Search This Blog

Wednesday, March 29, 2006

Rumah Ibadah adalah Hak

SUARA PEMBARUAN DAILY , 29 Maret 2006
Rumah Ibadah adalah Hak
Oleh Benni Setiawan

KHIRNYA, Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri ditandatangani juga. SKB ini adalah revisi dari SKB No 1 Tahun 1969 tentang kerukunan umat beragama. Munculnya SKB baru ini menimbulkan pro dan kontra. Di antaranya, persoalan pendirian rumah ibadah. SKB Dua Menteri ini menyaratkan pendirian rumah ibadah dengan dukungan 90 warga (umat) yang dibuktikan dengan KTP dan 60 dukungan dari warga sekitar.

Di alam keterbukaan seperti sekarang ini, mengapa hal-hal agama masih saja menjadi urusan pemerintah. Kebijakan yang ada pun cenderung merugikan kalau tidak mau disebut meresahkan pemeluk agama lain.

Sebagaimana hasil keputusan yang tertuang di dalam SKB Dua Menteri di atas. Mendirikan rumah ibadah menjadi hal yang sulit dan cenderung dipersulit. Mengapa kebebasan beragama belum dapat terwujud di bumi Indonesia yang multikultural?

Terbitnya SKB Dua Menteri ini menunjukkan masih kuatnya dominasi pemerintah dalam urusan agama. Lebih lanjut, SKB Dua Menteri ini telah menyalahi aturan utama bangsa Indonesia, yaitu UUD 1945. Dalam Pasal 29 UUD 1945 dinyatakan bahwa, pemerintah menjamin agama dan kepercayaan masyarakat dan memberikan kebebasan untuk menjalankannya sesuai dengan aturan atau tata cara yang berlaku.

Dalam Pasal 29 tersebut di atas, dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah menjamin kebebasan beragama. Dengan demikian, pemerintah seharusnya juga memberikan kemudahan kepada pemeluk agama dan kepercayaan untuk menjalankan ibadahnya. Tentunya menjalankan ibadah membutuhkan sarana dan prasarana, termasuk di dalamnya rumah ibadah.

Rumah ibadah bukan hanya digunakan untuk beribadah saja, melainkan untuk tegur sapa, saling mengenal, dan berdiskusi guna menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Jika kita menilik sejarah Islam misalnya, kita akan dapat menemui bahwa tempat ibadah (Masjid) dijadikan Muhammad tempat untuk menyusan strategi dakwah demi mensiarkan Islam. Ketika pendirian rumah ibadah sebagai basis pencerahan masyarakat sudah dibatasi dan cenderung dipersulit, bagaimana bangsa Indonesia dapat berkembang dan maju?

Rumah ibadah adalah sentral kegiatan umat. Artinya, rumah ibadah adalah salah satu alat untuk mendekatkan diri kita kepada Tuhan dan umat. Di dalamnya akan terjadi proses keberagamaan yang saling menyapa. Dengan demikian, umat tidak hanya terjebak kepada rutinitas ritual keagamaan, akan tetapi, lebih dari itu, umat dapat menggunakannya sebagai tempat beraktualisasi diri.

Mendirikan rumah ibadah dengan syarat yang ndakik-ndakik ini juga telah melanggar Resulusi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Intoleransi Berdasarkan Agama. Pada Pasal 6 ayat 1 dinyatakan bahwa, "untuk beribadah atau berkumpul berkaitan dengan agama atau keyakinan, dan untuk mendirikan dan mempertahankan tempat-tempat bagi maksud-maksud itu".

Dalam pasal ini dijelaskan bahwa, setiap pemeluk agama dan keyakinan berhak membuat dan mempertahankan rumah ibadah sebagai sarana beribadah dan berkumpul. Dengan demikian, Deklarasi ini sangat melindungi pendirian rumah ibadah dengan tanpa syarat apapun. Hal ini dikarenakan, rumah ibadah adalah salah satu hak kebebasan berfikir, nurani, agama, atau keyakinan.

Lebih lanjut, pada Pasal 3 dinyatakan bahwa, "diskriminasi antarmanusia berdasarkan agama atau keyakinan merupakan penghinaan terhadap martabat manusia dan pengingkaran terhadap prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan akan dijatuhi hukuman sebagai pelanggaran terhadap Hak-hak Asasi Manusia dan dinyatakan secara rinci dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia, dan sebagai rintangan bagi hubungan persahabatan dan perdamaian antarbangsa".

Dua aturan di atas (UUD 1945 Pasal 29 dan Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Intoleransi Berdasarkan Agama) dengan jelas memberikan kebebasan tanpa syarat tentang pendirian rumah ibadah. Hal ini dikarenakan rumah ibadah adalah hak setiap pemeluk agama dan keyakinan, guna mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan umatnya.

Terbitnya SKB Dua Menteri ini setidaknya telah "menganggu" jalannya kerukunan umat beragama. Lebih lanjut, kebebasan berekspresi beragama, masih menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan. Artinya, masih ada rasa saling curiga (takut) antarpemeluk agama.

Umat beragama sudah saatnya tanggap terhadap persoalan ini. Persoalan ini bukan hanya akan mengancam kerukunan umat beragama, lebih dari itu dapat mengancam disintegrasi bangsa.

Umat beragama sudah saatnya legowo dalam menerima kehadiran umat beragama lain. Menjauhkan rasa atau sikap curiga menjadi kunci utamanya. Agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan kepada umatnya. Tidak ada satupun agama dan kepercayaan yang mengajarkan permusuhan antarsesamanya.

Dengan banyaknya rumah ibadah yang dibangun dan dirikan, hal ini berarti umat beragama di Indonesia mempunyai sikap toleransi yang baik. Sikap ini akan mendorong terwujudnya tatanan masyarakat adil, makmur dan sejahtera yang diridhoi Tuhan YME.

Banyaknya rumah ibadah yang dibanjiri umat juga akan mendorong terciptanya transformasi sosial. Lebih dari itu, rumah ibadah yang banyak didatangi umat, menandakan umat beragama dekat dengan Tuhan dan dekat dengan umat. Dengan demikian, ia akan mampu bertanggung jawab terhadap apa yang telah dikerjakan. Hal ini disebabkan umat memaknai kebesaran Tuhan dan fungsi hidup rukun dan damai. Semoga. *

Penulis adalah alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Direktur Yayasan Nuansa Sejahtera.Sapen Gk I 423 B Yogyakarta
Last modified: 29/3/06

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *