Prof. Dr. Armada Riyanto, CM, Dosen Filsafat Politik STFT Widya Sasana Malang, Jawa Timur
(artikel ini pernah dipresentasikan pada pertemuan tokoh agama Katolik Keuskupan Denpasar di Mataram, NTB, 25-29 Agustus 2013)
TERBEBANI
SEJARAH?
Gereja Katolik, khususnya Gereja Katolik
Indonesia, sering berada dalam disposisi “ragu” melakukan eksplorasi kedalaman
sejarah politiknya.
Secara umum disposisi itu disebabkan oleh
pemahaman yang kurang menyeluruh atas pengalaman historis relasi Katolik dan
politik. Ada semacam rasa “terbebani sejarah”.
Jika sebelum Konstantinus menang perang
karena simbol “IHS” (yang merupakan singkatan simbolik dari “In Hoc Signo
Vinces” atau “dalam tanda ini engkau akan menang) sejarah kekatolikan dihiasi
oleh rupa-rupa pengalaman heroik, indah untuk dikenang dan diteladani, yaitu
kemartiran; maka, setelah Konstantinus, orang Katolik kerap lebih suka
“melupakan” sejarahnya karena penuh dengan kekacauan peradaban keterpautan
antara kekuasaan
politis dan kekuasaan rohani. Apalagi, label sejarah kekacauan tumpang tindih kekuasaan rohani dan profan itu disebut Cesaropapisme, yang merupakan terminologi peyoratif dari gandengan Cesar dan Paus.
Pengalaman historis yang kurang menarik
untuk diingat (paling sedikit oleh publik pembaca Indonesia) adalah perang salib. Secara sederhana perang salib
bukanlah peristiwa yang diterima sebagai sebuah momen kepahlawanan melainkan
sebagai sebuah “nasib sejarah” yang hingga sekarang tidak hentinya menjadi
keprihatinan. Halnya juga menjadi sebuah keniscayaan, karena kita hidup bersama
dengan saudara-saudari umat Muslim yang juga memandang bahwa perang salib
merupakan sebuah “nasib sejarah”.
Sejarah Abad Pertengahan Eropa yang
dipandang sebagai periode keemasan dari sejarah kekatolikan pun lebih diingat
sebagai momen inkuisisi, di mana
kekuasaan Gereja tampak banal (jika disimak dari kacamata modern). Inkuisisi
merupakan pengadilan Gereja atas heresi atau kesesatan iman yang berujung
kepada hukuman (sebagian besar dengan pembakaran) kepada para pelakunya.
Diantaranya, yang bisa kita sebut, Bruno,
yang dibakar di Campo
dei Fiori (lapangan bunga), di Roma.
Jika kita menyimak konteks dekat, sejarah
kekristenan Indonesia, di situ pun kita mengalami semacam perasaan “inferior”
atau disposisi “penyesalan” historis. Betapa tidak, identifikasi bahwa
kekristenan sama dengan “agama
penjajah” toh di
sana sini tetap kental juga. Sadar atau tidak, stigma bahwa kekatolikan gandeng dengan penjajahan tetap menjadi
semacam “luka” yang tak kunjung sembuh dalam disposisi hati kita.
Logika sejarah seperti di atas sesungguhnya
merupakan sebuah perspektif logika yang kurang tepat. Letak kekurang-tepatannya
pada cara pandang bahwa sejarah pertama-tama adalah sebuah ingatan. Dan,
ingatan paling mudah adalah ingatan akan peristiwa yang spektakuler. Betapa pun
sebuah
peristiwa bukan
dominan, logika spektakuler menguasai hampir keseluruhan cara kita
mengingat. Misalnya, orang
Belanda (Katolik) lebih kita ingat sebagai penjajah. Tetapi, pernahkah kita
menyadari bahwa Almarhum Romo van Lith adalah seorang Katolik yang diusulkan
oleh K.H. Agoes Salim, seorang tokoh pergerakan nasional Muslim untuk menjadi
anggota Volksraad? Atau, siapa yang
mengingat bahwa salah satu rapat-rapat penting yang menghasilkan Sumpah Pemuda dijalankan di gedung
pemuda Katolik (Katholieke Jongelingen Bond) di Waterlooplein (Jl. Lapangan
Banteng) tanggal 27 Oktober 2008? Detil-detil yang mengindikasikan panorama
aktivitas masa lampau dari partisipasi orang-orang Katolik dalam politik kerap
terkubur, dan yang tampak adalah nisan-nisan emblem kegetiran historis bahwa
kekatolikan gandeng dengan penjajahan.
Jarak waktu yang sangat besar dalam
sejarah sebenarnya bukan hanya mengatakan “kelampauan” tetapi juga jurang perspektif. Artinya, ingatan kita akan sejarah sesungguhnya juga
sekaligus mengatakan “pengadilan historis dengan perspektif sendiri”
(historical judgment). Kita tidak pernah bisa mengingat peristiwa masa lampau
sebagai sebuah peristiwa otonom, melainkan sebagai sebuah peristiwa yang sudah kita nilai, adili, eksplorasi.
