lokal, karena
nilai ekonomis lebih mendominasi segala pertimbangan pembangunan. Karena itu
orang mulai beralih kepada kearifan lokal yang mungkin membantu memberikan
solusi pada kondisi pembangunan yang dihadapi umat manusia.
1.2 Tanah Papua
Pulau
terbesar kedua di dunia sesudah Greenland
ini memperlihatkan
suatu kemajemukan yang luar
biasa.
Lingkungan alamnya amat bervariasi dari pulau Atol di lautan biru, tepian pantai yang
ditutupi hutan bakau, dataran rendah yang dialiri sungai besar dan kecil serta
rawa-rawa yang amat luas, disusul oleh dataran tinggi dan pegunungan yang
bersalju. Bahasa di tanah ini pun memperlihatkan variasi yang luar biasa, tetapi dapat
dikelompokkan dalam 2 bahasa besar,
yakni: bahasa Austronesia yang digunakan di daerah
pesisir pantai dan bahasa Papua yang dipakai di daerah pedalaman dan
pegunungan. Penduduk Papua pun memperlihatkan suatu kemajemukan yang besar,
kendati nenek moyang
mereka adalah kaum migran yang berasal dari Asia Tenggara. Kelompok-kelompok
ini bercampur-baur satu sama lain, dan lahirlah manusia Papua sekarang. Hewan dan
tumbuhannya pun amat bervariasi (Resubun, 2013: 3-4).
Tanah Papua dulunya dihindari oleh
pemerintah Belanda, karena dipandang tidak menguntungkan secara ekonomis,
tetapi kemudian dipertahankan mati-matian karena kekayaan alamnya. Tanah yang
diberkati Tuhan atau tanah yang berlimpahkan susu dan madu ini, kini menjadi tempat
tujuan bagi mereka yang ingin memperbaiki nasibnya. Kendati sumber daya alamnya
melimpah ruah, manusianya
tetap miskin dan terbelakang. Sejarah pendudukan tanah ini meninggalkan luka
batin yang mendalam dan tak terperikan bagi penduduk Papua (Bisei, 2007:
22-31), kendati demikian tanah dan manusia Papua menyimpan sejumlah besar
kearifan lokal yang perlu disimak dan digunakan dalam membangun tanah Papua.
1. 3 Kearifan Lokal
Kearifan
lokal menjadi suatu konsep yang semakin populer penggunaannya dalam kehidupan
bersama pada masa kini. Kearifan berarti kebijaksanaan dan kecendikiaan, sedangkan kata lokal
berarti ruang yang luas, setempat, tidak merata, dibuat (diproduksi, tumbuh,
hidup, terdapat) di suatu tempat (Dep.Dikbud., 1998: 48, 530). Katakan saja Kearifan
lokal adalah “pandangan
tentang dunia dan sikap serta
praktek hidup yang dimiliki oleh suatu komunitas tertentu dan diturun-alihkan dari generasi
yang satu ke yang lain melalui sosialisasi internal kelompok.” Dalam pandangan tentang dunia terdapat sejumlah
nilai yang mendukung manfaat atau kegunaannya, juga prinsip-prinsip moral yang
menuntunnya (J. F. Franklin 2007:25 dalam Renwarin 2011: 72-73). Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa kearifan lokal adalah "keyakinan dan praktek
hidup suatu komunitas tertentu yang menjamin eksistensi dan keberlangsungannya.”
Hal yang menarik dari kearifan lokal
adalah orang yang menghidupinya sering tidak sadar akan apa yang dilakukannya.
Bila orang lain bertanya tentang praktek/ kebiasaan tertentu yang dijalankan
dalam hidup, maka selalu akan dijawab: “Demikianlah yang telah dilakukan oleh
leluhur dan kami
terus melakukannya.” Bisa jadi bahwa jawaban demikian menghindari pertanyaan
lebih lanjut atau hendak menyembunyikan
kebenaran, agar orang lain tidak dapat mengetahui rahasia kelompok. Bila
diteliti lebih jauh, maka kearifan lokal demikian mampu menjamin eksistensi dan
kelangsungan manusia, hewan, tumbuhan atau pun air.
