(Dr. Harry
Soeprianto, M.Si, Dosen Pascasarjana Universitas Mataram)
Artikel ini dipresentasikan pada saat Pertemuan Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat Katolik Keuskupan Denpasar,di Mataram, September 2013)
PENDAHULUAN
Di era globalisasi, banyak perubahan
yang terjadi dalam masyarakat, juga dalam pola pikir dan bertindak. Masyarakat
termasuk yang didesa-desa mulai lebih kritis, penilaian dan penghargaan
terhadap seseorang mulai berubah dari penghargaan sekadar karena memiliki
“posisi dan kedudukan” ke penghargaan karena memang memiliki “kompetensi,
profesionalitas dan integritas kepribadian”. Orang katholik sebagai subyek dan
obyek dalam masyarakat tidak luput dari penilaian seperti itu. Bobot prilaku
diharapkan dapat mencerminkan implementasi ajaran katholik di era ini. Salah
satu gejala di zaman baru ini dimana manusia menuntut pelayanan serba cepat.
Hal ini karena pola pikir manusia sudah
mulai berubah sejalan dengan zaman yang serba cepat bahkan cenderung “instant”.
Selain itu dunia kerja zaman ini dengan jadwal kerja yang ketat kadang-kadang
memberi waktu amat terbatas bagi orang untuk segala urusan kepentingan jasmani
maupun kepentingan rohani.
Salah satu aspek kehidupan umat
katholik yang tidak mungkin diabaikan adalah aspek persaudaraan dan kerjasama.
Persaudaraan dan kerjasama merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan tetapi
saling menunjang satu sama lain. Orang akan dapat bekerjasama secara maksimal,
menyukseskan tujuan yang sama, bila hidup dalam persaudaraan yang ikhlas.
Era globalisasi akan mempertemukan
beberapa kebudayaan yaitu kebudayaan daerah setempat dan yang datang dari
luar atau kebudayaan asing. Pertemuan
ini terjadi karena perkembangan karena perkembangan masyarakat, pergaulan antar
daerah menjadi semakin biasa. Kebudayaan berkembang terus dengan menerima dan
mengolah aneka unsur kebudayaan dari kelompok dengan suku lain. Bahkan juga
kebudayaan dari luar negeri mempunyai pengaruh sangat besar. Khususnya pengaruh
dari negara-negara asia timur, dan daerah arabia sangat terasa. Begitu juga
pengaruh daari barat baik dahulu maupun sekarang. Pengaruh itu terdapat dalam
segala bidang kebudayaan, termasuk juga bidang agama.
Tidak dapat tidak, timbul pertanyaan
mengenai pertemuan agama-agama di Indonesia. Semua agama besar, tanpa kecuali,
masuk ke dalam kebudayaan Indonesia melalui kebudayaan asing. Dengan demikian
semua agama berhadapan dengan pertanyaan bagaimana mereka tetap setia kepada
asas-asas agama itu sendiri, tetapi sekaligus juga tidak menjauhkan orang Indonesia dari
akar-akar kebudayaannya.
Dengan sendirinya, penganut-penganut
agama mencoba mengungkapkan pokok-pokok agama dalam bahasa danbentuk kebudayaan
daerah meeka sendiri; maka dari zaman ke zaman agama yang satu dan sama itu
mendapat bentuk dan ungkapan yang sedikit atau banyak berbeda, sesuai dengan
keprihatinan zaman dan kebudayaan daerah. Pertemuan semacam itu tidak jarang
diusahakan dengan sadar dan sengaja. Semakin orang menjadi sadar akan
kebudayaannya sendiri dan semakin jujur orang menghayati agamanya, semakin
giatnya orang mencari bentuk-bentuk yang berakar dalam kebudayaan daerah untuk
mnghayati agama dengan tepat. Dari tradisinya, agama membawa kepercayaan yang
diyakini sebagai kebenaran yang dihadapan Tuhan; dalam kebudayaan, agama
menjadi hidup dan manusiawi.
Dari uraian diatas timbul pertanyaan
apa partisipasi umat katholik dalam mewujudkan kesejahteraan umum ?