Akibatnya, dalam sejarah, peristiwanya sendiri lenyap, yang tinggal adalah
penilaian kita. Halnya menjadi kurang adequate
ketika penilaian itu diajukan untuk sebuah kepentingan modern, kepentingan
kita saat ini.
Ketika Kaisar Konstantinus menjadi
kristen dan secara perlahan kemudian juga seluruh Eropa mengimani Kristus
perlulah ditempatkan pada keseluruhan sejarah manusia. Sejarah manusia adalah
sejarah kekuasaan. Di mana pun di planet ini, ketika hadir kekuasaan di situlah sejarah dipatrikan.
Sebuah suku yang sangat kecil dengan tradisi yang sangat kaya, ketika suku itu
“menguasai” suku-suku lain, pastilah ditorehkan dalam sejarah. Dan, lupakan
suku-suku lain yang tidak berkuasa, meskipun suku itu mungkin sangat besar.
Logika semacam ini juga memungkinkan
sebuah panorama sejarah Gereja Katolik di era sesudah Konstantinus, kala Abad
Pertengahan, dan periode-periode yang lebih modern.
Cesaropapisme menjadi emblem masa lalu. Tetapi,
yang pasti jelas tidak hanya itu. Ketika kekuasaan profan gandeng dengan
kekuasaan Gereja, sesungguhnya halnya memiliki pula perspektif yang baru.
Gereja sebagai representasi kekuasaan rohani menyucikan kekuasaan dunia. Santo Agustinus, Uskup dari Hipo,
menulis buku De Civitate Dei, yang langsung memaksudkan upaya
teologi bahwa kekuasaan dunia harus tunduk dalam tata rohani sebagaimana dalam
ekonomi keselamatan Tuhan. Jadi keterkaitan kekatolikan dan kekuasaan memang
diakarkan juga pada pemahaman bahwa tata dunia ini perlu menghadirkan tata
keselamatan.
Perang Salib adalah peristiwa sejarah yang
sepenuhnya milik masa lampau. Dalam Perang
Salib, yang paling pokok bukanlah
perkara menang atau kalah, tetapi “roh” yang menjadi peristiwanya. Judgment kita akan Perang Salib
pertama-tama berada dalam koridor bahwa sejarah agama-agama sebenarnya adalah
sejarah kekuasaan manusia-manusia. Dan, logika kekuasaan adalah logika
dominasi. Klaim-klaim kepemilikan atas Yerusalem tidak semata bertumpu pada
doktrin agamis tetapi pada “roh”-nya manusia-manusia yang satu sama lain
bertengkar dan saling menguasai. Bagaimana dengan inkuisisi? Inkuisisi tidak lain adalah perkara penting yang
berkaitan langsung dengan pembelaan kemurnian iman. Sebuah pembelaan yang
memiliki konteks zaman tertentu, di mana peradaban manusia tunduk pada
peradaban ortodoksi ajaran agama.
Terbebani
oleh sejarah sebagai “agama penjajah?” Sebenarnya, konsep yang tepat tentang agama-agama
adalah ketika agama “berdatangan” ke Indonesia, masing-masing memiliki sejarah
“hitam”-nya sendiri-sendiri yang khas. Tak terkecualikan agama paling awal
datang ke Indonesia, seperti Hindu dan Budha. Apalagi Islam (simak pidato
Atmodarminto dalam sidang Konstituante tahun 1957, tatkala pembahasan tentang Dasar Negara “Islam” yang hendak
dikenakan oleh para eksponen-eksponen politis Muslim ketika itu). Sejarah
kehadiran Islam di Indonesia pun gandeng dengan peristiwa-peristiwa perang dan
penaklukan. Lihatlah Majapahit yang dihancurkan oleh Islam Demak (Pajang).
Bukan hanya kekuasaan aktual kerajaan Majapahit, melainkan seluruh peradaban
Hindu dihancurkan. Naskah-naskah Jawa kuna selamat hanya karena beberapa dari
mereka dapat lari ke Bali atau Tengger. Dan, tentu saja juga kekristenan di
Indonesia. Konsep historisitas kekatolikan sebagai agama penjajah semata lebih
dipondasikan pada sebuah rivalitas ideologis yang terus dikibas-kibaskan. Repotnya,
orang Katolik sendiri berada dalam “kurungan inferioritas” semacam ini. Semacam
memiliki pengalaman “rendah diri” atau “kurang yakin” bahwa kiprahnya nanti
kelak akan diterima masyarakat.
Seyogyanya konsep tentang “agama
penjajah” tidak menjadi sebuah keniscayaan, sebab sejarah agama-agama adalah
sejarah manusia-manusia yang memiliki konstelasi kekuasaan dengan logika
tunggal, ekspansif. Ekspansi senantiasa memiliki indikasi negatif. Sebab,
ekspansi merupakan ekspresi dari penolakan eksistensi kelompok lain demi
kepentingan eksistensi sendiri. Demikianlah logika semacam ini juga dimiliki oleh semua agama yang ada!