2.
Beberapa Kearifan Lokal Papua
Kemajemukan
Papua yang begitu besar menyulitkan saya untuk menyajikan kearifan lokal yang
kiranya dipraktekkan di mana-mana. Beberapa kearifan lokal yang saya kemukakan
pada kesempatan ini, kiranya berlaku umum di seluruh Papua, bahkan Melanesia.
2. 1 Kearifan Lokal dalam Relasi dengan Alam: Zonasi
Wilayah
Pulau
besar yang tidak dikenal dengan baik, dulunya disangka terra nullius: tanah tak bertuan. Ternyata dugaan tersebut tidak
benar, karena tanah ini telah dihuni oleh nenek moyang orang Papua
sejak puluhan ribu tahun lalu. Mereka bukan hanya tinggal tetapi membuatkan zonasi
daerahnya: ada tempat tinggal, tempat berburu dan menangkap ikan, tempat
berkebun, tempat pemali (tabu), tempat (dusun) suku dan klen. Jadi tanah yang
luas ini telah dibagikan menurut peruntukannya. Zonasi wilayah tersebut
membantu pelestarian lingkungan, karena orang tidak leluasa mengambil hasil
hutan atau mengolah tanah sesuka hatinya. Tempat pemali tidak boleh dimasuki
oleh sembarang orang, hanya mereka yang memiliki tempat itu diperkenankan masuk
ke dalamnya. Tempat-tempat itu menjadi tempat suaka bagi hewan dan tumbuhan.
Selain itu mereka juga mengenal sistem sasi,
larangan untuk mengambil hasil hutan atau air pada waktu tertentu. Ditambah
lagi hukum tak tertulis untuk hanya mengambil kebutuhan hidup dari dusun
sendiri. Dengan praktek hidup demikian, lingkungan alam tetap terjaga demi
kelangsungan hidup generasi sekarang dan yang akan datang (Resubun, 2011: 3-26).
Zonasi wilayah, sasi serta tempat
pemali dihidupi dan dipraktekkan oleh orang-orang lokal karena mereka mempunyai
pandangan yang unik terhadap alam/tanah. Tanah dilihat sebagai supermall di
mana mereka dapat mengambil hasil alam demi kelangsungan hidupnya. Tanah
dipandang sebagai tempat berkebun, sebagai tempat suci/pemali, sebagai ibu yang
melahirkan dan membesarkan dan sebagai identitas diri. Oleh karena itu
lingkungan alam selalu dijaga dan dirawat, agar selalu bisa memberikan
kehidupan kepada manusia dan makhluk lainnya. Perkembangan terakhir menunjukkan
bahwa pandangan dan perlakuan terhadap alam sudah mulai berubah dengan
kehadiran ekonomi uang, mis.: tanah diperjual-belikan, lahan dan gedung
dipalang (Resubun, 2006: 79-106).
2. 2 Kearifan Lokal dalam Relasi dengan
Sesama: Resiprositas dan Generositas
Salah satu teka-teki
besar yang dihadapi oleh para antropolog ketika meneliti di Melanesia dan Papua
adalah masyarakatnya terus bertumbuh dan berkembang, kendati tidak ada satu pemerintahan
sentral. Jawabannya ada pada resiprositas dan generositas. Yang pertama
berarti: saya memberi, engkau menerima dan kemudian mengembalikan. Dengan
menerima pemberian seseorang, maka terkandung kewajiban untuk mengembalikannya.
Jika tidak mengembalikan pemberian orang, maka penerima akan kehilangan muka dan
statusnya dalam komunitas dimana ia menjadi bagiannya. Resiprositas mengikat
warga suatu masyarakat agar tidak tercerai-berai, karena tidak satu pun pemberian
yang gratis seratus persen (Mauss M. 1954). Dengan kata lain pemberian
menciptakan hak dan kewajiban yang akan terus berlangsung selama hidup (bdk.