PEMBAHASAN
A. Era
Tehnologi Informasi dan Komunikasi
Manusia merupakan mahluk hidup yang
mempunyai pikiran dan bathin yang merdeka yang lahir ke dunia tanpa pilihan, tetapi
ia mempunyai kedaulatan untuk berusaha dan menentukan pilihan-pilihan guna
memperbaiki hidupnya, sepanjang kemampuan diri yang dibawahnya dari lahir
mengijinkan. Pada akhirnya nanti ia harus mati. Tetapi iapun juga mempunyai
kedaulatan untuk mempersiapkan kematiannya yang tak bisa ia duga dan kira kapan
saatnya dan bagaimana caranya.
Hukum alam memang tidak bisa kita
ubah. Cuma jalan alam selalu kita ramaikan dengan jalan manusia melewati
berbagai cara tehnologi yang tepat. Tetapi kenyataan struktural dalam
masyarakat itu bukan hukum alam. Itu Cuma hasil kesadaran dan usaha manusia.
Kalau memang kenyataan struktural itu menghalangi dinamika kehidupan, maka
manusia selalu bisa berusaha mengubahnya, tidak gampang, tetapi itulah
tantangan kehidupan.
“Ingat
taman firdaus sudah hilang, sejak saat itu keringat, luka, air mata, kesadaran,
kesabaran dan keberanian adalah ongkos dasar dari perbaikan akan kehidupan
manusia. Dengan kata lain kecuali kenyataan struktural di dalam masyarakat
harus dihitung juga bahwa manusia mempunyai dinamika pikiran dan bathin yang
bisa dipelihara dan dibina” (WS Rendra)
Tak
dapat disangkal bahwa, sungguh banyak fenomena dalam hidup ini: dan dengan
demikian, sekian banyak pandangan dan pengetahuan, yang tertuang maupun yang
terpendam. Akan tetapi perlu disadari bahwa itu semua belumlah mencapai derajat
kesempurnaan. Karena suatu ketika, cepat atau lambat kebaikan dan kebenaran
akan datang dan menjawab, yaitu antara menolak dan membenarkan bahkan
memperluas sejumlah pandangan dan pengetahuan yang tertuangkan maupun yang
terpendam.
Adapun
pada zaman sekarang umat manusia terpukau oleh rasa kagum akan penemuan-penemuan
manusia dengan gelisah bertanya-tanya tentang perkembangan dunia dewasa ini penemuan
serta kekuasaannya sendiri. Tetapi sering pula manusia dengan gelisah
bertanya-tanya tentang perkembangan dunia dewasa ini, tempat dan tugasnya di
alam semesta, tentang makna jeri-payahnya perorangan maupun usahanya bersama,
akhirnya tentang tujuan akhir segala sesuatu dan manusia sendiri.
Tantangan
terbesar untuk membangun Gereja adalah sekularisme dan globalisasi. Sekularisme
diwarnai secara khas oleh hubungan agama dengan negara yang bisa berakibat pada
macam-macam kesulitan seperti negara agama, formalisme agama, fanatisme
kelompok dll. Sementara globalisasi telah memberi tawaran baru tiada henti
kepada umat beriman bahwa manusia seakan tidak memerlukan Tuhan untuk menata
hidupnya. Perpaduan antara sekularisme dan globalisasi adalah ketidakadilan
struktural dan bahkan pemiskinan martabat manusia tiada henti, sebab martabat
manusia dipandang sebagai bagian dari proses ekonomi. Akibatnya mereka yang
kecil, lemah, miskin, cacat, dan bodoh menjadi korban ketidakadilan struktural.
Ketidakadilan struktural semakin menancapkan kukunya dalam dunia modern karena
pada budaya patriarki, sistem politik yang menindas dan perilaku beragama yang
tidak manusiawi.
Dilain
pihak pembangunan ilmu pengetahuan tehnologi dan seni pada hakekatnya ditujukan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum dalam rangka membangun
peradaban bangsa, Tehnologi menjadi faktor yang memberi konstribusi signifikan
dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat kita.
Tehnologi
informasi dan komunikasi sebagai bagian dari ilmu pengetahun dan tehnologi
secara umum adalah semua tehnologi yang berhubungan dengan pengambilan, pengumpulan,
pengolahan, penyimpanan, penyebaran, dan penyajian informasi.