Islam pun, yang kerap dideklarasikan sebagai agama damai, memiliki segala
peristiwa dan jejak-jejak historis tinta hitam baik dalam sejarah
perkembangannya di dunia maupun juga di Indonesia (khususnya di Jawa). Tetapi,
lagi-lagi, cara pandang terhadap agama sebagai sebuah peristiwa kekacauan dalam
sejarah sering kali hanya untuk memenuhi sedikit kepuasan kita saja. Hal yang
jelas tidak fair.
Kekatolikan tidak sama dan tidak gandeng
dengan logika kolonialisme di masa lampau. Kekatolikan merupakan sebuah bentuk
transendensi diri untuk menghadirkan Kerajaan Allah dalam hidup manusia di
dunia sehari-hari kita. Dan, itulah sebabnya, kekatolikan merapatkan diri pada
pelabuhan tata hidup bersama. Dengan kata lain, Katolik dan politik tidak saling
tabrakan, melainkan justrus konvergen. Kekatolikan menjadi pondasi pembangunan
manusia secara menyeluruh dalam martabatnya.
Ketika politik mengejar “kebaikan
tertinggi” (kebaikan umum bagi seluruh warganya), menurut Aristoteles, Katolik
menghadirkan sang “Kebaikan Tertinggi” dalam hidup persekutuan umatnya, Gereja.
Artinya, ketika politik berada dalam ranah tata dunia, Katolik mewartakan tata
baru, tata keselamatan. Ekonomi
kehidupan dan ekonomi penebusan tidak
dipisah-pisahkan. Itulah sebabnya Katolik dan politik tidak bertentangan. Etika politik dan etika Katolik bukan dua hal yang saling bertumbukan, melainkan dua
perspektif yang menghadirkan keselarasan. Keselarasan societas.
***
HUKUM
Terminologi hukum. Hukum dalam bahasa Latin, Lex. Refleksi terminologi mengalir dari bahasa Latin
ini. Lex berasal dari (1) ligare: mengikat, dan (2)
legere: menghimpun, membaca. Mana
yang lebih tepat dari keduanya, bukan soal. Hukum adalah itu yang mengikat,
namun sekaligus merupakan itu yang kita baca sebagai aneka peraturan yg
dihimpun bersama sebagai sebuah kesatuan.
Apakah hukum?
Hukum adalah
soal perintah dan larangan. Berikut ini adalah pengertian
hukum (positif) yang digagas oleh Santo Thomas Aquinas. Hukum positif artinya
hukum yang diletakkan/diberlakukan dalam masyarakat. Disebut positif bukan
untuk mengatakan lawan negatif. Positif memaksudkan yang diberlakukan /
diletakkan (dari ponere-posui-positus: meletakkan). Hukum positif juga
disebut hukum sipil. Aquinas menggagas hukum (yang adalah soal perintah dan
larangan) sebagai:
1.
Ordo
rationis atau ordinance
of reason (tatanan akal budi). Yang dimaksud dengan akal budi, oleh
Aquinas, ialah recta ratio atau right reason. Manusia sejauh
manusia memiliki akal budi sehat, artinya memiliki segala apa yang perlu untuk
berpikir dan menghendaki yang benar bagi dirinya (kesadaran bahwa dirinya
adalah citra Allah) dan bagi sesamanya yang lain (kesadaran akan kodrat
sosialitasnya). Dari sebab itu, akal budi yang benar akan selalu mengantar
manusia kepada Allahnya. Hukum itu soal akal budi, apa artinya? Artinya, daya
ikat/wajib dari hukum didasarkan pada kebenaran sejauh akal budi manusia dapat
memikirkannya. Konsekuensinya? Tidak setiap peraturan hukum yang
diperintahkan/diberlakukan mengikat/mewajibkan (secara moral); hanya perintah/ larangan yang lolos dari
verifikasi akal budi saja yang memiliki daya ikat. Misalnya, perintah untuk
membunuh orang Yahudi pada waktu jaman Nazi Hitler, dalam jalan pikiran
Aquinas, jelas tidak memiliki daya ikat apa pun (artinya, apabila dilanggar,
orang tidak melakukan kesalahan/pelanggaran moral apa pun; bahwa dia akan
dihukum oleh pemerintah Nazi Jerman, itu soal lain). Perintah untuk membunuh
orang Yahudi itu jelas tidak masuk akal. Dalam hidup sehari-hari ada banyak
perkara yang di-hukum-kan, tetapi tidak semua mengatakan kewajiban yang harus
ditaati.
2.
Tatanan
akal budi ini dimaksudkan untuk mengejar bonum commune (atau the
common good) – kesejahteraan umum. Aquinas mengatakan elemen kodrat hukum
yang lain, yaitu bahwa hukum memiliki target untuk mengejar kesejahteraan umum.
Hukum tak pernah untuk kepentingan pribadi atau penguasa atau golongan
(beberapa orang), melainkan untuk kesejahteraan umum. Doktor Angelicum, Aquinas
ini, menggagas finis operis hukum untuk kesejahteraan seluruh komunitas.