Kula di kepulauan Troriand).
Yang kedua, generositas berarti
kesediaan untuk berbagi dengan orang lain. Masyarakat Papua terkenal sebagai
orang yang ramah dan suka memberi. Pemberian menciptakan relasi di antara
orang-orang yang memberi dan relasi antar manusia menjadi sesuatu yang amat
bernilai dalam kehidupan masyarakat Papua. Kesediaan Papua menjadi tuan rumah
PON XX mungkin bisa dicermati melalui kacamata ini. Kemampaun finansial Papua
mau dibagikan dengan warga dari provinsi-provinsi lain (Cepos, Selasa, 26
November 2013, hal. 1 & 7). Contoh yang cukup menonjol adalah kemurahan hati orang Papua jika berada
di wilayah lain dari Indonesia
(khususnya Jawa). “Kita
suka bagi-bagi dengan orang lain, walaupun kita sendiri susah.”
2. 3 Kearifan lokal dalam Relasi dengan
Penyelesaian Sengketa/Konflik: Harmoni
Sengketa,
konflik, “peperangan” menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman hidup
harian di tanah Papua. Orang berkelahi, kemudian membayar denda, berdamai,
bakar batu, lalu kemudian akan muncul lagi
konflik. Orang yang tidak memahami siklus ini
akan pusing kepala, apalagi harus bayar denda. Posposil menjelaskan bahwa
penyelesaian suatu masalah tergantung dari jauh-dekatnya relasi di antara
mereka yang bertikai dan berat-ringannya permasalahan (Sillitoe 1998:151). Jika
terjadi konflik di antara mereka yang berkerabat dekat dan masalahnya ringan, maka
akan mudah diselesaikan. Tetapi jika
konflik
itu berlangsung di antara mereka yang tidak punya relasi kekerabatan dan
masalahnya berat, maka akan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan
solusinya.
Yang paling sulit dipahami adalah
denda yang harus dibayar oleh pihak yang bersalah. Kenapa demikian? Denda
dipandang sebagai ganti rugi atas penderitaan korban. Dengan membayar denda,
maka terciptalah harmoni yang terganggu akibat konflik. Denda dibayar, bakar
batu diadakan, lalu makan bersama-sama, berarti
masalah telah terselesaikan. Saya sering berpikir bahwa etos
kesederajatan di antara manusia Papua, mengakibatkan bahwa tidak boleh ada yang
menderita akibat ulah orang lain, sehingga denda atau kompensasi harus
diberikan agar harkat dan martabat korban dipulihkan kembali.
2.4 Kearifan Lokal dalam
Relasi dengan Pendidikan dan Pembinaan: Inisiasi Adat
Dalam
pembahasan pertama telah dikedepankan nilai kebebasan dan otonomi, kebersamaan
dan solidaritas, sebagai nilai-nilai yang perlu diperjuangkan oleh Gereja
Katolik dalam memberdayakan masyarakat di tanah Papua. Nilai-nilai itu
diusahakan oleh masyarakat tradisional
Papua melalui Inisiasi Adat. Ritus inisiasi yang dibagikan dalam tiga tahap:
separasi, liminal dan agregasi, berfungsi mempersiapkan orang-orang agar
menjadi pribadi-pribadi dewasa yang bertanggung jawab dalam kehidupan
bersama. Ritus ini selalu dimulai dengan seleksi calon, dilanjutkan dengan
tahap pengasingan di mana para inisiandi/ae disendirikan dan dibatasi kontaknya
dengan dunia luar, lalu digembleng selama masa liminal, dan akhirnya
digabungkan kembali dengan warga masyarakat lain sebagai makhluk baru dan
dewasa. Jadi ritus inisiasi sesungguhnya mempersiapkan generasi muda sebagai
pribadi yang akan mengambil alih tongkat estafet kepemimpinan dalam kehidupan
bersama suatu komunitas, dan hal ini
berlaku baik bagi pria maupun bagi wanita (Sillitoe, 1998: 195-214;
Resubun, 2010: 74-94).