Tehnologi
informasi dan komunikasi sebagai perpaduan tehnologi telah memungkinkan
terjadinya internetworking yang menyebabkan faktor jarak menjadi kurang
berarti, informasi dapat mengalir dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan
kecepatan cahaya dan dapat dimanfaatkan untuk konsolidasi, koordinasi, dan
kolaborasi yang mampu menghasilkan tindakan-tindakan dengan pertimbangan
keuntungan skala global. Melalui internetworking tersebut dapat disebarkan
informasi dalam jumlah besar secara gencar untuk membentuk opini publik secara
global terhadap suatu tindakan yang akan dan telah dilakukan untuk menghasilkan
manfaat yang sepenuhnya dikendalikan oleh penyebar informasi. Tehnologi ini
telah membawa dunia menuju ke era informasi, dimana informasi merupakan salah
satu sumber daya paling penting sehingga harus dikelola dengan baik untuk
tujuan-tujuan tertentu yang menguntungkan pemiliknya.
Pembangunan
tehnologi informasi dan komunikasi pad hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dalam rangka membangun peradaban bangsa. Kenyataan
menunjukkan bahwa TIK telah membawa perubahan penting dalam perkembangan
peradaban, terutma perekonomian dunia. Abad ke-21 bahkan diyakini akan menjadi
abad baru yang disebut era informasi ekonomi (digital-economic) dengan ciri
khas perdagangan yang memanfaatkan elektronika (electronic commerce). Kondisi
ini mengakibatkan adanya pergeseran paradigma strategi pembangunan masyarakat
dari pembangunan industri menuju era informasi (information age).
B.
Keterlibatan dalam Pembangunan Politik di Indonesia
Secara etimologi, “Politik” berasal
dari polis. “Polis” dalam tradisi yunani adalah yang bertujuan memajukan apa
yang sering disebut kepentingan umum. Dari kata “polis” diturunkan kata “ta
politika” yang mengandung pengertian : hal-hal yang harus dilakukan terhadap
polis dan mencakup semua aspek kehidupan warga negara.
Dewasa ini urusan politik selalu
berhubungan dengan bandul kekuasaan yang bergerak dinamis antar kutub
masyarakat dan kutub negara dengan segala variaannya. Bagaimana bandul
kekuasaan itu bergerak dari kutub masyarakat ke kutub negara dan sebaliknya;
dan bagaimana variannya dalam praktek kehidupan Negara sehari-hari, telah
banyakdijelaskan oleh berbagai teori kekuasaan, mulai dari teori Thomas Hobbes,
Jhon Locke, JJ Rosseau, Montesquie, sampai dengan teori Hegel, dan Karl Marx
(Arief Budiman, 2001).
Sejarah telah membuktikan bahwa baik
secara teoritis maupun praktis, cara hidup bermasyarakat dan bernegara yang
dapat menjamin kehidupan bersama yang relatif aman, sejahtera dan beradab
adalah demokrasi. Untuk sampai kepada masyarakat/negara yang demokratis dan
berkeadaban amatlah rumit dan berliku-liku. Bangsa-bangsa di dunia, termasuk
Indonesia telah berusaha menerapkan sistem demokrasi. Namun usaha tersebut
masih banyak menemukan jalan buntu. Negara-negara tersebut bahkan masih terus
mencari bentuk-bentuk varian-varian demokrasi yang cocok.
Itulah sebabnya, sejak lahir abad
ke-18, praktek demokrasi selalu menunjukkan penampilan yang berbeda-beda. Ada
negara yang praktek demokrasinya sudah sampai pada tingkatan check dan balances
yang fungsional. Ada pula saatnya, negara-negara mempraktekkan apa yang disebut
“demokrasi facade”, dimana demokrasi dengan segala elemennya berjalan dalam
mekanisme formalistik, tapi rezim yang berkuasa sangat lemah sehingga menjadi
boneka negara yang kuat seperti campur tangan Amerika Serikat pada Mexico (1914
dan 1916), Republik Dominika (1916 – 1924 dan 1965), Haiti (1914-1938 dan
1994), Nicaragua (1912-1925), Kuba (1917-1923), Guatemala (1954), dan Panama
(1989).
Pada
saat tertentu, sistem politik yang diterapkan mengandung komponen demokratis
yang signifikan, tetapi sekaligus mengandung komponen anti demokrasi yang juga
signifikan. Inilah yang disebut “semi Demokrasi”. Sementara itu ada pula sistem
politik yang memiliki elemen-elemen demokratis, tetapi tidak memiliki cara
untuk mewujud nyatakan fungsi kontrol warga Negara terhadap pemerintah yang
berkuasa. Sistem politik ini disebut “Pseudo Demokrasi” (John Markoff,1996).