Peraturan tidak pernah untuk peraturan. Peraturan itu untuk manusia. Peraturan
harus menjadikan manusia baik, damai, sejahtera.
3.
Sumber
dari tatanan akal budi ini berasal dari instansi/pribadi yang bertindak sebagai
penanggung jawab atas kesejahteraan umum. Dari mana hukum diasalkan? Dari
sendirinya dari sang penguasa, atau – dalam perumusan Aquinas – dari dia yang
bertanggung jawab atas kesejahteraan umum seluruh komunitas. Thomas Aquinas
belum mengenal pembagian kekuasaan yang secara praktis membedakan antara
pembuat hukum, pelaksana hukum, dan instansi yang mengadili kesalahan hukum.
Tetapi, apa pun namanya lembaga suatu
pemerintahan, yang membuat undang-undang ialah pihak yang bertanggung jawab
atas komunitas. Tidak setiap orang bisa bertindak sebagai pembuat hukum.
4.
Sebagai
hukum tatanan akal budi ini harus dipromulgasikan/diberlakukan. Bila mana hukum
berlaku sebagai hukum? Bila hukum itu dipromulgasikan, diberlakukan oleh dia
yang memegang tanggung jawab suatu pemerintahan. Jika belum dipromulgasikan,
hukum hanyalah sebuah draft, rancangan, tulisan yang tidak memiliki daya ikat
apa pun.
Gagasan Thomas Aquinas berbeda dengan
Thomas Hobbes. Jika Aquinas menggagas hukum sebagai produk dari akal budi
(hukum: ordinance of reason), bagi Hobbes hukum adalah kehendak sang
penguasa (the will of the sovereign).
Hobbes mengedepankan will (atau vountas/kehendak). Francesco
Suarez juga mengedepankan voluntas dalam pemahaman tentang kodrat hukum[1].
***
RASA KEBANGSAAN
1928[2]
Saat
bangsa Indonesia bergulat dengan “rasa kebangsaan”, di sana para Pendiri Bangsa
tidak digerakkan oleh mimpi bersama. Mereka tidak lelap oleh ketertindasan.
Dan, para pemuda dari segala suku, golongan, agama dan latar belakang
pendidikan bahu-membahu mendefinisikan apa artinya “menjadi sebuah bangsa.”
Ketika itu belum ada revolusi fisik.
Tetapi, pada tahun 1928 telah secara nyata hadir sebuah kesadaran revolusioner,
namanya: “cita rasa sebagai bangsa”. Rasa kebangsaan pertama-tama adalah energi
kebersatuan yang memungkinkan ledakan “big bang” yang melahirkan negara baru,
Indonesia.
Jauh dari romantisme hingar bingar
sebuah ritual upacara, peristiwa “Sumpah Pemuda” 28 Oktober 1928 sesungguhnya
merupakan penutupan Konggres Pemuda Indonesia yang kedua.
Dari sudut isi kegemilangan isi
“Sumpah Pemuda” juga tidak memaksudkan makna sumpah sebagaimana kita mengerti
saat ini. Yang dimaksud “Sumpah Pemuda” adalah tekad hati para pemuda di akhir
Konggres. Dalam tekad itu ditegaskan kebersatuan sebagai sebuah bangsa untuk
menatap masa depan yang lebih cemerlang.
Sebagai sebuah Konggres, pertemuan
itu memiliki acara cukup padat. Konon diantaranya terdapat pula sambutan
tertulis dari Soekarno dan Tan Malaka.
Ada tiga kali sidang utama yang
dilakukan di gedung yang berbeda-beda. Ketiga gedung itu konon sudah sering
dipakai untuk kepentingan pertemuan kaum muda. Sidang pertama (Sabtu malam, 27
Oktober) berlangsung di Gedung Pemuda Katolik (Katholieke Jongelingen Bond) di
Waterlooplein (Jl. Lapangan Banteng), sidang kedua (Minggu pagi, 28 Oktober) di
gedung bioskop “Oost Java” di Koningsplein Noord (Medan Merdeka Utara), dan
sidang ketiga (Minggu malam, 28 Oktober) di Gedung Klub Indonesia (Indonesissche Clubgebouw) di Kramat,
jalan Kramat Raya 106 (Lih. Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, Jakarta: Kompas, 2006, 695).
Tetapi, yang sesungguhnya terjadi
peristiwa 26-28 Oktober 1928 (Konggres pemuda Indonesia II) bukanlah peristiwa
yang berdiri sendiri seolah-olah tidak mengandaikan konteks dan keterkaitan
dengan pergumulan sebelumnya.
Konggres kedua tersebut lahir
sebagai kelanjutan dari yang pertama dengan maksud tunggal, yaitu agar
organisasi-organisasi kepemudaan dapat berikhtiar untuk menggalang persatuan
yang lebih kokoh. Desakan untuk bersatu dipicu oleh keputusan pemerintah
kolonial yang membuang dr. Tjipto Mangoenkoesoemo ke Banda Neira. Sebelum
berangkat ke pembuangan, dr Tjipto berkirim surat ke Soekarno agar bertekun
untuk berkorban, berkorban, dan berkorban bagi kemerdekaan Indonesia.