Sayanglah bahwa inisiasi adat ini
sudah jarang sekali dilaksanakan dalam kehidupan dunia modern, walaupun diakui
bahwa amat bermanfaat bagi pembinaan generasi muda. Kenakalan orang muda
seperti mabuk-mabukan, pencurian, perkelahian, narkoba menjadi indikasi bahwa
orang muda kehilangan pegangan hidup, padahal pembinaan selama inisiasi
mempersiapkan mereka dengan berbagai pengetahuan dan ketrampilan, agar mereka
menata masa depannya dengan mantap. Dalam situasi kekosongan jiwa itulah,
mereka mencari ke sana ke mari dan terjerumus ke dalam tindakan-tindakan yang
tidak menguntungkan dirinya dan orang-orang lain. Saya melihat inisiasi adat
gaya Papua ini menjadi salah satu solusi bagi permasalahan masyarakat yang
dialami sekarang. Tentu bentuk dan isi inisiasi perlu disesuaikan dengan
kondisi masa sekarang.
2.5 Kearifan Lokal dalam
Relasi dengan Kepemimpinan: Kepemimpinan yang Melayani
Tipe
kepemimpinan di tanah Papua amat variatif mulai dari kepemimpinan raja,
ondoafi, bigman sampai campuran. Satu
hal jelas, yakni kepemimpinan yang feodal dan sentralistik tidak dikenal dalam
kehidupan masyarakat Papua. Etos kesederajatan
amat dihidupi dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Papua. Setiap orang
berhak mendapat kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya, biarpun
bertentangan dengan pendapat umum (bdk. Tepas Keuskupan Jayapura 2004 di
Sentani). Dari tipe-tipe kepemimpinan yang ada, kepemimpinan bigman merupakan bentuk paling umum
dalam kehidupan masyarakat Papua. Bigman
adalah pria berwibawa yang mencapai status tersebut berkat usaha pribadinya,
dan kriterianya adalah punya banyak harta, berani dan berhasil dalam perang, punya hubungan
dengan roh-roh leluhur, serta pandai berpidato. Orang ini terus menerus
memberikan sesuatu kepada sesamanya, dan justeru karena itu ia mendapat
penghargaan dan penghormatan serta kekaguman dari sesamanya. Seorang bigman atau sebutan lokalnya ap kaintek, gab-elul, tonowi, popot, kayapak berwibawa justeru karena
melayani sesamanya (Sillitoe, 1998: 99-111; Resubun, 2005: 28-46) dan karena ia
hidup dekat dengan warga masyarakatnya.
Kuasa seorang bigman tidaklah absolut, karena setiap anggota masyarakat dapat
menantang dan menentangnya. Ada orang yang mengatakan bahwa bigman berkuasa mengambil keputusan
untuk semua warganya seperti yang dipraktekkan dalam pemilihan gubernur yang
baru lalu, yang tentunya menyalahi ketentuan pemilu karena bertentangan dengan one man one vote. Justifikasi terhadap
praktek ini adalah sistem kepemimpinan bigman,
sulitnya transportasi dan rendahnya SDM (Ell cs., 2013: xii-xiii). Perkembangan
kepemimpinan di tanah Papua mengalami perubahan akibat kontak dengan dunia luar,
banyak sekali bigman baru yang tidak
mengikuti seleksi warga masyarakat, sehingga bisa terjadi bahwa orang yang
dipilih sebagai bigman atau menyebut
dirinya bigman tidak lahir dari
prestasi pribadi yang bersangkutan. Hal ini juga tampak dari sikap dan perilakunya
yang menghabiskan sebagian besar waktunya di kota kecamatan atau kabupaten,
yang berjalan dengan map proposal ke sana ke mari serta menghabiskan dana
bantuan di kota baru kembali ke kampung, seperti dikeluhkan Agus Alua
(2005:66-67).
2.6 Kearifan Lokal dalam
Relasi dengan Barang-barang Berharga: Babi, Kulit siput, Garam, Kain Timur, dll.