Banyak
penelitian menunjukkan bahwa poses demokrasi justru menimbulkan keputusasaan
dan frustasi sebagian besar masyarakat yang bersangkutan. Sebab utamanya adalah
karena bangsa yang bersangkutan belum memiliki prasyarat utama demokrasi, yaitu
kultur dan struktur sosial politik yang demokrasi. (Arif Budiman, 2001).
Menurut
Do Tocquevile, dalam kultur demokrasi terdapat dua elemen dasar yang menjadikan
AS sebagai negara demokrasi sejak tahun 1830-an. Pertama, sifat egaliter dan
liberal sebagai sumber etika puritarisme, yang kemudian berhasil berhasil
disoaialisasikan kepada para pendatang dari daratan Eropa. Kedua, moral menahan
diri yang bersumber pada ajaran agama Protestan. Kemampuan menahan diri amat
diperlukan untuk mengimbangi adanya kebebasan (Asykuri Ibn Chamim,dkk, 2002).
Gabriel
Almond dalam kajian untuk menguji kaitan antara keberhasilan demokrasi dengan
keberadaan kultur dan struktur sosial politik yang demokratis, menyimpulkan
beberapa hal sebagai berikut : kultur demokrasi adalah kultur campuran antara kebebasan/partisipasi
di satu pihak dan norma-norma prilaku di pihak lain. Kultur demokrasi bersumber
pada kultur masyarakat yang mengndung: Social Trust dan Civicnes. Kultur
demokrasi senantiasa memerlukan masyarakat madani. Seberapa jauh masyarakat
memegang kultur demokrasi sangat bergantung pada prilaku pemerintah dalam
demokrasi.
Dalam
pengembangan kultur demokrasi menurut Almond, suatu bangsa harus melewati tiga
tahap, sebagai berikut : Tahap pertama, pengembangan institusi yang demokratis.
Tahap kedua, perwujudan sikap individu yang mendukung dmokrasi. Tahap tiga,
perwujudan sruktur sosial dan kultur politik yang demokratis.
Dari
prespektif sejarah dan teori inilah, kita akan mencoba memahami praktek dan
realitas pembangunan politik di Indonesia khususnya pada era reformasi.
Kendati
institusi kenegaraan sudah tertata melalui empat kali amandemen UUD 1945,
diikuti oleh penyempurnaan undang-undang pelaksanan sistem pemilihan legislatif
dan Presiden serta terselenggaranya PILKADA secara langsung oleh rakyat,
ternyata wajah perpolitikan di Indonesia maih belum mengalami perubahan yang
berarti. Praktik Demokrasi yang ditampilkan di pusat maupun di daerah masih
cenderung bersifat anarkis dan oportunis serta kurang berpihak pada rakyat
sebagai pemegang kedaulatan. Anggota DPR-DPRD diragukan kualitasnya dan rakyat
tersandung masalah hukum dan moral. Kendati mereka adalah wakil rakyat yang
aspiratif karena dipilih secara langsung olehrakyat, tetapi mereka lebih merepresentasikan
dirinya daripada rakyat yang diwakilinya.
Ada
fenomena menarik pada pemilu 2009. Yaitu persaingan yang sangat ketat, bukan
lagi antara partai politik, tetapi telah bergeser menjadi kompetisi dan
pertarunganantar calon legislatif (caleg) internal partai. Proses politik
transaksional dan instan melalui iklan pencitraan diri, telah menghantarkan
orang berduit dan selebritis ke gedung parlemen.para politisi karier yang setia
pada ideologi perjuangan tersingkir. Uang dipakai untuk mendapatkankekuasaan
dan kekuasaan dipakaiuntuk mengeruk keuntungan ebanyak-banyaknya dan akan
dipakai lagi untuk melanggengkankekuasaan.pertanyaan yang menggoda untuk
dijawab: mengapa terjadi demikian ? karena demokrasi kita berlangsung di tengah
rakyat yang rendah pendidikan dan kehidupan ekonominya.
Dulu
pada zaman Yunani klasik, politik diartikan sebaagai proses pembuatan keputusan
komunal yang diberlakukankepada publik setelah mengalami pembahasan subtantif
oleh atau di depan pemilih yang dianggap sama. Artinya ada nuansa keseimbangan,
kesetaraan di kalangan pemilih. Kesetaraan dalam hal apa ? kesetaraan dalam
kompetensi, yang dicerminkan pada tingkat keterdidikan dan taraf hidup
masyarakat, semakin tinggi tingkat ketergantungan masyarakat; sebaliknya
semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat dan taraf hidupnya, semakin rendah
pula derajat ketergantungannya. Masyarakat pemilih di Indonesia yang
berpendidika dan taraf hidup rendah menjadi lahan bagi tumbuh suburnya politik
transaksional. Saya pilih kmu, tetapi
bayar berapa dulu ?. tidak penting pilih siapa dan partai apa, yang penting
bagi pemilih tipe ini adalah dapur bisa berasap hari itu. Itulah problem utama
Demokrasi kita dewasa ini.