Soekarno menindaklanjuti pesan dr.
Tjipto tersebut dengan melakukan perundingan bersama pimpinan
organisasi-organisasi pemuda lain di Bandung Desember 1927. Perundingan
dijalankan sedemikian rupa sehingga terbentuk Permoefakatan
Perhimpoenan-perhimpoenan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang merupakan
federasi dari PSI, PNI, BO, Pasoendan, Soematranen Bond, Kaoem Betawi, dll.
Semangat dan kehendak untuk bersatu
ini semakin menemukan motivasinya setelah mereka juga mendengar kabar bahwa
para pemimpin Indonesia di Nederland telah dibebaskan dari dakwaan di pengadilan.
Tanggal 23 September 1927 empat
pemimpin Pemuda Indonesia di Nederland ditangkap dan diajukan ke pengadilan.
Mereka adalah Mohammad Hatta, Nazir Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdoel
Madjid Djojoadiningrat. Tetapi tanggal 22 Maret 1928 pengadilan di Den Haag
membebaskan keempat pemimpin Pemuda Indonesia ini.
Serangkaian peristiwa ini mendorong
beberapa pemimpin Pemuda Indonesia mengadakan rapat-rapat di bulan Juni untuk
menyelenggarakan Konggres Pemuda Indonesia II dengan maksud tunggal melakukan
negosiasi untuk melahirkan persatuan yang lebih solid dari para pejuang muda.
Terbentuklah susunan panitia: Soegondo Djojopoespito (ketua), Djoko Marsaid
(wakil ketua, Jong-Java), sekretaris M. Yamin (Jong-Sumateranen Bond),
bendahara Amir Sjarifuddin (Jong-Batak) dan kelima anggota: Djohan M. Tjai
(Jong-Islamieten Bond), Katjasoengkono (Pemuda Indonesia), Senduk
(Jong-Celebes), J. Leimena (Jong-Ambon), dan Rohjani (Pemoeda Betawi).
Tanggal 26-28 ternyata menjadi
sebuah pertemuan akbar, di mana pada waktu itu hadir sejumlah lebih dari 750
peserta. Uniknya, peserta yang hadir tidak hanya dari putera-putera pribumi
melainkan juga dari peranakan Cina dan bahkan dari Belanda.
Sidang pertama di gedung Pemuda
Katolik membahas tema seputar persatuan Indonesia. Pada waktu itu,
diperdengarkan pidato M. Yamin yang berjudul, “Persatoean dan Kebangsaan
Indonesia”. Tema ini diulas cukup panjang sebagai sebuah keniscayaan sejarah
yang perlu dihidupkan kembali. Pidato Yamin konon mendapat tanggapan positif
dari peserta, di antaranya Kartosuwiryo sangat mendukung pemakaian bahasa
Melayu sebagai bahasa Indonesia.
Sidang kedua mengambil logika
kelanjutannya, yaitu bagaimana “kebangsaan” Indonesia diwujudkan secara nyata
dalam pendidikan anak bangsa. Ki Hadjar Dewantara tidak bisa hadir. Rekannya,
Sarmidi Mangoensarkoro menguraikan tentang visi dan teknik-teknik pendidikan
untuk anak-anak bumi-putera.
Sidang ketiga mengurai tentang tema
seputar patriotisme yang mengatasi suku, agama dan ras serta ideologi. Susunan
pembicara pun beragam: Ramelan yang beragama Islam dari Kepanduan Sarekat
Islam, Theo Pangemanan yang beragama Kristen dari Kepanduan Nasional, dan Mr.
Sunarjo sebagai ketua Persaudaraan Antarpandoe Indonesia.
Kemudian, Wage Rudolf Supratman,
seorang Kristen memperkenalkan lagu ciptaannya tanpa lirik dengan instrumen
biola yang disertai pula oleh Dolly Salim (Puteri Haji Agoes Salim) yang
memainkan piano. Suasana ketika itu larut dalam alunan lagu indah yang kelak
menjadi lagu kebangsaan Indonesia.
Konggres II Pemuda Indonesia Oktober
1928 ini sebenarnya dapat disebut “kurang berhasil” karena tidak mencapai
“kesepakatan politik”, mengingat sebelum konggres direncanakan pembentukan
sebuah organisasi persatuan pemuda. Yamin, misalnya, tidak pernah setuju peleburan
organisasi-organisasi politik. Tetapi, ketika larut malam, Yamin menyodorkan
secarik kertas kepada Soegondo, ketua Konggres, yang berisi sebuah “kebersatuan
tekad hati” yang dipandang sebagai keputusan Konggres Pemuda II, yang kemudian
dikenal dengan “Sumpah Pemuda”.