Pada
setiap masyarakat selalu saja ada benda-benda yang dipandang sebagai barang
langka dan amat berharga dalam kehidupannya. Masyarakat Papua mengenal juga barang-barang
demikian seperti babi, kulit siput/bia, garam, noken. Babi merupakan binatang
kesayangan karena fungsinya yang amat banyak dalam kehidupan bersama. Jika ada
acara bersama mesti ada daging babi untuk disantap, daging itu menyempurnakan
suasana pesta. Selain itu babi digunakan sebagai alat pembayar denda, maskawin,
persembahan, bahkan bagian-bagian tertentu dipakai untuk menolak bala/kekuatan
jahat (Hylkema, 1974). Kulit siput pun digunakan sebagai alat pembayaran pada
masyarakat-masyarakat tertentu, terutama di daerah pegunungan. Garam dan kain
timur pun demikian halnya. Barang-barang berharga ini secara ekonomis tidak
seberapa nilainya, tetapi secara simbolis dan sosial amat bernilai bagi mereka
yang menggunakannya. Karena itu barang-barang itu tetap dipakai dalam kehidupan
komunitas, khusus dalam situasi tertentu seperti kelahiran, perkawinan dan
kematian. Memang manfaat dan nilainya semakin terdesak oleh alat bayar modern
(uang), tetapi dipertahankan karena nilai simbolisnya mengikat komunitas yang
satu dengan yang lain.
Barang-barang berharga tradisional
perlu diperhatikan dan dipelajari, karena mempunyai fungsi sentral dalam
kehidupan masyarakat Papua. Penyelesaian konflik atau peperangan selalu
disertai denda, demi pemulihan keseimbangan yang telah dirusakkan. Alat
pembayarannya adalah barang-barang berharga tersebut, kendati sekarang sudah mulai
diuangkan. Mungkin ada baiknya ditambahkan pula
bahwa
setelah penyerahan denda, maka konflik atau persoalan sudah diselesaikan dan
kehidupan kembali normal seperti biasanya. (bdk. pengalaman tentang pengadilan
adat di desa Bupul tahun 2004).
2.7 Kearifan Lokal
dalam Relasinya dengan Kehidupan
Nilai
sentral dalam kehidupan masyarakat Papua dan Melanesia adalah kehidupan (continuation of life, protection of life,
maintenance of life, and celebration life), menurut Whiteman seperti
dikutip Alua (2006: 14). Kehidupan bukan hanya sekedar ada pangan, papan dan
pakai, tetapi kehidupan yang berkecukupan yang mesti dibagikan dengan sesama.
Kehidupan demikian diperoleh melalui menciptakan, menetapkan, memelihara,
melestarikan, dan memulihkan relasi dengan alam, sesama dan leluhur. Jika manusia
mampu memelihara relasi yang baik ini, maka dijamin bahwa ia akan hidup
sejahtera. Tentu muncul pertanyaan: “Bagaimana wujud kesejahteraan yang
dinantikan?” Kesejahteraan yang didambakan bukannya kelimpahan materi, tetapi
dalam relasi yang harmonis, menyenangkan, membahagiakan dengan alam, sesama,
leluhur dan Tuhan (Resubun 2013: 21).
Kemudahan yang ditawarkan dunia
modern, kesempatan yang tersedia, kelimpahan dana Otsus, mungkin bisa menggeserkan kearifan ini,
tetapi rasanya kehidupan yang benar-benar
didambakan adalah kehidupan relasional yang menjamin kesejahteraan
dan kebahagiaan masyarakat Papua. Situasi hidup yang kondusif, relasi yang aman
dan nyaman dengan alam sekitar, kebebasan dan kemandirian yang terjamin, kebutuhan
dasar terpenuhi inilah yang
didambakan oleh masyarakat Papua.
Seharusnya, makalah ini juga
menyajikan sarana yang bisa dimanfaatkan untuk mensosialisasikan
kearifan-kearifan lokal yang telah dipresentasikan di atas, tetapi saya rasa
hal itu di luar jangkauan saya. Sarana yang bisa digunakan melalui lembaga
Gereja Katolik telah saya singgung pada presentasi pertama. Mungkin ada
baiknya, kita bergumul bersama agar menemukan cara yang tepat untuk maksud
tersebut.