C. Bagaimana
Partisipasi Umat Katholik
Konsili Vatikan II menggariskan,
“karena adalah khas bagi status awam, bahwa mereka hidup di tengah dunia dan
urusan-urusan duniawi, maka mereka dipanggil Allah untuk menunaikan
kerasulannya sebagai rasul di dalam dunia, dengan semangat kristiani yang
berkobar-kobar” oleh karena itu, awam harus menerima pembenahan tata dunia
sebagai tugas mereka yang khas, dan giat di dalamnya secara langsung di bawah
bimbingan injil dan semangat gereja. Awam yang berkecimpung dalam urusan
negara, harus menjalankannya dengan baik, dan dengan demikian mereka dapat
menyumbangkan sesuatu bagi kepentingan umum dan serentak merintis jalan untuk
injil.
Pada tanggal 15 agustus 1998. Forum Masyarakat
Katholik Indonesia, menegaskan bahwa
urusan politik kekuasaan adalah tugas dari sebagian saja umat yang mampu,
berbakat, berminat serius dan yang profesional. Seluruh awam harus melibatkan
dirinya dengan tata dunia yang beraeka ragamdan majemuk sesuai dengan
talentanya masing-masing.pernyatan tersebut hanya mau menegaskan bahwa untuk
terjun dalam politik kekuasaan dan berkompetisi memperebutkan tempat pada
forum-forum pengambilan keputusan publik, diperlukan prasyarat tertentu yang
memungkinkan awam menjalankan tugas kerasulannya secara baik dan berhasil.
Politik itu adalah proses untuk
mendapatkan Sharing power. Semua komponen dimasukkan dalam merumuskan dan
menjalankan keputusan politik. Olek karena itu, dalam politik ada partisipasi
dan kompetisi. Seluruh awam harus berpartisipasi dalam setiap tahapan politik
dan sebagian awam yang tepanggil untuk memperebutkan jabatan politik karena
memenuhi kualifikasi tertentu harus menjalani kompetisi yang ketat. Sesuai
dengan tingkatannya. Mengapa kualifikasi begitu diutamakan bagi awam yang mau
terlibat langsung dalam perebutan jabatan politik ? karena pelaksanaan tugasnya
membawa resiko bagi kepentingan masyarakat.
Awam yang terlibat harus berminat ,
karena minat merupakan energi untuk mendalami dan menikmatikegiatan politik
sebagai panggilannya. Awam harus mahir dan profesional karena ia harus
menguasai dan terampil menggunakan kiat-kiat politik yang fair, santun,
beradab. Di atas semuanya, seorang awam harus berbakat politik, karena bakat
sangat menentukan intuisi politik dalam percaturan yang semakin panas. Tanpa
bakat, mereka ibarat joki yang lumpuh, yang berramai-ramai didudukkan ke atas
punggung seekor kuda pacu. Tatkala perlombaan dimulai, ia akan terhempas
ketanah pada lompatan pertama.
Oleh karena itu, setiap kompetisi ,
jika bisa harus dimenangkan dengan sekuat tenaga. Tetapi kemenangan itu harus
tetap diabdikan untuk kebaikan semua orang dan kemuliaan nama Tuhan. Setiap
orang harus menikmati buah kemenangan itu tanpa pandang bulu.
Dari paparan di atas
maka sebagai refleksi diri. Bagaimanakah
partisipasi kita sebagai umat katholik dalam mewujudkan kesejahteraan umum ?
apakah kita sudah berpartisipasi dalam mewujudkan kesejahteraan umum ? Mengapa
kita harus berpartisipasi dalam mewujudkan kesejahteraan umum ? sebagai
motivasi untuk semua yang kita lakukan adalah berorientasi kepada Kristus sang
Juru Selamat kita memanggul salib sampai di Golgota meskipun hadangan dan deraan
dilakukan sepanjang perjalanan mencapai Golgota.
No comments:
Post a Comment