Kalimat introduktif sebelum rincian
“Sumpah” tertulis: “Kerapatan pemoeda-pemoeda Indonesia jang diadakan oleh
perkoempoelan perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan,
dengan namanja: Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia,
Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Batakbond, Jong Celebes, Pemoeda
Kaoem Betawi dan Perhimpoenan pelajar-pelajar Indonesia …” Introduksi ini
mengawali tiga “Sumpah”, yaitu bertanah air satu Indonesia, berbangsa satu
bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia. Kalimat ini mengatakan
sebuah entry point (pintu masuk)
peradaban baru, yakni kedalaman rasa sebagai bangsa.
Perlu dicatat bahwa dalam Konggres
Pemuda II tersebut hadir sejumlah pemuda keturunan Cina dari Jong-Soematranen
Bond, diantaranya Kwee Thiam Hong (Daud Budiman), Ong KaySiang, John Liauw
Tjoan, dan Tjio Jin Kwie. Dari Daud Budiman kita bisa menikmati kisahnya
sebagaimana dituturkan kepada wartawan Siswadi dalam Kompas, Rabu 28 Oktober 1978.
Bagi seorang Gandhi kesadaran
nasionalisme identik dengan humanisme. Ketika kelompok masyarakat menyebut diri
sebagai “bangsa”, pada saat itu manusia menyatukan diri satu sama lain dengan
sesamanya secara mendalam.
Gandhi menegaskan bahwa kebangsaan
mengatakan makna kemanusiaan. Artinya, kebangsaan bukanlah sekedar sebuah
perkara identitas kelompok yang didasarkan pada ras, tanah air, tradisi, budaya
atau yang semacam itu. Kebangsaan adalah rasa kemanusiaan.
Para eksponen ideologi Nasionalisme
Sosialisme Jerman semasa Perang Dunia II merinci pengertian perekat “bangsa”
sebagai “Blut und Boden” (darah dan wilayah).
Ernst Renan (1823-1892) mengajukan
pemikiran bahwa yang disebut bangsa sesungguhnya adalah sekelompok manusia yang
merasa “seperasaan dan sepenanggungan”. Gagasan Renan menggarisbawahi prinsip
solidaritas. Menurut Renan, bangsa terbentuk berdasarkan 1) ras atau suku, 2)
bahasa, 3) agama, 4) kepentingan bersama, dan 5) wilayah.
Menurut Renan, bangsa adalah suatu
jiwa, semangat, suatu kaidah kerohanian (un principe spirituel) yang timbul
dari dua hal. Pertama, yang terjadi di masa lalu, berupa serangkaian kenangan
bersama baik berupa kemuliaan maupun penderitaan. Kedua, yang timbul di masa
kini, berupa kesepakatan, kehendak untuk hidup bersama, kemauan untuk melanjutkan
dan memperbarui warisan bersama itu (le
consentement actuel, le désir de vivre ensemble, la volonté de continuer a
faire valoir l’héritage qu’on a reçu indivis).
Menurut Otto Bauer (1882-1938),
bangsa merupakan kesatuan masyarakat yang punya watak sendiri, watak yang
timbul dari persamaan nasib (aus
Schicksalsgemeinschaft erwahsende Charaktergemeinschaft).
Manusia Indonesia menyadari diri
sebagai “bangsa” terbilang masih baru. Aneka kerajaan yang menyebar di seantero
Nusantara belum dapat disebut sebagai sebuah peradaban sebagai “bangsa”
Indonesia. Ada cukup banyak kerajaan yang mendominasi sebagian besar wilayah
Indonesia. Tetapi, sungguh pun demikian, kerajaan itu belum dapat disebut
sebagai representasi “bangsa” Indonesia.
Kesadaran sebagai bangsa adalah
kesadaran ketika satu sama lain menyatu. Dan, dasar kesatuannya “sudah”
melampoi kecenderungan primordial. Aristoteles mengatakan bahwa manusia
memiliki kodrat yang membuatnya “bersatu” dengan yang sesamanya. Kodrat itu
adalah kecenderungan natural dirinya untuk bersatu dengan lawan jenis yang
memungkinkan terbentuknya keluarga. Dari keluarga-keluarga lahirlah komunitas
yang lebih besar. Dan, demikian selanjutnya terbentuklah masyarakat politik
yang disebut “polis” (negara).
Dari makna Aristotelian kepada
kesadaran bahwa negara ada untuk “membela dan melindungi hak-hak warganya”
sebagaimana dikemukan oleh Robert Nozick. Identitas negara dengan demikian
memiliki epistemologia pragmatis, negara ada untuk menegaskan perlindungan
hak-hak. Jika hak-hak warga lenyap, eksistensi negara berakhir.
Indonesia tahun 1928 belumlah sebuah
negara. Tetapi, kesadaran sebagai sebuah “bangsa” telah lahir secara sangat
menyolok. Sebuah kesadaran yang mengatasi teritorial telah merasuk ke dalam
jiwa para eksponen muda putera-puteri Indonesia.