Penutup
Saya
menyadari karena keterbatasan waktu, ruang dan kemampuan saya, sehingga tulisan ini amatlah
sederhana dan tidak sempurna. Kendati demikian saya ingin menyimpulkan beberapa poin
berikut:
- Pembangunan di mana pun
sebaiknya dan seharusnya memperhatikan konteks atau situasi masyarakat
yang menjadi patner dalam pembangunan. Paradigma pembangunan yang diimport
dari luar belum mensejahterakan masyarakat lokal. Karena itu paradigma
tersebut harus diganti dengan paradigma lain yang lebih “dekat”/familiar
dengan masyarakat setempat.
- Paradigma yang familiar itu
mesti bertitik tolak dari kearifan lokal. Masyarakat Papua memiliki banyak
sekali kearifan lokal yang masih terpendam dan perlu digali, agar dapat
dimanfaatkan dalam menyusun program pembangunan di tanah Papua.
Pertanyaannya adalah: “Apakah kearifan lokal Papua dipandang penting untuk
membangun tanah Papua? Dan Siapa yang akan bertanggung-jawab
terhadapnya?”
Membangun tanah Papua adalah tanggung
jawab kita bersama. Begitu pula kearifan lokal bukanlah manopoli pengetahuan
seseorang, tetapi pengetahuan kita bersama. Karena itu mari kita saling berbagi
dalam pertemuan ini.
Referensi
Alua
Alue A. 2005. Ap Kaintek: Model Kepemimpinan Masyarakat Hubula di Lembah
Balim, Papua”, dalam Limen, Th. 2, no.1, hal. 47-71.
Amien
Mappadjantji A. 2005. Kemandirian Lokal:
Konsepsi Pembangunan, Organisasi,
dan
Pendidikan dari Perspektif Sains Baru, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Bisei
Abdon. 2007. “Penderitaan Rakyat Papua, Sengsara Yesus Masa Kini: Refleksi
Soteriologis
atas Penderitaan Rakyat Papua”, dalam Limen, Th. 4, no. 1, hal. 16-
52.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Kamus
Besar Bahasa Indonesia, hal. 48,
530, Jakarta: Balai Pustaka.
Hylkema
S. 1974. Het Varken: Onderzoeknaar de
maatschappelijke funktie en betekenis
van
het varken bij de ekagi, “tidak dipublikasikan”.
Mauss M.
1954.The Gift. Forms and Functions of
Exchange in Archaic Societies.
London:
Cohen & West.
Renwarin
B. 2011. “Kearifan Lokal sebagai Modal Sosial”, dalam Limen, Th.8, no.1, hal.
57-80.
Resubun
I. 2013. Mengenal(kan) Papua. Makalah
yang dipresentasikan pada Pelatihan
Jurnalistik
Liputan Pertambangan dan Lingkungan di Jayapura.(tidak
dipublikasikan)
Resubun
I. 2011. Kontribusi Managemen Tradisional Hutan Papua terhadap Global
Warming”,
dalam Limen, Th. 7, no.2, hal. 3-26.
Resubun
I. 2006. “Tanah dan Permasalahannya di Papua”, dalam Limen, Th. 2, no.2, hal.
79-106.
Resubun
I. 2010. “Inisiasi Adat Papua di Persimpangan Jalan, dalam Limen, Th.7, no. 1,
hal. 74-94.
Resubun
I. 2005. “Pemimpin Tradisional Yei-nan (Gab-Elul), di Distrik Muting,
Kabupaten
Merauke. Suatu Tinjauan Antropologis”, dalam Limen, Th. 2, no.1,
hal.
28-46.
Sillitoe
P. 1998. An Introduction to the
Anthropology of Melanesia: Culture and
Tradition,
Cambridge: Cambridge University Press.
No comments:
Post a Comment