***
EPISTEMOLOGIA
UTILITARIANA
The episteme is the ‘apparatus’ which makes possible the separation,
not of the true from the false, but of what may from what may not be
characterised as scientific. – Michel Foucault
Konteks hidup manusia bukan konteks
sempit. Dalam kesehariannya manusia selalu menghayati kebersamaan dengan
sesamanya, dunianya, dan bahkan relasi dengan Tuhannya secara kaya.
Aristoteles adalah pioner yang
menyebut bahwa manusia memiliki kodrat mengejar kebenaran. Manusia bukan
makhluk yang tuntas. Melainkan, menggapai kesejatiannya.
Dalam menggapai pengetahuan, budi
berperkara dalam wilayah benar salah. Aristoteles menjelaskan, benar berarti
korespondensi dengan realitas; salah memaksudkan diskrepansi terhadap realitas.
Ranah perkara ini disebut epistemologia.
Dalam epistemologia, benar salah
berbeda dengan perkara etis baik jahat. Artinya, salah tidak identik dengan
jahat, begitu juga yang benar tidak dari sendirinya mengatakan yang baik.
Dalam filsafat Michel Foucault,
salah benar tidak memiliki jurang separasi seperti dalam hidup sehari-hari.
Sebab salah benar memiliki persepsi sudut pandang scientific. Dan, scientific adalah
paradigma (bukan ketentuan legal atau etis!), kata Thomas Kuhn.
Salah benar ada dalam wilayah
pengetahuan budi, bukan wilayah konkret hidup sehari-hari. Artinya, orang yang
mungkin memiliki pengetahuan salah (menurut salah satu persepsi) dapat pula
menghadirkan hidup sehari-hari yang baik, ramah, membantu banyak orang yang
kesusahan, bahkan menampilkan hidup yang virtuous.
Dan kebalikannya, orang yang memeluk pengetahuan benar belum tentu hidupnya
baik dan suci.
Demikianlah. Akhir-akhir ini, bangsa
kita memeras energi membolak-balik lembaran epistemologis yang kacau berkaitan
dengan eksistensi komunitas-komunitas kecil, seperti Ahmadiyah. Disimpulkan
oleh Bakor Pakem, Ahmadiyah telah memiliki pengetahuan doktrinal agama yang
salah atau sesat.
Walaupun perkara “pengetahuan agamis
yang salah atau sesat” ini berada dalam ranah epistemologis, pemerintah telah
menerbitkan SKB tiga menteri yang memiliki segala konsekuensi delik-delik
sanksi legal konkret yang berakibat pada penahanan penjara, pembubaran rumah
ibadat, pelarangan beribadah, dan bahkan pengusiran.
Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI,
menulis bahwa bangsa ini memiliki sejarah berkaitan dengan tokoh-tokoh
Ahmadiyah yang berperan dalam perjuangan Indonesia sejak sebelum
kemerdekaannya. Di antaranya: Raden Ngabehi HM. Djojosoegito (tokoh
Muhammadiyah) dan Wahab Chasballah, keduanya saudara sepupu dari Hasyim Asy’ari
(pendiri NU), kemudian juga Erfan Dahlan, putera dari H. Achmad Dahlan (pendiri
Muhammadiyah) yang kemudian menyebarkan Ahmadiyah di Thailand (Jawa Pos, 24 April 2008, 4).
Dari perspektif ortodoksi iman,
Ahmadiyah mungkin pantas dipersoalkan sebagaimana juga banyak kelompok lain
dalam agama apa saja. Tetapi, jika perkara “pengetahuan doktrin yang salah”
semacam ini diambil alih oleh penguasa dan dijebloskan dalam ranah hukum,
terjadi kerancuan yang sangat berbahaya dan bahkan dapat secara mudah menggiring kehidupan bersama kepada diskriminasi dan
ketidakadilan.
Jika disimak dengan teliti,
kebebasan agama di Indonesia selalu memiliki sejarah ketidak-konsistenan.
Konstitusi 1945 jelas-jelas meratifikasi kebebasan beragama. Tetapi dalam
kenyataannya beragama di Indonesia tidak sungguh-sungguh bebas. Indonesia tidak
memiliki ruang untuk mereka yang karena kesulitan aktual tidak atau belum
memeluk agama. Dan, bahkan ketika beragama pun, orang harus memilih salah satu dari agama yang disediakan (dan karenanya
orang tidak bebas lagi). Pada poin
ini, terjadi diskrepansi antara apa yang legal tertulis dalam Konstitusi dan
apa yang secara konkret dipraktekkan dalam hidup sehari-hari.
Kini, dengan SKB tiga menteri,
memeluk agama salah satu pun tidak cukup, melainkan harus memeluknya dalam doktrin agamis yang benar (menurut salah
satu persepsi)! Di luar itu, aktivitas beribadahnya dipandang sebagai tindak
kriminal melawan hukum. Mengapa terbit SKB? Yang sering dikatakan, ajaran
Ahmadiyah meresahkan. Bukankah eksistensi Ahmadiyah sudah hampir satu abad
usianya di Indonesia?!
Tetapi, soal yang sangat runyam:
siapakah pemerintah? Apakah pemerintah juga dapat memiliki segala kewenangan
untuk memvonis mana ajaran, kitab suci, ritus, ritual upacara, cara menyanyi
atau beribadat dalam suatu agama yang benar dan salah?
Prinsip utilitarian, yang
memproklamasikan greatest happines to the
greatest number of people telah diaplikasikan secara banal dalam ranah
epistemologia agamis. Demi kenyamanan banyak orang, yang kecil jumlahnya itu (the small) layak dibubarkan. Manusia
lantas dihukum, ditindas, dipenjarakan semata-mata karena tidak menjadi bagian
dari kebanyakan. Dia divonis salah (baca: guilty)
secara legal, bukan karena perbuatan dan hidupnya yang jahat, melainkan karena
eksistensinya sebagai demikian!
Utilitarianisme, salah satu musuh
hebat prinsip keadilan manusiawi, telah mulai berhembus di rumah kita. Demi
kelegaan the greatest number, kita
semua telah dan sedang mengingkari hati nurani sendiri dengan bersikap tidak
adil kepada the small.
Kebenaran bukanlah
hak paten dari satu
persepsi. Sebab kebenaran tidak sekedar
perumusan teori tentang Allah, Wahyu, manusia, alam, dosa, Kitab Suci, nabi, cara berdoa
dan seterusnya.
Kebenaran agama menyentuh pula praksis, pengalaman personal, kesaksian hidup, perwujudan cinta. Dengan ini
sesungguhnya tidak ada alasan untuk menekankan eksklusivisme kebenaran agama. Apalagi,
menggusur the small karena
keyakinannya.
The
small juga adalah warganegara yang baik yang telah menampilkan partisipasi
kreatif perjuangan bangsa ini secara keseluruhan. Di saat-saat untung dan
malang. Maka, solidaritas dan keadilan juga untuk the small, mengapa tidak?!
***
[1] Concerning the definition of law
Hobbes and Thomas Aquinas differ. Hobbes’s
supremacy of “the will of the sovereign” is essentially distinct from Aquinas’s
nature of law as an “ordinance of reason”. Aquinas defines law as “an ordinance
of reason for the common good, made by him who has care of the community, and
promulgated by him who has the care of the community” (ST I-II, 90, 4). He
notes that it is by our reason that we grasp the connection between our
decisions and the end at which we are aiming. This note is typically
Aristotelian. It refers to the beginning of the Nicomachean Ethics. The
ordinance of which Aquinas speaks is the establishment of an order. By
establishment of an order he means order between the subjects of the law and
the ends that are to be achieved. For instance, the law of military service “orders”
the citizens in relation to the defence of their country. Such an ordinance is
made in view of the common good. Differing from Hobbes, Aquinas contends that
the common good distinguishes a law from a particular command that is imposed
on an individual. A law, of its very nature, is addressed to the community. But
like Hobbes, Aquinas says that the source of this ordinance has to be the
person who has charge of the community. The task of planning for the end to be
achieved always belongs to the person who is primarily responsible for seeing
that this end is achieved. Moreover, someone who is not in authority, since he
lacks the power to impose sanctions, is incapable of effectively leading others
to attain the common good of the community. Finally, this ordinance has to be
promulgated. A rule is ineffective unless applied to what it is intended to
regulate. The effects of the law, as St. Thomas Aquinas writes, are “to command, to forbid, to permit, to punish”
and, in consequence, to help make people good (ST. I-II, 92, 1). Hobbes, on his
part, says that “the end of making laws is no other but such restraint, without which there
cannot possibly be any peace. And law was brought into the world for nothing
else but to limit the natural liberty of particular men, in such manner as they
might not hurt, but assist one another, and join together against a common
enemy” (Leviathan, xxvi, 8). The theory of law of Hobbes may be closer to
Suarez’s theory than to that of Aquinas.
Suarez’s definition of law is often contrasted with the Thomistic notion
of law. Suarez defines law as “a just, stable and sufficiently promulgated
precept which is binding on all” (Suarez, de legibus, Ic,
14). This definition is similar enough to that of Aquinas with, however, the
added condition of stability. But, for Suarez, concerning the source of the law
he contends that a law originates in the legislator’s will. For, with his just
and upright act of his will, the legislator decides to oblige the subjects to
act in this or that particular way. In Suarez’s view, the decision of the
legislator is far from being arbitrary and irrational. His decision has to be
“just and upright”, that is, regulated by reason. In Suarez, as in Aquinas, a
law which is not in conformity with reason is no law. In Christian philosophy,
the Thomistic and Suarezian notions represent two different and typical ways of
regarding law. According to St. Thomas, the legislator’s intelligence animates
and channels the movement of his will towards the end which he intends.
According to Suarez, the legislator’s will singles out the different possible
ordinances grasped intellectually. In the former approach, greater emphasis is
placed on the objective requirements of the situation (i.e., reason) while, in
the latter, the emphasis is on the legislator’s preference with regard to these
requirements (i.e., will). Whereas the Thomistic approach represents a more
rationalistic notion of law, the Suarezian notion offers a more voluntaristic
one.
No comments:
Post a Comment